Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › Pajak Bumi dan Bangunan › Penarikan setoran BPHTB yang sudah terlanjur bayar bisa tak?
Penarikan setoran BPHTB yang sudah terlanjur bayar bisa tak?
Mohon bntuannya rekan – rekan
Bisa tidak ya setoran BPHTB yang sudah terlanjur disetor namun transaksi Jual beli tanah batal, namun setoran BPHTB tersebut dapat tidak untuk diambil kembali ???mohon pencerahannya..
harusnya bisa
Salam
trims pak hanif
cuma kalau peraturan pajaknya ada tidak pak? dan proses permohonannya ditujukan ke mana pak? ke KPP wilayah tanah atau kmana pak?mohon pencerahannya pak???
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 190/PMK.03/2007TENTANG
TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANGMENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan pajak yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.
Pasal 2
(1) Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang, pembayaran tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan surat permohonan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi termasuk orang pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.Pasal 3
(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yakni :
pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;atau
pajak yang dipotong atau dipungut seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut,dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajb Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.
(2) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan.
(3) Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.Pasal 4
Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau ayat (3) dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan, dalam hal :
pihak yang dipotong, atau dipungut orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri; atau
terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut.kecuali Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha.
Pasal 5
(1) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau berdomisili.
(2) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut terdaftar.
(3) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dikukuhkan.
(4) Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemotongan atau Pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan.Pasal 6
(1) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dilampiri, antara lain :
asli bukti pembayaran pajak;
perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.(2) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut atau Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri, antara lain :
asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.(3) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri, antara lain :
asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
surat permohonan dan surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan;dan
alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.Pasal 7
(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak surat permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
(2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(3) Apabila berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyatakan bahwa tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis.Pasal 8
Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak setelah terlebih dahulu memperhitungkan dengan utang pajak.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 10
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2007
MENTERI KEUANGAN,ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
__________________________________________________ _________________________________________
27 Oktober 2000SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 471/PJ.331/2000TENTANG
PENJELASAN PENGEMBALIAN BPHTB BERKAITAN DENGAN
PEMBATALAN AKTA JUAL BELI TANAH DAN ATAU BANGUNANDIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menyusul surat kami Nomor : S- 461/PJ.331/2000 tanggal 12 Oktober 2000 perihal tersebut pada pokok surat,
dan untuk lebih jelasnya pemahaman tentang BPHTB dengan ini disampaikan tambahan penegasan sebagai
berikut :Dalam hal akte jual beli telah ditandatangani oleh PPAT namun karena suatu hal, kedua belah pihak penjual
dan pembeli sepakat untuk membatalkan jual beli tersebut, maka atas BPHTB yang telah dibayar tersebut
tidak dapat diminta kembali (tidak dapat direstitusi), karena dalam kasus jual beli sesuai dengan ketentuan
Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, saat
terutang BPHTB adalah sajak saat dibuat dan ditandatanganinya akta jual beli oleh PPAT yang wajib dilunasi
oleh pihak pembeli sebagai Wajib Pajak.Demikian untuk dimaklumi.
A.n. Direktur Jenderal
Direktur,ttd
IGN Mayun Winagun
NIP 060041978Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
3. Direktur Pajak Penghasilan;
4. Direktur Pajak Bumi dan Bangunan.- Originaly posted by begawan5060:
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
__________________________________________________ _________________________________________
27 Oktober 2000SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 471/PJ.331/2000TENTANG
PENJELASAN PENGEMBALIAN BPHTB BERKAITAN DENGAN
PEMBATALAN AKTA JUAL BELI TANAH DAN ATAU BANGUNANDIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menyusul surat kami Nomor : S- 461/PJ.331/2000 tanggal 12 Oktober 2000 perihal tersebut pada pokok surat,
dan untuk lebih jelasnya pemahaman tentang BPHTB dengan ini disampaikan tambahan penegasan sebagai
berikut :Dalam hal akte jual beli telah ditandatangani oleh PPAT namun karena suatu hal, kedua belah pihak penjual
dan pembeli sepakat untuk membatalkan jual beli tersebut, maka atas BPHTB yang telah dibayar tersebut
tidak dapat diminta kembali (tidak dapat direstitusi), karena dalam kasus jual beli sesuai dengan ketentuan
Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, saat
terutang BPHTB adalah sajak saat dibuat dan ditandatanganinya akta jual beli oleh PPAT yang wajib dilunasi
oleh pihak pembeli sebagai Wajib Pajak.Demikian untuk dimaklumi.
