Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-86004/PP/M.XIIIB/13/2017

Kategori : Bea Cukai

bahwa nilai sengketa terbukti dalam banding ini adalah koreksi atas nilai DPP PPh Pasal 26 Tahun Pajak 2010 sebesar Rp11.598.797.061,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;


  Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-86004/PP/M.XIIIB/13/2017

Jenis Pajak : PPh Pasal 26
     
Tahun Pajak : 2010
     
Pokok Sengketa : bahwa nilai sengketa terbukti dalam banding ini adalah koreksi atas nilai DPP PPh Pasal 26 Tahun Pajak 2010 sebesar Rp11.598.797.061,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
     
     
Menurut Terbanding : bahwa Penetapan DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp11.598.797.061,00 berasal dari peredaran bruto yang merupakan penghasilan dari penyewaan kapal ke PT AAA selama periode Januari sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp247.837.544.030,00;bahwa karena Pemohon Banding tidak menyampaikan laporan keuangan sehingga tidak diketahui biaya-biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, maka penghasilan kena pajak ditentukan dengan menggunakan norma penghasilan neto bagi perusahaan pelayaran luar negeri. Berdasarkan KMK-417/KMK.04/1996, penghasilan kena pajak ditetapkan sebesar 6% dari penghasilan bruto. Dengan demikian penghasilan kena pajak Pemohon Banding untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp14.870.252.641,00 (berasal dari Rp247.837.544.030,00 x 6%);

bahwa atas penghasilan dari penyewaan kapal, Pemohon Banding telah dipotong PPh Final Pasal 15 sebesar Rp3.271.455.581,00 oleh PT AAA. Dengan demikian objek PPh Pasal 26 adalah sebesar Rp11.598.797.060,00, berasal dari penghasilan kena pajak dikurangi PPh Final Pasal 15 (Rp14.870.252.641,00 – Rp3.271.455.581,00);

bahwa Pasal 26 ayat (4) UU PPh menyebutkan Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

bahwa pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) tersebut bertujuan untuk mencegah pengalihan dana/penghasilan ke luar negeri dan hal ini terbukti dari ketentuan bagi BUT yang menanamkan kembali penghasilannya di Indonesia, dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4);

bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-417/KMK.04/1996 yang menyatakan bahwa bagi BUT yang kegiatan usahanya pelayaran luar negeri tidak akan dikenakan lagi PPh Pasal 26;

bahwa dalam persidangan Terbanding menyampaikan tambahan penjelasan sebagai berikut:

bahwa dasar Terbanding melakukan koreksi adalah sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa “Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”;

bahwa kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, ditegaskan pada Pasal 1 ayat (1) bahwa “Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008”;

bahwa dalam di Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 bahwa “Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final”;

bahwa dengan demikian menurut Terbanding untuk Pasal 15 adalah pajak penghasilan atas BUT tersebut, tetapi untuk penghasilan laba BUT yang dikirim ke holding harus tetap dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4);

bahwa di dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dan/Atau Penerbangan Luar Negeri, disebutkan bahwa:

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri;

Pasal 2

(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
(2) Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final;
     
bahwa menurut Terbanding tidak ada breakdown 2,64% seperti yang disampaikan dalam penjelasan tertulis Pemohon Banding yang menyebutkan bahwa tarif atas BPT (Branch Profit Tax) masuk dalam 2,64% tersebut, karena dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 hanya dijelaskan bahwa untuk pelayaran luar negeri dikenakan tarif Pajak Penghasilan Final sebesar 2,64%;

bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 adalah tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, yang merupakan amanat dari Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan;

bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 adalah tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dan/Atau Penerbangan Luar Negeri, yaitu sebesar 2,64% dari peredaran bruto dan bersifat final, dan tidak ada breakdown 2,64% seperti yang disampaikan dalam penjelasan tertulis Pemohon Banding sehingga Terbanding tidak dapat meyakini apakah 2,64% tersebut di dalamnya ada tarif BPT (Branch Profit Tax) tersebut;

