Putusan Mahkamah Agung Nomor : 248/B/PK/PJK/2016
bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang tel
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 248/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
PT ABC, beralamat di Jalan DEF II Nomor XX, Jakarta Pusat, dalam hal ini diwakili oleh GHI, selaku Komite Manajemen;
Selanjutnya memberi kuasa kepada: JKL, Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak, beralamat di Jalan MNO II, Nomor X, Gandul–Cinere, Kota Depok, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 040/KSOSK/FIN/I/2015, tanggal 5 Januari 2015;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
melawan:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
- PQR, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
- STU, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Banding;
- VWX, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- YZA, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Kesemuanya pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, berkantor di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1468/PJ./2015, tanggal 15 April 2015;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut:
1. | Objek
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Pasal
5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah belum terpenuhi;
|
||||||||||||
2. | Saat
terutangnya pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, hanya berlaku untuk Pajak
Pertambahan Nilai saja dan tidak dapat diterapkan untuk menentukan saat
terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
|
||||||||||||
3. | Saat
terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dan bukan pada saat
pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang
dijabarkan lebih lanjut, (terakhir) dengan Peraturan Pemerintah Nomor24
Tahun 2002 Pasal 13 ayat 2;
|
||||||||||||
4. | Harga
bangunan dan nilai tanah tidak dihitung secara cermat sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan;
|
Kesimpulan
bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka menurut Pemohon Banding Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang adalah Nihil;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1500/WPJ.06/2011 tanggal 5 Desember 2011, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah Masa Pajak Desember 2007 Nomor: 00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010, atas nama PT. ABC-ZZZ KSO, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, alamat: Jl. DEF II No.XX, Jakarta Pusat;
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 27 Oktober 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 040/KSO-SK/FIN/I/2015, tanggal 5 Januari 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 9 Januari 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 9 Januari 2015;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 24 Maret 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 24 April 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pernyataan Termohon Peninjauan Kembali Berikut pernyataan-pernyataan Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang juga disalin kembali oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagai berikut (vide hal. 51-52 Putusan Pengadilan Pajak):
1. | Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000menyebutkan:
|
||||||||||||||||
2. | Peraturan
Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, mengatur antara lain : Pasal 13 ayat 2 Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak pembeli. |
Bahwa berdasarkan hal tersebut Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) berpendapat sebagai berikut :
- | Bahwa
Pasal 5 UU PPN termasuk dalam BAB III mengatur tentang Objek
Pajak PPN dan PPn BM. Sebagaimana diketahui objek pajak merupakan
segala sesuatu yang menurut Undang-undang dijadikan dasar atau sasaran
pemungutan pajak. Obyek atau sasaran pajak (PPN dan PPn BM) di dalam
penjelasan Pasal 5 ayat 1 sudah ada yaitu yang dimaksud dengan Barang
Kena Pajak Yang Tergolong mewah dalam ayat ini adalah:
|
||||||||||
- | Bahwa UU PPN dan PPn BM telah disusun secara sistematis yang membagi unsur atau bagian yang sama dalam satu bab dan akan saling berkaitan erat antar bab-nya. Di dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 4, Pasal 4A, Pasal 5 dan Pasal 5A mengatur tentang Objek PPN dan PPn BM, sedangkan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15A dikelompokkan dalam satu bab yaitu BAB V yang mengatur Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak. Artinya bahwa pengaturan tentang saat terutang diatur dalam Pasal 11 (BAB V Saat Terutang) bukan dalam Pasal 5 ayat (2) UU PPN dan PPn BM (BAB IIIObjek Pajak) sebagaimana pernyataan Pemohon Banding. | ||||||||||
- | Bahwa frase “PPnBM dikenakan hanya satu kali” pada Pasal 5 UU PPN bukan berarti PPnBBM hanya dikenakan pada saat penyerahannya saja tetapi diartikan bahwa PPnBM tidak dikenakan secara bertingkat seperti halnya pengenaan PPN, tetapi hanya dikenakan di tingkat pabrikan atausaat impor. | ||||||||||
- | Bahwa
Pemohon Banding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) menyatakan bahwa
PPnBM terutang apabila unit apartemen sudah selesai dibangun dan telah
ada penyerahan hak kepada pembeli, unit-unit apartemen sebagai barang
berwujud tidak sesuai Pasal 13 ayat (2) dan penjelasannya PP Nomor 24
tahun 2002. Menurut Terbanding pernyataan Pemohon Banding menjadi tidak
konsisten dan memaksakan suatu pasal untuk diterjemahkan. Pernyataan
Pemohon Banding sebelumnya bahwa saat terutangnya pajak pada saat
pembayaran sebagaimana pasal 11 ayat 2 UU PPN hanya berlaku untuk PPN
saja, namun apabila memperhatikan gramatikal Pasal 13 ayat (2) PP Nomor
24 Tahun 2002 bahwa “Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang
tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau
mengua-sai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara
nyata kepada pihak pembeli". Pasal 1 angka 2 PP Nomor 24 Tahun 2002
mendefinisikan Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Apabila Pemohon Banding konsisten dalam pendapatnya maka dalam hal barang tidak bergerak maka terutangnya PPN terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak pembeli bukan pada saat pembayaran. |
||||||||||
- | Bahwa dari uraian di atas Terbanding berpendapat bahwa pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 dan selanjutnya PP Nomor 24 tahun 2002 memperjelas/menerangkan saat terutang-nya bunyi pasal 11 ayat 1 UU PPN. Namun apabila pasal 11 ayat 1 belum terjadi dan sudah dilakukanpembayaran maka menjadi berlaku pasal 11 ayat 2 UU PPN. |
Pernyataan Pemohon Peninjauan Kembali
Dan selanjutnya adalah pernyataan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana dikutip oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagai berikut : (vide hal 52-53 Putusan Pengadilan Pajak) Bahwa Pemohon Banding menyatakan bahwa saat terutangnya PPnBM berbeda dengan Terbanding yaitu mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai-mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menyebutkan :
a. | Pasal
5 ayat (2) :Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu)
kali pada waktu pe-nyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah oleh
Pengusaha yang meng- hasilkan atau pada waktu impor. bahwa menurut Pemohon Banding, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa saat terutangnya PPnBM adalah pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah ; |
b. | Pasal
11 ayat (2) : Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Penjelasan Pasal 11 ayat (2) : Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sebelum penyerahan Jasa kena Pajak seba-gaimana dimaksud dalam Pasal huruf c, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau sebelumnya dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran. Bahwa menurut Pemohon Banding, pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut tidak mencakup penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, yang merupakan objek pengenaan PPnBM menurut Pasal 5 ayat (1), tetapi hanya berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak sebagai objek pengenaan pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM; Bahwa menurut Pemohon Banding, dalam penjelasan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan terutangnya pajak pada saat pembayaran adalah untuk pembayaran terkait dengan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a (objek PPN) dan bukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) (objek PPnBM); |
c. | Pasal
13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Terutangnya Pajak
atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak
untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik
secara hukum atau secara nyata kepada pihak Pembeli; Penjelasan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Dalam penentuan atau penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu pajak terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan. Bahwa menurut Pemohon banding, hingga akhir tahun 2007, apartemen sebagai barang berwujud tidak bergerak secara fisik belum ada seutuhnya (belum terselesaikan pembangunannya) sehingga atas pembayaran yang diterima pada saat itu tidak terutang PPnBM; |
Pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Pajak
Dan selanjutnya adalah pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana dikutip sebagai berikut: (vide hal 53-55 Putusan Pengadilan Pajak)
Bahwa berdasarkan uraian pendapat Para Pihak yang bersengketa Majelis berpendapat bahwa dasar hukum yang dipakai dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPn BM;
Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM diatur sebagai berikut :
Pasal 4 menyebutkan :
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. dst.
Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyebutkan :
(1) | Di
samping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan
juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap :
|
||||
(2) | Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusahayang menghasilkan atau pada waktu impor. |
Bab V Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak Pasal 11 ayat (1) dan (2) menyebutkan :
(1) | Terutangnya
pajak terjadi pada saat :
|
(2) | Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hurufe, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. |
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan:
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah me-nganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan mela-lui “electronic commerce” tunduk pada ayat ini.
Bahwa pada dasarnya pengenaan PPN dan PPnBM tersebut di atas, dapat dilihat bahwa PPN dan PPnBM dikenakan pada saat yang sama. Bab V mengatur tentang Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak, dimana yang dimaksud dengan pajak di sini adalah PPN dan PPn BM sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan PPnBM yang mencantumkan kata-kata “Pemungutan PPN dan PPn BM menganut prinsip akrual..... dan seterusnya..”
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang PPN dan PPn BM mengatur sebagai berikut :
Pasal 1 angka 2, menyebutkan :
Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pasal 10, menyebutkan :
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Bab VII Saat dan Tempat Pajak Terhutang
Pasal 13 angka (1) dan (2) menyebutkan:
(1) | Terutangnya Pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasaangkutan; |
(2) | Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihakpembeli; |
Bahwa dalam Pasal 13 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang PPN dan PPN BM tersebut tidak hanya digunakan untuk pengenaan PPnBM saja tetapi juga untuk PPN, karena sesuai dengan pengertian pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2), Pajak adalah PPN dan PPn BM;
Bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa saat terutangnya PPN adalah sama dengan saat terutangnya PPn BM, maka apabila terjadi pembayaran sebelum penyerahan maka PPN sudah terutang pada saat adanya pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPn BM;
Bantahan dan Sanggahan Pemohon Peninjauan Kembali Bahwa terkait dengan hal-hal yang tidak diuraikan dalam Memori Peninjauan Kembali ini namun sudah disampaikan dalam Surat Banding dan berbagai tanggapan tertulis lainnya yang sudah disampaikan dalam persidangan Banding, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tetap berpendapat sebagaimana yang sudah disampaikan dalam persidangan Banding yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan memori Peninjauan Kembali ini.
Selanjutnya Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak setuju dan membantah pendapat serta kesimpulan dari Termohon Peninjauan Kembali dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan uraian sebagai berikut:
1. | Bahwa
menurut ketentuan undang-undang, prinsip pengenaan PPN dan PPnBM
ada-lah pada saat penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Penjela-san Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan PPnBM sebagai berikut : Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan barang kena pajak atau pada saat penyerahan jasa kena pajak, meskipun pem-bayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor barang kena pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui “electronic commerce" tunduk pada ayat ini. |
2. | Bahwa
Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM menyebutkan : Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak .... dst ... saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud oleh oleh Pasal 11 ayat (2) dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM sebagai berikut : Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a ..... dst .... saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran. Dengan demikian sudah teramat jelas bahwa penyerahan yang dimaksud oleh Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM adalah penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a UU PPN dan PPnBM yang mana Pasal 4 huruf a tersebut di dalam sistematika UU PPN dan PPnBM termasuk dalam BAB III yang mengatur tentang Objek Pajak bersama-sama dengan Pasal 5. Bila Pembuat Undang-undang bermaksud mengenakan pajak atas barang mewah berdasarkan Pasal 11 ayat 2, maka penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 seharusnya juga turut dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat 2 tersebut karena Pasal 4 dan Pasal 5 bersamasama merupakan bagian dari BAB III (Objek Pajak) dalam sistematika UU PPN dan PPnBM. |
3. | Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM beserta Penjelasannya sama sekali tidak mengatur saat terutangnya pajak untuk penyerahan barang mewah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 bila pembayaran diterima sebelum penyerahan. Dengan demikian atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, saat terutangnya tidak tunduk kepada Pasal 11 ayat (2) namun tetap tunduk pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) yaitu bahwa PPnBM tetap terutang hanya pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan tidak dapat dikaitkan dengan pembayaran sebagaimanadimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM. |
4. | Bahwa Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU PPN dan PPnBM sama sekali tidak diuraikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam menyatakan pendapatnya sebagaimana dimuat dalam halaman 53-55 Putusan Pengadilan Pajak. Padahal Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU PPN dan PPnBM tersebut sungguh teramat penting karena merupakan penjelasan pembuat Undang-undang mengenai maksud dari Pasal 11 ayat 2 tersebut yang merupakan penyimpangan dari prinsip dasar dari pengenaan pajak, yaitu pada saat penyerahan barang/jasa kena pajak.Dengan demikian terbukti bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat kekeliruan dan khilaf karena mengabaikan ketentuan dalam perundang-undanganperpajakan yang berlaku. |
5. | Selanjutnya
Pasal 13 PP Nomor 143 Tahun 2000 jo. PP Nomor 24 Tahun 2002 me-nyatakan
sebagai berikut :
|
6. | Penjelasan
Pasal 13 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam
penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut
pendirian bila penyerahan bila barang tersebut secara fisik telah ada.
Oleh karena itu, pajak baru terutang pada saat penyerahan barang tidak
bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang
mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh
pihak yang bersangkutan. Pasal 13 dan Penjelasannya tersebut di atas menegaskan kembali bahwa prinsip dasar saat terutangnya PPN dan PPnBM adalah pada saat penyerahan barang kena pajak. |
7. | Bahwa sesungguhnya apa yang disimpulkan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang berkaitan dengan PPN dan PPn BM adalah hal-hal yang berlaku umum dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak memperhatikan dan tidak mempertimbangkan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM yang bersifat khusus dalam mana Penjelasan Pasal 11 ayat (2) ini secara khusus nyata-nyata menyebutkan pembayaran yang mendahului penyerahan berdasarkan Pasal 4 UU PPN dan PPnBM saja yang dikenakan pajak. Tampak jelas sekali bahwa di sini Majelis Hakim Pengadilan Pajak memang telah membuat kekeliruan (khilaf), karena tidak/lupamemperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang secara khusus. |
8. | Bahwa mencermati ketentuan-ketentuan tersebut di atas Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat bahwa atas barang tidak bergerak baik PPN dan PPnBM-nya terutang pada saat penyerahan. Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dilakukan penyerahan, maka atas pembayaran tersebut hanya terutang PPN dan tidak terutang PPnBM berdasarkan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM. Dengan demikian saat terutangnya PPnBM dikembalikan lagi kepada Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan PPnBM jo. Pasal 13 ayat (2) PP No.24 Tahun 2002 jo. Pasal 13 ayat (2) PP 143 Tahun 2000. |
9. | Bahwa dengan demikian telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put-56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 tersebut telah dibuat dengan tidak mendasarkan kepada ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku yang terungkap dalam pemeriksaan banding, sehingga dengan demikian telah terbukti secara nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 78 dan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan Penjelasannya dan oleh karena itu atas Putusan Pengadilan Pajak tersebut harus dibatalkandemi hukum; |
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put-56087/PP/M.XA/17/2014, yang diucapkan pada 13 Oktober 2014 yang menyebutkan:
Menyatakan menolak permohonan banding Pemohon Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1500/WPJ.06/2011, tanggal 5 Desember 2011, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah Masa Pajak Desember 2007 Nomor: 00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010, atas nama PT ABC–ZZZ, NPWP : 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, beralamat di Jalan DEF II No. XX, Jakarta Pusat ;
adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan Menolak Permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-1500/WPJ.06/2011 tanggal 5 Desember 2011 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Masa Pajak Desember 2007 Nomor: 00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010 atas nama Pemohon Banding, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
a. | Bahwa
alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo
yaitu Pengenaan PPnBM berikut sanksinya sebesar
Rp3.194.181.272,-berkaitan dengan koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Masa Desember 2007 sebesar
Rp10.791.152.943,00; yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji
kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh
Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan
Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan mengesampingkan
bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum
Majelis Pengadilan Pajak, karena falsafah yuridis PPN pada dasarnya
merupakan pajak atas konsumsi yang pada hakekatnya yang menjadi
kewajiban adalah pemikul beban pajak (Destinataris), sehingga dalam
perkara a quo maka terhadap penjualan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau
Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan dengan pembayaran uang atas harga
kesatuan merupakan obyek pajak. Sedangkan atas penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dimaksud terutang PPN (baca
: PPnBM) juga, pada saat penerimaan uang muka pembelian yang
diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 jo. Pasal 11 ayat (1)
dan ayat (2) UU PPN jo. Pasal 13 ayat (2) dan ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 dan oleh karenanya koreksi Terbanding
(sekarang Termohon Peninjauan Kembali) tetap dipertahankan karena sesuai dengan ketentuan peraturan perUndangUndangan Perpajakan yang berlaku; |
b. | Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; |
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT ABC – ZZZ, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT ABC – EDEN ZZZ, tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 19 Mei 2016, oleh Dr. H. BCD, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung R.I Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, EFG, S.H., M.Hum., dan Dr. H. HIJ, S.H., M.S., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh KLM, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota
Majelis: ttd/. EFG, S.H., M.Hum ttd/. Dr. H. HIJ, S.H., M.S. |
Ketua
Majelis, ttd/. Dr. H. BCD, S.H., M.Hum. |
Biaya-biaya 1. Meterai Rp 6.000,- 2. Redaksi Rp 5.000,- 3. Administrasi Rp 2.489.000,- Jumlah Rp2.500.000,- |
Panitera
Pengganti, ttd/. KLM, S.H. |
Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara
(H. NOP, S.H.)
NIP. XX0000XXX.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.