Perbandingan Pola Tax Competition di ASEAN dan Uni Eropa

Eksistensi sistem ekonomi global semakin menuntut adanya mobilitas barang, modal, tenaga kerja serta berbagai faktor input produksi. Hal ini mempengaruhi adanya berbagai kemungkinan untuk melakukan profit shifting atas aktivitas yang dikenakan pajak (taxable activities). Kebijakan pajak di suatu negara semakin cenderung mengakibatkan adanya eksternalitas fiskal dimana masing-masing negara semakin menyusun suatu strategi (strategic interaction) untuk memformulasikan suatu kebijakan pajak yang diharapkan mampu memobilisasi pergerakan modal ke negaranya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa isu tax competition cukup mendapat perhatian dari pembuat kebijakan, praktisi dan akademisi perpajakan.

Organisasi internasional seperti OECD juga memberikan perhatian khusus sebagai agenda kebijakan atas isu tersebut, termasuk dengan mengeluarkan influential report, OECD Report on Harmful Tax Competition tahun 1998 yang menarik perhatikan negara maju dan negara berkembang, termasuk negara-negara kawasan ASEAN. Dalam laporannya, OECD secara eksplisit menekankan isu mengenai kawasan/regional ekonomi dimana memungkinkan terjadinya tax competition termasuk daerah tax heaven, prefential tax treatment, information of exchange dan secrecy information yang merupakan dasar dari hal-hal yang menjadi bagian perhatian dan analisis teori international tax competition. Selain itu, Ruding Committee yang bahkan sejak 1992 mengeluarkan report yang membahas isu tax competition dan berfokus kepada skema-skema atau design untuk menarik modal terutama dari sektor finansial (Keen dan Konrad, 2011).

Pada dasarnya, studi tax competition bukanlah suatu hal yang baru di negara maju seperti Uni Eropa namun terus mendapat perhatian sehubungan dengan semakin berkembangnya transaksi global.  Penurunan tarif pajak yang juga terjadi di ASEAN juga mendapat perhatian khusus sehingga menimbulkan pertanyaan apakah pola penurunan pajak di ASEAN sama seperti penurunan tarif pajak di Uni Eropa yang merupakan evidence dari terjadinya tax competition.

Tax Competition

Asumsi dasar adanya tax competition dalam berbagai literatur adalah bahwa pada dasarnya keadaan ekonomi dapat dibagi menjadi bagian autonomus dimana modal dapat berpindah dengan bebas. Tax competition dihubungkan dengan penentuan tarif disuatu kawasan yang pada akhirnya berhubungan dengan keuntungan dan pengenaan pajak atas alokasi sumber daya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan tarif dari suatu kawasan ke kawasan lainnya sehingga terjadi penggelembungan modal di suatu wilayah – daerah yang menerapkan pajak rendah akan menerima aliran modal sementara wilayah dengan tarif tinggi tidak menerima aliran modal (Wilson, 1999; Leach, 2007).

Teori standar tax competition yang diadopsi dari literatur keuangan negara mengenai efisiensi penyediaan barang dan jasa publik, (Zodrow & Mieszkowski, 1986) menekankan 2 faktor penting yaitu faktor produksi serta tenaga kerja & modal. Modal (capital) dianggap dapat bergerak dengan bebas (mobile) lintas jurisdiksi namun tidak demikian halnya dengan tenaga kerja (immobile). Pajak diasumsikan sebagai sumber penyediaan barang publik yang diperoleh dari pemungutan dari capital dan tenaga kerja. Jika beban pajak marjinal dikenakan lebih tinggi kepada faktor modal yang dianggap mobile, maka akan terjadi capital outflow yang pada akhirnya menurunkan penerimaan pajak dan penyediaan barang dan jasa publik.

Pada dasarnya, jika kompetisi yang terjadi diantara pemerintah dipahami dengan baik, seharusnya perhatian pemerintah lebih diarahkan pada paket finansial secara keseluruhan dan upaya sederhana untuk mendapatkan kemudahan yang ditawarkan bagi pelaku usaha. Elemen utama dalam tax competition adalah bahwa modal dimiliki oleh perusahaan yang bersifat heterogenus. Pada dasarnya aliran modal bersifat mobile dan produktivitas perusahaan berbeda disetiap kawasan. Setiap perusahaan memperoleh suatu “service” dari pemerintah dimana hal tersebut menjadi perlu bagi  perusahaan dimana berlokasi, terutama sehubungan  net profit after tax merupakan salah satu ukuran sementara bahwa pada dasarnya pemerintah menggunakan penerimaan yang berasal dari pajak untuk penyediaan barang dan jasa publik (Wildasin, 1987).

