Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums Perpajakan Internasional mengunkan jasa dari prusahaan dijerman

  • mengunkan jasa dari prusahaan dijerman

  • Aries Tanno

    Member
    2 November 2010 at 7:37 am
    Originaly posted by kusuma84:

    untuk rekan2 yg mengatakan di kenakan PPN,.
    PPN nya di buat oleh siapa? apakah perusaan luar negeri tersebut??

    mohon pencerahaanya,…

    makasih,..

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR SE – 08/PJ.5/1995

    TENTANG

    SAAT DIMULAINYA PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD ATAU JASA KENA PAJAK
    DARI LUAR DAERAH PABEAN, PENGHITUNGAN, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN,
    DAN PELAPORANNYA (SERI PPN 7-95)

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    Sehubungan dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 597/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya, maka untuk pelaksanaannya diberikan penjelasan sebagai berikut :

    1. Pengertian Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
    1.1.

    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak hanya disebut sebagai berasal dari luar Daerah Pabean apabila orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menyerahkannya ke dalam Daerah Pabean tidak melalui atau tidak atas nama Bentuk Usaha Tetapnya yang berada di dalam Daerah Pabean. Apabila penyerahannya dilakukan melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap yang berada di dalam Daerah Pabean, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas penyerahan dalam negeri.
    1.2.

    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dapat berupa hak-hak seperti hak paten, hak oktroi, hak cipta, dan hak menggunakan merek dagang, yang dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah Pabean Indonesia.
    1.3. Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dapat berupa jasa-jasa sebagai berikut :
    1. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk barang tidak bergerak yang berada dalam Daerah Pabean dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah Pabean Indonesia. Misalnya jasa perencanaan atau penggambaran bangunan.
    2. Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk barang bergerak yang berada atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah Pabean Indonesia. Misalnya jasa persewaan rig atau pengeboran minyak dan jasa persewaan alat-alat berat.
    3. Jasa yang dilakukan secara phisik di dalam Daerah Pabean. Misalnya jasa konsultan, jasa pengacara, jasa akuntan, dan jasa surveyor.

    2. Saat terutang PPN dan saat dimulainya pemanfaatan
    2.1.

    Saat terutangnya pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, terjadi pada saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut mulai dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean Indonesia.
    2.2.

    Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut :
    1. Saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak secara nyata dimanfaatkan, meskipun belum didukung bukti-bukti formal seperti kontrak atau perjanjian tertulis. Pengertian pemanfaatan secara nyata dapat diartikan antara lain telah digunakannya Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan tujuannya. Misalnya, dalam hal pemanfaatan merek dagang, telah dibuat label dan dijahit atau ditempel pada Barang Kena Pajak yang diproduksi.
    2. Saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dinyatakan sebagai utang, yang didukung antara lain dengan adanya surat pengakuan utang atau telah dicatat dalam pembukuan sebagai utang, maupun berdasarkan bukti-bukti lain.
    3. Saat Harga Jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Penggantian Jasa Kena Pajak ditagih oleh pihak yang menyerahkan, yaitu antara lain didukung dengan bukti penagihan, baik tertulis maupun tidak tertulis, dari pihak yang menyerahkan kepada pihak yang memanfaatkan.
    4. Saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dibayar, baik sebagian atau seluruhnya, oleh pihak yang memanfaatkan.
    2.3.

    Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tidak diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian.

    3.

    Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dihitung sesuai dengan keadaannya, dengan salah satu cara diantara cara-cara penghitungan sebagai berikut :
    3.1.

    10 % x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
    Contoh :
    jumlah yang dibayarkan = Rp 110.000.000
    PPN yang terutang = 10% x Rp 110.000.000 = Rp 11.000.000
    3.2.

    10/110 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak,apabila berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis diketahui bahwa jumlah tersebut sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
    Contoh :
    Jumlah yang dibayarkan (termasuk PPN) = Rp 110.000.000
    PPN yang terutang = 10/110 x Rp 110.000.000 = Rp 10.000.000
    3.3.

    10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak, dalam hal :
    1. tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk pembayaran termaksud, atau
    2. ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
    Contoh :
    Jumlah yang dibayarkan = Rp 110.000.000
    PPN yang terutang = 10% x Rp 110.000.000 = Rp 11.000.000
    4.

    Kewajiban orang pribadi atau badan uang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean Indonesia Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 dipungut oleh orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena dari luar Daerah Pabean. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang berwenang atas wilayah tempat tinggal atau tempat kedudukan orang pribadi atau badan tersebut.
    5. Penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
    5.1.

    Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam butir 4, harus disetorkan ke Kas Negara selambat-lambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan. Tempat penyetoran dimaksud adalah Kantor Pos dan Giro, atau bank-bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran sebagai bank persepsi.
    5.2.

    Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut harus disetorkan oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Surat Setoran Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean diperlakukan sebagai Faktur Pajak sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-54/PJ/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan PPN yang tercantum didalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sesuai ketentuan yang berlaku.
    Dalam mengisi SSP untuk penyetoran PPN yang dipungut oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1. pada huruf A kolom "Nama Wajib Pajak" dan "Alamat" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean.
    2. pada huruf B untuk kolom "NPWP" diisi dengan angka 0 (nol) pada 8 (delapan) digit pertama dan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
    3. pada kotak " Wajib Pajak/Penyetor" di sudut kiri bawah diisi nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak.
    5.3.

    Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak terjadinya penyetoran. Dalam hal pembayaran PPN tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha yang terutang PPN, maka PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Paj

  • Aries Tanno

    Member
    2 November 2010 at 7:38 am

    5.2.

    Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut harus disetorkan oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama Wajib Pajak Luar Negeri yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Surat Setoran Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean diperlakukan sebagai Faktur Pajak sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-54/PJ/1994 tanggal 29 Desember 1994 dan PPN yang tercantum didalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sesuai ketentuan yang berlaku.
    Dalam mengisi SSP untuk penyetoran PPN yang dipungut oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1. pada huruf A kolom "Nama Wajib Pajak" dan "Alamat" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean.
    2. pada huruf B untuk kolom "NPWP" diisi dengan angka 0 (nol) pada 8 (delapan) digit pertama dan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
    3. pada kotak " Wajib Pajak/Penyetor" di sudut kiri bawah diisi nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak.
    5.3.

    Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak terjadinya penyetoran. Dalam hal pembayaran PPN tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha yang terutang PPN, maka PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
    5.4.

    Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak Wajib melaporkan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir 4 dan 5 selambat-lambatnya pada tanggal 20 dari bulan dilakukannya penyetoran, dengan mempergunakan lembar ke-3 Surat Setoran Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak.

    Demikian untuk disebarluaskan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK

    ttd

    FUAD BAWAZIER

  • kusuma84

    Member
    2 November 2010 at 7:43 am

    Makasih rekan hanif,….

    salam,…

  • bayem

    Member
    2 November 2010 at 9:13 am
    Originaly posted by FRoM:

    kalau dikerjakan di jerman bukannya tetap terutang pph pasal 26, namun tidak dikenakan ppn karena pengerjaannya dilakukan di luar daerah pabean…

    maaf,, koreksi dikit,,
    kalo menueur saya,, bila jasanya dikerjakan di luar negeri dalam hal ini dijerman, maka tidak terutang pph 26 dan tidak terutang PPN jasa luar negeri.

    dasar hukumnya SE-03/PJ.101/1996 nomor 4.3

    Originaly posted by FRoM:

    tapi dalam kasus ini rekan agitha menyatakan pengerjaannya dilakukan di Indonesia

    kalo speerti ini, menurut sya terutang pph 26 dan PPN jasa luar negeri

    mohon pendapatnya,,

  • FRoM

    Member
    2 November 2010 at 9:28 am
    Originaly posted by bayem:

    dasar hukumnya SE-03/PJ.101/1996 nomor 4.3

    kalau saya menafsirkannya pada prinsipnya tetap terutang, namun tidak dikenakan karena diatur berbeda dalam p3b

    cmiiw

  • adindra

    Member
    2 November 2010 at 9:59 am

    Sekedar Mau Nimbrung, Kalau Dasar Hukumnya SE rasanya kurang kuat apalagi ini berada di wilayah grey area dan dasar hukumnya sudah tuir.

    Jasa yang diberikan Jerman adalah Active Income, Jadi kalau misalkan ada COD baru dikenakan pajak kalau ada BUT di Indonesia. Kalau tidak ada berarti sesuai tarif Normal PPH 26.

    Demikian Tambahannya Untuk didiskusikan Lebih Jauh.

  • bayem

    Member
    2 November 2010 at 10:00 am
    Originaly posted by FRoM:

    kalau saya menafsirkannya pada prinsipnya tetap terutang, namun tidak dikenakan karena diatur berbeda dalam p3b

    pada intinya kan jasa yang dilakukan diluar negeri oleh perusahaan luar negeri kepada perusahan indonesia, tidak ada kewajiban untuk mengenakan pph 26.

    btw, SE tersebut diatas telah dicabut dengan munculnya PER-61/PJ/2009. apakah ada aturan yang mengatur hal ini lagi?

