BPHTB: Objek dan Cara Menghitungnya

Colours Houses Caf%c%a Architecture  - pbat34 / Pixabay
pbat34 / Pixabay

Salah satu jenis pajak yang perlu diperhatikan dalam transaksi jual beli tanah adalah Bea Perolehan atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). BPHTB termasuk jenis pajak daerah yang ketentuannya diatur khusus di UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Terdapat beberapa perubahan pasca diterbitkannya UU HKPD. Berikut ulasan mengenai objek, non objek, hingga cara menghitung BPHTB sesuai ketentuan terbaru.

Objek BPHTB

Mengacu Pasal 44 ayat (2) UU HKPD, objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:

a. pemindahan hak karena:

  1. jual beli
  2. tukar-menukar
  3. hibah
  4. hibah wasiat
  5. waris
  6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
  7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
  8. penunjukan pembeli dalam lelang
  9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
  10. penggabungan usaha
  11. peleburan usaha
  12. pemekaran usaha
  13. hadiah.

b. pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak ataupun di luar pelepasan hak.

Perlu diketahui bahwa terdapat 6 jenis hak atas tanah yang perolehannya menjadi objek BPHTB. Hak tersebut adalah:

  1. Hak Milik
  2. Hak Guna Usaha
  3. Hak Guna Bangunan
  4. Hak Pakai
  5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
  6. Hak Pengelolaan

Objek yang Tidak Dikenakan BPHTB

Terdapat beberapa objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB. Objek tersebut adalah tanah dan atau bangunan yang diperoleh:

  1. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
  2. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
  3. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
  4. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
  5. orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
  6. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Pada UU HKPD, terdapat penambahan objek yang dikecualikan, yaitu perolehan tanah/bangunan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Cara Menghitung BPHTB

BPHTB dihitung dengan cara sebagai berikut:

BPHTB Terutang = 5% x (Nilai Perolehan Objek Pajak/Nilai Jual Objek Pajak dikurangi NPOPTKP)

Dalam menghitung BPHTB, dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Dalam konteks jual beli, NPOP adalah nilai transaksi. Perlu diperhatikan, jika nilai transaksi lebih kecil daripada Nilai jual Objek Pajak (NJOP), maka yang digunakan adalah NJOP. NJOP dapat dilihat di SPPT PBB dari tanah atau bangunan yang dijual.

Nilai NPOP tersebut akan dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Sesuai dengan UU HKPD, NPOPTKP diberikan paling sedikit Rp80 juta. NPOPTKP diatur pada peraturan daerah masing-masing. Khusus untuk BPHTB atas hibah wasiat atau warisan, NPOPTKP yang berlaku adalah minimum Rp300 juta.

Contoh Penghitungan BPHTB

Rangga menjual tanah kepada Cinta dengan harga Rp10 Juta/m2 seluas 150m2. Diketahui NJOP tanah di daerah Rangga adalah Rp9,5 Juta/m2. NPOPTKP yang berlaku adalah Rp80 Juta.

Pada transaksi di atas, nilai perolehan lebih besar dibandingkan dengan NJOP. Dengan demikian, dasar penghitungan BPHTB yang digunakan adalah nilai perolehan.

Dasar Penghitungan = Rp10 juta x 150 = Rp1.500.000.000

BPHTB Terutang = 5% x (Rp1.500.000.000 – Rp80.000.000) = Rp71.000.000

FAQ

Siapa yang harus membayar BPHTB?

Subjek BPHTB adalah orang pribadi/badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Dalam konteks jual beli, yang menanggung BPHTB adalah pembeli.

Kapan BPHTB harus dibayar?

Dalam konteks jual beli, BPHTB terutang pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli (PPJB).

Categories: Tax Learning

Artikel Terkait