Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums PPh Orang Pribadi SE – 29/PJ/2010 aneeeeeeeeeh….^^

  • SE – 29/PJ/2010 aneeeeeeeeeh….^^

     syaroni updated 13 years, 1 month ago 31 Members · 125 Posts
  • nt1

    Member
    4 March 2010 at 4:58 pm
  • nt1

    Member
    4 March 2010 at 4:58 pm

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR SE – 29/PJ/2010

    TENTANG

    PENGISIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK
    ORANG PRIBADI BAGI WANITA KAWIN YANG MELAKUKAN PERJANJIAN PEMISAHAN
    HARTA DAN PENGHASILAN ATAU YANG MEMILIH UNTUK MENJALANKAN HAK DAN
    KEWAJIBAN PERPAJAKANNYA SENDIRI

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
    1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, diatur antara lain :
    a. Pasal 2 ayat (1), setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
    b. Penjelasan Pasal 2 ayat (1), bahwa kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

    Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
    2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, diatur antara lain :
    a. Pasal 8 ayat (1), seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
    b. Pasal 8 ayat (2), penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila :
    1) huruf a, suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
    2) huruf b, dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
    3) huruf c, dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
    c. Pasal 8 ayat (3), penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
    3. Berdasarkan ketentuan di atas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
    a. bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
    b. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.
    c. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
    d. Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
    e. Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.
    f. Tata cara pengisian SPT Tahunan bagi wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-66/PJ/2009.

    Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

    Ditetapkan di Jakarta
    Pada tanggal 1 Maret 2010
    Direktur Jenderal

    ttd

    Mochamad Tjiptardjo
    NIP 060044911

    yg di bold aneh ngak sihh??

  • free85

    Member
    4 March 2010 at 5:07 pm

    waduh, aneh banget…mana boleh begitu, seharusnya ga digabunging lagi..ga konsisten nihh..tambah bingung..

    a. Pasal 8 ayat (1), seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

  • edisuryadi2

    Member
    4 March 2010 at 5:12 pm

    [/u]Nggak ada yang aneh sama saja coba lihat : penggalan dari kalimat yang berhubungan atas ketentuan diatas[u]
    a. Pasal 8 ayat (1), seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
    c. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
    d. Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

  • nt1

    Member
    4 March 2010 at 5:32 pm
    Originaly posted by edisuryadi2:

    d. Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

    ken memang seharusnya ngak digabung lagi rekan edisuryadi2.

  • Aries Tanno

    Member
    4 March 2010 at 6:10 pm

    rekan nt1, coba lihat pembahasan disini :
    http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&id topik=8728&hlm=2#jdltopic

    Salam

    ortax

  • free85

    Member
    5 March 2010 at 8:28 am

    Rekan hanif,
    berarti di sisi WP lebih baik NPWP suami ikut istri karena tidak usah digabungkan, cukup dilaporkan saja.
    Punya NPWP sendiri, koq malah digabungkan..
    Begitu bukan rekan hanif?

  • joeardy

    Member
    5 March 2010 at 8:40 am

    sedikit tanya bank hanif :
    Yang digabung adalah untuk dasar perhitungan PPh terutang saja,
    tapi pelaporan penghasilannya tetap masing2, benar begitu ?

  • nt1

    Member
    5 March 2010 at 9:58 am
    Originaly posted by hanif:

    rekan nt1, coba lihat pembahasan disini :
    http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&id topik=8728&hlm=2#jdltopic

    kita lihat ps 8 uu pph secara utuh:
    Pasal 8

    (1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
    pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya
    yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai
    penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau
    diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
    dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
    anggota keluarga lainnya.

    (2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
    a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
    b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta
    dan penghasilan; atau
    c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
    perpajakannya sendiri.
    (3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai
    pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang
    harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan
    penghasilan neto mereka.
    (4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.

    penjelasan:
    Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan
    keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian
    dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang
    dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala
    keluarga.

    Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan
    secara terpisah.

    Ayat (1)

    Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
    tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai
    penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu
    kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal
    penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang
    telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
    a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu
    pemberi kerja, dan
    b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak
    ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami
    atau anggota keluarga lainnya.
    Contoh:
    Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
    Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri
    yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar
    Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri
    tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak
    oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
    dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto
    sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung
    dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri
    tersebut bersifat final.

    Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha,
    misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar
    Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan
    isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00)
    digabungkan dengan penghasilan A.
    Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan
    neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 +
    Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas
    penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan
    terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar
    Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang
    dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Ayat (2) dan ayat (3)

    Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan
    hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan
    pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan
    perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika
    isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
    sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
    penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban
    pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

    Contoh:

    Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian
    pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki
    untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah
    sebagai berikut.

    Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon
    kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah
    penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
    rupiah).

    Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut
    adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima
    puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri
    pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
    – Suami: 100.000.000,00 x Rp27.550.000,00= Rp11.020.000,00
    —————–
    250.000.000,00
    – Isteri : 150.000.000,00 x Rp27.550.000,00= Rp16.530.000,00
    —————–
    250.000.000,00

    Ayat (4)

    Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber
    penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan
    penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.

    Yang dimaksud dengan "anak yang belum dewasa" adalah anak yang
    belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

    Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah
    berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan
    pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya
    berdasarkan keadaan sebenarnya.

    ayat 1 mengenai pengecualian:
    1. harus dari satu pemberi kerja (pegawai)
    2. tidak berhubungan dengan usaha suami ato keluarga lain.
    3 tidak mengisyaratkan tidak mempunyai npwp ato mempunyai npwp.

    ayat 2 huruf c dan ayat 3 mengenai perhitungan pengabungan dan pengkreditan:
    1. untuk isteri yg selain pengeculian pada ayat 1.
    2. klo ada penghasilan selain pengeculaian ayat 1 dan tidak digabung maka akan ada keuntungan bagi yg mempunyai npwp sendiri dan tidak pisah harta ini karena pph yg dibayar kemungkinan besar akan dibandingkan dengan suami isteri yg pisah harta sebagaimana dimaksud ayat 2 huruf b pasal tersebut.
    3. contoh contoh pada penjelasan tiap ayat itu jelas berbeda.

    adanya: se diatas bertentangan dengan UU pph pasal 8 ayat 1.

    ortax

  • nt1

    Member
    5 March 2010 at 10:00 am
    Originaly posted by nt1:

    c. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
    d. Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

    Originaly posted by nt1:

    Pasal 8

    (1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
    pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya
    yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai
    penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau
    diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
    dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
    anggota keluarga lainnya.

    bertentangan.. >,<

  • Aries Tanno

    Member
    5 March 2010 at 10:35 am
    Originaly posted by free85:

    Rekan hanif,
    berarti di sisi WP lebih baik NPWP suami ikut istri karena tidak usah digabungkan, cukup dilaporkan saja.
    Punya NPWP sendiri, koq malah digabungkan..
    Begitu bukan rekan hanif?

    Kebalik rekan free…
    NPWP suami tidak boleh ikut istri. Tapi NPWP Istrilah yang ikut suami. Itu baru boleh.

    Originaly posted by joeardy:

    sedikit tanya bank hanif :
    Yang digabung adalah untuk dasar perhitungan PPh terutang saja,
    tapi pelaporan penghasilannya tetap masing2, benar begitu ?

    yang digabung adalah penghasilan keduanya, sampai dengan penghitungan PPh terutang (jadi termasuk PTKP, sehingga statusnya adalah K/I/…)
    PPh terutang yang ditanggung baru berdsarkan perbandingan penghasilan mereka.

    Kenyataannya sekarang dilapangan banyak seperti ini lho. ini gara-gara sapu jagat harus punya NPWP. Sehingga banyak suami isteri yang sama2 bekerja diberi NPWP yang berbeda. Akibatnya kayak suami isteri pisah harta dan penghasilan.

    Salam

  • nt1

    Member
    5 March 2010 at 10:39 am
    Originaly posted by hanif:

    Kenyataannya sekarang dilapangan banyak seperti ini lho. ini gara-gara sapu jagat harus punya NPWP. Sehingga banyak suami isteri yang sama2 bekerja diberi NPWP yang berbeda. Akibatnya kayak suami isteri pisah harta dan penghasilan.

    Saya sangat sependapat klo beda npwp dan beda harta dan tidak ada perjanjian pisah harta dan mempunyai penghasilan selain dari satu pemberi kerja/satu pemberi kerja tapi lom dipotong pph 21.

    klo npwp beda, pisah harta, tidak ada perjanjian pisah harta, dan mempunyai penghasilan dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pph 21 maka tidak perlu digabung lagi untuk menghitung pph terutang.

  • Aries Tanno

    Member
    5 March 2010 at 10:40 am

    Rekan nt1, kalau tidak salah, Yang Pasal 8 Ayat (1) dimaksudkan untuk suami isteri yang tidak pisah harta dan penghasilan atau isteri tidak melaksanakann kewajiban pajak terpisah dari suami.
    Tapi, kalau isteri ingin melaksanakan kewajiban secara terpisah dari suami dengan indikatornya NPWPnya beda dengan suami, maka, penghitungan pajaknya ya sama seperti orang pisah harta dan penghasilan.
    itu pemahaman saya

    Mohon koreksinya

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    5 March 2010 at 10:46 am
    Originaly posted by nt1:

    klo npwp beda, pisah harta, tidak ada perjanjian pisah harta, dan mempunyai penghasilan dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pph 21 maka tidak perlu digabung lagi untuk menghitung pph terutang.

    coba rekan nt1 telaah pasal 8 ayat (2) dan Pasal 8 Ayat (3).

    Menurut pemahaman saya, Contoh yang dipakai pada Penjelasan Pasal 8 Ayat (1), dimaksudkan untuk suami isteri yang tidak pisah harta dan peghasilan, atau isteri tidak menghendaki melaksanakan kewajiban pajaknya sendiri.
    Dicontohkan bahwa kalau penghasilan dari isteri hanya dari satu pemberi kerja, tidak digabung. tapi kalau ada penghasilan lain maka harus digabung.

    Kondisinya berbeda dengan bunyi ayat (2) dan ayat (3)

    Salam

  • nt1

    Member
    5 March 2010 at 10:47 am
    Originaly posted by hanif:

    Rekan nt1, kalau tidak salah, Yang Pasal 8 Ayat (1) dimaksudkan untuk suami isteri yang tidak pisah harta dan penghasilan atau isteri tidak melaksanakann kewajiban pajak terpisah dari suami.
    Tapi, kalau isteri ingin melaksanakan kewajiban secara terpisah dari suami dengan indikatornya NPWPnya beda dengan suami, maka, penghitungan pajaknya ya sama seperti orang pisah harta dan penghasilan.
    itu pemahaman saya

    ayat 1 tidak mengsyaratkan harus punya npwp ato tidk punya npwp, dan apakah harus dilaporkan di spt suami ato tidak. seperti yg tertuang dalam penjelasan.

    sedangkan ayat 2 dan 3 digunkan untuk menambal dari kemungkinan potensi pajak yg hilang apabila dilakukan pemisahan hak dan kewajiban perpajakan bagi yg mempunyai penghasilan lain selain yg dikecualikan pada ayat 1.

Viewing 1 - 15 of 125 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now