Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-116664.15/2014/PP/M.XB Tahun 2019

Kategori : PPh Badan

Upaya Hukum: Banding


Nomor Putusan:
PUT-116664.15/2014/PP/M.XB Tahun 2019


Jenis Pajak:

PPh. Bd


Tahun Pajak:
2014


Amar Putusan:
Ditolak

 

Pokok Sengketa:

bahwa nilai yang menjadi pokok sengketa dalam banding ini adalah koreksi atas Kredit Pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp4.432.711.086,00 Tahun Pajak 2014 yang tidak disetujui Pemohon Banding;

Koreksi atas Kredit Pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp4.432.711.086,00,

 

Menurut Terbanding:

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009: Pasal 1 angka 22;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh):Pasal 20, Pasal 28 ayat (1) huruf c;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010): Pasal 16, Penjelasan Pasal 16, Pasal 20;


Tanggapan Terbanding:

Bahwa berdasarkan laporan pemeriksaan pajak, kertas kerja pemeriksaan, dan risalah pembahasan diketahui bahwa koreksi kredit pajak PPh Pasal 23 dilakukan karena terdapat bukti potong untuk tahun pajak yang berbeda, yaitu Tahun Pajak 2012 dan Tahun Pajak 2013, dengan perincian sebagai berikut

Tahun Pajak 2012 ...................................................     
Tahun Pajak 2013 ...................................................     
Tahun Pajak 2014 ...................................................     
Jumlah ..................................................................  
Rp      70.486.972,00
Rp 4.748.474.231,00
(Rp   386.250.117,00)
Rp 4.432.711.086,00


Bahwa sesuai ketentuan Pasal 20 dan Pasal 28 UU PPh serta Pasal 16 PP 94/2010, diatur bahwa Pajak Penghasilan yang telah dipotong dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan, dengan demikian, atas Bukti Pemotongan yang tertera Tahun Pajak 2012 dan Tahun 2013 tidak dapat dikreditkan pada Tahun Pajak 2014;


Bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi tersebut diatas yaitu koreksi atas Kredit Pajak PPh Pasal 23 Tahun 2012 dan Tahun 2013 dengan alasan sebagai berikut:

Bahwa Pasal 20 ayat (1) UU PPh menyatakan bahwa pemotongan pajak oleh pihak lain merupakan pelunasan pajak dalam tahun berjalan;

Bahwa selanjutnya Pasal 20 ayat (3) UU PPh menegaskan bahwa pelunasan pajak yang antara lain berupa pemotongan pajak oleh pihak lain adalah angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun yang bersangkutan;

Bahwa dengan merujuk kepada ketentuan peraturan ini, maka jelas bahwa pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak Pemberi penghasilan (customer) terhadap penghasilan Pemohon Banding merupakan pelunasan pajak yang bisa dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk Tahun Pajak 2014;

Menurut Pemohon Banding:

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009: Pasal 8 ayat (1);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh): Pasal 20 ayat (1) dana ayat (3);


Tanggapan Pemohon Banding:

Bahwa Pasal 20 dan Pasal 28 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), tidak menyatakan bahwa Pajak Penghasilan yang telah dipotong hanya dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan;

Bahwa Pasal tersebut diatas, hanya menyatakan bahwa pelunasan pajak yang antara lain berupa pemotongan pajak oleh pihak lain adalah angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun yang bersangkutan;

Bahwa Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010), memberi keleluasaan bagi Wajib Pajak dalam hal terdapat perbedaan antara pengakuan penghasilan dan tahun pajak dilakukan pemotongan;

Bahwa berdasarkan uraian diatas, karena secara substansi Pemohon Banding benar-benar telah dipotong atas penghasilan yang diterimanya, maka demi keadilan sudah selayaknya atas pemotongan pajak yang bukti potongnya tertera Tahun 2012 dan Tahun 2013 dapat dikreditkan di Tahun 2014;

Bahwa jika tidak dapat dikreditkan di Tahun 2014, apakah dimungkinkan untuk dilakukan pembetulan surat ketetapan pajak Tahun 2012 dan Tahun 2013 untuk mengkreditkan (mengakomodir) bukti-potong bukti potong tersebut, agar perusahaan tidak dirugikan;

Bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyampaikan Penjelasan Tertulis (Bukti P-11) yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa pengkreditan pemotongan PPh Pasal 23 dengan Bukti Pemotongan Pajak tertera tahun 2012 dan 2013 pada SPT PPh Badan Tahun 2014, dilakukan semata-mata karena keterlambatan diterimanya Bukti Pemotongan Pajak tersebut dari Pihak Pemotong Pajak;

Bahwa Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU KUP) menyatakan :

“Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan”;

Bahwa upaya untuk mengkreditkan Bukti Pemotongan Pajak tersebut terhadap PPh Badan terutang sesuai dengan tahun Bukti Pemotongan Pajak (tahun 2012 dan 2013) melalui mekanisme Pembetulan SPT PPh Badan pada tahun-tahun yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU KUP di atas, tidak dapat dilakukan oleh Pemohon Banding karena untuk Tahun 2012 dan 2013 telah dilakukan tindakan pemeriksaan pajak oleh pihak Terbanding pada saat diterimanya Bukti-bukti Pemotongan Pajak tersebut. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi Pemohon Banding, selain mengkreditkan bukti-bukti pemotongan pajak tersebut melalui SPT PPh Badan Tahun 2014;

Bahwa pada hakekatnya PPh Pasal 23 yang telah dipotong dengan Bukti Pemotongan Pajak Tahun 2012 dan 2013 tetap merupakan pembayaran pajak di muka yang seharusnya dapat dikreditkan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU PPh);

Bahwa jika Bukti Potong PPh Pasal 23 tersebut tidak dapat dikreditkan maka akan terjadi beban pajak yang tidak seharusnya dipikul oleh Pemohon Banding. Karena sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan, salah satunya adalah Pajak Penghasilan. Hal ini tentunya menimbulkan beban pajak atas pajak;

Bahwa Pemohon Banding percaya bahwa Majelis Hakim juga sependapat bahwa demi unsur keadilan (sebagai salah satu asas penting dalam pemungutan pajak), tidak seharusnya terjadi beban pajak yang berlebihan pada Pemohon Banding, oleh karena itu, Pemohon Banding sangat berterima kasih apabila Majelis Hakim Yang Mulia dapat mengabulkan permohonan Pemohon Banding untuk membatalkan koreksi kredit pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp4.432.711.086,00;

Bahwa jika Terbanding merujuk kepada Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010) sebagai dasar untuk menolak keberatan Pemohon Banding, maka Pemohon Banding justru berpendapat bahwa ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim Yang Mulia untuk mengabulkan permohonan banding Pemohon Banding. Karena Pemohon Banding membaca bahwa esensi/jiwa dari Pasal 16 PP 94/2010 adalah untuk tidak memberatkan Wajib Pajak demi terwujudnya salah satu asas penting dalam perpajakan yaitu kemudahan atau kenyamanan (convenience);

Bahwa kemudahannya berupa dapat dikreditkannya bukti pemotongan pajak pada tahun yang berbeda dengan tahun pelaporan penghasilannya di SPT, secara tersurat dapat dibaca pada bagian Penjelasan dari Pasal 16 PP 94/2010. Dimana penghasilan berupa bunga yang telah diperhitungkan sebagai penghasilan tahun 2009, namun bukti pemotongan pajaknya dapat dikreditkan pada tahun sesudahnya (2010);

Bahwa apabila, ketentuannya hanya memperbolehkan kredit pajak sesuai dengan tahun penghasilan yang dipotong pajak, maka pemotongan pajak atas penghasilan tahun 2009 hanya dapat dikreditkan pada Tahun 2009, meski pemotongan pajaknya dilakukan tahun 2010. Hal ini tentu memberatkan pihak yang dipotong pajak (pihak yang mendapat penghasilan), yaitu diharuskan memperhitungkan pemotongan pajak yang dilakukan Tahun 2010 pada penghasilan Tahun 2009. Bahkan, jika terjadi pemotongan pajak setelah SPT PPh disampaikan, mau tidak mau Wajib Pajak harus melakukan Pembetulan SPT, yang mana hal ini berarti akan menambah cost of compliance dan memberatkan Wajib Pajak. Jadi demi terpenuhinya asas convenience dan economy, yang bertujuan untuk tidak memberatkan Wajib Pajak, ketentuan tersebut diterapkan;

Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Pemohon Banding mohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia agar kredit pajak dengan bukti pemotongan pajak tertera Tahun 2012 dan 2013 yang nyata-nyata belum dikreditkan dalam SPT PPh Badan Tahun 2012 dan 2013 dapat dikreditkan dalam SPT PPh Badan Tahun 2014;

Menurut Majelis:

Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam banding ini adalah koreksi Terbanding atas Kredit Pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp4.432.711.086,00 Tahun Pajak 2014 yang tidak disetujui Pemohon Banding;

