• PPh Pasal 23 atau 26???

  • junjungansitohang

    Member
    29 August 2010 at 7:12 am
    Originaly posted by hanif:

    Kata kunci disini adalah bahwa transaksi dilakukan dengan kantor pusat, bukan dengan BUT. Dengan demikian, bukti transaksi yang dibuat adalah dengan pihak kantor pusat, bukan dengan BUT.

    Adalah benar transaksi realnya dg Kantor Pusat. Namun apabila KP mpy BUT di Indonesia, maka untuk memotong PPh KP tsb. perlu diperhatikan Treaty dg negara dimana KP tsb berkedudukan. Apabila ada isyarat terpenuhinya syarat adanya BUT melalui uji time test karena waktu pekerjaan jasa memenuhi syarat tersebut maka pemotongannya berdasar pasal/article – Laba Usaha BUT. Sehingga pemotongan pajak atas Ph. jasa KP yg memenuhi syrat time test sbg BUT dilakukan melalui pasal 23.

    Mohon pendapat rekan hanif kembali

    Salam

  • dennykasan

    Member
    29 August 2010 at 4:26 pm
    Originaly posted by Nha:

    Perusahaan kami melakukan transaksi dengan perusahaan luar negeri misalkan X ltd dan X ltd ini memiliki kantor perwakilan di indonesia yaitu PT X. Perusahaan kami menggnakan jasa dan memperoleh invoice serta membayarkannya langsung ke X Ltd namun jasa tersebut di lakukan di indonesia dan dilakukan oleh orang indonesia. atas pembayaran jasa tersebut apakah terutang pph pasal 23 atau pph pasal 26

    saya sudah berdiskusi dengan AR, menurutnya karena X Ltd memiliki BUT (Permanent Establishment/PE) di Indonesia, jadi transaksi atas pembayaran jasa tersebut terutang PPh ps 23. Walaupun pembayaran langsung ke X Ltd, pendapatan jasa tetap diakui oleh BUT di Indonesia…… Istilahnya "where there's a PE, there's a TAX…..No PE No TAX……" => "ada BUT ada pajak, tidak ada BUT tidak ada pajak"

  • Aries Tanno

    Member
    29 August 2010 at 7:03 pm
    Originaly posted by junjungansitohang:

    Adalah benar transaksi realnya dg Kantor Pusat. Namun apabila KP mpy BUT di Indonesia, maka untuk memotong PPh KP tsb. perlu diperhatikan Treaty dg negara dimana KP tsb berkedudukan. Apabila ada isyarat terpenuhinya syarat adanya BUT melalui uji time test karena waktu pekerjaan jasa memenuhi syarat tersebut maka pemotongannya berdasar pasal/article – Laba Usaha BUT. Sehingga pemotongan pajak atas Ph. jasa KP yg memenuhi syrat time test sbg BUT dilakukan melalui pasal 23.

    Mohon pendapat rekan hanif kembali

    Originaly posted by dennykasan:

    saya sudah berdiskusi dengan AR, menurutnya karena X Ltd memiliki BUT (Permanent Establishment/PE) di Indonesia, jadi transaksi atas pembayaran jasa tersebut terutang PPh ps 23. Walaupun pembayaran langsung ke X Ltd, pendapatan jasa tetap diakui oleh BUT di Indonesia…… Istilahnya "where there's a PE, there's a TAX…..No PE No TAX……" => "ada BUT ada pajak, tidak ada BUT tidak ada pajak"

    waaaah saya kena keroyok nih…
    he he he
    Tapi jangan takut
    saya belum nyerah
    Maju tak gentar.. he he he

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Yang saya tangkap dari penjelasan pasal 5 ayat 1 c ini sbb:
    Bahwa Kantor Pusat (LN) memperoleh ph. berupa royalty atas penggunaan merk dagangnya dari PT.Y.(DN). Ini mrp. objek pemotongan pasal 26 (final).

