Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › PPh Badan › pph 29 /25
Semoga Memberi jelas….Dalam Pasal 3 Aturan Ini menyinggung masalah sdri Cynthia
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 537/PJ./2000TENTANG
PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-hal tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :
1. Angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan adalah Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan setiap bulan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
2.
Hal-hal tertentu adalah :
1) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3)Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
4)Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
5)Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
6)Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
3. Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
4. Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/ piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.Pasal 2
(1)Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di lur negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2)Dasar penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522 tanggal 14 Desember 2000 setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian.
(3)Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya seperti tersebut dalam ayat (2) menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah nihil.
Pasal 3
(1)Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2)Dasar penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.
Pasal 4
(1)Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahunan pajak yang lalu disampaikan Wajib Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.
(2)Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dan berlaku surat mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(3)Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
(4)Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
Pasal 5
(1)Dalam hal Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan ijin perpanjangan.
(2)Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(3)Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
(4)Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
Pasal 6
(1)Dalam hal Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pembetulan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2)Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 26 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpaj
- Originaly posted by cynthia:
peraturan no berapa kalau perusahaan real estate sudah bayar pph pas 4 ayat 2 tidak dikenakan lagi pph 25, terimakasih mohon pencerahan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 153/PMK.03/2009TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008
TENTANG TATACARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN,
DAN PENATAUSAHAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSIPasal 8C
Bagi Wajib Pajak yang hanya memperoleh penghasilan dari usaha jasa konstruksi, sejak Tahun Pajak 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Salam
- Originaly posted by cynthia:
peraturan no berapa kalau perusahaan real estate sudah bayar pph pas 4 ayat 2 tidak dikenakan lagi pph 25, terimakasih mohon pencerahan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 153/PMK.03/2009TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008
TENTANG TATACARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN,
DAN PENATAUSAHAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSIPasal 8C
Bagi Wajib Pajak yang hanya memperoleh penghasilan dari usaha jasa konstruksi, sejak Tahun Pajak 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Salam
- Originaly posted by cynthia:
kebetulan perusahaan saya sudah ken pph pasal 4 ayat 2, tetapi karena ada penjualan mobil jadi kena PPh 29 tp sama orang pajak dikenakan pph 25 lagi,
bukan kalau penghasilan dari penjualan mobil termasuk penghasilan tidak teratur?menurut saya, penghasilan dr penjualan mobil (asumsi bukan kegiatan usaha) itu tidak dimasukkan dalam perhitungan angsuran pasal 25, sehingga otomatis tidak ada angsuran psl 25 yg harus dibayar tahun depan.
Originaly posted by cynthia:yang saya ingin tanyakan no peraturan berapa untuk perusahaan yang sudah kena pph final tidak kena PPh 25 ? ( Bukan no peraturan pph finalnya )
dari post dari rekan hanif dan rekan yg lain, dapat saya tarik kesimpulan bahwa tidak ada peraturan yg mengatur seperti itu. untuk wp yg kegiatan usaha utamanya sudah knakan pph final, apabila memperoleh penghasilan lain sehingga menimbulkan kewajiban pph pasal 25, angsuran pph pasal 25 tetap dilaksanakan
CMIIW
Mungkin lebih tepat peraturan yg ini :
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 243/PMK.03/2008
Pasal 5A huruf b:
sejak Masa Januari 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terkait dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.Maaf kurang lengkap mengutipnya :
Terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a…..
b. sejak Masa Januari 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terkait dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.- Originaly posted by w2nz1976:
Maaf kurang lengkap mengutipnya :
Terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a…..
b. sejak Masa Januari 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terkait dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.Perlu mengajukan surat pemberitahuan ke KPP tidak rekan ?
Salam
- Originaly posted by stif_male:
Perlu mengajukan surat pemberitahuan ke KPP tidak rekan ?
Di peraturan tidak disebutkan demikian. Tapi mungkin KLU-nya harus REAL ESTATE.
- Originaly posted by w2nz1976:
mungkin
Mungkin ?
heheheheBagaimana kalau saya sandingkan dengan kasus yang sama.
Jika yang ini PPh Pasal 25 dibebaskan, bagaimana dengan PPN yang dibebaskan ?Jika PPN dibebaskan, prosedurnya
PKP mengajukan surat permohonan ke Menkeu cc ke Dirjen Pajak agar dapat dikeluarkan Surat yang Menegaskan bahwa PKP dibebaskan dari PPN.Jika menurut rekan,
Originaly posted by w2nz1976:Di peraturan tidak disebutkan demikian
perihal perlu atau tidaknya mengajukan surat.
Apakah perihal PPN yang dibebaskan, terdapat peraturan yang mengharuskan melakukan pengajuan tertulis ke MenKeu atau Dirjen Pajak ?
Salam
- Originaly posted by stif_male:
Apakah perihal PPN yang dibebaskan, terdapat peraturan yang mengharuskan melakukan pengajuan tertulis ke MenKeu atau Dirjen Pajak ?
Tentunya semua harus ada tata caranya rekan.
Kita ambil contoh PPN yg dibebaskan untuk penyerahan/impor BKP strategis (PP 12/2001 stdtd PP 31/2007).
PP dalam pasal 7 memberikan mandat kepada Menkeu untuk mengatur petunjuk pelaksanaannya.Kemudian terbit KMK nomor 155/KMK.03/2001 stdtd KMK nomor 31/PMK.03/2008 tentang Pelaksanaan PPN yg Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan BKP tertentu yg bersifat strategis. Kemudian Teknis pelaksanaannya (tata cara), Pasal 10 PMK ini memberikan mandat kepada Dirjen Pajak dan Dirjen Bea cukai.
Atas mandat tersebut, kemudian dirjen mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-294/PJ./2001 stdtd KEP – 234/PJ/2003 tentang Tata Cara dan Penatausahaan PPN yg dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan BKP tertentu yg bersifat strategis.
Nah, dalam KEP tersebut (tepatnya dalam lampiran) ditetapkan tata cara untuk memperoleh SKB (Surat Keputusan Bebas) PPN, ada yang wajib mengajukan permohonan, ada yg tidak.
Kembali ke pokok masalah, dalam pasal 5A PMK nomor 243/PMK.03/2008 tersebut tidak memberikan mandat ke Dirjen Pajak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang WP badan termasuk koperasi yang usaha pokoknya adalah pengalihan tanah dan/atau bangunan, maka tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
usaha pokok disini diterjemahkan oleh DJP sebagai KLU (Klasifikasi Lapangan Usaha). Sehingga dalam hal ini seharusnya WP (badan/koperasi) dengan KLU Real Esate yang memenuhi kriteria Pasal 5A PMK tersebut.
Namun dalam hal usaha pokok ini seharusnya ditegaskan untuk kepastian hukum.