• Sale and Lease Back

     alvaro updated 11 years, 9 months ago 2 Members · 8 Posts
  • alvaro

    Member
    12 July 2012 at 2:58 pm
  • alvaro

    Member
    12 July 2012 at 2:58 pm

    Dear rekan ortax,

    Mohon bantuan dan masukannya mengenai perlakuan sale and lease back dari sisi perpajakan:
    Misalnya:
    PT ABC membeli sebuah mesin menggunakan leasing dengan hak opsi.
    Pada saat masa leasing berakhir, misalnya tanggal 1 Jan 2010: PT ABC menggunakan hak opsinya, dengan membayar sebesar 500 juta.
    Sejak tanggal 1 Jan 2010 PT ABC mengakui mesin tersebut sebagai aktiva tetapnya dengan nilai perolehan 500 juta dan disusutkan selama 8 tahun (kelompok 2).

    Pada tanggal 1 Jan 2012, PT ABC melakukan “sale and lease back “ atas mesin tersebut, dengan catatan:
    Nilai Buku tanggal 1 Jan 2012 adalah sebesar 375 juta
    Nilai leasback/re-financing yang disepakati adalah sebesar 1 milyar dengan hak opsi , dan PT ABC akan mencicil sebesar 25 juta per bulan selama 4 tahun kedepan.

    Yang ingin saya tanyakan adalah aspek perpajakan, khususnya terkait dengan PPh:
    – Pada saat sale (dari PT ABC kepada lessor) apakah ada pencatatan laba penjualan asset sebesar 625 juta (1 milyar – 375 juta)?
    – Sejak dilakukan sale and lease back, biaya apa saja yang bisa di biayakan (DE) atas mesin tersebut? Mengingat nilai buku mesin tersebut lebih kecil dari total seluruh pembayaran selama masa lease back.

    Salam dan terima kasih,
    Alvaro

  • Aries Tanno

    Member
    12 July 2012 at 3:03 pm

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR SE – 129/PJ/2010

    TENTANG

    PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS
    TRANSAKSI SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI DAN
    TRANSAKSI PENJUALAN DAN PENYEWA GUNAUSAHAAN KEMBALI

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    Dalam rangka memberikan pemahaman dan penerapan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang sama atas transaksi sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi dan transaksi penjualan dan penyewagunausahaan kembali (sale and leaseback), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

    Kegiatan sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
    Dalam kegiatan sewa guna usaha tersebut, pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang penyewa guna usaha (lessee) yang kemudian disewagunausahakan kembali (sale and leaseback).
    Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1A ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, diatur bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain adalah pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Selanjutnya, dalam penjelasannya, antara lain dinyatakan bahwa dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
    Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1A ayat (2) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, diatur bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang.
    Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4A ayat (3) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, diatur jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, antara lain adalah jasa keuangan. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 4A huruf d butir 3 huruf a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dinyatakan bahwa sewa guna usaha dengan hak opsi merupakan jasa pembiayaan yang termasuk dalam cakupan jasa keuangan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
    Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
    a. Transaksi sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi
    1) Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari pemasok (supplier) :
    a) Barang Kena Pajak tersebut dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada lessee;
    b) Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena dianggap hanya menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
    c) Pengusaha Kena Pajak pemasok wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada lessee dengan menggunakan identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena Pajak/penerima Jasa Kena Pajak (tidak menggunakan metode qualitate qua (q.q.)).
    d) Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c) adalah sebesar Harga Jual dari Pengusaha Kena Pajak pemasok.
    2) Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari dari persediaan yang telah dimiliki oleh lessor :
    a) Lessor pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan, yaitu :
    1) Penyerahan jasa pembiayaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pada butir 5 di atas;dan
    2) penyerahan Barang Kena Pajak, yang merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai.
    b) Lessor harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus menerbitkan Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut kepada lessee. Pengukuhan lessor sebagai Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan dengan tetap memperhatikan batasan Pengusaha Kecil menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
    c) Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b) adalah Harga Jual, tidak termasuk unsur bunga yang diminta atau seharusnya diminta oleh lessor karena jasa pembiayaan yang diserahkannya.
    3) Penggunaan qualitate qua (q.q) pada bagian nama dan/atau NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak pada Faktur Pajak yang telah diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) sebelum diberlakukannya Surat Edaran ini dapat dibenarkan dan tidak menjadikan Faktur Pajak tersebut cacat.
    b. Transaksi penjualan dan penyewagunausahaan kembali (sale and leaseback)
    1) Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha dengan hak opsi :
    a) penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai karena :
    (1) Barang Kena Pajak yang menjadi objek pembiayaan berasal dari milik lessee, yang dijual oleh lessee untuk kemudian dipergunakan kembali oleh lessee;
    (2) lessor pada dasarnya hanya melakukan penyerahan jasa pembiayaan, tanpa bermaksud memiliki dan menggunakan barang yang menjadi objek pembiayaan tersebut;
    (3) penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dari lessee kepada lessor pada dasarnya merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
    b) penyerahan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback) merupakan jasa pembiayaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
    2) Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha tanpa hak opsi :
    a) penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
    b) penyerahan jasa sewa guna usaha tanpa hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback) dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana kegiatan usaha sewa menyewa pada umumnya.
    Dengan berlakunya Surat Edaran ini, materi penegasan yang terkait dengan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.42/1994 tanggal 22 Maret 1994 perihal Perlakuan PPh dan PPN terhadap Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi yang Berakhir Menjadi Lebih Singkat dari Masa Sewa Guna Usaha yang Disyaratkan dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991, dinyatakan tidak berlaku.
    Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

    Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, serta disebarluaskan dalam wilayah kerja Saudara masing-masing.