 bahwa dalam mencari nilai Rp11.598.797.061,00, untuk Pasal 26 ayat (4) laba yang dikirim setelah dikurangi biaya-biaya yang terkait, tapi karena tidak ada dokumen yang diberikan terkait biaya-biaya tersebut maka Terbanding menggunakan pendekatan KMK-417/KMK.04/1996, berarti biayanya sudah diwakili oleh 6% dari peredaran bruto, dan dikurangi oleh pajak yang sudah dibayarkan di Indonesia yaitu Pajak Penghasilan Pasal 15;

bahwa Peredaran bruto Pemohon Banding Rp247.837.544.030,00, Penghasilan nettonya 6% dari nilai tersebut adalah Rp14.870.252.641,00, kemudian dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 15 yang sudah dibayar;

bahwa dengan demikian biaya yang dapat Terbanding telusuri hanyalah Pajak Penghasilan final yang sudah dibayarkan, dan kemudian dikurangkan oleh Terbanding, apabila ada biaya lain yang dapat diperhitungkan maka akan Terbanding kurangkan, namun yang dapat Terbanding telusuri hanyalah Pajak Penghasilan final tersebut sehingga selebihnya merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4);

bahwa tarif Pajak Penghasilan Pasal 15 tersebut 2,64% dipotong tax treaty, sehingga tarif efektifnya adalah 1,32%;

bahwa di KMK-417/KMK.04/1996 tidak ada rinciannya, hanya ada penghasilan netto 6% dan tarif efektifnya 2,64%, sedangkan unsur-unsurnya tidak diketahui. Apabila itu memang diketahui secara eksplisit;
     
Menurut Pemohon : bahwa sekalipun di dalam tarif PPh Final Pasal 15 untuk perusahaan pelayaran luar negeri sudah memuat perhitungan PPh Pasal 26 untuk BUT, sesuai PMK nomor 257/PMK.03/2008, Wajib Pajak tetap dikenakan PPh Pasal 26 ayat (4) UU PPh dengan perhitungan Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final;

bahwa alasan yang dikemukakan Terbanding tidak sesuai dengan peraturan dan ketentuan perpajakan, karena:

bahwa Terbanding mengakui adanya konsep double taxation, dan ini adalah bertentangan dengan prinsip undang-undang perpajakan yang tidak boleh mengenakan pajak 2 (dua) kali atas objek yang sama, artinya Terbanding melanggar undang-undang perpajakan itu sendiri;

bahwa nyata-nyata dan dinyatakan dalam Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan nomor PHP-08/WPJ.21/KP.0505/2015 tanggal 13 Januari 2015 Terbanding menghitung DPP PPh Pasal 26 ayat (4) UU PPh dengan cara mengurangkan pajak BUT dari Penghasilan Kena Pajak (6 % dari Peredaran Bruto) dan cara tersebut tidak sesuai dengan PMK nomor 257/PMK.03/2008 yang didalilkan oleh Terbanding yaitu dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final, bukan menggunakan tarif norma khusus penghasilan neto;

bahwa PMK-257/PMK.03/2008 adalah pengganti KMK-602/KMK.04/1994, KMK- 113/KMK.03/ 2002 dan dirubah terakhir dengan PMK-14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, yang merupakan petunjuk teknis pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) dan bersifat umum sedangkan KMK-417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dan/Atau Penerbangan Luar Negeri,dan sampai saat belum dihapus, merupakan aturan khusus untuk bidang usaha pelayaran;

bahwa usaha Pemohon Banding adalah dibidang pelayaran, sehingga secara peraturan mengacu pada KMK-417/KMK.04/1996 bukan pada PMK-257/PMK.03/2008 (lex specialis derogat legi generalis);

bahwa berdasarkan KMK-417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri, dapat disampaikan sebagai berikut:

bahwa Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ditetapkan sebesar 6 % (enam persen) dari peredaran bruto (Pasal 2 ayat (1));

bahwa besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto (Pasal 2 ayat (2));

bahwa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final (Pasal 2 ayat (3));

bahwa KMK-417/KMK.04/1996 diterbitkan tanggal 14 Juni 1996 mengacu kepada Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 10 Tahun 1994 dimana sesuai Pasal 17 tarif lapisan tertinggi untuk Wajib Pajak Badan adalah sebesar 30% (Tiga Puluh Persen);

bahwa besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto adalah dari perhitungan sebagai berikut:

Peredaran Bruto
Penghasilan Netto
Tarif WP Badan
Tarif efektif PPh Final Pasal 15
100%

6%
30%
1,8%


          (dari peredaran bruto)
          (lapisan tertinggi Pasal 17)
          (berasal dari 6% X 30%)

Tarif Branch Profit Tax PPh Pasal 26 ayat (4) UU PPh adalah 20 %
Penghasilan Netto
Tarif PPh Final Pasal 15     
DPP Branch Profit Tax             
Tarif PPh Pasal 26 ayat (4)         
Besarnya Branch Profit Tax         
Tarif PPh Final KMK-417

6 %

1,8 %

4,2 %
20 %
0,84 %

2,64 %


          (berasal dari 6 % - 1,8 %)


          (berasal dari 1,8%+0,84%)

bahwa berdasarkan KMK-417/KMK.04/1996 tarif PPh Pasal 15 sebesar 2,64 % telah memperhitungkan unsur Branch Profit Tax;

bahwa besarnya pemotongan PPh Final Pasal 15 UU PPh oleh AAA menggunakan tarif 1,32% berdasarkan Pasal 8 angka 2 P3B Indonesia-Singapura menyatakan pengurangan 50% dari PPh terutang;

bahwa dengan demikian koreksi pemeriksa atas DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp11.598.797.060,00 berakibat Pengenaan Pajak Berganda (Double Taxation);
     
Menurut Majelis : bahwa dalam hal banding Majelis hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan yang berlaku dan sengketa pajak yang menjadi objek pemeriksaan adalah sengketa yang dikemukakan Pemohon Banding dalam permohonan keberatan yang seharusnya diperhitungkan dan diputuskan dalam keputusan keberatan;

bahwa Majelis dalam rangka memeriksa dan memutus sengketa Banding, menggunakan pertimbangan hukum berdasarkan keterangan dari para pihak baik secara lisan maupun tulisan, penilaian terhadap alat bukti yang memiliki relevansi dan validasi yang cukup dan memadai, fakta yang ditemukan dalam persidangan, peraturan perundang-undangan berlaku yang relevan terhadap sengketa yang diajukan, serta berdasarkan pengetahuan dan keyakinan Hakim;

bahwa dari argumentasi para pihak dalam persidangan diketahui yang menjadi pokok sengketa adalah perbedaan penerapan dasar hukum yang digunakan dalam menghitung pajak atas penghasilan dari penyewaan kapal bagi wajib pajak luar negeri yang mempunyai BUT di Indonesia, yaitu menurut Terbanding penghasilan Pemohon Banding dari penyewaan kapal merupakan obyek PPh Pasal 26 dengan tarif 20%, sementara menurut Pemohon Banding penghasilan a quo seharusnya dikenakan dengan tarif 2,64% sesuai dengan Pasal 15 UU PPh;

bahwa alasan Terbanding melakukan koreksi atas obyek PPh Pasal 26 sebesar Rp.11.598.797.060,00 disebabkan:

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Pemohon Banding tidak melaporkan kewajiban PPh Pasal 26 atas bentuk Usaha tetap yang menjalankan kegiatan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh. Selain itu, Pemohon Banding tidak menyampaikan pemberitahuan penanaman kembali penghasilan yang diterimanya di Indonesia;
2. Penetapan obyek PPh Pasal 26 sebesar Rp.11.598.797.060,00 berasal dari:
a) Peredaran bruto yang merupakan penghasilan dari penyewaan kapal ke PT AAA selama periode Januari s.d. Desember 2010 sebesar Rp.247.837.544.030,00 ;
b) Karena Pemohon Banding tidak menyampaikan laporan keuangan sehingga tidak diketahui biaya-biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, maka penghasilan kena pajak ditentukan dengan menggunakan norma penghasilan neto bagi perusahaan pelayaran luar negeri. Berdasarkan KMK-417/KMK.04/1996 penghasilan kena pajak ditetapkan sebesar 6% dari penghasilan bruto. Penghasilan kena pajak Pemohon Banding untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp.14.870.252.641,00;
c) Atas penghasilan dari penyewaan kapal, Pemohon Banding telah dipotong PPh Final Pasal 15 sebesar Rp.3.271.455.581,00 oleh AAA. Dengan demikian obyek PPh Pasal 26 adalah sebesar Rp.11.598.797.060,00 berasal dari penghasilan kena pajak dikurangi PPh Final Pasal 15 (Rp.14.870.252.641,00- Rp.3.271.455.581,00);
 
bahwa alasan Pemohon Banding tidak setuju dikoreksi karena penghasilan Pemohon Banding sudah dipotong PPh Final Pasal 15 berdasarkan KMK-417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 Jo. SE-32/PJ.4/1996 tanggal 29 Agustus 1996, sementara Terbanding menggunakan PMK-257/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 untuk mengenakan PPh Pasal 26 ayat (4).

Selanjutnya Pemohon Banding menyatakan bahwa pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) mengakibatkan pengenaan pajak dua kali atas obyek yang sama, yang berarti melanggar undangundang perpajakan itu sendiri.

bahwa dari argumentasi para pihak di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah perbedaan penerapan dasar hukum yang digunakan dalam menghitung pajak atas penghasilan dari penyewaan kapal oleh perusahaan pelayaran luar negeri melalui BUT di Indonesia.

Majelis akan meneliti hal-hal yang relevan dengan pokok sengketa:

  1. Peraturan perpajakan yang berlaku
  2. Besaran tarif PPh atas penghasilan penyewaan kapal bagi wajib pajak luar negeri yang diterapkan
bahwa sesuai Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.36 Tahun 2008 (UU PPh), berbunyi : bentuk usaha tetap merupakan subyek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subyek pajak badan. Subyek pajak dibedakan menjadi subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri (ayat (2);

bahwa sesuai Pasal 4 UU PPh a quo, berbunyi: subyek pajak luar negeri adalah (1) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;(2) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

bahwa yang menjadi obyek pajak adalah diatur dalam Pasal 4 s.d. Pasal 15 UU PPh. Dalam Pasal 5 diatur secara khusus mengenai obyek pajak bagi BUT. Pada ayat (1) berbunyi: Yang menjadi obyek pajak bentuk usaha tetap adalah:
  1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
  2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di In Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
  3. Penghasilan sebagaimana tersebut Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan;

bahwa adapun cara menghitung penghasilan kena pajak bagi BUT diatur dalam Pasal 16 ayat (3) sebagai berikut: penghasilan kena pajak bagi wajib pajak luar negeri menjalankan usahanya atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 92) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf (c), huruf (d), huruf (e) dan huruf (g);

bahwa pemajakan terhadap BUT menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf (b) dan ayat (2a) UU PPh. Besarnya tarif pajak untuk tahun pajak 2009 sebesar 28% dan mulai tahun pajak 2010 menjadi 25% kecuali BUT tertentu yang penghasilannya dihitung dengan menggunakan norma penghtiungan khusus yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

bahwa apabila perusahaan asing menjalankan usahanya melalui bentuk usaha tetap (a permanent establishment) berarti perusahaan tersebut tidak berbadan hukum Indonesia sehingga BUT bukan wajib dalam negeri. BUT adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Salah satu perbedaan perlakuan perpajakan BUT dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax (BPT).

Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT dikenakan tambahan PPh atas laba setelah pajak (net income after tax) yang diperoleh BUT sebesar 20% atau sesuai tarif yang berlaku dalam Tax Treaty;

bahwa Pasal 26 ayat (4) UU PPh menyebutkan penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan. Pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) bertujuan untuk mencegah pengalihan dana/penghasilan ke luar negeri. Hal ini terbukti dari ketentuan bagi BUT yang menanamkan kembali penghasilannya di Indonesia, dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4);

bahwa dari argumentasi para pihak dalam persidangan Majelis melihat terdapat ketentuan perpajakan yang disebut oleh para pihak yaitu PPh Pasal 26 dan Pasal 15;

bahwa UU PPh berlaku bagi wajib pajak dalam negeri maupun luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari dalam negeri termasuk wajib pajak BUT, dan UU PPh mencakup pula ketentuan tentang BPT sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh dalam hal ini yang menjadi argumentasi dan kontra argumentasi oleh para pihak dalam persidangan;

bahwa Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan diatur:
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% diberikan contoh dalam penjelasan sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia dalam tahun 2009, adalah sebesar

Rp. 17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan 28% x Rp.17.500.000.000,00 Rp.   4.900.000.000,00
Penghasilan kena pajak setelah pajak Rp. 12.600.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang : 20% x Rp12.600.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00.

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp.12.600.000.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak;

bahwa Peraturan Menteri Keuangan No.257/PMK.03/2008 Pasal 1, mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan kena pajak setelah dikurangi pajak penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap dikenai pajak penghasilan Pasl 26 ayat (4) UU PPh, kecuali apabila penghasilan a quo ditanamkan kembali di Indonesia;

bahwa dari ketentuan tersebut melalui Pasal 26 ayat (4) ini menurut Majelis terdapat pembatasan adanya pengalihan uang dari dalam negeri ke luar negeri, sementara peraturan pelaksanaan (PMK No.257) mengatur bahwa hanya penghasilan yang ditanamkan kembali tidak dipotong pajak. Berarti jika penghasilan tidak ditanamkan kembali di Indonesia dipotong pajak PPh Pasal 26;

bahwa terkait dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 berbunyi: Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari wajib pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri keuangan;

bahwa dalam Keputusan Menteri Keuangan No.417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Perhitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri, berbunyi:

Pasal 1        
Yang dimaksud dengan peredaran usaha bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri;

Pasal 2
Ayat (1) : penghasilan neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri ditetapkan sebesar 6% dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam pasal 1;
Ayat (2) : besarnya pajak penghasilan bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri ditetapkan sebesar 2,64% dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
Ayat (3) : Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final;

bahwa dari ketentuan Pasal 15 UU PPh tersebut memberi peluang penerapan Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari wajib pajak tertentu yang tidak dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3). Pasal 16 menyatakan bahwa untuk menghitung PPh terutang adalah berdasarkan penghasilan kena pajak yang dihitung dengan menerapkan ketentuan pada UU PPh beserta aturan pelaksanaannya. Norma penghitungan khusus tersebut ditetapkan Menteri Keuangan. Tidak semua wajib pajak dapat menerapkan Pasal 15 sebab hanya golongan wajib pajak tertentu, yaitu: Perusahaan Pelayaran atau penerbangan internasional yang memiliki BUT; Perusahaan Asuransi luar negeri; Perusahaan Pengeboran minyak, gas dan panas bumi; Perusahaan Dagang asing; Perusahaan Yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-gunaserah; dan Perusahaan Pelayaran atau penerbangan dalam negeri;

bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 15 UU PPh memberi petunjuk dalam menghitung penghasilan neto dan pajak terutang bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan.