    benar sekali
    sangat sependapat

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Namun oleh karena BUTnya kantor pusat juga memberikan jasa manajemen kpd PT.Y. dimana kedua jasa yg diberikan mpy. hub.efektif maka pemotongan royalty yg mrp.Ph.nya KP menjadi objek pemotongan pasl 23 dan atas royalty diperlakukan sbg Ph.nya BUT.

    naaaah..
    ini yang kita sepaham…

    coba rekan junjungan lihat penjelasan di pasal 26
    Penhasilan tersebut tetap merupakan objek PPh Pasal 26, tetapi tidak final.
    artinya, PPh Pasal 26 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUT WP LN
    tersebut.
    Teknis pengkreditannya adalah dengan mengakui penghasilan tersebut sebagai penghasilan BUT dan menggabungkan dengan penghasilan BUT Lainnya.

    Logika yang mendasari :
    1. tidak ada dikatakan di dalam pasal 26 bahwa penghasilan tersebut menjadi objek PPh Pasal 23. Yang ada hanyalah, PPh atas penghasilan yang dipotong dari WPLN yang lazimnya final berubah menjadi tidak final oleh karena BUT memberikan jasa yang sama, atau ada hubungan efektif antara BUT dengan harta yang memberikan penghasilan.
    Untuk WPLN yang berubah status menjadi WPDN, PPh 26 yang telah dipotong saat masih berstatus WP LN (lazimnya juga final), bisa dikreditkan saat berubah statusnya menjadi WPDN. Selanjutnya, saat status WPLN tersebut sudah berubah menjadi WPDN, penghasilan yang diterima menjadi objek PPh Pasal 21.

    2. Bila pada saat pembayaran dikenakan PPh Pasal 23, bagaimana membuat bukti potongnya???. Padahal, pembayaran langsung ke LN dan menggunakan nama WP LN.
    3. Apabila penghasilan tersebut otomatis dikenakan PPh Pasal 23, untuk apa lagi ada ketentuan di pasal 26 yang menyatakan bahwa atas penghasilan WPLN dari jasa sejenis yang juga disediakan oleh BUTnya di Indonesia atau ada hubungan efektif…. pemotongan PPhnya tidak final???

    Demikian rekan junjungan….
    Mohon koreksinya

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    29 August 2010 at 7:04 pm
    Originaly posted by hanif:

    naaaah..
    ini yang kita sepaham…

    RALAT

    maksudnya belum sepaham… he he he

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    29 August 2010 at 7:12 pm
    Originaly posted by dennykasan:

    saya sudah berdiskusi dengan AR, menurutnya karena X Ltd memiliki BUT (Permanent Establishment/PE) di Indonesia, jadi transaksi atas pembayaran jasa tersebut terutang PPh ps 23.

    untuk yang ini saya tidak sependapat.
    Dasar hukumnya setahu saya tidak ada.
    Dengan tidak sedikitpun bermaksud untuk underestimate terhadap AR tersebut Saya yakin hanya kesimpulan AR saja

    Originaly posted by dennykasan:

    Walaupun pembayaran langsung ke X Ltd, pendapatan jasa tetap diakui oleh BUT di Indonesia…… Istilahnya "where there's a PE, there's a TAX…..No PE No TAX……" => "ada BUT ada pajak, tidak ada BUT tidak ada pajak"

    apalagi dengan statement ini :
    "ada BUT ada pajak, tidak ada BUT tidak ada pajak"
    ini hanya mungkin bisa diterapkan bila ada tax treaty antara Indonesia dengan negara negara domisli WP yang punya BUT saja.
    Masa iya tidak ada PE tidak ada pajak.
    harusnya dilihat dulu dong kasus per kasus

    begitu rekan denny…
    Mohon koreksinya

    Salam

  • dennykasan

    Member
    29 August 2010 at 10:05 pm
    Originaly posted by hanif:

    Masa iya tidak ada PE tidak ada pajak.
    harusnya dilihat dulu dong kasus per kasus

    Originaly posted by dennykasan:

    X ltd dan X ltd ini memiliki kantor perwakilan di indonesia yaitu PT X. Perusahaan kami menggnakan jasa dan memperoleh invoice serta membayarkannya langsung ke X Ltd namun jasa tersebut di lakukan di indonesia dan dilakukan oleh orang indonesia. atas pembayaran jasa tersebut apakah terutang pph pasal 23 atau pph pasal 26

    Originaly posted by dennykasan:

    "where there's a PE, there's a TAX…..

