Putusan Mahkamah Agung Nomor : 138/B/PK/PJK/2017

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-57873/PP/M.XIIIB/16/2014, tanggal 27 November 2014 yang tela


PUTUSAN
Nomor 138/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal AF Nomor 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
  1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal AF Nomor 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1396/PJ./2015, tanggal 2 April 2015;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:


PT FGH, beralamat di Gedung GHJ Tower-Lantai 9, Jalan PQR Nomor 10, Kesawan, Medan Barat, Medan X0XXX;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-57873/PP/M.XIIIB/16/2014, tanggal 27 November 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Bandingnya Nomor 011/DLIACCT/XI/2013 tanggal 8 November 2013, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut ini:
Bahwa sehubungan dengan Keputusan Terbanding Nomor KEP-648/WPJ.01/2013 tanggal 2 September 2013, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 6 September 2013, yang menolak permohonan keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Nomor 00050/207/10/123/12 tanggal 19 Juni 2012 Masa Pajak Juli 2010, dengan perincian sebagai berikut:

Uraian Semula
(Rp)
Ditambah/
(Dikurangi)
(Rp)
Menjadi
(Rp)
PPN Kurang (Lebih) dibayar 199.036.079 -
199.036.079
Sanksi Bunga 0
-
0
Sanksi Kenaikan 199.036.079 -
199.036.079
Jumlah Pajak yang masih harus (lebih) dibayar 238.072.158 -
238.072.158


