Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

Data PPS Tidak Bisa Jadi Dasar Penyidikan? Cek Faktanya

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah resmi berjalan. Pemerintah semakin gencar melakukan sosialisasi mengenai program tersebut. Otoritas pajak menyebutkan bahwa program ini menjadi kesempatan terakhir bagi Wajib Pajak untuk secara sukarela mengungkapkan harta yang belum dilaporkan pada Surat Pemberitahuan, sebelum nantinya memasuki era keterbukaan informasi melalui core tax system. Dengan mengikuti PPS, Wajib Pajak peserta PPS Kebijakan I tidak akan dikenakan sanksi sesuai UU Pengampunan Pajak. Bagi Peserta Kebijakan II, kepada Wajib Pajak tidak akan diterbitkan ketetapan pajak untuk tahun 2016 sampai dengan 2020. Selain itu, manfaat lain yang dapat diterima bagi peserta PPS adalah perlindungan data. Data pada Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) hanya digunakan untuk keperluan PPS.

Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196 Tahun 2021. Pasal tersebut berbunyi:

“Data dan informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain, tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam upaya penanganan pidana perpajakan. Direktorat Jenderal pajak tidak dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak berdasarkan data pada SPPH.”

Meskipun begitu, jika otoritas berwenang lain memiliki data yang diungkap pada SPPH, otoritas tersebut masih bisa menggunakan data yang disampaikan melalui SPPH untuk menjalankan kewenangannya. Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 22 ayat (2) PMK-196/2021. Misalnya, penyidik POLRI tetap dapat melakukan penanganan tindak pidana, termasuk tindak pidana transnational ogranized crimes meliputi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang, terorisme, perdagangan manusia, dan/atau pencucian uang meskipun data yang dimiliki oleh POLRI telah diungkap oleh Wajib Pajak melalui SPPH.