    Originaly posted by dennykasan:

    "ada BUT ada pajak,

  • dennykasan

    Member
    29 August 2010 at 10:34 pm

    Pasal 2 UU No.36/2008:

    ayat 1 huruf c:
    "Yang menjadi subjek pajak adalah: (c) Bentuk Usaha Tetap"
    ayat 1a:
    "Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan."
    ayat 5:
    "Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa……………"
    Penjelasan ayat 5:
    "…………………..Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri……………….."

    Dari uraian ayat demi ayat pada pasal 2 tersebut saya simpulkan bahwa antara WP OP/Badan di Luar Negeri (A Ltd), BUT. B (A Ltd), dan WP OP/Badan di Dalam Negeri (PT. C) aspek pemajakannya tidak dapat terpisahkan. Artinya transaksi yang berhubungan antara PT.C dan A Ltd juga berhubungan dengan BUT. B, karena BUT. B disini merupakan kepanjangan tangan dari A Ltd. Jadi setiap transaksi pemajakan antara PT. C ke A Ltd ada di BUT. B. Dalam hal ini penyerahan jasa dari A Ltd melalui BUT. B kepada PT. C terutang PPh pasal 23… PT. C memotong PPh pasal 23 (sebesar 2%) dan pemotongan dilakukan PT. C terhadap BUT. B… Jika PT. C memotong PPh pasal 26 (sebesar 20%/tarif Tax Treaty) terhadap A Ltd, maka apa gunanya A Ltd membentuk BUT di Indonesia?!…..
    salam rekan…..

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 1:44 am
    Originaly posted by dennykasan:

    Dari uraian ayat demi ayat pada pasal 2 tersebut saya simpulkan bahwa antara WP OP/Badan di Luar Negeri (A Ltd), BUT. B (A Ltd), dan WP OP/Badan di Dalam Negeri (PT. C) aspek pemajakannya tidak dapat terpisahkan. Artinya transaksi yang berhubungan antara PT.C dan A Ltd juga berhubungan dengan BUT. B, karena BUT. B disini merupakan kepanjangan tangan dari A Ltd. Jadi setiap transaksi pemajakan antara PT. C ke A Ltd ada di BUT. B. Dalam hal ini penyerahan jasa dari A Ltd melalui BUT. B kepada PT. C terutang PPh pasal 23… PT. C memotong PPh pasal 23 (sebesar 2%) dan pemotongan dilakukan PT. C terhadap BUT. B… Jika PT. C memotong PPh pasal 26 (sebesar 20%/tarif Tax Treaty) terhadap A Ltd, maka apa gunanya A Ltd membentuk BUT di Indonesia?!…..
    salam rekan…..

    ok rekan deny…
    Saya terima dulu opininya ya…

    Nah sekarang coba telaah lagi isi penjelasan Penjelasan Pasal 26 Ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 berikut :

    Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Pasal 5 ayat (1) huruf b berbunyi :
    penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;

    Pasal 5 ayat (1) huruf c berbunyi
    c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

    Mohon pendapatnya atas bunyi ketentuan diatas.

    bila rekan denny menganggap bahwa transaksi tersebut otomatis merupakan objek PPh Pasal 23, berarti ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 26 tersebut tidak perlu dibuat atau mungkin diganti redaksi dari kata-kata pemotongan pajaknya tidak bersifat final menjadi :
    pemotongan pajaknya ditentukan sama dengan bila bertransaksi dengan WPDN?