Bahwa maka dengan ini Pemohon Banding mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak atas permohonan keberatan yang ditolak pada keputusan tersebut;
Bahwa adapun alasan-alasan yang mendasari pengajuan banding ini adalah sebagai berikut:
Bahwa Surat Keputusan Terbanding tersebut di atas adalah berdasarkan hasil perhitungan Peneliti Keberatan dari Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Banding melalui Surat Nomor 010/DLIACCT/IX/2012 tanggal 4 September 2012;
Bahwa koreksi yang dilakukan oleh Terbanding (cfm Pemeriksa) dan dipertahankan oleh Terbanding (cfm Peneliti Keberatan) berupa:
  1. Koreksi Objek Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya harus dipungut sendiri sejumlah Rp357.155.567,00 Bahwa dalam perjanjian titip olah disebutkan bahwa PT QQ memperoleh CPO dengan rendemen 22% untuk pengolahan pada PKS 1 dan 20% untuk pengolahan pada PKS 2, sedangkan berdasarkan data Daily Production Report masing-masing PKS diketahui bahwa rendemen yang dilaporkan tidaklah sebesar angka tersebut. Berdasarkan data tersebut Terbanding (cfm Pemeriksa) menyimpulkan bahwa terdapat kelebihan produksi CPO yang diberikan kepada PT QQ. Kelebihan produksi tersebut menurut Terbanding (cfm Pemeriksa) merupakan peredaran usaha yang belum dilaporkan oleh Pemohon Banding di dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juli 2010;
  2. Koreksi Kredit Pajak atas Pajak Masukan Dalam Negeri sejumlah Rp83.320.522,00;
Bahwa koreksi dilakukan berdasar Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010. Pemohon Banding mengkreditkan pajak masukan atas pembelian tandan buah segar dan pajak masukan atas kegiatan yang berhubungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit;
Bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, tidak seharusnya terdapat koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Terbanding (cfm Pemeriksa) dan tetap dipertahankan oleh Terbanding (cfm Peneliti Keberatan), dengan dasar argumentasi/alasan sebagai berikut:
  1. Terhadap Koreksi Objek Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya harus dipungut sendiri sejumlah Rp357.155.567,00;
    Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Objek Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya harus dipungut sendiri sejumlah Rp357.155.567,00, yang didasarkan pada koreksi atas Peredaran Usaha Pajak Penghasilan Badan sejumlah Rp3.145.595.058,00 (diajukan Banding melalui Surat Nomor 002/DLI-ACCT/XI/2013 tertanggal 8 November 2013), dengan dasar argumentasi bahwa perhitungan rendemen titip olah yang dilaksanakan oleh Pemohon Banding adalah didasarkan pada Surat Perjanjian Pengolahan Tandan Buah Segar antara Pemohon Banding (selaku Prosesor/Pengolah/Pemilik Pabrik) dengan PT QQ (selaku Penitip Olah/Pemilik Barang);
    Bahwa ada 3 (tiga) buah Surat Perjanjian Pengolahan Tandan Buah Segar yang mendasari perhitungan rendemen kepada pihak Penitip Olah/Pemilik Barang, yaitu:
  1. Perjanjian Nomor 001/TO-TBS/DLI-MLN/V/2010-P tertanggal 23 Mei 2010, yakni untuk TBS yang berasal dari kebun PT QQ dan dititip olah ke Pemohon Banding (PKS DLI 1) dengan rendemen untuk CPO adalah sebesar 22%;
  2. Perjanjian Nomor 001/TO-TBS/DWS-MLN/I/2010 tertanggal 2 Januari 2010, yakni untuk TBS yang berasal dari kebun PT QQ dan dititip olah ke Pemohon Banding (PKS DLI 2) dengan rendemen untuk CPO adalah sebesar 22%; dan
  3. Perjanjian Nomor 001/TO-TBS/DLI-MLN/V/2010 tertanggal 23 Mei 2010, yakni untuk TBS yang berasal dari ramp PT QQ dan dititip olah ke Pemohon Banding (PKS DLI 1) dengan rendemen untuk CPO adalah sebesar 20%;
Bahwa dari ketiga Perjanjian tersebut terlihat bahwa tidak semua TBS yang dititip olah di PKS DLI 1 diberikan rendemen sebesar 22% (untuk TBS yang berasal dari kebun Cabang Dua) dan sebesar 20% (untuk TBS yang berasal dari ramp) sedangkan untuk TBS dari Kebun Cabang Dua yang dititip olah ke PKS DLI 2 diberikan rendemen sebesar 22%;
Bahwa penetapan rendemen CPO pada kontrak titip olah telah mempertimbangkan mutu dan kualitas dari TBS yang akan dititip olah, yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini TBS yang berasal dari PT QQ mempunyai kualitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan TBS yang berasal dari kebun Pemohon Banding, yang diantaranya disebabkan oleh faktor bibit dan tanah;
Bahwa PT QQ menggunakan bibit Tenera dengan kondisi tanah yang bermineral, sehingga memiliki rendemen rata-rata yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pemohon Banding yang menggunakan bibit Dura dengan kondisi tanah berupa lahan gambut;
Bahwa rendemen rata-rata yang didapat dari Laporan Produksi Pemohon Banding merupakan campuran antara TBS titip olah dengan TBS yang berasal dari kebun Pemohon Banding sendiri dan juga dari TBS yang dibeli dari pihak ketiga;
Bahwa sesungguhnya, Pemohon Banding tidak mempunyai kepentingan untuk memberikan kelebihan rendemen kepada perusahaan affiliasi (PT QQ). Ditinjau dari sisi Pajak Penghasilan, Pemohon Banding dan Perusahaan Affiliasi ini sama-sama merupakan Wajib Pajak Badan Usaha yang berdomisili di Dalam Negeri (Indonesia), dan untuk tahun pajak 2009 tersebut sama-sama melaporkan Penghasilan Usaha dalam keadaan Laba. Sehingga, baik bagi Pemohon Banding sendiri maupun bagi Perusahaan Affiliasi dari Penggugat, tidak akan ada keuntungan pajak yang dapat diperoleh dari hal tersebut. Dan tinjauan sisi Pajak Pertambahan Nilai, Pemohon Banding dan Perusahaan Affiliasi sama-sama merupakan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dan melaporkannya pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai secara rutin dan teratur, sehingga Pajak Keluaran yang diterbitkan oleh Pemohon Banding, akan selalu dikreditkan oleh Perusahaan Affiliasi. Sehingga dengan mekanisme credit method (PK-PM) ini, maka Pajak Keluaran yang diterbitkan oleh Pemohon Banding, akan selalu dapat dikonfirmasikan (dicek kebenarannya) dengan pembukuan/pelaporan yang dilakukan oleh lawan transaksi (Perusahaan Afiliasi);
Bahwa untuk tahun pajak 2010 telah dilakukan pemeriksaan pajak thd PT QQ dan Terbanding (cfm Pemeriksa) tidak melakukan koreksi negatif atas peredaran usaha PT QQ yang terkait dengan koreksi atas rendemen titip olah tersebut;
Bahwa jadi, secara jelas dapat dilihat bahwa penentuan rendemen atas Jasa Titip Olah yang disepakati oleh Pemohon Banding dengan PT QQ adalah sesuai dengan Surat Perjanjian yang berkekuatan hukum, berdasarkan kualitas TBS yang dititip olah serta telah sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa;
  1. Terhadap Koreksi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sejumlah Rp83.320.522,00;
    Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi atas Pajak Masukan yang dilakukan oleh Terbanding, yang dianggap sebagai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan atas pembelian TBS, pupuk, pestisida, herbisida, dengan dasar argumentasi sebagai berikut:
    Bahwa Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
    "Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan";
    Bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Ayat (6) dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tersebut di atas, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak;
    Bahwa Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusahan Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
    Pasal 2:
    "Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan:
    1. usaha terpadu (integrated), terdiri dari:
    1. unit atau kegiatan yang melakukan Penyerahan yang Tertutang Pajak; dan
    2. unit atau kegiatan lain yang melakukan Penyerahan yang tidak terutang Pajak;
    1. usaha yang atas penyerahannya terutang pajak dan yang tidak terutang Pajak;
    2. usaha untuk menghasilkan, memperdagangkan barang, dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak dan yang tidak terutang Pajak; atau
    3. usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak dan sebagian lainnya tidak terutang Pajak;
    sedangkan Pajak Masukan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
    Pasal 3:
    "Pedoman Penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
    P       = PM x Z
    dengan ketentuan bahwa;
    P        adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
    PM    adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
    Z    adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang terutang Pajak terhadap Penyerahan seluruhnya;
    Pasal 4 ayat (1):
    "Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang telah mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal, harus menghitung kembali besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan";
    Pasal 4 ayat (2):
    Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagai berikut:
    1. untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa manfaatnya lebih dari 1(satu) tahun:
                   PM
      P'= -------------x Z
                  T
      dengan ketentuan:
      P'     adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;
      PM  adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
      T     adalah masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang ditentukan sebagai berikut:
      1)
      untuk Barang Kena Pajak berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun;
      2)
      untuk Barang Kena Pajak selain tanah dan bangunan dan Jasa Kena Pajak adalah 4 (empat) tahun;
      Z'  adalah persentase yang sebanding dengan Jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku;
    2. untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang;
      P'   = PM x Z’
      dengan ketentuan
      P'   adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;
      PM   adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
      Z'   adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh Penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku;