  • bayem

    Member
    2 November 2010 at 10:01 am
    Originaly posted by adindra:

    Jasa yang diberikan Jerman adalah Active Income, Jadi kalau misalkan ada COD baru dikenakan pajak kalau ada BUT di Indonesia. Kalau tidak ada berarti sesuai tarif Normal PPH 26.

    yang menjadi permasalahnya disini adalah jasanya tersebut diberikan di luar negeri. bukan diberikan di indonesia.

  • FRoM

    Member
    2 November 2010 at 10:18 am
    Originaly posted by bayem:

    pada intinya kan jasa yang dilakukan diluar negeri oleh perusahaan luar negeri kepada perusahan indonesia, tidak ada kewajiban untuk mengenakan pph 26.

    tapi sumber penghasilannya dari indonesia, kalau melihat ke belakang, SE ini kan merupakan pengaturan tambahan dari tax treaty, kalau melihat tax treatynya sendiri untuk jasa ini dikenakan tarif 7,5%…jadi menurut penafsiran saya secara teori tetap terutang, namun tidak dikenakan karena ada pengaturan yang berbeda

    cmiiw

  • s0raya

    Member
    2 November 2010 at 5:36 pm
    Originaly posted by s0raya:

    ini khan pasif income bukannya klo pasif income harus melihat adanya BUT

    sorry cepet2 maksudnya aktif income bukan pasif income . sejauh pelajaran yg saya tau klo aktif income memang harus meliahat ada BUT atau tidak baru negara sumber bisa memajaki ( untuk negara yg memiliki treaty dengan Indo)

    klo bukan negara yg tidak memiliki treaty dengan indo baru kena PPh pasal 26 pasif ataupun aktif income. iya khan ?

  • junjungansitohang

    Member
    2 November 2010 at 6:41 pm
    Originaly posted by aghita:

    tapi klo ada perwakilannya di indonesia,ketentuannya jg seperti apa ya.

    kalo perwakilannya merupakan BUT…
    maka pembayaran imbalan jasa tekhnik ke pihak di Jerman dianggap sbg ph.nya BUT-jerman. dg syarat ketentuan di article 12 butir 5 treaty IDND-Jerman terpenuhi

    "Royalti dan imbalan untuk jasa teknik dianggap berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan jika pembayar royalti adalah Negara itu sendiri, bagian ketatanegaraan, pemerintah daerahnya atau penduduk dalam negeri Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayarkan royalti atau jasa teknik baik ia adalah penduduk Negara itu atau bukan, mempunyai bentuk usaha tetap atau tempat tetap di Negara pihak pada Persetujuan dimana kewajiban membayar royalti itu timbul, dan royalti tersebut dibebankan kepada bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu, maka royalti tersebut dianggap timbul di Negara dimana bentuk usaha tetap itu berada."

    Salam

  • bayem

    Member
    3 November 2010 at 9:44 am
    Originaly posted by FRoM:

    api sumber penghasilannya dari indonesia, kalau melihat ke belakang, SE ini kan merupakan pengaturan tambahan dari tax treaty, kalau melihat tax treatynya sendiri untuk jasa ini dikenakan tarif 7,5%…jadi menurut penafsiran saya secara teori tetap terutang, namun tidak dikenakan karena ada pengaturan yang berbeda

    terima kasih atas diskusinya rekan from,,
    saya rasa juga SE tersebut adalah penjelasan tambahan dari tax treaty yang ada. sehingga mungkin saja, jasa yang dilakukan diluar negeri oleh perusahaan asing tersebut, tidak dikenakan pph 26. tetapi semuanya kembali ke tax treatynya juga.

    mohon pendapatnya,,

  • FRoM

    Member
    3 November 2010 at 10:12 am
    Originaly posted by bayem:

    saya rasa juga SE tersebut adalah penjelasan tambahan dari tax treaty yang ada. sehingga mungkin saja, jasa yang dilakukan diluar negeri oleh perusahaan asing tersebut, tidak dikenakan pph 26. tetapi semuanya kembali ke tax treatynya juga.

    saya juga sependapat kalau semuanya dikembalikan ke tax treaty…namun dalam hal transaksi dilakukan dengan negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia, maka atas transaksi seperti yang diilustrasikan sebelumnya tetap terutang pph pasal 26

    cmiiw

  • aghita

    Member
    19 November 2010 at 10:27 am

    pada pengisian Espt u/ bukti potong. NPWP badan pihak asing..
    diisi dg
    NPWP : 00.000.000.0-000.000
    nama : nama prusahaan
    alamat : misl : Jerman

    bener ya?

    dan pada saat dilaporkn dok apa yg disertakan dlm hal jika kita melaporkan ada jasa pihak asing yg kita gunakan ?

    salam

Viewing 31 - 44 of 44 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now