    Demikian rekan denny…
    Mohon opininya

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 1:55 am

    o ya, sebagai gambaran teknisnya dapat diilustrasikan sebagai berikut :

    WP DN A menggunakan jasa konsultan asing X Ltd dan membayar fee sebesar Rp. 100 Juta dan telah memotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20%. X Ltd memiliki BUT di Indonesia dan menyediakan jasa yang sama. Selama Tahun 2009, BUT X Ltd memperoleh penghasilan Neto sebesar Rp. 400 Juta.

    Dengan asumsi bahwa peredaran bruto BUT X Ltd masih dibawah 4,8 M setahun, perhitungan PPh terutang tahun 2009 adalah sebagai berikut :

    Penghasilan Neto dari Usaha……………………………………… ………400 Juta
    Penghasilan Kantor Pusat atas jasa yang sama di Indonesia……….100 Juta+
    Jumlah Penghasilan neto………………………………………. ………….500 Juta
    PPh terutang = 28% x 50% x 500 Juta = ………………………….70 Juta
    Kredit Pajak dengan asumsi tidak ada yang lain
    PPh Pasal 26………………………………………………………………20 Juta
    PPh Kurang bayar akhir tahun (Pasal 29)…………………………..50 Juta

    Mohon koreksinya

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 4:51 am

    Salam rekan hanif

    Originaly posted by hanif:

    coba rekan junjungan lihat penjelasan di pasal 26
    Penhasilan tersebut tetap merupakan objek PPh Pasal 26, tetapi tidak final.
    artinya, PPh Pasal 26 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUT WP LN
    tersebut.
    Teknis pengkreditannya adalah dengan mengakui penghasilan tersebut sebagai penghasilan BUT dan menggabungkan dengan penghasilan BUT Lainnya.

    penjelasan pasal 26 (5) berisi sbb:
    Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Ayat 5 ini merupakan ketentuan pemotongan pph atas ph. perwakilan asing dg status WPLN.
    Apabila WPLN-baca: "perwakilan asing" (badan/OP) berubah status menjadi WPDN maka pemotongan pph ini (pasal 26) berubah menjadi tidak final artinya dapat dikreditkan.

    Isi pasal 5 ayat 1 huruf b dan c
    b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
    c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

    Pasal 26 ayat 5 ini juga menjelaskan bahwa Penghasilan Kantor pusat (sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5 ayat 1 huruf B dan C diatas) dianggap/dipaksa masuk ("force attraction") untuk menjadi objek pajak BUT. Dan pemotongan pajaknya adalah tidak final.
    Makna inilah yang saya tanggkap dari 26 ayat 5 ini.
    Ini artinya penghasilan kantor pusat yang dianggap mrp. Ph. BUTnya (ph. KP sbgmna yg dimaksudkan pada pasal 5 ayat 1 huruf B dan C) dipajaki melalui mekanisme pemajakan yang dipersamakan dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu melalui mekanisme pemotongan pasal 23, dimana BUT mrp. salah satu subjeknya.

    Originaly posted by hanif:

    Logika yang mendasari :
    1. tidak ada dikatakan di dalam pasal 26 bahwa penghasilan tersebut menjadi objek PPh Pasal 23. …

    benar sekali rekan, memang betul pasal 26 tidak mengatakan bahwa penghasilan tersebut menjadi objek PPh Pasal 23.

    Namun pada saat pihak pemotong pajak akan memotong pph dari WPLN tersebut yg bersumber dari Indonesia , maka pihak pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal :
    1. Penerima penghasilan bukan SUbjek Pajak dalam negeri Indonesia,
    2. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
    3. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
    (sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 Per-61/Pj/2009).

    Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
    (ayat 2nya Per 61 tsb)
    Per 61 ini mengisyaratkan bahwa WPLN harus menyampaikan SKD dg menggunakan form yg terdapat dilampiran II atau III per 61 tsb, agar persyaratan administratip untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dapat dipenuhi.
    Di dalam form SKD ini WPLN akan menyatakan bahwasanya mempunyai/tidak mempunyai BUT di Indonesia.

    Mengacu dari pernyataan yang ada di form SKD/DGT bahwa perwakilan asing tidak mempunyai BUT maka pemotongan pajak akan memotong pajak atas Ph KP tsb.melalui pasal 26 (final-20% atau tarif berdasar treaty)

    Namun dari pernyataan yang ada di form SKD/DGT bahwa perwakilan asing mempunyai BUT maka mekasime pemotongan melalui artikel/pasal P3B tentang Permanent establihment/BUT dan artikel/pasal P3B ttg. Laba Usaha. Dan ini artinya mekanisme pemotongan pph melalui pasal 23. (Selain pemotongan atas ph. yg. dimaksud kan dg objek pasal 4 ayat 2)

    Originaly posted by hanif:

    Logika yang mendasari :
    1. … Yang ada hanyalah, PPh atas penghasilan yang dipotong dari WPLN yang lazimnya final berubah menjadi tidak final oleh karena BUT memberikan jasa yang sama, atau ada hubungan efektif antara BUT dengan harta yang memberikan penghasilan…

    disini pemotongan pph tsb bukan diartikan berubah menjadi tidak final.
    maksudnya apabila ph. perwakilan asing/WPLN dijalankan melalui BUTnya: maka dipajaki berdasar ketentuan yg ada di P3B dg negara mitra khususnya pasal mengenai P/E atoupun Laba Usaha
    atau ada dijalankan langsung oleh WPLN tsb namun mpy hubungan efektif dg usaha/kegiatan BUTnya maka Ph. perwakilan asing tsb. dipajaki berdasar ketentuan yg ada di P3B dg negara mitra khususnya pasal mengenai P/E atoupun Laba Usaha

    Originaly posted by hanif:

    2. Bila pada saat pembayaran dikenakan PPh Pasal 23, bagaimana membuat bukti potongnya???. Padahal, pembayaran langsung ke LN dan menggunakan nama WP LN.
    Inilah rekan fungsi dari SKD/DGT yg disebutkan diatas. Berdasar SKD inilah pemotongan tsb. dilakukan.

    [quote=hanif]3. Apabila penghasilan tersebut otomatis dikenakan PPh Pasal 23, untuk apa lagi ada ketentuan di pasal 26 yang menyatakan bahwa atas penghasilan WPLN dari jasa sejenis yang juga disediakan oleh BUTnya di Indonesia atau ada hubungan efektif…. pemotongan PPhnya tidak final???

    Benar rekan namun untuk transaksi ke SPLN perlu sekali merefer ketentuan yang ada pada P3B dg negara mitra sebelum dilakukan pemotongan pajaknya

    Demikianlah rekan hanif

    Mohon pendapat rekan

    salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 5:04 am

    sangat dipahami keterangannya rekan junjungan…
    walau saya belum bisa sepenuhnya menerima he he he

    sekarang, bagaimana bila kondisinya adalah tidak ada tax treaty antara indonesia dengan negara domisili WPLN yang memiliki BUT di Indonesia tersebut?

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    30 August 2010 at 5:29 am
    Originaly posted by junjungansitohang:

    Namun pada saat pihak pemotong pajak akan memotong pph dari WPLN tersebut yg bersumber dari Indonesia , maka pihak pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal :
    1. Penerima penghasilan bukan SUbjek Pajak dalam negeri Indonesia,
    2. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
    3. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
    (sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 Per-61/Pj/2009).