Berbagai studi empiris menunjukkan terdapat evidence bahwa kebijakan fiskal di suatu negara bersifat interdependensi. Kebijakan pajak terlihat “membahayakan” atas arah aliran modal terletak pada jenis-jenis pajak atas modal (capital tax income), dimana jika terdapat pergerakan tarif pajak yang bersifat global (systematic international co-movement of tax rate). Pada kenyataannya tarif tersebut cenderung menurun dalam kurun waktu 3 dekade terakhir. Namun, pada kurun waktu yang sama, penerimaan rata-rata atas dasar pengenaan pajak tidak mengalami penurunan. Perlu ditekankan bahwa meskipun terjadi penurunan pajak hingga mencapai race to the bottom, fenomena tersebut tidak dapat serta merta dikatakan sebagai pola strategic interaction dan diasosiasikan kepada terjadinya tax competition (Keen dan Konrad, 2011).

Secara sederhana, tax competition dapat dideskripsikan sebagai sebuah situasi dimana kawasan atau jurisdiksi suatu daerah terhadap daerah lainnya saling mempengaruhi pembuat kebijakan untuk menentukan kebijakan pajaknya, khususnya tarif pajak atas modal. Dalam tataran praktis, misalnya dikatakan bahwa negara A memutuskan untuk menurunkan tarif pajaknya sehingga menaikkan after tax return investor diatas rata-rata. Adanya penurunan tarif ini diasumsikan mampu menarik modal dari negara B ke negara A. Penurunan tarif pajak di negara A mengakibatkan eksternalitas fiskal di negara B. Keadaan demikian membuat negara B turut serta menurunkan pajaknya setidaknya sejajar dengan negara A (Winner, 2005, 669). Dalam perhitungan praktis, strategi interaksi untuk melakukan tax setting dalam konteks tax competition digambarkan bahwa aliran modal ke negara A dipengaruhi oleh kebijakan fiskal di negara A, kebijakan fiskal di negara B serta faktor sosial, politik dan ekonomi di negara A. Dalam melakukan estimasi dalam perhitungan ekonometrika, faktor geografis negara A dalam kaitannya sebagai sebuah anggota negara kawasan tertentu menjadi instrumen.

Pada umumnya industri dengan teknologi piranti merupakan sektor yang cukup sensitif dengan kebijakan tarif pajak korporasi di suatu negara seperti kegiatan pemberian e-service. Badan usaha kelompok ini cenderung menghindari high-tax jurisdiction dan berupaya untuk mengalihkan keuntungan ke kawasan yang dianggap low-tax jurisdiction dengan berbagai jenis skema dengan sistem perkenomian yang semakin tanpa barrier. “Kemudahan” ini mengakibatkan pemerintah mengalami kesulitan untuk mempertahankan autonominya ketika menentukan kebijakan tarif pajak atas korporasi (James, 2000).

Pola Tax Competition di Uni Eropa

Penurunan tarif PPh Badan di Uni Eropa terjadi sejak 2 dekade terakhir yang memicu perdebatan untuk segera melakukan harmonisasi pajak dalam upaya mencegah terjadinya fenomena race to the bottom. Hal ini merupakan konsekuensi dari integrasi regional yang mengeliminasi barrier atas perdagangan lintas negara. Dasar pemikiran untuk segera melakukan harmonisasi adalah adanya pertimbangan ekonomi dimana jika harmonisasi tidak segera dilakukan maka akan berdampak negatif bagi penerimaan negara yang akan menurun terus menerus dan pada akhirnya mempengaruhi penyediaan barang dan jasa publik, meskipun hal ini menyalahi prinsip sovereignty suatu negara atas pengenaan pajak (Hayes Kirsten, 2011). Pola penurunan statutory corporate tax rate sejak 1979 hingga 2011 di Uni Eropa digambarkan dalam grafik berikut.

