Putusan Mahkamah Agung Nomor : 248/B/PK/PJK/2016

Kategori : Bea Cukai

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang tel


 

PUTUSAN
Nomor 248/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

PT ABC, beralamat di Jalan DEF II Nomor XX, Jakarta Pusat, dalam hal ini diwakili oleh GHI, selaku Komite Manajemen;

Selanjutnya memberi kuasa kepada: JKL, Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak, beralamat di Jalan MNO II, Nomor X, Gandul–Cinere, Kota Depok, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 040/KSOSK/FIN/I/2015, tanggal 5 Januari 2015;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

melawan:


DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:

  1. PQR, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. STU, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Banding;
  3. VWX, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. YZA, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

Kesemuanya pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, berkantor di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1468/PJ./2015, tanggal 15 April 2015;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut:

1. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah belum terpenuhi;
a. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
bahwa unsur objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang belum terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ada 2, yaitu:
1) Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; dan
2) Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah;
b. Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 39/KMK.03/2003, tanggal 28 Februari 2002 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 570/KMK.04/2000, yaitu: Apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya, dengan luas
bangunan 150 m2 atau lebih atau dengan harga jual bangunannya Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) atau lebih per m2 tidak termasuk nilai tanah;
bahwa pada tahun 2007, apartemen dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih atau dengan harga jual bangunannya Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) atau lebih per m2 tidak termasuk nilai tanah sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas eksistensinya belum ada atau belum jadi seutuhnya, karena apartemen tersebut baru dalam tahapan mulai atau sedang dibangun sehingga unsur Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah belum terpenuhi. Hal itu berarti pada saat itu belum ada objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
bahwa sebagai ilustrasi, mobil dalam keadaan masih terurai (CKD) dan dalam bentuk chasis, belum dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Sebaliknya setelah menjadi mobil utuh, maka baru menjadi objek pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
c. Pasal 1 huruf 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah:
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut;
bahwa barang baru sebagai hasil akhir dari proses menghasilkan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 huruf 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada tahun 2004 belum ada eksistensinya karena apartemen sebagai barang baru hasil dari proses menghasilkan tersebut belum terwujud (belum dihasilkan) sehingga unsur Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 huruf Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah belum terpenuhi. Hal itu berarti pada saat itu belum ada objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
2. Saat terutangnya pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, hanya berlaku untuk Pajak Pertambahan Nilai saja dan tidak dapat diterapkan untuk menentukan saat terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
a. Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menyebutkan:
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran;
b. Berdasarkan Pasal 11 ayat 2 tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak, maka saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran;
bahwa pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud oleh Pasal 11 ayat 2 tersebut tidak mencakup penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang merupakan objek pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menurut Pasal 5 ayat 1, tetapi hanya berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak sebagai objek pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Hal tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pasal 11 ayat 2 sebagai berikut:
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran;
bahwa dalam Penjelasan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pasal 11 ayat 2 tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan terutangnya pajak pada saat pembayaran adalah untuk pembayaran yang terkait dengan
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a (Objek PPN) dan bukan penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 (objek PPnBM);
c. Berdasarkan uraian tersebut di atas Pemohon Banding berpendapat bahwa atas pembayaran yang diterima sebelum dilakukan penyerahan tidak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah tetapi hanyaterutang Pajak Pertambahan Nilai;
3. Saat terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dan bukan pada saat pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang dijabarkan lebih lanjut, (terakhir) dengan Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 2002 Pasal 13 ayat 2;
a. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor;
bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa saat terutangnya. Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah;
b. Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002:
Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli;
bahwa oleh karena apartemen adalah barang-berwujud-tidak-bergerak, maka saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau hak untuk menguasai barang-berwujud-tidak bergerak.
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 atas Pasal 13 ayat 2 menyebutkan bahwa dalam penentuan atau penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada;
c. Pada tahun 2007, apartemen sebagai barang-berwujud-tidak-bergerak secara fisik belum ada seutuhnya sehingga atas pembayaran yang diterima pada saat itu tidak terutang Pajak Penjualan atas BarangMewah;
4. Harga bangunan dan nilai tanah tidak dihitung secara cermat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan;
a. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 39/KMK.03/2003 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 570/KMK.04/2000, jenis barang kena pajak yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah: Apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya, dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih atau dengan harga Jual bangunannya Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) atau lebih per m2 tidak termasuknilai tanah;
b. Pemohon Banding menjual apartemen dengan komponen harga jual berupa harga jual tanah sebesar 30% dan harga jual bangunan sebesar 70%. Komponen harga jual 30:70 ini merupakan implementasi dari perjanjian kerja sama operasi antara PT. ABC - ZZZ yang masing-masing memberikan kontribusi berupatanah dan bangunan dengan rincian:
1) Kontribusi PT. ABC berupa tanah dinilai sebesar 30%;
2) Kontribusi PT. ZZZ berupa bangunan dinilai sebesar 70%;
bahwa komposisi 30:70 ini juga dapat dihitung dari perbandingan antara luas tanah awal (cfm. HGB) terhadap jumlah luas unit yang akan dijual;
c. Berdasarkan pola tersebut rnaka harga jual bangunan seharusnya dapat dihitung untuk menentukan apakah unit yang terjual telah memenuhi syarat untuk dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewahatau tidak;
d. Penetapan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tanpa memperhitungkan harga jual bangunan yang memenuhi syarat untuk dapat dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menunjukkan bahwa Terbanding tidak cermat dalam melakukan perhitungan danpenetapan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Kesimpulan
bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka menurut Pemohon Banding Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang adalah Nihil;