    ini untuk yang ada P3B

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
    (ayat 2nya Per 61 tsb)

    ini untuk yang tidak ada P3B

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Per 61 ini mengisyaratkan bahwa WPLN harus menyampaikan SKD dg menggunakan form yg terdapat dilampiran II atau III per 61 tsb, agar persyaratan administratip untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dapat dipenuhi.
    Di dalam form SKD ini WPLN akan menyatakan bahwasanya mempunyai/tidak mempunyai BUT di Indonesia.

    ini untuk yang ada P3B

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Mengacu dari pernyataan yang ada di form SKD/DGT bahwa perwakilan asing tidak mempunyai BUT maka pemotongan pajak akan memotong pajak atas Ph KP tsb.melalui pasal 26 (final-20% atau tarif berdasar treaty)

    statement ini ada dimana rekan junjungan?
    sebab, sepengetahuan saya, punya atau tidak punya BUT, tarif yang digunakan untuk WPLN akan mengacu kepada Pasal 26 atau tax treaty

    mohon penjelasannya

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Namun dari pernyataan yang ada di form SKD/DGT bahwa perwakilan asing mempunyai BUT maka mekasime pemotongan melalui artikel/pasal P3B tentang Permanent establihment/BUT dan artikel/pasal P3B ttg. Laba Usaha. Dan ini artinya mekanisme pemotongan pph melalui pasal 23. (Selain pemotongan atas ph. yg. dimaksud kan dg objek pasal 4 ayat 2)

    ini ada dimana rekan junjungan…?
    mohon penjelasannya

    Originaly posted by junjungansitohang:

    disini pemotongan pph tsb bukan diartikan berubah menjadi tidak final.
    maksudnya apabila ph. perwakilan asing/WPLN dijalankan melalui BUTnya: maka dipajaki berdasar ketentuan yg ada di P3B dg negara mitra khususnya pasal mengenai P/E atoupun Laba Usaha
    atau ada dijalankan langsung oleh WPLN tsb namun mpy hubungan efektif dg usaha/kegiatan BUTnya maka Ph. perwakilan asing tsb. dipajaki berdasar ketentuan yg ada di P3B dg negara mitra khususnya pasal mengenai P/E atoupun Laba Usaha

    Originaly posted by junjungansitohang:

    Benar rekan namun untuk transaksi ke SPLN perlu sekali merefer ketentuan yang ada pada P3B dg negara mitra sebelum dilakukan pemotongan pajaknya

    walau saya masih belum bisa memahami dengan baik karena jarang lihat ketentuan dalam P3B, bagaimana kalau antara indonesia dengan negara domisli tersebut tidak ada P3Bnya

    Demikian rekan junjungan…
    Mohon penjelasannya

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 8:30 am
    Originaly posted by hanif:

    sangat dipahami keterangannya rekan junjungan…
    walau saya belum bisa sepenuhnya menerima he he he

    hehehe…

    Originaly posted by hanif:

    sekarang, bagaimana bila kondisinya adalah tidak ada tax treaty antara indonesia dengan negara domisili WPLN yang memiliki BUT di Indonesia tersebut?

    dikenakan langsung pemotongan pph pasal 26 – Final tarif 20% terhadap ph. kantor pusatnya

    Mohon koreksi rekan

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    30 August 2010 at 8:53 am
    Originaly posted by hanif:

    Originaly posted by junjungansitohang:
    Namun pada saat pihak pemotong pajak akan memotong pph dari WPLN tersebut yg bersumber dari Indonesia , maka pihak pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal :
    1. Penerima penghasilan bukan SUbjek Pajak dalam negeri Indonesia,
    2. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
    3. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
    (sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 Per-61/Pj/2009).

    ini untuk yang ada P3B

    sependapat..

    Originaly posted by hanif:

    Originaly posted by junjungansitohang:
    Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
    (ayat 2nya Per 61 tsb)

    ini untuk yang tidak ada P3B

    tidak sependapat..
    ketentuan yg dimaksud adalah:
    1. Penerima penghasilan bukan SUbjek Pajak dalam negeri Indonesia,
    2. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
    3. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.