Untuk menghitung penghasilan neto ditetapkan sebesar 6% dari penghasilan bruto, sementara besarnya pajak penghasilan ditetapkan sebesar 2,64% dari peredaran bruto. Pajak atas penghasilan a quo bersifat final;

bahwa pengaturan khusus tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri dipertegas lebih lanjut dalam SE Dirjen Pajak Nomor: SE-32/PJ.4/1996, yaitu:

Butir 2:
Wajib Pajak yang dicakup dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 417/KMK-04/1996 adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melaui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Butir 4:
Besarnya Norma Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan /atau penerbangan luar negeri sebagai dimaksud pada butir 3 adalah sebesar 6 %(enam persen) dari peredaran bruto, Besarnya PPh yang wajib dilunasi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri seperti tersebut pada butir adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen)

bahwa dari ketentuan tersebut, Majelis berpendapat dalam Pasal 15 UU PPh jo. Keputusan Menteri Keuangan No.417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996 tanggal 29 Agustus 1996, telah diatur dengan jelas bahwa pajak penghasilan wajib pajak luar negeri (perusahaan pelayaran) yang diperoleh melalui BUT di Indonesia ditetapkan sebesar 2,64% dari penghasilan bruto;

bahwa dari argumentasi para pihak dalam persidangan, diketahui Pemohon Banding merupakan suatu perusahaan pelayaran luar negeri yang didirikan dan berkedudukan tidak di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran melalui BUT di Indonesia, memperoleh penghasilan dari penyewaan kapal kepada AAA. Atas penghasilan a quo telah dipotong PPh bersifat Final berdasarkan Pasal 15 UU PPh;

bahwa Pemohon Banding dalam menghitung pajak penghasilan didasarkan pada ketentuan Pasal 15 UU PPh jo. KMK No.417/KMK.04/1996, karena Pemohon Banding memiliki kegiatan usaha di bidang pelayaran luar negeri yang merupakan wajib pajak tertentu, menurut Majelis sudah tepat;

bahwa namun, dalam menghitung pajak atas penghasilan dari penyewaan kapal bagi wajib pajak luar negeri yang melakukan usahanya melalui BUT di Indonesia Terbanding menerapkan Norma Penghitungan khusus penghasilan neto didasarkan pada KMK-417/KMK.04/1996 dan mendasarkan pula pada Pasal 26 ayat (4) UU PPh menurut Majelis tidak tepat, karena Pemohon Banding merupakan wajib pajak tertentu oleh undang-undang diberi peluang untuk menerapkan Norma Penghitungan Khusus dalam menghitung pajak atas penghasilan yang diperolehnya melalui BUT di Indonesia yaitu mendasarkan pada Pasal 15 UU PPh. Sementara Pasal 26 ayat (4) UU PPh, merupakan ketentuan yang bersifat umum dalam pengertian PPh Pasal 26 ayat (4) berlaku bagi semua wajib pajak, kecuali bagi wajib pajak tertentu yang telah diatur khusus dalam Pasal 15 UU PPh;

bahwa sesuai dengan Penjelasan Pasal 15 UU PPh disebutkan, Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk banngun-guna-serah (‘build operete , and transfer).

bahwa Penjelasan lebih lanjut dari Pasal 15 UU PPh disebutkan Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut. Dan norma Penghitungan Khusus untuk perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional ditetapkan melalui KMK-417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 dan untuk perusahaan dagang asing ditetapkan melalui KEP-667/PJ./2001, tanggal 29 Oktober 200;

bahwa sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-2/PJ.03/2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Penegasan atas Penerapan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia, pada butir 1 SE tersebut diuraikan:

KEP-667/PJ.2001 tersebut mengatur:
a. “Pasal 2 Ayat (1)
Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan 1 % (satu persen) dari nilai ekspor bruto”.
b. “Pasal 2 Ayat (2)
Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 0,44 % (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto dan bersifat final”
c. Adapun dasar perhitungan 0,44% adalah sebagai berikut:
-
-