Bahwa menurut Terbanding, sesuai ketentuan Pasal 20 dan Pasal 28 Undang-Undang PPh serta Pasal 16 PP 94/2010, diatur bahwa pajak penghasilan yang telah dipotong dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan sehingga atas bukti pemotongan yang tertera tahun 2012 dapat dikreditkan pada tahun pajak 2012, bukan pada tahun pajak sengketa ini (2014). Demikian juga atas bukti pemotongan yang tertera tahun 2013 dapat dikreditkan pada tahun pajak 2013, bukan pada tahun pajak sengketa ini (2014). Oleh karenanya, kredit pajak yang berasal dari bukti potong tahun pajak 2012 sebesar Rp70.486.972,00 dan bukti potong tahun pajak 2013 sebesar Rp4.748.474.231,00 dikoreksi Terbanding;

Bahwa selanjutnya atas bukti potong PPh Pasal 23 Tahun 2014 yang belum dikreditkan oleh Pemohon Banding sebesar Rp386.250.117,00 telah diperhitungkan oleh Terbanding sebagai tambahan kredit pajak dengan melakukan koreksi negatif kredit pajak PPh Pasal 23;

Bahwa Pemohon Banding menyatakan, pengkreditan bukti potong pajak tersebut tidak dapat dilakukan melalui mekanisme Pembetulan SPT PPh Badan pada tahun-tahun yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU KUP, karena untuk Tahun 2012 dan 2013 telah dilakukan tindakan pemeriksaan pajak oleh pihak Terbanding, dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi Pemohon Banding, selain mengkreditkan bukti-bukti pemotongan pajak tersebut melalui SPT PPh Badan Tahun 2014;

Bahwa selanjutnya menurut Pemohon Banding, bahwa jika Bukti Potong PPh Pasal 23 tersebut tidak dapat dikreditkan maka akan terjadi beban pajak yang tidak seharusnya dipikul oleh Pemohon Banding. Karena sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan, salah satunya adalah Pajak Penghasilan. Hal ini tentunya menimbulkan beban pajak atas pajak;

Bahwa Pemohon Banding justru berpendapat bahwa ketentuan Pasal 16 PP 94/2010 yang menjadi dasar hukum oleh Terbanding, esensinya adalah untuk tidak memberatkan Wajib Pajak demi terwujudnya salah satu asas penting dalam perpajakan yaitu kemudahan atau kenyamanan (convenience), sehingga menurut Pemohon Banding bukti pemotongan pajak Tahun 2012 dan 2013 dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding;

bahwa berdasarkan penjelasan, dokumen/bukti-bukti, fakta dalam persidangan dan ketentuan yang terkait Majelis berpendapat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa ketentuan-peraturan terkait sengketa ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh):

Pasal 20,

“1. Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri,
2. Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
3. Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.”;


Pasal 28 ayat (1) huruf c,
“Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa :

  1. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
  2. Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
  3. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
  4. Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
  5. Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
  6. Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).”;

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010):

Pasal 16,
“Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.”;

Bahwa dalam persidangan Pemohon Banding telah menyampaikan bukti-bukti/dokumen berupa rekapitulasi bukti potong dan fotokopi sampel bukti potong terkait pengkreditan PPh Pasal 23 Tahun Pajak 2012 dan 2013;

Bahwa atas bukti-bukti/dokumen yang disampaikan oleh Pemohon Banding Majelis berkesimpulan, bahwa pemotongan atas PPh Pasal 23 tersebut dilakukan pada Tahun 2012 dan Tahun 2013, sehingga menurut Majelis sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang PPh dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, bukti pemotongan tersebut dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak pada Tahun Pajak 2012 dan 2013 bukan pada Tahun Pajak 2014. Oleh karena itu koreksi Terbanding atas kredit pajak PPh Pasal 23 Tahun Pajak 2014 sebesar Rp4.432.711.086,00 tetap dipertahankan;

Menimbang:

bahwa berdasarkan pemeriksaan bukti-bukti, penjelasan dan dokumen/bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Banding dan Terbanding di dalam persidangan serta data yang ada dalam berkas banding, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk menolak permohonan banding Pemohon Banding

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

Mengingat:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundangundangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;

Memutuskan:

Menyatakan menolak permohonan Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP- 00618/KEB/WPJ.19/2017 tanggal 20 Juni 2017 tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 Nomor 00032/406/14/093/16 tanggal 10 Juni 2016, atas nama: Pemohon Banding;

Demikian diputus di Jakarta pada hari Rabu tanggal 12 September 2018 berdasarkan musyawarah Majelis XB Pengadilan Pajak, setelah persidangan dicukupkan pada hari Rabu tanggal 12 September 2018, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Drs. ABC, M.A.         
Drs. DEF, A.k.         
GHI, S.E., Ak., M.M.     
JKL, S.H., M.M.      
sebagai Hakim Ketua,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Panitera Pengganti,

 

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 23 Januari 2019 oleh Hakim Ketua, dihadiri oleh para Hakim Anggota dan Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon Banding, tidak dihadiri Terbanding.