    Bahwa Pasal 16B Ayat (3) dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
    “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
    Bahwa Cuplikan Memori Penjelasan dari Pasal 16B ayat (3) dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tersebut diatas, berbunyi sebagai berikut:
    “Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
    Bahwa dalam Pasal 9 Ayat (2), Ayat (9) dan Ayat (8) dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dinyatakan Bahwa:
    Pasal 9 Ayat (2):
    “Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama;
    Pasal 9 Ayat (9):
    “Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan;
    Pasal 9 Ayat (8):
    “Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
    1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
    2. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
    3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
    4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
    5. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
    6. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
    7. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
    8. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
    9. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
    10. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a);
    Bahwa Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut:
    “Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
    Bahwa sementara itu pengertian dari „tujuan produktif‟ secara jelas tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
    “Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusahan yang bersangkutan;
    Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan pajak yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
    1)
    Secara umum, Pengusaha Kena Pajak tidak dapat melakukan pengkreditan terhadap Pajak Masukan bagi pengeluaran yang memenuhi kondisi atau kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (8) dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
    2)
    Selain daripada pengaturan pada Pasal 9 Ayat (8) dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tersebut, terhadap suatu transaksi tertentu dapat pula ditentukan bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, atau tidak dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, yaitu dengan bertitik tolak pada indikator kunci berupa: realisasi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yang dilaporkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (dan juga tercermin pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badannya);
    Bahwa terdapat beberapa kemungkinan dari realisasi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yakni berupa:
    1. Penyerahan yang tidak terutang PPN, dan
    2. Penyerahan yang terutang PPN, yaitu:
    • Ekspor;
    • Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri;
    • Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN;
    • Penyerahan yang PPN-nya Tidak Dipungut; serta
    • Penyerahan yang PPN-nya Dibebaskan;