-
PPh atas penghasilan kena pajak terutang : 30% x 1%
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi : 20% x (1-0,3)%
Pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap (branch Profit tax/BPT) (tarif 20 %)
Total
= 0,30%
= 0,14%

= 0,44%
                    
bahwa untuk perusahaan pelayaran dan /atau penerbangan luar negeri yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996, jumlah penghasilan neto ditetapkan sebesar 6 % , maka dasar perhitungan besarnya pajak penghasilan dengan tariff 2,64% sebagai mana ditetapkan dalam KMK dimaksud dapat diuji berdasarkan rumusan perhitungan poin c di atas, sebagai berikut:

-
-

-
PPh atas penghasilan kena pajak terutang : 30% x 6%
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi: 20% x (6-1,80)%
Pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap (branch Profit tax/BPT) (tarif 20 %)
Total
= 1,80 %
= 0,84 %

= 2,64%;
      
bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis meyakini bahwa tarif PPh Pasal 15 atas Pelayaran Luar Negeri yang melakukan usaha melalui BUT di Indonesia sebesar 2,46% telah memperhitungkan unsur Branch Profit Tax (PPh Pasal 26), sama halnya dengan WP luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia yang dikenakan PPh sebesar 0,44%;

bahwa dalam persidangan terbukti Pemohon Banding menyampaikan COD (surat keterangan domisili) yang diterbitkan otoritas pajak Singapura, maka menurut Majelis perusahaan a quo berhak memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh P3B Indonesia – Singapura;

bahwa berdasarkah hal-hal tersebut di atas menurut Majelis pajak atas penghasilan wajib pajak luar negeri dibidang pelayaran dari penyewaan kapal terutang PPh Pasal 15 Jo. KMK No.417/KMK.04/1996, sudah tepat dan dengan demikian koreksi Terbanding atas obyek PPh Pasal 26 sebesar Rp.11.598.797.060,00 tidak dapat dipertahankan dan seharusnya dibatalkan;
     
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa Tarif Pajak;
     
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa Kredit Pajak;
     
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
     
Menimbang : bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, rekapitulasi pendapat Majelis atas pokok sengketa adalah sebagai berikut:

Uraian Sengketa Nilai
Sengketa
Dipertahankan
Majelis
Tidak dapat
dipertahankan Majelis
Obyek PPh Pasa 26 Rp.11.598.797.060,00 - Rp.11.598.797.060,00
     
Menimbang : bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka perhitungan DPP PPh Pasal 26 Tahun Pajak 2010 adalah sebagai berikut :

DPP PPh Pasal 26 cfm Terbanding     
Koreksi Tidak Dipertahankan Majelis     
DPP PPh Pasal 26 cfm Majelis
Rp. 11.598.797.060,00
Rp. 11.598.797.060,00
Rp                         0,00
     
Menimbang : bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding;
     
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini,
     
Memutuskan : Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-00103/KEB/WPJ.21/2016 tanggal 7 April 2016 tentang keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun Pajak 2010 Nomor 00002/204/10/043/15 tanggal 28 Januari 2015, atas nama: BUT XXX dan menetapkan Pajak yang masih harus dibayar menjadi sebagai berikut:

Penghasilan Neto         
Kompensasi kerugian                      
Penghasilan Kena Pajak         
PPh terutang         
Kredit Pajak         
Pajak Penghasilan yang Lebih dibayar     
Rp      0,00
-
Rp      0,00
Rp      0,00
Rp      0,00
Rp      0,00

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 16 Mei 2017 oleh Hakim Majelis XIIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis sebagai berikut:

Drs. ABC, S.H., M.PKN     
DEF, S.H., M,M.     
GHI, Ak     
dengan dibantu oleh
JKL, S.E., M.M.     
sebagai Hakim Ketua,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Hakim Anggota,

sebagai Panitera Pengganti,

Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 22 Agustus 2017 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, dan tidak dihadiri oleh Terbanding maupun tidak dihadiri oleh Pemohon Banding;