A.n. Direktur Jenderal
Direktur,ttd
IGN Mayun Winagun
NIP 060041978Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
3. Direktur Pajak Penghasilan;
4. Direktur Pajak Bumi dan Bangunan.uups…
berarti enggak boleh diminta lagi ya…
enggak fair dong…
weleh…weleh…weleh…Btw, trims infonya rekan begawan…
Salam
- Originaly posted by hanif:
uups…
berarti enggak boleh diminta lagi ya…
enggak fair dong…
weleh…weleh…weleh…Benar…., bukan sekedar nggak fair, tetapi ngawur… padahal PPh final dapat dikembalikan..
Nggak tahu kalo sekarang, dengan dilimpahkannya ke pajak daerah.. - Originaly posted by begawan5060:
Benar…., bukan sekedar nggak fair, tetapi ngawur… padahal PPh final dapat dikembalikan..
Nggak tahu kalo sekarang, dengan dilimpahkannya ke pajak daerah..untuk kasus rekan BPO, ada baiknya dicoba saja untuk minta dikembalikan, bukan begitu rekan begawan…???
Sebab, rujukan tersebut hanya berupa surat dirjen pajak yang tidak bisa digunakan sebagai acuan.Salam
- Originaly posted by hanif:
ada baiknya dicoba saja untuk minta dikembalikan, bukan begitu rekan begawan…???
Benar…
Kalo perlu ngotot…
Karena aturan main pembayaran BPHTB harus dibayar sebelum akta ditanda tangani..
Kalo akta belum ditandatangani, berarti tidak ada akta, kalo tidak akta, berarti belum terjadi pengalihan hak, kalo bemum ada pengalihan hak…., tidak ada BPHTB.. pengalaman di daerah saya, karena sudah dilimpahkan ke pemda, sedangkan peraturan di pemda sendiri belum lengkap, akhirnya ngga bisa… :'(
dan pemda tidak mau melihat aturan yg berlaku di KPP dulu…katanya itu masa lalu…
langsung mules… 🙁mestinya di pemda ada toiletnya
- Originaly posted by hendrioye:
mestinya di pemda ada toiletnya
He..he…he… cuman mules, doang kok… nggak pengin pup..
Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pasal 21 ayat 1 "Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak."dan dalam bagian penjelasan, "Wajib Pajak dapat mengajukan usul permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, antara lain, dalam hal : pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang; pajak yang terutang yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.
Dari ketentuan diatas, saya menyimpulkan bahwa apabila akta belum ditandatangani dan jual-beli batal maka dapat mengajukan pengembalian, namun jika telah ditangani tidak dapat diambil kembali sesuai dengan SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S – 471/PJ.331/2000
Jika saya salah mohon dikoreksi, terimakasih 🙂
- Originaly posted by imamstrnad:
Jika saya salah mohon dikoreksi, terimakasih 🙂
pakai aturan ini
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30/PMK.03/2005TENTANG
TATA CARA PEMBAYARAN KEMBALI KELEBIHAN PEMBAYARAN
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNANMENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2000, dipandang perlu untuk mengatur tata cara pembayaran kembali kelebihan
pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
b. bahwa dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, tata cara pembayaran kembali
kelebihan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 633/KMK.04/1997 perlu diperbaharui;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3988);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
6. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4214), sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden
Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418);
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276/KMK.04/1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat
Jenderal Pajak;
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan
Pajak Pratama di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I;
9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.01/2004;
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 606/PMK.06/2004 tentang Pedoman Pembayaran Dalam
Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun 2005;MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN KEMBALI KELEBIHAN PEMBAYARAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.Pasal 1
(1) Kelebihan pembayaran BPHTB terjadi apabila :
a. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibayar ternyata lebih besar dari yang
seharusnya terutang;
b. Dilakukan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak seharusnya
terutang.