Bahwa karenanya merupakan hal yang tidak berdasar apabila Terbanding berkesimpulan bahwa Pajak Masukan atas pembelian Pupuk dan pembelian lainnya yang dilakukan oleh Pemohon Banding, tidak dapat dikreditkan;
Bahwa koreksi tersebut baru boleh dilakukan hanya apabila terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh Pemohon Banding. Sehingga, terhadap Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pemohon Banding;
Bahwa pada Masa Pajak Juli 2010 tersebut, seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm dan Meterial) dan Jasa Kena Pajak (berupa: jasa olah, ongkos angkut dan lainnya) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% (berupa penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya harus dipungut sendiri sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997);
Bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan;
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Pemohon Banding mohon agar banding Pemohon Banding ini dapat diterima, dan agar Majelis dapat meninjau ulang Keputusan Terbanding Nomor KEP-648/WPJ.01/2013 tanggal 2 September 2013 tersebut di atas;
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-57873/-PP/M.XIIIB/16/2014, tanggal 27 November 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 2 Februari 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1396/PJ./2015, tanggal 2 April 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 24 April 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 23 Oktober 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 27 November 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
    Sengketa tentang koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp83.320.522,00 yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
  1. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.57873/PP/M.XIIIB/16/2014 tanggal 27 November 2014, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku;
    1. Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa a quo ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
      1.1.
      Terkait Koreksi positif Pajak Masukan atas perolehan TBS sebesar Rp21.083.040,00
      bahwa menurut Majelis, Tandan Buah Segar adalah termasuk Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      bahwa berdasarkan ketentuan perpajakan Majelis berpendapat dalam sistem penerapan pemungutan pajak yang terutang bagi pihak lain (withholding tax) kesalahan interpretasi atau perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan dapat menyebabkan terjadinya pemungutan pajak yang seharusnya tidak terutang;
      bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penelitian Majelis terhadap dokumen bukti, keterangan baik secara lisan maupun tulisan diperoleh fakta sebagai berikut:
      -
      Telah terjadi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan TBS (yang seharusnya tidak terutang) oleh Pengusaha Kena Pajak penjual (PT QQ) kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli (Pemohon Banding);
      -
      Pemohon Banding memperoleh Faktur Pajak Masukan terkait dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan TBS (yang seharusnya tidak terutang);
      -
      Faktur Pajak Masukan atas perolehan TBS (yang seharusnya tidak terutang) oleh Pemohon Banding diperhitungkan sebagai kredit pajak di dalam pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juli 2010;
      -
      Pemohon Banding tidak mengajukan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang melalui mekanisme surat permohonan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007;
      Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas serta mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku, Majelis berpendapat:
      Bahwa secara substansi Pemohon Banding memiliki hak atas pengembalian Pajak yang seharusnya tidak terutang atas perolehan TBS sebesar Rp21.083.040,00;
      Bahwa pengembalian pembayaran pajak yang tidak terutang dapat diminta oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut (pembeli) dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007, ketentuan ini secara implisit mengisyaratkan dan mengandung pengertian bahwa:
      -
      disamping menempuh jalur pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang melalui surat permohonan;
      -
      permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang dapat juga dilakukan melalui mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai maupun mekanisme pembebanan sebagai biaya dalam SPT Tahunannya, hal ini sesuai dengan prinsip kesederhanan prosedur dalam rangka peningkatan pelayanan sebagai ciri dan tujuan sistem administrasi perpajakan;
      Bahwa terkait temuan Terbanding mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan TBS yang seharusnya tidak terutang sebesar Rp21.083.040,00 yang dilaporkan Pemohon Banding dalam SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juli 2010 hendaknya dipahami sebagai upaya dari Pemohon Banding untuk memperoleh pengembalian pajak yang seharusnya terutang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007;
      Bahwa koreksi Pajak Masukan terkait dengan substansi pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang berupa perolehan TBS o!eh Terbanding dengan alasan perolehan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN justru bertentangan dengan semangat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK,03/2007;
      Bahwa secara administratif penyelesaian Pajak Masukan yang dikreditkan sehubungan dengan penyerahan TBS aquo tidak perlu dilakukan koreksi positif dan tetap dapat diperhitungkan dengan Pajak Keluaran meskipun secara substansi penyerahan TBS tidak terutang PPN;
      Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berkesimpulan terdapat fakta dan dasar hukum yang cukup meyakinkan Majelis bahwa Pajak Masukan atas perolehan TBS yang tidak seharusnya terutang tetap dapat diperhitungkan dalam pelaporan SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juli 2010;
      Bahwa dengan demikian koreksi positif Terbanding atas Pajak Masukan terkait dengan perolehan TBS sebesar Rp21,083.040,00 yang tidak seharusnya terutang pada pelaporan SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juli 2010, tidak dipertahankan;
      1.2.
      Terkait Koreksi positif Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS sebesar Rp62.237.482.00;
      Bahwa berdasarkan data, fakta dan penjelasan yang disampaikan oleh Pemohon Banding dan Terbanding di persidangan menurut Majelis dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
      -
      bahwa kegiatan usaha Pemohon Banding adalah industri penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil - CPO) yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi CPO sebagai hasil akhir pabrikasi. TBS hasil kebun sendiri yang Pemohon Banding hasilkan seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan CPO;
      -
      bahwa yang dikoreksi oleh Terbanding adalah Pajak Masukan sebesar Rp62,237.482,00 atas pembelian pupuk dan bahan kimia yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS yang selanjutnya dioleh menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) oleh Pemohon Banding dalam perusahaan yang sama;
      -
      bahwa atas penyerahan Tandah Buah Segar (TBS) dari unit perkebunan ke pabrik bukan merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 4 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2000 karena antara kebun dan pabrik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai suatu entitas usaha dan merupakan mata rantai produksi yang tidak terputus;
      -
      bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP~ 87/PJ./2002 pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
      -
      bahwa produk akhir dari hasil olahan atas Tandan Buah Segar berupa minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil - CPO) merupakan Barang Kena Pajak yang pada saat penyerahan kepada ihak pembeli dikenakan PPN sebesar 10%;
      -
      bahwa dengan demikian berdasarkan data, fakta, bukti dan ketentuan peraturan yang disampaikan dalam sengketa banding ini serta keyakinan hakim, Majelis berpendapat koreksi positif Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp62.237.482,00 tidak dapat dipertahankan;
    1. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara lain sebagai berikut:
      2.1.
      Bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), antara lain menyebutkan:
      Pasal 76:
      Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
      Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
      Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;
      Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
      Pasal 78:
      Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim;
      Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
      Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
      2.2.
      Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 (UU PPN), antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 16B ayat (1):
      Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
      1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
      2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
      3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
      4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
      5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
      diatur dengan Peraturan Pemerintah;
      Penjelasan Pasal 16B ayat (1):
      Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
      Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional;
      Pasal 16B ayat (3):
      Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;
      Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
      Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
      Contoh:
      Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
      Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
      Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
      2.3.
      Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 01 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PP 31), antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 1 angka 1 huruf c:
      Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil pertanian;
      Pasal 1 angka 2 huruf a:
      Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
      Lampiran:
      Antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Tandan Buah Segar (TBS);
      Pasal 2 ayat (2) huruf c:
      Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Pasal 3:
      Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
      2.4.
      Bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang (PMK-190), antara lain mengatur:
      Pasal 1:
      Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan pajak yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar dari pada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.
      Pasal 3:
      (1)
      Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yakni :
      1. pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut; atau
      2. pajak yang dipotong atau dipungut seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut, dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut;
      (2)
      Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan;
      (3)
      Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya;
      Pasal 6 ayat (2):
      Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut atau Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri, antara lain:
      1. asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
      2. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
      3. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
      2.5.
      Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak (selanjutnya disebut dengan KMK-575), antara lain menyatakan:
      Pasal 2 ayat (1):
      Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
      1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      2. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      3. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      4. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
      1)
      nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
      2)
      digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;
      3)
      nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan;
      Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
      Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya:
      1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung (jagung adalah bukan Barang Kena Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah Barang Kena Pajak);
      2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha;
      3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misal Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;
      4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perluasan usaha dan menghasilkan bukan Barang Kena Pajak, misal Pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        (1)
        Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah:
        • Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung adalah bukan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
        • Pajak Masukan untuk pembelian truck yang digunakan untuk jasa angkutan, karena jasa angkutan adalah bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
        • Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        (2)
        Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah:
        • Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk, perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung;
        (3)
        Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepenuhnya adalah:
        • Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung;
      2.6.
      Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tanggal 23 November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit (SE-90), antara lain menyatakan:
      Butir 6:
      Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
      1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
      2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
      3. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya;
  1. Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara Peninjauan Kembali ini adalah dengan tidak dipertahankannya koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Koreksi Positif Pajak Masukan yang Terkait Dengan Perolehan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis Sebesar Rp83.320.522,00;
  2. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksi Pajak Masukan sebesar Rp83.320.522,00 berdasar KMK-575 terkait perusahaan terintegrasi;
    Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksi positif karena Pajak Masukan tersebut berasal dari pembelian TBS dan Pajak Masukan atas kegiatan yang berhubungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit;
    Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), TBS merupakan barang hasil perkebunan kelapa sawit, dan barang hasil perkebunan termasuk dalam Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai Pasal 1 PP 31;
    Bahwa PP 31 ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, yang artinya bahwa tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan sehubungan untuk menghasilkan TBS adalah karena kategori penyerahan yang termasuk dibebaskan dari pengenaan PPN dan bukan karena hubungan sebab akibat telah terjadi atau tidak terjadinya penyerahan;
  3. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak setuju dengan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut karena seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa: Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm dan Material/Sparepart) dan Jasa Kena Pajak (berupa: Jasa Olah) yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai;
    Bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
    Bahwa dengan demikian sesungguhnya KMK-575 telah diterapkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sesuai dengan perhitungan yang benar;
    Bahwa oleh karena itu, sudah selayaknya apabila Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak tersebut di atas (berupa: BKP Crude Palm Oil, BKP Palm Kernel, BKP Shell Palm, BKP Material/Sparepart dan JKP Jasa Olah) yang dikoreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), dapat dikreditkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
  4. Bahwa dengan demikian, sengketa atas Koreksi Positif Pajak  Masukan Dalam Negeri sebesar Rp83.320.522,00 ini merupakan sengketa yuridis, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan BKP Strategis, dalam hal ini TBS, yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), dapat dikreditkan atau tidak;
  5. Bahwa amar pertimbangan Majelis terkait dengan sengketa a quo berpendapat sebagaimana diuraikan pada point 1 tersebut diatas;
  6. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis tersebut diatas, dengan penjelasan sebagai berikut:
    8.1.
    Bahwa berdasarkan pembahasan sengketa dalam persidangan diketahui terdapat dua koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp83.320.522,00 dengan perincian sebagai berikut:
    a.  Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS yaitu pembelian TBS
    Rp
    21.083.040,00
    b.  Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS
    Rp
    62.237.482,00
    Jumlah
    Rp
    83.320.522,00