Grafik 1. Penurunan Statutory Corporate Tax Rate di Uni Eropa 1979-2011

Grafik 1
Sumber : OECD, 2011

Penurunan tarif pajak secara signifikan terjadi sejak tahun 1998 terutama setelah dipicu oleh penurunan tarif yang sangat drastis oleh Irlandia sehingga dijuluki “sick man of Europe”. Adanya supply side tax policy yang demikian dramatis mengakibatkan tingginya aliran modal ke Irlandia sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai otoritas pajak dan pembuat kebijakan di negara-negara Uni Eropa lainnya. Sejak 2011, European Commission membuat berbagai kebijakan untuk mengcounter kebijakan pajak Irlandia yang oleh OECD dikategorikan sebagai “harmful”. Selain itu, tax competition di Uni Eropa juga dipicu oleh masuknya anggota Uni Eropa baru (Bulgaria, Republik Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lituania, Polandia, Slovakia dan Slovenia) sejak 2003 yang tarif pajaknya lebih rendah dari tarif rata-rata negara Uni Eropa dimana rata-rata pajak korporasi yang berlaku di negara anggota baru tersebut sebesar 24%. Penurunan tarif di Uni Eropa dalam kurun waktu 1996 hingga 2008 mencapai 19,7% sementara penurunan tarif pajak rata-rata negara OECD hanya mencapai 17.8% Sebelumnya European Economic Community pada tahun 1975 berupaya untuk melakukan harmonisasi untuk mencegah terjadinya distorsi dengan membuat persetujuan tarif pajak minimum korporasi sebesar 45% kemudian direvisi menjadi 30% pada tahun 1992 namun hal tersebut gagal.

Kebijakan berani yang dilakukan oleh Irlandia mendorong negara-negara Uni Eropa untuk segara melakukan harmonisasi. Namun, harmonisasi yang dimaksudkan bukanlah semata-mata merupakan reaksi atas penurunan pajak yang terus terjadi, melainkan suatu upaya atas fenomena banyaknya terjadi transaksi lintar negara dan memungkinkan terjadinya diskriminasi jika permasalahan tersebut diselesaikan hanya dengan perjanjian pajak berganda atau skema lainnya yang tunduk pada ketentuan yang bersifat khusus. Selain itu, upaya harmonisasi juga merupakan upaya atas semakin meningkatnya jumlah kasus yang dibawa ke pengadilan pajak suatu negara dan European Court Justice yang pada umumnya mempermasalahkan perlakuan yang diskriminatif. Direct harmonization dimaksudkan bertujuan untuk mencapai suatu kesepakatan atas tarif pajak korporasi minimum di Uni Eropa, namun masing-masing negara berhak untuk mengenakan pajak atas korporasi di negaranya sesuai dengan keadaan negara tersebut.

Hingga tahun 2006, langkah yang ditempuh oleh Uni Eropa sehubungan dengan masalah perpajakan adalah konsolidasi dan standarisasi pengenaan pajak korporasi bukan semata-mata masalah pengenaan tarif. European Union Commission tengah berupaya membuat sebuah legislative proposal seperti sebuah Common Consolidated Corporate Tax Base (CCCTB) 2008. Adanya CCCTB ini diharapkan mampu mengurangi compliance cost perusahaan termasuk mengatasi permasalahan transfer pricing, mengurangi kompleksitas serta meningkatkan competitiveness kegiatan usaha korporasi di negara Uni Eropa.

Pola Tax Competition di ASEAN?

Meskipun dikategorikan sebagai suatu kawasan ekonomi yang cukup dinamis, namun pada dasarnya pergerakan kebijakan pajak di negara-negara ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam) tidak cukup signifikan. Integrasi ASEAN tergolong cukup lambat yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti territorial dispute hingga sikap skeptis di antara anggota menuju integrasi meskipun pada dekade terakhir mulai terlihat upaya untuk melakukan integrasi. Secara spesifik, pergerakan tarif pajak di negara ASEAN 6 sebagai berikut:

Grafik 2. Tren Effective Average Tax Rate (EATR) dan Effective Marginal Tax Rate (EMTR) di ASEAN

Grafik 2

Berdasarkan studi yang dilakukan Kirsten (2011), penurunan rata-rata tarif korporasi di negara ASEAN sebesar 6.6% yang dipicu oleh penurunan tarif yang dilakukan oleh Singapura yang menurunkan tarif pajaknya hingga 20% sekaligus menjadi negara dengan tarif terendah di ASEAN. Kebijakan tarif pajak Singapura ini dianggap sebagai suatu strategi yang dilakukan oleh Singapura untuk menahan agar tarif pajak di kawasan ASEAN tetap rendah sekaligus sebagai oposan bagi negara lain yang memiliki tarif pajak korporasi sebesar 26%.

