Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums Perpajakan Internasional Cara Membaca PPh 26 dengan Tax Treaty

  • Cara Membaca PPh 26 dengan Tax Treaty

  • Putu Dharma

    Member
    16 August 2022 at 10:05 am

    Halo rekan-rekan semua,

    Izin bertanya. Untuk transaksi jasa luar negeri, by defaultnya perusahaan terutang PPh 26 dan PPN JLN. Saya ingin menanyakan perihal PPh 26 nya. Untuk transaksi dengan badan, sepemahaman saya dapat dikenakan PPh 26 0% (untuk beberapa negara) selama memiliki Certificate of Residence dan mengisi DGT, yang kemudian diproses oleh kami untuk memperoleh SKD.

    Dalam kasus ini, katakanlah kami bertransaksi dengan perusahaan australia pada maret 2022, berdomisili di australia, dan seluruh jasa dilakukan dan dideliver di australia. Jasa yang digunakan adalah jasa konsultasi manajemen. Seluruh invoice atas nama pt dan pembayaran ke pt.

    Dalam hal ini, apakah pemahaman saya berikut sudah benar:

    1. Karena seluruh jasa dilakukan di Australia dan oleh perusahaan australia, maka saya bisa tidak memotong pph 26 dan hanya harus membayar ppn jln selama saya bisa mendapat COD resmi untuk periode 2022 (1 jan – 12 des) dan mengisi DGT dengan menulis periode yang sama.

    2. Atas biaya konsultasi yang kami catatkan di accounting, tidak perlu dikoreksi fiskal diakhir tahun karena merupakan biaya operasional (walaupun tidak dipotong pph 26 dan tidak menimbulkan pajak badan karena menjadi biaya yang mengurangi profit).

    3. Namun saya masih bingung, Pada bagian mana di p3b Indo-australia yang menyebutkan bahwa transaksi jasa (dalam hal ini jasa konsultasi oleh badan) memiliki pph 26 0% atau akan dipajaki di australia? Karena tarif yang tertera hanya untuk penghasilan umum: royalti, dividen, bunga, dll. Adapun mengenai service adalah untuk dependant dan independant. Untuk ini bukankah merujuk ke service oleh OP ya rekan? Dependant adalah untuk OP LN yang menjadi karyawan di PT indo dan Independen adalah untuk OP LN yang menjadi freelance bagi WP indo

    Mohon bantuannya,

    Terima kasih

  • Johnson

    Member
    16 August 2022 at 2:17 pm

    pada dasarnya penerapan aturan P3B didahulukan daripada penerapan PPh26 secara umum karena asas Lex spesialis derogate legi generali (aturan khusus diutamakan daripada aturan umum). Oleh karena itu pertama tama harus dipahami bahwa yang diatur P3B adalah bagi Subjek Pajak yang dianggap punya BUT di negara terjadi transaksi (dalam hal Anda kita fokus pada Indonesia).

    Jadi pertama-tama tentukan perusaahan Australia tadi apakah dianggap punya BUT di Indonesia, sesuai kriteria pasal 5 P3B. ini berkaitan pertanayan no 3 anda, soal dependen atau independen. Jika meskipun perusahaan Australia tidak punya pengawai, kantor, gudang, perwakilan di Indonesia, tetapi dia punya afiliasi di Indonesia yang dimana usaha atau manajemennya dikendalikan oleh perusahaan Australia, maka dia dianggap adalah BUT dari perusahaan Australia meski pun secara formalitas dia tidak terdaftar sbg perwakilan perusahaan Australia.

    Ketika teridentifikasi punya BUT di Indonesia, maka meskipun kontrak lgs atas nama perusahaan Australia, rekan sbg pembeli harus memotong pph26 sesuai tarif yang diatur di P3B atau jika tidak ada diatur maka ikut tarif 20%, dan pakai NPWP afiliasi yg teridentifikasi sbg BUT tadi.