    8.2.
    Bahwa terhadap sengketa berupa koreksi positif Pajak Masukan atas perolehan TBS sebesar Rp21.083.040,00 dapat diuraikan sebagai berikut:
    8.2.1.
    Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat TBS termasuk Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai oleh karenanya tidak dapat dilaporkan sebagai Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan dalam pelaporan SPT Masa;
    8.2.2.
    Bahwa pada prinsipnya, Majelis sependapat dengan prinsip Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) di atas bahwa Barang Kena Pajak yang bersifat strategis atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN;
    Bahwa hal tersebut tertuang pada halaman 58 putusan a quo yang menyatakan:
    “bahwa menurut Majelis, Tandan Buah Segar adalah termasuk Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
    8.2.3.
    Bahwa fakta pada persidangan diketahui bahwa telah terjadi pemungutan PPN atas penyerahan TBS (yang seharusnya tidak terutang) oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual (PT QQ) kepada Pengusaha Kena Pajak Pembeli (Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding));
    Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memperoleh Faktur Pajak terkait dengan pemungutan PPN atas penyerahan TBS tersebut dan diperhitungkan sebagai kredit pajak di dalam pelaporan PPN Masa Pajak Juli 2010;
    8.2.4.
    Bahwa diperoleh fakta juga bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak mengajukan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang melalui mekanisme surat permohonan sebagaimana diatur dalam PMK-190;
    Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menempuh mekanisme pengkreditan Pajak Masukan sebagai upaya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk memperoleh pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur dalam PMK-190;
    8.2.5.
    Bahwa karena Majelis dalam putusannya menggunakan dasar ketentuan PMK-190, maka perlu diteliti lebih lanjut ketentuan di dalamnya yang terkait dengan sengketa a quo;
    8.2.6.
    Bahwa dengan mengacu pada Pasal 3 ayat (3) PMK-190 disebutkan bahwa:
    Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya;
    Bahwa seharusnya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang namun pada faktanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memilih menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan sebagai upaya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk memperoleh pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur dalam PMK-190;
    Bahwa oleh karenanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat lagi mengajukan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud di atas;
    8.2.7.
    Bahwa dalam PMK-190 juga diatur mengenai adanya pembuktian kebenaran substansi yaitu diatur dalam Pasal 6:
    Bahwa permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang harus dilampiri khususnya dengan asli bukti pembayaran pajak (Pasal 6);
    8.2.8.
    Bahwa dengan demikian, pilihan mekanisme yang digunakan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yaitu dengan mengkreditkan Pajak Masukannya juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 PMK-190 tersebut;
    Bahwa untuk dapat mengklaim adanya kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) harus dapat membuktikan bahwa PPN tersebut telah dibayar ke kas Negara;
    8.2.9.
    Bahwa fakta yang terungkap dalam persidangan, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak menunjukkan bukti pembayaran PPN tersebut dan dengan demikian klaim Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berupa pengkreditan Pajak Masukan sebesar Rp21.083.040,00 atas perolehan TBS yang seharusnya tidak terutang juga tidak dapat diakui;
    Bahwa hal yang sama juga berlaku untuk permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
    8.2.10.
    Bahwa pada persidangan, Majelis tidak cermat dalam membaca dan menafsirkan ketentuan PMK-190 tersebut dan tidak ada pembuktian dalam persidangan kalau PPN yang diklaim Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut telah dibayarkan.
    Bahwa oleh karenanya kebenaran substansi transaksi berupa pembayaran PPN sebesar Rp21.083.040,00 tidak terbukti;
    8.2.11.
    Bahwa berdasarkan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa: Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
    8.2.12.
    Bahwa oleh karenanya, pendapat/putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan terkait dengan perolehan TBS sebesar Rp21.083.040,00 tidak sesuai dengan fakta dan bukti di persidangan serta tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak dan oleh karenanya diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;
    8.3.
    Bahwa terhadap sengketa berupa koreksi positif Pajak Masukan sebesar Rp62.237.482,00 dapat diuraikan sebagai berikut:
    8.3.1.
    Bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN adalah sebagai berikut:
    Bahwa untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus;
    Bahwa namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undang-undang perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan;
    8.3.2.
    Bahwa PP 31, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
    Bahwa karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
    8.3.3.
    Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas yaitu meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama, bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan prinsip equal karena tidak mempertimbangkan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
    8.3.4.
    Bahwa secara teoritis prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax), Sally M. Jones dan Shelley C. Rhoades-Catanach dalam bukunya Priciples of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 yang menulis antara lain :
    Pajak yang baik seharusnya adil;
    Bahwa selanjutnya dalam halaman 32-37 menyebutkan kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut antara lain: keadilan horizontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapatkan perlakuan pajak yang sama;
    8.3.5.
    Bahwa konsep keadilan horisontal di atas sudah sejalan dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana juga diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
    8.3.6.
    Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas PK dan PM, dapat dijelaskan sebagai berikut:
    • Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
      -
      Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS
      -
      PM kebun tidak dapat dikreditkan;
      -
      PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO;
    • Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
      -
      Atas penyerahan CPO terutang PPN;
      -
      Tidak ada PM atas Pembelian TBS;
      -
      PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unsur HPP bagi CPO;
    • Dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
      -
      Tidak ada PPN atas TBS;
      -
      PPN hanya atas CPO;
      -
      PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;
    8.3.7.
    Bahwa apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada:
    • Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan PM kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
    • Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah;
    • Bahwa oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada PK baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk), dan tidak ada PM yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk);
    8.3.8.
    Bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis;
    Bahwa jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (termasuk didalamnya adalah para petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena PM menjadi HPP);
    Bahwa hal tersebut bertentangan dengan netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis;
    8.3.9.
    Bahwa selain itu, apabila dicermati, ketentuan yang diatur dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN disebutkan dengan redaksional, sebagai berikut: “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;
    Bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 1277, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta 2007, kata “yang bermakna:
    kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata yang didepannya;
    Bahwa oleh karena itu, Kalimat “atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan, bukan merupakan kalimat utama, melainkan kalimat keterangan atau penjelas dari kalimat “Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
    Bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bagaimana;
    Bahwa kalimat tersebut bukan kalimat utama, melainkan kalimat penjelas kalimat sebelumnya;
    Bahwa dengan demikian, penentuan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan atau tidak, bukan didasarkan pada ada tidaknya penyerahan, melainkan jenis BKP/JKP yang diperolehnya, yang dalam kasus ini adalah TBS;
    Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16B ayat (3) UU PPN dapat dipahami : Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan;
    8.3.10.
    Bahwa PPN merupakan pajak objektif, yaitu suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif (taatbestand) atau objek pajak;
    Bahwa mengingat dalam hal ini, obyeknya adalah TBS yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka:
    • Tidak ada PK baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk);
    • Dengan tidak ada PK, maka tidak ada PM yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk);
    8.3.11.
    Bahwa dalam penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN diberikan contoh sebagai berikut:
    Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
    Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
    Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
    Bahwa kata yang digunakan dalam Pasal 16B adalah “Memproduksi bukan “Menyerahkan;
    Bahwa pemilihan kata “Memproduksi dalam Penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN menguatkan karakter objektif PPN. Kepada siapapun, dengan cara apapun, dan dalam kondisi apapun, sesuai karakter objektif dari pengenaan PPN, atas produk TBS dibebaskan dari pengenaan PPN;
    8.3.12.
    Bahwa mengenai perihal ketentuan khusus dari Pasal 16B UU PPN, bahwa karena kekhususannya tersebut maka Pasal 16B UU PPN lebih utama dibandingkan dengan ketentuan yang bersifat umum;
    Bahwa jika untuk mengkoreksi Pajak Masukan menurut Pasal 16B UU PPN harus memastikan adanya penyerahan kepada pihak ketiga, lalu pertanyaan yang timbul kemudian adalah untuk apa UU PPN mengatur dua kali. Bukankah hal tersebut sudah diatur di Pasal 9 ayat (5), inilah kekhususan dari Pasal 16B UU PPN tersebut;
    8.4.
    Bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak (PMK-78) sebagai pengganti dari KMK-575 dan SE-90 juga mengatur sebagai berikut:
    1)
    Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam 2 (dua) ketentuan tersebut di atas berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated), hal ini sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN tersebut pada angka 2;
    2)
    Bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (Integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
    8.5.
    Bahwa dengan demikian dapat disampaikan:
    1. Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai PP 31, maka Pasal 16 B ayat (3) UU PPN dapat dipahami : Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan;
    2. Bahwa PPN atas pupuk dan pembelian lainnya yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan TBS, yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
    8.6.
    Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51/P/PTS/XII/2011/P/HUM/2010 mengenai Perkara Permohonan Uji Materi Terhadap PMK-78 pada intinya memutuskan bahwa secara kaidah dan norma di dalam PMK-78 tidak bertentangan dengan peraturan perundangan perpajakan yang lebih tinggi, kaidah dan norma di dalam PMK-78 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN pada prinsipnya sama dengan kaidah dan norma dalam KMK-575 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN dan Pasal 16B UU PPN.
    Bahwa dengan demikian secara yuridis kebijakan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa berupa pupuk dan pembelian lainnya yang dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS yang merupakan BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN;
    8.7.
    Bahwa kemudian, terdapat Putusan Mahkamah Agung No-70 P/HUM/2014 Perkara Permohonan Hak Uji Materiil antara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) melawan Presiden Republik Indonesia, yang mana dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menerima uji materi yang disampaikan oleh KADIN;
    8.8.
    Bahwa sebagaimana diketahui bahwa Permohonan Hak Uji Materi terhadap PP 31, berkaitan dengan materi:
    • Pasal 1 ayat (1) huruf C:
      Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah:
      barang hasil pertanian;
    • Pasal 1 ayat (2) huruf A:
      Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
    • Pasal 2 ayat (1) huruf F:
      Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa: barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
    • Pasal 2 ayat (2) huruf C:
      Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa: barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c; dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
    8.9.
    Bahwa sehubungan dengan putusan Mahkamah Agung atas Hak Uji Materiil tersebut, dengan ini dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut:
    Bahwa apabila suatu putusan telah dibuat maka ada jangka waktu pelaksanaannya sampai dengan dinyatakan tidak berlaku atau dicabut;
    Bahwa dalam ketentuan UU PERATUN dikenal asas vermoeden van rechmatigheid yang berarti bahwa “keputusan organ pemerintahan yang digugat hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum;
    Bahwa istilah dibatalkan atau vernietigbar, berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintah lain yang berwenang;
    Bahwa badan pemerintah lain yang berwenang di sini dapat dikatakan adalah Presiden selaku yang berwenang dalam penetapan PP tersebut;
    Bahwa dalam vernietigbaar, salah satu unsurnya adalah ex nunc, yang secara harfiah diterjemahkan “sejak saat sekarang.
    Bahwa dalam konteks ini, ex nunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya;
    Bahwa sesuai dengan penjelasan di atas berarti bahwa sebelum ada terbit putusan yang memperbarui atau membatalkan peraturan yang lama, maka peraturan tersebut, dalam hal ini PP 31, masih tetap berlaku dan dipakai sebagai pedoman sampai dengan dinyatakan Tidak Berlaku lagi atau dicabut;
    Bahwa sesuai dengan asas vermoeden van rechmatigheid, MA dalam putusannya membatalkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf C, Pasal 1 ayat (2) huruf A, Pasal 2 ayat (1) huruf F, dan Pasal 2 ayat (2) huruf C, PP 31;
    Bahwa putusan Perkara Permohonan Hak Uji Materi No.70P/HUM/2014 tersebut ditetapkan pada tanggal 25 Februari 2014. Dan sesuai dengan kaidah ex nunc maka perlakuan atas kasus-kasus yang terjadi sebelum keluarnya putusan Uji Materi ini masih TETAP menggunakan ketentuan yang berlaku pada saat itu sebelum putusan MA tersebut ditetapkan, dalam hal ini PP 31 atau ketentuan-ketentuan sebelumnya;
    Bahwa dengan demikian, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berkesimpulan bahwa Putusan perkara Permohonan Hak Uji Materi mulai berlaku ke depan sejak tanggal ditetapkan;
    Bahwa sejak tanggal ditetapkan tersebut dan ke depannya, perlakuan perpajakan atas barang pertanian yang bersifat strategis tidak dapat lagi mengacu kepada PP 31;
    Bahwa dengan demikian, Putusan MA atas Uji Materiil PP 31 tersebut TIDAK BERPENGARUH terhadap sengketa antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk tahun pajak 2010 karena dalam kurun waktu tersebut, PP tersebut masih berlaku dan belum dibatalkan, dan dengan demikian masih sangat relevan dijadikan pedoman oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam melaksanakan tugas di bidang perpajakan;
    8.10.
    Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas telah jelas bahwa Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis;
    Bahwa oleh karenanya putusan Majelis Hakim yang mengabulkan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar Rp62.237.482,00 dengan mendasarkan pada TBS yang diproses di pabrik sendiri adalah tidak tepat;
    Bahwa fokus seharusnya terletak pada TBS sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis, dengan demikian baik TBS tersebut diserahkan kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan CPO atas keseluruhan Pajak Masukannya tetap tidak dapat dikreditkan;
    Bahwa oleh karenanya atas banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang dikabulkan Majelis Hakim sebesar Rp62.237.482,00 diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;
    8.11.
    Bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, Norma Hukum dalam hal ini adalah undang-undang merupakan hukum konkrit sebagai peraturan yang riil berlaku sebagai hukum positif, yang mengikat untuk dilaksanakan;
    Bahwa demi menjamin kepastian hukum, maka ketentuan tersebut sebagai Norma Hukum tidak dapat dikesampingkan oleh Majelis Hakim;
    Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan;
    8.12.
    Bahwa Pasal 78 UU Pengadilan Pajak menyatakan:
    “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
    8.13.
    Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amar pertimbangan dan amar putusan Majelis yang berketetapan mengabulkan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terhadap koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp62.237.482,00 bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, PP 31 dan PMK- 78, sehingga melanggar ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak, dan oleh karena itu diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;