Namun, tidak dipungkiri bahwa negara ASEAN 6 menawarkan berbagai insentif pajak bagi investasi, khususnya atas investasi langsung seperti tax allowance, tax holiday dan penurunan tarif atas dividen. Hal ini juga didukung oleh reformasi perpajakan yang terus menerus dilakukan serta semakin mengacu kepada praktik-praktik perpajakan yang berlaku sebagai kelaziman internasional (international best practices). Berbagai skema instrumen pajak yang ditawarkan oleh negara-negara ASEAN 6 khususnya bagi kegiatan investasi langsung (Foreign Direct Investment). Berbagai skema insentif pajak tersebut direcapture dengan penurunan Effective Average Tax Rate (EATR) sementara beban pajak nyata yang ditanggung oleh pemilik modal direcapture dengan Effective Marginal Tax Rate (EMTR).

Penurunan beban pajak di negara ASEAN 6 sejak tahun 1998 seperti yang digambarkan pada tabel pada dasarnya terjadi akibat berbagai jenis skema insentif pajak yang ditawarkan, bukan akibat penurunan beban pajak nyata yang ditanggung oleh pemilik modal. Secara umum, skema insentif pajak yang ditawarkan oleh negara ASEAN 6 sebagai berikut:

Tabel 1. Summary Insentif Pajak di Negara ASEAN 6 (1981 – 2012)

Tabel1
Sumber: Masaaki Suzuki, Corporate Effective Tax Rates in Asian Countries, 2013

Skema-skema insentif tersebut pada dasarnya adalah feature dari modernisasi dan reformasi sistem perpajakan. Pertanyaan umum yang sering terlontar adalah apakah tren penurunan tarif di ASEAN secara empiris sama dengan fenomena penurunan tarif di Uni Eropa. Penurunan tarif di Uni Eropa jauh lebih besar dari penurunan tarif di ASEAN dan disebabkan oleh faktor yang berbeda. Penurunan tarif di Uni Eropa dalam kurun waktu 1996 hingga 2008 mencapai 19,7% sementara penurunan tarif pajak rata-rata negara OECD hanya mencapai 17.8% sedangkan penurunan tarif di ASEAN hanya sebesar 6.6%. Harmonisasi pajak di Uni Eropa merupakan suatu keniscayaan karena dengan demikian akan mengganggu penerimaan negara-negara tersebut meskipun pada akhirnya akan mengganggu sovereignty negara tersebut.

Penutup

Pola penurunan tarif pajak di Uni Eropa dan ASEAN merupakan dua hal berbeda. Besar persentase penurunan pajak di ASEAN tidaklah sebesar penurunan pajak yang terjadi di Uni Eropa. Penurunan tarif pajak yang mengarah pada tax competition di Uni Eropa pada dasarnya bentuk spillover effect dimana suatu negara bereaksi terhadap kebijakan penurunan pajak di negara lain yang mengakibatkan terjadinya tax competition secara nyata yang dipicu oleh Irlandia. Sementara, penurunan tarif pajak di ASEAN bukanlah suatu tax competition tetapi upaya dari masing-masing negara untuk melakukan pembenahan atas sistem perpajakannya termasuk menawarkan kemudahan untuk berinvestasi. Meskipun Singapura menurunkan pajak di bawah rata-rata negara ASEAN 6, namun hal tersebut tidak menyebabkan reaksi dan spillover effect seperti yang terjadi di negara-negara Uni Eropa.

Referensi

  • Han Seungjin, Leach John (2008) A Bargaining Model of Tax Competition, Journal of Public Economy.
  • Hayes Kirsten (2011), Integration, Tax Competition and Harmonization: Should ASEAN be Concerned? Department of Economic History, Lund University.
  • James S. (2000) Can We Harmonize Our View on European Tax Harmonization? International Fiscal Documentation Bulletin, June
  • Keen Michael dan Konrad Kai A. (2011) International Tax Competition, Max Planck Institute for Tax law and Public Finance, Social Science and Research Center Berlin, Germany.
  • Mieszkowski, P.& Zodrow, G. (1986) Pigou, Tibeout, Property Taxation and the Underprovision of Local Public. Journal of Urban Economics.
  • Quere et al. (2005) How Does FDI React to Corporate Taxation? International Taxation and Public Finance, Vol 12.
  • Suzuki Masaaki (2013) Corporate Effective Tax Rates in Asian Countries, Discussion Paper Series Kyoto Institute of Economic Research.
  • Wildasin David E. (1987) Nash Equilibria in Models of Fiscal Competition. Journal of Public Economy Vol 35 hal 229-240, North Holland.
  • Zodrow George R. (2010), Capital Mobility and Capital Tax Competition, National Tax Journal, Vol 4.
Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait