Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › Akuntansi Pajak › Metode Pencatatan Cash Basis atau Accrual Basis
Metode Pencatatan Cash Basis atau Accrual Basis
Dear All…
Tolong bantuannya dong…
emang bener y..klo metode cash basis itu ud ga diakui secara pajak y ?? ada aturannya ga y…
terus klo utk PPh Pasal 23..itu terutangnya kapan y ???
Mohon pencerahannya y…Thanks,
Istilah "terhutang" sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) hendaknya dibaca sebagai satu kesatuan dalam hubungan kata-kata "yang dibayarkan atau yang terhutang".Kata-kata tersebut adalah sebagai kebalikan bagi kata-kata "yang diterima atau diperoleh" sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Apabila kata-kata "yang diterima atau diperoleh" dalam Pasal 4 dilihat dari pihak yang mendapatkan penghasilan (Wajib Pajak) maka kata-kata "yang dibayarkan atau yang terhutang" dalam Pasal 23 (juga dalam Pasal 26) dilihat dari pihak yang memberikan penghasilan (Pemotong Pajak). Berhubung dengan itu terhutangnya PPh Pasal 23 itu harus dikaitkan pula dengan metode pembukuan dari Pemotong Pajak, yaitu apakah Pemotong Pajak mempergunakan metode "cash basis" atau "accrual basis".Apabila pembukuan Pemotong Pajak mempergunakan metode "accrual basis", maka berdasarkan "accrual basis" itu, sewa tersebut telah merupakan biaya (apabila dilihat dari pihak Wajib Pajak yang mendapatkan penghasilan sewa, yang mempergunakan metoda "accrual basis", sewa tersebut telah merupakan penghasilan), maka PPh Pasal 23 atau Pasal 26 telah terhutang.
Pasal 1 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan No.948/KMK.04/1983 tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak merupakan pengaturan lebih lanjut atas ketentuan yang termuat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang KUP 1984, khusus yang mengenai penyetoran PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.Untuk menentukan saat terhutangnya bagi perusahaan yang seyogyanya mempergunakan "accrual accounting", maka penerapan "accrual basis" berdasarkan perjanjian sewa menyewa dapat dipakai sebagai pegangan, kecuali apabila telah terjadi penagihan uang sewa atau pembayaran uang sewa sebelum saat terhutang berdasarkan penerapan "accrual basis" berdasarkan perjanjian sewa menyewa.
Maaf Sdr. Albert, bukannya di UU PPh No. 36 Pasal 23 sudah berubah dengan bunyinya itu : "Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap"
SURAT DIRJEN PAJAK
NOMOR S-480/PJ.313/2001 TANGGAL 11 SEPTEMBER 2001
TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILANSehubungan dengan surat Saudara nomor XXX tanggal 12 Juli 2001 perihal sebagaimana pada pokok surat di atas, maka dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Dalam surat tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
a. PT ABC bergerak dalam bidang jasa telekomunikasi, dimana dalam menjalankan usahanya banyak mempergunakan perangkat yang diperoleh baik dengan cara menyewa atau membangun RBS yang dilakukan oleh kontraktor (jasa kontruksi) serta menggunakan jasa lain.
b. Dikarenakan krisis moneter PT ABC tidak mampu untuk membayar kewajiban secara keseluruhan atas jasa sewa, jasa kontsruksi dan jasa lain sesuai dengan ketentuan dalam kontrak. Untuk itu, PT ABC mengusahakannya dengan melakukan pembayaran secara cicilan/angsuran. Pada saat melakukan pembayaran cicilan PT ABC secara otomatis melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan jumlah yang dibayarkan.
c. Pembukuan PT ABC menganut metode "ACCRUAL basis", maka seluruh hutang/kewajiban dicatat pada saat menerima tagihan/invoice.