  7. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.57873/PP/M.XIIIB/16/2014 tanggal 27 November 2014 harus dibatalkan;
  1. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.57873/PP/M.XIIIB/16/2014 tanggal 27 November 2014 yang menyatakan:
Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor KEP-648/WPJ.01/2013 tanggal 2 September 2013 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Masa Pajak Juli 2010 Nomor 00050/207/10/123/12 tanggal 19 Juni 2012, atas nama: PT FGH, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-XXX.000, beralamat di Gedung GHJ Tower- Lantai 9, Jalan PQR Nomor 10, Kesawan, Medan Barat, Medan X0XXX, dengan perhitungan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebagaimana tersebut di atas;
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM


Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-648/WPJ.01/2013, tanggal 2 September 2013, mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Juli 2010 Nomor 00050/207/10/123/12, tanggal 19 Juni 2012, atas nama Pemohon Banding, NPWP 0X.XXX.XXX.X-XXX.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp71.431.114,00 adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
  1. Bahwa alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp83.320.522,00 yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding adalah industri penghasil minyak kelapa sawit berupa CPO yang mengolah TBS sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menghasilkan CPO sebagai hasil akhir pabrikasi dan penyerahan TBS dari unit perkebunan ke pabrik bukan termasuk penyerahan BKP, di mana atas penyerahan CPO kepada pembeli terutang PPN sebesar 10%, sehingga Pajak Masukan atas penyerahan CPO dapat dikreditkan, dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ/2002;
  2. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,


Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 21 Februari 2017, oleh Dr. H. M. XYZ, S.H., M.S., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. FFF, SH., M.Hum. dan GGG, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH, S.H., M.H, Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.



Hakim-Hakim Anggota :

        ttd/

Dr. FFF, SH., M.Hum.

        ttd/

GGG, S.H., M.H.,






Biaya biaya :
1.  M e t e r a i…………….. Rp        6.000,00
2.  R e d a k s i…………….. Rp        5.000,00
3.  Administrasi ………..….   Rp 2.489.000,00
Jumlah ……….                      Rp 2.500.000,00


Ketua :

ttd/

Dr. H. M. XYZ, S.H., M.S.,




Panitera Pengganti

ttd/

HHH, S.H., M.H,





Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG RI
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,



H. RTY, S.H.
NIP. XX0000XXX