    Itu diatas secara substansi. tentu pertanyaannya bagaimana anda bisa tahu perusahaan Autsralia punya afiliasi atau BUT di Indonesia? tentu saja anda hampir tidak bisa tahu. makanya muncul aspek formalitas yaitu DGT dan CoD. Bila perusahaan Australia mengisi form DGT dan mengakui tidak ada afiliasi/BUt di Indonesia, maka “dianggap” tidak punya BUT, sampai suatu ketika diketahui berlainan. Selama “dianggap” tidak punya BUT. maka hak pemajakan atas penghasilan yangd iterima perusahaan Australia berada di negara Australia (sesuai P3B pasal 7 ttg Laba Usaha). sehingga Anda tidak potong PPh26 . TETAPI INGAT, tetap anda buat Bukti Potong Non-Residen di SPT Unifikasii dgn cantumkan nomor SKD dan DPP nya namun dgn tarif 0%.

    Soal pasal berapa yang dipakai di P3B atas Jasa Konsultasi maka dilihat anda beli dari perusahaan atau orang pribadi, jika perusahaan mostly jatuh di pasal 7 Laba Usaha, kalau org pribadi baru liat pasal pasla selanjutnya mana yang cocok.

    Sampai disini semoga cukup jelas ttg PPh26.

    Soal PPN. menurut saya anda keliru. Anda sebut Jasa dimanfaatkan di Australia, diserahkan juga di Australia. Dalam hal ini tidak terpenuhi syarat UU PPN pasal 4 ayat 1. sehingga tidak terutang PPN sama sekali. Berbeda jika Anda menghire perusahaan Australia untuk memberikan konsultasi di Indonesia atau memberikan konsultasi utk digunakan nasihatnya di Indonesia, baru lah itu disebut “Pemanfaatan JKP dri Luar Pabean ke Dalam Pabean”. ini yang terutang PPN 10% dipungut rekan sendiri nanti.

    Saya kira cukup menjawab utk soal PPN.

    Soal Koreksi biaya. harus tetap mengacu pada UU PPH pasal 9 ttg Deductible Expense. selama biaya tsb tidak disebut sbg Non-deductible expensei di UU maka tidak dikoreksi fiskal. Intinya begitu saja, terlepas biaya tsb di potong pph atau tidak sebenarnya tidak mempengaruhi. karena konsepnya adalah mengkoreksi suatu biaya tidak mengugurkan faktor objek pajak yang terutang.

  • Putu Dharma

    Member
    16 August 2022 at 3:49 pm

    Dear Rekan Johnson,

    Terimakasih banyak atas pandangannya. Izin melanjutkan diskusi:

    1. Berdasarkan penjelasan rekan, saya pahami bahwa pertama-tama yang harus dilihat apakah vendor kami memiliki “Permanent establishment” di Indonesia atau tidak. Hal ini dilihat melalui pasal 5. Sehingga bila memiliki BUT di indonesia, wajib di potong PPh 26.

    2. Bila atas pengujian “Permanent Establishment” di step 1 ditemukan kalau vendor tidak memiliki BUT (tidak memenuhi “Permanent establishment”), maka vendor akan dipajaki di negara asalnya. Namun hal ini harus didukung dengan pernyataan resmi yang dibuktikan dengan pengisian DGT dengan cap atau DGT tanpa cap dengan CoR. Karena dipajaki di negara asalnya, vendor tidak dipotong PPh 26, namun perusahaan kami tetap mengeluarkan bupot 26 dengan rate 0% dan mencantumkan nomor e-skd.

    Pertanyaan: Bila vendor tidak memiliki PE di Indonesia namun tidak mau mengisi DGT dan tidak memiliki COR, apakah akan tetap dikenakan PPh 26 20% (anggap ini transaksi jasa manajemen, bukan royalti, bunga, atau dividend).

    3. Bila atas pengujian “Permanent Establishment” di step 1 ditemukan kalau vendor memenuhi kriteria permanent establishment, maka vendor akan dikenakan PPh 26.