(2) Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga,
denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat keputusan lain
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.Pasal 2
(1) Untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
yang jelas kepada Direktur Jenderal Pajak u.p. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
(Kepala KP PBB)/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama (Kepala KPP Pratama) yang wilayah
kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan.
(2) Tanda penerimaan surat permohonan yang diberikan oleh Pejabat KP PBB/KPP Pratama yang ditunjuk
untuk itu atau tanda pengiriman surat permohonan melalui pos tercatat, menjadi tanda bukti
penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).Pasal 3
(1) Kelebihan pembayaran BPHTB diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak, baik dipusat
maupun cabang-cabangnya.
(2) Atas dasar persetujuan Wajib Pajak yang berhak atas kelebihan Pembayaran BPHTB, kelebihan
tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau dengan utang pajak atas nama
Wajib Pajak lain.
(3) Perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pemindahbukuan.Pasal 4
(1) Kelebihan pembayaran BPHTB yang masih tersisa dikembalikan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan
sejak :
a. diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar
(SKBLB) hasil pemeriksaan Kepala KP PBB/KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak;
atau
b. diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB sehubungan dengan
surat keputusan lain yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran BPHTB.
(2) Kelebihan pembayaran BPHTB yang masih tersisa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikembalikan oleh Kepala KP PBB/KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak dengan
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (SKPKPB), berdasarkan SKBLB atau surat keputusan lain yang menyebabkan timbulnya
kelebihan pembayaran BPHTB.
(3) Pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah
Membayar Kelebihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SPMK BPHTB) sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.
(4) SPMK BPHTB dibebankan pada mata anggaran pengembalian pendapatan pajak tahun anggaran
berjalan, yaitu pada mata anggaran yang sama atau sejenis dengan mata anggaran penerimaan
semula.
(5) Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, SKPKPB beserta SPMK BPHTB wajib
disampaikan secara langsung oleh petugas yang ditunjuk oleh KP PBB/KPP Pratama atau melalui pos
tercatat ke KPPN paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum jangka waktu 2 (dua) bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terlampaui.Pasal 5
(1) SPMK BPHTB dibuat dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) mitra
kerja KP PBB/KPP Pratama yang menerbitkan SPMK BPHTB.
b. Lembar ke-3 untuk Wajib Pajak yang bersangkutan.
c. Lembar ke-4 untuk KPP PBB/KPP Pratama yang menerbitkan SPMK BPHTB.
(2) KPPN atas nama Menteri Keuangan wajib menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak SPMK BPHTB diterima.
(3) KPPN mengembalikan lembar ke-2 SPMK BPHTB yang telah dibubuhi cap tanggal dan nomor
penerbitan SP2D disertai lembar ke-2 SP2D kepada penerbit SPMK BPHTB.Pasal 6
Kepala KP PBB/KPP Pratama menyampaikan specimen tanda tangan pejabat yang diberi wewenang untuk
menandatangani SKPKPB dan SPMK BPHTB kepada KPPN.Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur oleh
Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Perbendaharaan, baik secara bersama-sama maupun secara
sendiri-sendiri sesuai dengan bidangnya masing-masing.Pasal 8
(1) Terhadap SPMK BPHTB yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan
lembar ke-1 dan ke-2 telah disampaikan ke Bank Operasional I (BO I) namun belum ditunaikan, agar
ditarik dari BO I oleh KPPN untuk selanjutnya diterbitkan SP2D.
(2) Terhadap SPMK BPHTB yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini,
namun lembar ke-1 dan ke-2 belum disampaikan ke BO I, agar segera disampaikan oleh KPP PBB/
KPP Pratama ke KPPN untuk diterbitkan SP2D.
(3) Formulir SPMK BPHTB dengan format lama dapat dipergunakan sampai dengan tanggal 30 Juni 2005,
namun peruntukannya disesuaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan ini.Pasal 9
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku :
1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 633/KMK.04/1997 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 633/KMK.04/1997, sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan ini tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.Pasal 10
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2005
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIAttd,-
JUSUF ANWAR