d. Untuk tahun pajak tahun 1995 sampai dengan tahun pajak 1999, PT. ABC telah diperiksa oleh Karikpa Jakarta Dua, KPP Jakarta Mampang dan Kanwil IV DJP Jaya I dan telah diterbitkan SKPKB PPh Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 4 ayat (2) atas pengadaan jasa tersebut dengan alasan bahwa atas jasa tersebut sudah merupakan objek pajak pada waktu kewajiban tersebut dicatat dan dinikmati hasilnya.
e. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Saudara menanyakan hal-hal sebagai berikut:
1) Apakah sistem pemotongan PPh Pasal 23 dan Pasal 4 ayat (2) menggunakan sistem ACCRUAL basis atau cash basis;
2) Apakah SKPKB PPh Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 4 ayat (2) dapat dijadikan SSP atas bukti pemotongan yang pembayaran kewajibannya dilakukan setelah adanya SKPKB;
3) Apabila SKPKB tersebut dapat dianggap sebagai SSP, bagaimana tata caranya sehingga SKPKB tersebut dapat dijadikan bukti pembayaran pajak untuk lampiran bukti potong ke kantor pajak;
4) Atas keterlambatan pembayaran kewajiban tersebut, PT. ABC dikenakan denda oleh pihak pemberi jasa dan oleh fiskus denda atas keterlambatan tersebut dikenakan pajak sebesar 15%, apakah denda atas keterlambatan pembayaran termasuk objek pajak.
2. Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 diatur bahwa yang dimaksud dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
3. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 diatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk bunga. Pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
4. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 diatur bahwa atas penghasilan berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15%.
5. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan dan memori penjelasannya diatur sebagai berikut:
a. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.
b. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah pada saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti : gaji dan dividen), saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti : royalty, imbalan jasa teknik/jasa manajemen/jasa lainnya), atau saat tertentu lainnya.
c. Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut Pajak Penghasilan.
6. Berdasarkan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang penentuan tanggal jatuh tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Tempat pembayaran Pajak, Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak diatur bahwa pemotong dan pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000, memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ.22/1987 tanggal 21 April 1987 tentang pengertian "terhutang" yang dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 menegaskan bahwa pengertian "dibayarkan atau terhutang" haruslah dikaitkan dengan metode pembukuan pihak pemotong pajak, apakah mempergunakan metode "cash basis" atau "ACCRUAL basis".
8. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dapat diberikan penegasan sebagai berikut:
a. Pada prinsipnya, saat yang menentukan kapan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan dikaitkan dengan peristiwa atau keadaan mana yang lebih dulu terjadi antara saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan ("accrued") tersebut. Apabila pembukuan pemotong pajak mempergunakan metode "ACCRUAL basis", maka pembebanan imbalan jasa-jasa yang menjadi objek pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan telah terutang PPh Pasal 23, atau Pasal 26 atau Pasal 4 ayat (2) meskipun belum dilakukan pembayarannya.
b. SKPKB PPh Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 4 ayat (2) merupakan koreksi terhadap pemotong PPh Pasal 23, Pasal 26 dan Pasal 4 ayat (2) karena yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban memotong pajak penghasilan tersebut. SKPKB tersebut harus dilunasi paling lambat satu bulan setelah tanggal penerbitannya.
Berdasarkan SKPKB tersebut Saudara harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 4 ayat (2) atas imbalan yang dibayarkan kepada pemberi jasa dan memberikan bukti pemotongannya. Perlu dijelaskan bahwa PPh yang dipotong tersebut merupakan pembayaran pendahuluan yang kemudian dapat dikreditkan oleh pihak yang dipotong.
c. Denda keterlambatan pembayaran kewajiban yang dibayarkan oleh PT. ABC kepada pihak pemberi jasa termasuk dalam pengertian bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan, sehingga atas imbalan yang diterima atau diperoleh pihak pemberi jasa berupa pembayaran denda keterlambatan pembayaran tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto.
Demikian untuk dimaklumi.A.n. DIREKTUR JENDERAL
Pjs. DIREKTUR,
ttd
TAUFIEQ HERMAN