    Originaly posted by hanif:

    Originaly posted by junjungansitohang:
    Per 61 ini mengisyaratkan bahwa WPLN harus menyampaikan SKD dg menggunakan form yg terdapat dilampiran II atau III per 61 tsb, agar persyaratan administratip untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dapat dipenuhi.
    Di dalam form SKD ini WPLN akan menyatakan bahwasanya mempunyai/tidak mempunyai BUT di Indonesia.

    ini untuk yang ada P3B

    tidak sependapat..
    Persyaratan administratip yg dimaksudkan disini adalah pengisian data dg menggunakan Form SKD/DGT/COD oleh WPLN (ditandatangani)
    Form ini harus disodorkan oleh pemotong pajak untuk diisi WPLN sebelum pemotongan pajaknya dilakukan kepadanya.

    Originaly posted by hanif:

    Originaly posted by junjungansitohang:
    Mengacu dari pernyataan yang ada di form SKD/DGT bahwa perwakilan asing tidak mempunyai BUT maka pemotongan pajak akan memotong pajak atas Ph KP tsb.melalui pasal 26 (final-20% atau tarif berdasar treaty)

    statement ini ada dimana rekan junjungan?
    sebab, sepengetahuan saya, punya atau tidak punya BUT, tarif yang digunakan untuk WPLN akan mengacu kepada Pasal 26 atau tax treaty

    Umumnya statement tersebut diuraikan pada pasal/article mengenai P/E (permanent establishment-BUT) dan article/pasal mengenai Laba Usaha di Tax treaty/P3B dg negara runding/mitra.

    Originaly posted by hanif:

    Originaly posted by junjungansitohang:
    Namun dari pernyataan yang ada di form SKD/DGT bahwa perwakilan asing mempunyai BUT maka mekasime pemotongan melalui artikel/pasal P3B tentang Permanent establihment/BUT dan artikel/pasal P3B ttg. Laba Usaha. Dan ini artinya mekanisme pemotongan pph melalui pasal 23. (Selain pemotongan atas ph. yg. dimaksud kan dg objek pasal 4 ayat 2)

    ini ada dimana rekan junjungan…?

    Umumnya statement tersebut diuraikan pada pasal/article mengenai P/E (permanent establishment-BUT) dan article/pasal mengenai Laba Usaha di Tax treaty/P3B dg negara runding/mitra.

    Originaly posted by hanif:

    Originaly posted by junjungansitohang:
    disini pemotongan pph tsb bukan diartikan berubah menjadi tidak final.
    maksudnya apabila ph. perwakilan asing/WPLN dijalankan melalui BUTnya: maka dipajaki berdasar ketentuan yg ada di P3B dg negara mitra khususnya pasal mengenai P/E atoupun Laba Usaha
    atau ada dijalankan langsung oleh WPLN tsb namun mpy hubungan efektif dg usaha/kegiatan BUTnya maka Ph. perwakilan asing tsb. dipajaki berdasar ketentuan yg ada di P3B dg negara mitra khususnya pasal mengenai P/E atoupun Laba Usaha

    Originaly posted by junjungansitohang:
    Benar rekan namun untuk transaksi ke SPLN perlu sekali merefer ketentuan yang ada pada P3B dg negara mitra sebelum dilakukan pemotongan pajaknya

    walau saya masih belum bisa memahami dengan baik karena jarang lihat ketentuan dalam P3B, bagaimana kalau antara indonesia dengan negara domisli tersebut tidak ada P3Bnya

    Langsung potong pph pasal 26 tarif 20%-Final rekan

    demikian rekan hanif.

    Mohon pendapat kembali
    Salam

  • Nha

    Member
    30 August 2010 at 4:22 pm

    Dear All,

    Bukannya kalo jasa yang diberikan di indonesia dan dilakukan oleh orang indonesia masuk ke objek PPh pasal 23?? mohon koreksinya

    Thank yu

Viewing 16 - 30 of 114 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now