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menyatakan menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1500/WPJ.06/2011 tanggal 5 Desember 2011, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah Masa Pajak Desember 2007 Nomor: 00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010, atas nama PT. ABC-ZZZ KSO, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, alamat: Jl. DEF II No.XX, Jakarta Pusat;

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 27 Oktober 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 040/KSO-SK/FIN/I/2015, tanggal 5 Januari 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 9 Januari 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 9 Januari 2015;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 24 Maret 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 24 April 2015;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

Pernyataan Termohon Peninjauan Kembali Berikut pernyataan-pernyataan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang juga disalin kembali oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagai berikut (vide hal. 51-52 Putusan Pengadilan Pajak):

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000menyebutkan:
a. Pasal 5 :
(1) Disamping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak Yang tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam DaerahPabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya ;
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada wak-tu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.
b. Pasal 11:
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak ;
Penjelasan Pasal 11 ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui “electronic commerce” tunduk pada ayat ini.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, mengatur antara lain :
Pasal 13 ayat 2
Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak pembeli.

Bahwa berdasarkan hal tersebut Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) berpendapat sebagai berikut :
- Bahwa Pasal 5 UU PPN termasuk dalam BAB III mengatur tentang Objek Pajak PPN dan PPn BM. Sebagaimana diketahui objek pajak merupakan segala sesuatu yang menurut Undang-undang dijadikan dasar atau sasaran pemungutan pajak. Obyek atau sasaran pajak (PPN dan PPn BM) di dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 sudah ada yaitu yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Yang Tergolong mewah dalam ayat ini adalah:
1. bahwa Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta meng-ganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol, bahwa dengan demikian menurut Terbanding, Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang jenis barang yang termasuk barang kena pajak yang tergolongmewah bukan mengenai unsur (proses) jadinya barang mewah.
- Bahwa UU PPN dan PPn BM telah disusun secara sistematis yang membagi unsur atau bagian yang sama dalam satu bab dan akan saling berkaitan erat antar bab-nya. Di dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 4, Pasal 4A, Pasal 5 dan Pasal 5A mengatur tentang Objek PPN dan PPn BM, sedangkan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15A dikelompokkan dalam satu bab yaitu BAB V yang mengatur Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak. Artinya bahwa pengaturan tentang saat terutang diatur dalam Pasal 11 (BAB V Saat Terutang) bukan dalam Pasal 5 ayat (2) UU PPN dan PPn BM (BAB IIIObjek Pajak) sebagaimana pernyataan Pemohon Banding.
- Bahwa frase “PPnBM dikenakan hanya satu kali” pada Pasal 5 UU PPN bukan berarti PPnBBM hanya dikenakan pada saat penyerahannya saja tetapi diartikan bahwa PPnBM tidak dikenakan secara bertingkat seperti halnya pengenaan PPN, tetapi hanya dikenakan di tingkat pabrikan atausaat impor.
- Bahwa Pemohon Banding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) menyatakan bahwa PPnBM terutang apabila unit apartemen sudah selesai dibangun dan telah ada penyerahan hak kepada pembeli, unit-unit apartemen sebagai barang berwujud tidak sesuai Pasal 13 ayat (2) dan penjelasannya PP Nomor 24 tahun 2002. Menurut Terbanding pernyataan Pemohon Banding menjadi tidak konsisten dan memaksakan suatu pasal untuk diterjemahkan. Pernyataan Pemohon Banding sebelumnya bahwa saat terutangnya pajak pada saat pembayaran sebagaimana pasal 11 ayat 2 UU PPN hanya berlaku untuk PPN saja, namun apabila memperhatikan gramatikal Pasal 13 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 2002 bahwa “Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau mengua-sai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak pembeli". Pasal 1 angka 2 PP Nomor 24 Tahun 2002 mendefinisikan Pajak adalah Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Apabila Pemohon Banding konsisten dalam pendapatnya maka dalam hal barang tidak bergerak maka terutangnya PPN terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak pembeli bukan pada saat pembayaran.
- Bahwa dari uraian di atas Terbanding berpendapat bahwa pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 dan selanjutnya PP Nomor 24 tahun 2002 memperjelas/menerangkan saat terutang-nya bunyi pasal 11 ayat 1 UU PPN. Namun apabila pasal 11 ayat 1 belum terjadi dan sudah dilakukanpembayaran maka menjadi berlaku pasal 11 ayat 2 UU PPN.

Pernyataan Pemohon Peninjauan Kembali
Dan selanjutnya adalah pernyataan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana dikutip oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagai berikut : (vide hal 52-53 Putusan Pengadilan Pajak) Bahwa Pemohon Banding menyatakan bahwa saat terutangnya PPnBM berbeda dengan Terbanding yaitu mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai-mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menyebutkan :
a. Pasal 5 ayat (2) :Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu pe-nyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang meng- hasilkan atau pada waktu impor.
bahwa menurut Pemohon Banding, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa saat terutangnya PPnBM adalah pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah ;
b. Pasal 11 ayat (2) :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
Penjelasan Pasal 11 ayat (2) :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sebelum penyerahan Jasa kena Pajak seba-gaimana dimaksud dalam Pasal huruf c, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau sebelumnya dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Bahwa menurut Pemohon Banding, pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut tidak mencakup penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, yang merupakan objek pengenaan PPnBM menurut Pasal 5 ayat (1), tetapi hanya berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak sebagai objek pengenaan pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM;
Bahwa menurut Pemohon Banding, dalam penjelasan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan terutangnya pajak pada saat pembayaran adalah untuk pembayaran terkait dengan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a (objek PPN) dan bukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) (objek PPnBM);
c. Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak Pembeli;
Penjelasan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Dalam penentuan atau penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu pajak terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan.
Bahwa menurut Pemohon banding, hingga akhir tahun 2007, apartemen sebagai barang berwujud tidak bergerak secara fisik belum ada seutuhnya (belum terselesaikan pembangunannya) sehingga atas pembayaran yang diterima pada saat itu tidak terutang PPnBM;

Pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Pajak
Dan selanjutnya adalah pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana dikutip sebagai berikut: (vide hal 53-55 Putusan Pengadilan Pajak)

Bahwa berdasarkan uraian pendapat Para Pihak yang bersengketa Majelis berpendapat bahwa dasar hukum yang dipakai dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPn BM;

Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM diatur sebagai berikut :

Pasal 4 menyebutkan :
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. dst.
Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyebutkan :
(1) Di samping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatanusaha atau pekerjaannya;
b. Impor Barang Kena Pajak Yang tergolong Mewah.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusahayang menghasilkan atau pada waktu impor.

Bab V Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak Pasal 11 ayat (1) dan (2) menyebutkan :
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat :
  1. Penyerahan Barang Kena Pajak;
  2. Impor Barang Kena Pajak;
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d.
  5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
  6. Ekspor Barang Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hurufe, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.

Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan:
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah me-nganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan mela-lui “electronic commerce” tunduk pada ayat ini.

Bahwa pada dasarnya pengenaan PPN dan PPnBM tersebut di atas, dapat dilihat bahwa PPN dan PPnBM dikenakan pada saat yang sama. Bab V mengatur tentang Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak, dimana yang dimaksud dengan pajak di sini adalah PPN dan PPn BM sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan PPnBM yang mencantumkan kata-kata “Pemungutan PPN dan PPn BM menganut prinsip akrual..... dan seterusnya..”

Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang PPN dan PPn BM mengatur sebagai berikut :
Pasal 1 angka 2, menyebutkan :
Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pasal 10, menyebutkan :
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Bab VII Saat dan Tempat Pajak Terhutang
Pasal 13 angka (1) dan (2) menyebutkan:
(1) Terutangnya Pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasaangkutan;
(2) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihakpembeli;

Bahwa dalam Pasal 13 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang PPN dan PPN BM tersebut tidak hanya digunakan untuk pengenaan PPnBM saja tetapi juga untuk PPN, karena sesuai dengan pengertian pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2), Pajak adalah PPN dan PPn BM;

Bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa saat terutangnya PPN adalah sama dengan saat terutangnya PPn BM, maka apabila terjadi pembayaran sebelum penyerahan maka PPN sudah terutang pada saat adanya pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPn BM;

Bantahan dan Sanggahan Pemohon Peninjauan Kembali Bahwa terkait dengan hal-hal yang tidak diuraikan dalam Memori Peninjauan Kembali ini namun sudah disampaikan dalam Surat Banding dan berbagai tanggapan tertulis lainnya yang sudah disampaikan dalam persidangan Banding, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tetap berpendapat sebagaimana yang sudah disampaikan dalam persidangan Banding yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan memori Peninjauan Kembali ini.

Selanjutnya Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak setuju dan membantah pendapat serta kesimpulan dari Termohon Peninjauan Kembali dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan uraian sebagai berikut:
1. Bahwa menurut ketentuan undang-undang, prinsip pengenaan PPN dan PPnBM ada-lah pada saat penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Penjela-san Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan PPnBM sebagai berikut :
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan barang kena pajak atau pada saat penyerahan jasa kena pajak, meskipun pem-bayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor barang kena pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui “electronic commerce" tunduk pada ayat ini.
2. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM menyebutkan :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak .... dst ... saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud oleh oleh Pasal 11 ayat (2) dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM sebagai berikut :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a ..... dst .... saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Dengan demikian sudah teramat jelas bahwa penyerahan yang dimaksud oleh Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM adalah penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a UU PPN dan PPnBM yang mana Pasal 4 huruf a tersebut di dalam sistematika UU PPN dan PPnBM termasuk dalam BAB III yang mengatur tentang Objek Pajak bersama-sama dengan Pasal 5.
Bila Pembuat Undang-undang bermaksud mengenakan pajak atas barang mewah berdasarkan Pasal 11 ayat 2, maka penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 seharusnya juga turut dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat 2 tersebut karena Pasal 4 dan Pasal 5 bersamasama merupakan bagian dari BAB III (Objek Pajak) dalam sistematika UU PPN dan PPnBM.
3. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM beserta Penjelasannya sama sekali tidak mengatur saat terutangnya pajak untuk penyerahan barang mewah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 bila pembayaran diterima sebelum penyerahan. Dengan demikian atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, saat terutangnya tidak tunduk kepada Pasal 11 ayat (2) namun tetap tunduk pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) yaitu bahwa PPnBM tetap terutang hanya pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan tidak dapat dikaitkan dengan pembayaran sebagaimanadimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM.
4. Bahwa Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU PPN dan PPnBM sama sekali tidak diuraikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam menyatakan pendapatnya sebagaimana dimuat dalam halaman 53-55 Putusan Pengadilan Pajak. Padahal Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU PPN dan PPnBM tersebut sungguh teramat penting karena merupakan penjelasan pembuat Undang-undang mengenai maksud dari Pasal 11 ayat 2 tersebut yang merupakan penyimpangan dari prinsip dasar dari pengenaan pajak, yaitu pada saat penyerahan barang/jasa kena pajak.Dengan demikian terbukti bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat kekeliruan dan khilaf karena mengabaikan ketentuan dalam perundang-undanganperpajakan yang berlaku.
5. Selanjutnya Pasal 13 PP Nomor 143 Tahun 2000 jo. PP Nomor 24 Tahun 2002 me-nyatakan sebagai berikut :
  1. Terutangnya pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat barang kena pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau Pengusaha Jasa angkutan.
  2. Terutangnya pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penye-rahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
6. Penjelasan Pasal 13 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bila penyerahan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu, pajak baru terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan.
Pasal 13 dan Penjelasannya tersebut di atas menegaskan kembali bahwa prinsip dasar saat terutangnya PPN dan PPnBM adalah pada saat penyerahan barang kena pajak.
7. Bahwa sesungguhnya apa yang disimpulkan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang berkaitan dengan PPN dan PPn BM adalah hal-hal yang berlaku umum dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak memperhatikan dan tidak mempertimbangkan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM yang bersifat khusus dalam mana Penjelasan Pasal 11 ayat (2) ini secara khusus nyata-nyata menyebutkan pembayaran yang mendahului penyerahan berdasarkan Pasal 4 UU PPN dan PPnBM saja yang dikenakan pajak. Tampak jelas sekali bahwa di sini Majelis Hakim Pengadilan Pajak memang telah membuat kekeliruan (khilaf), karena tidak/lupamemperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang secara khusus.
8. Bahwa mencermati ketentuan-ketentuan tersebut di atas Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat bahwa atas barang tidak bergerak baik PPN dan PPnBM-nya terutang pada saat penyerahan. Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dilakukan penyerahan, maka atas pembayaran tersebut hanya terutang PPN dan tidak terutang PPnBM berdasarkan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM. Dengan demikian saat terutangnya PPnBM dikembalikan lagi kepada Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan PPnBM jo. Pasal 13 ayat (2) PP No.24 Tahun 2002 jo. Pasal 13 ayat (2) PP 143 Tahun 2000.
9. Bahwa dengan demikian telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put-56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 tersebut telah dibuat dengan tidak mendasarkan kepada ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku yang terungkap dalam pemeriksaan banding, sehingga dengan demikian telah terbukti secara nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 78 dan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan Penjelasannya dan oleh karena itu atas Putusan Pengadilan Pajak tersebut harus dibatalkandemi hukum;

Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put-56087/PP/M.XA/17/2014, yang diucapkan pada 13 Oktober 2014 yang menyebutkan:

Menyatakan menolak permohonan banding Pemohon Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1500/WPJ.06/2011, tanggal 5 Desember 2011, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah Masa Pajak Desember 2007 Nomor: 00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010, atas nama PT ABC–ZZZ, NPWP : 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, beralamat di Jalan DEF II No. XX, Jakarta Pusat ;

adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM


Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan Menolak Permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-1500/WPJ.06/2011 tanggal 5 Desember 2011 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Masa Pajak Desember 2007 Nomor: 00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:

a. Bahwa alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Pengenaan PPnBM berikut sanksinya sebesar Rp3.194.181.272,-berkaitan dengan koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Masa Desember 2007 sebesar Rp10.791.152.943,00; yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan mengesampingkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena falsafah yuridis PPN pada dasarnya merupakan pajak atas konsumsi yang pada hakekatnya yang menjadi kewajiban adalah pemikul beban pajak (Destinataris), sehingga dalam perkara a quo maka terhadap penjualan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan dengan pembayaran uang atas harga kesatuan merupakan obyek pajak. Sedangkan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dimaksud terutang PPN (baca : PPnBM) juga, pada saat penerimaan uang muka pembelian yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 jo. Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU PPN jo. Pasal 13 ayat (2) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) tetap dipertahankan
karena sesuai dengan ketentuan peraturan perUndangUndangan Perpajakan yang berlaku;
b. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT ABC – ZZZ, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,


Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT ABC – EDEN ZZZ, tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 19 Mei 2016, oleh Dr. H. BCD, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung R.I Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, EFG, S.H., M.Hum., dan Dr. H. HIJ, S.H., M.S., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh KLM, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.





Anggota Majelis:

ttd/.

EFG, S.H., M.Hum

ttd/.

Dr. H. HIJ, S.H., M.S.
Ketua Majelis,

ttd/.

Dr. H. BCD, S.H., M.Hum.
Biaya-biaya

1.   Meterai          Rp        6.000,- 
2.   Redaksi         Rp        5.000,-
3.   Administrasi   Rp 2.489.000,-
Jumlah                 Rp2.500.000,- 
Panitera Pengganti,

ttd/.

KLM, S.H.



Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara



(H. NOP, S.H.)
NIP. XX0000XXX.