    Pertanyaan: Saya lihat tarif yang diatur di P3B hanya seputar dividen, royalti, bunga, dll. Tidak ada aturan khusus mengenai tarif atas jasa. Dalam hal ini apakah dapat diartikan bahwa pengenaan PPh 26 nya adalah 20%? Sehingga opsi yang ada hanya 20% atau 0% (memenuhi PE atau tidak memenuhi PE dan memiliki DGT). Karena di pasal 7 pun hanya mengatur laba usaha, bukan pendapatan jasa.


    Diskusi lanjutan:

    Apabila vendor menerima pembayaran Royalty (bukan jasa) dari perusahaan saya, apakah agar perusahaan bisa memotong PPh 26 sebesar 10%/15%, vendor tetap harus menyediakan DGT dan CoR? Bila tidak menyediakan CoR akan dipotong tarif umum 20%?

    atau

    Bila vendor tidak menyediakan CoR dan DGT pun akan tetap dipotong PPh 26 10%/15% atas pembayaran royalti? dan dengan menyediakan CoR dan DGT dapat dibebaskan dari PPh 26 (karena dianggap tidak memenuhi “Permanent Establishment”)

    Atas penjelasan PPN JLN dan koreksi fiskal sudah cukup jelas. Terima kasih banyak atas pendapatnya.

  • Joan DW

    Member
    17 October 2022 at 4:48 pm

    Mohon dibantu. PT A di Indonesia memakai jasa SG Pte Ltd (Perusahaan di Singapore, ada DGT Form and Certificate of Domicile). PT A bayar lewat PT X (X ini ada pemegang saham dari SG Pte Ltd juga). PT X dibayar 3% admin fee oleh SG Pte Ltd untuk transfer duit ke SG and juga bayar2 vendor lain di Indonesia. SG Pte Ltd dalam hal ini tidak ada BUT (Badan Usaha Tetap) tetapi karena memakai jasa PT X, lantas bagaimana?

    Yang saya mau tanya ini implikasi terhadap SG Pte Ltd. Waktu bayar admin fee ke PT X apakah kena withholding tax pph 26? Bagaimana dengan Tax Treaty 15%? Project ini Rp 2 Milyar. Subcon di indonesia harus dibayar USD 300,000. Waktu remit duit ke Singapore kena peraturan apalagi?

    Terima kasih

  • LeoFisika

    Member
    1 November 2022 at 8:28 am

    Izin Menanggapi

    1. pertama tama cek apakah ada perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara mitra transaksi ( tax treaty) jika ada maka yang harus diutamakan adalah perjanjian dan peraturan tersebut (perjanjian international/Peraturan international)

    2. bahwa dalam perpajakan dikenal dengan azas pemajakan suatu penghasilan akan dikenakan di tempat wajib pajak terdaftar (resident state) atau tempat sumber penghasilan (source state)

    3. biasa nya tax treaty maupun UN model atau OECD model mengatur mengenai hak pemajakan lihat biasanya dalam pasal 7 suatu penghasilan akan dikenakan ditempat wajib pajak terdaftar kecuali melalui badan usaha tetap

    (disini sangat jelas bahwa negara sumber penghasilan tidak memiliki hak untuk melakukan pemajakan kecuali melalui badan usaha tetap)

    4. untuk membuktikan bahwa lawan transaksi tidak memiliki badan usaha tetap (PE) dibuktikan dengan COD/COR yang menunjukan bahwa perusahaan tersebut terdaftar di negara mitra transaksi dan tidak memiliki badan usaha tetap di indonesia (syarat administratif)

    5. untuk tarif pajak 0% sangat jelas dalam pasal 7 tesebut dan jika memenuhi syarat administratif (COD/COR) maka tidak ada pemajakan di tempat negara sumber penghasilan

    6. bagaimana jika tidak mengisi COD/COR maka otoritas pajak negara sumber penghasilan akan melakukan mengenakan perpajakan berdasarkan domestic regulation jika di indonesia berarti ya UU PPh dengan tarif sesuai aturan tersebut yaitu pph pasal 26 dengan tarif 20% karena unsur tax treaty nya tidak terpenuhi,

    Semoga membantu

Viewing 1 - 5 of 5 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now