    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 29 November 2010
    Direktur Jenderal,

    ttd

    Mochamad Tjiptardjo
    NIP 195104281975121002

    Tembusan :

    Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
    Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
    Kepala Biro Hukum Kementerian Keuangan;
    Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan;
    Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
    Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;dan
    Kepala Pusat Pengelolaan Data dan Dokumen Perpajakan.

  • alvaro

    Member
    12 July 2012 at 3:09 pm

    Dear rekan Hanif,

    Terima kasih atas tanggapannya..
    SE tersebut mengatur secara khusus mengenai PPN.., dari sisi pajak penghasilan bagaimana perlakuan perpajakannya?

    Salam,

  • Aries Tanno

    Member
    12 July 2012 at 3:12 pm

    KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 1169/KMK.01/1991

    TENTANG

    KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)

    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan kepastian hukum terutama mengenai perlakuan perpajakan kegiatan sewa-guna-usaha, dipandang perlu mengatur kembali ketentuan tentang kegiatan sewa guna usaha dalam suatu Keputusan Menteri Keuangan.

    Mengingat :

    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 64/M Tahun 1988;
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989;
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juni 1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan :

    KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA (LEASING).

    BAB I
    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Yang dimaksud dalam Keputusan ini dengan :

    a. Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala;
    b. Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan distribusi barang atau jasa oleh Lessee;
    c. Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan distribusi barang atau jasa oleh Lessee;
    d. Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha;
    e. Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Lessor;Pembayaran Sewa-guna-usaha (Lease Payment) adalah jumlah uang yang harus dibayar secara berkala oleh Lessee kepada Lessor selama jangka waktu yang telah disetujui bersama sebagai imbalan penggunaan barang modal berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha;
    f. Piutang sewa-guna-usaha (Lease Receivable) adalah jumlah seluruh pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha;
    g. Harga Perolehan (Acquisition Cost) adalah harga beli barang modal yang dilease ditambah dengan biaya langsung;
    h. Nilai pembiayaan adalah jumlah pembiayaan untuk pengadaan barang modal yang secara riil dikeluarkan oleh Lessor;
    i. Angsuran Pokok Pembiayaan adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang diperhitungkan sebagai pelunasan atas nilai pembiayaan;
    j. Imbalan Jasa Sewa-guna-usaha adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang diperhitungkan sebagai pendapatan sewa-guna-usaha bagi Lessor;
    k. Nilai Sisa (Residual Value) adalah nilai barang modal pada akhir masa sewa-guna-usaha yang telah disepakati oleh Lessor dengan Lessee pada awal masa sewa-guna-usaha;
    l. Simpanan Jaminan (Security Deposit) adalah jumlah uang yang diterima Lessor dari Lessee pada permulaan masa lease sebagai jaminan untuk kelancaran pembayaran lease;
    m. Masa Sewa-guna-usaha (Lease Term) adalah jangka waktu sewa-guna-usaha yang dimulai sejak diterimanya barang modal yang disewa-guna-usaha oleh Lessee sampai dengan perjanjian sewa-guna-usaha berakhir;
    n. Masa Sewa-guna-usaha Pertama adalah jangka waktu sewa-guna-usaha barang modal untuk transaksi sewa-guna-usaha yang pertama kalinya;
    o. Opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha.

    BAB II
    KEGIATAN USAHA

    Pasal 2
    (1) Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara :

    sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease);
    sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease).

    (2) Kegiatan sewa-guna-usaha dengan hak opsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Pasal ini ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya.

    Pasal 3

    Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :

    jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
    masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
    perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

    Pasal 4

    Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :

    jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
    perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

    Pasal 5

    Penggolongan jenis barang modal yang disewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b Keputusan ini, ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

    Pasal 6
    (1)

    Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee yang telah memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.
    (2) Lessee dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada pihak lain.

    Pasal 7
    (1)

    Lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat dalam perjanjian sewa-guna-usaha.
    (2)

    Plakat atau etiket sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pasal ini harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dengan mudah barang modal tersebut dapat dibedakan dari barang modal lainnya yang pengadaannya tidak dilakukan secara sewa-guna-usaha.
    (3)

    Selama masa sewa-guna-usaha, lessee bertanggung jawab untuk memelihara agar plakat atau etiket sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini tetap melekat pada barang modal yang disewa-guna-usaha.

    Pasal 8
    (1)

    Perusahaan sewa-guna-usaha atau perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan sewa-guna-usaha, dapat membuka kantor cabang/kantor perwakilan dan menggunakan tenaga asing setelah memperoleh izin/persetujuan dan rekomendasi dari Menteri Keuangan.
    (2) Tata cara pemberian izin/persetujuan, dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Direktur Jenderal Moneter.

    BAB III
    PERJANJIAN SEWA-GUNA-USAHA

    Pasal 9
    (1) Setiap transaksi sewa-guna-usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa-guna-usaha (lease agreement).
    (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :

    jenis transaksi sewa-guna-usaha;
    nama dan alamat masing-masing pihak;
    nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal;
    harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa-guna-usaha, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa-guna-usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal yang disewa-guna-usahakan;
    masa sewa-guna-usaha;
    ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa-guna-usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa-guna-usaha dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
    opsi bagi penyewa-guna-usaha dalam hal transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi;
    tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa-guna-usaha.

    (3)

    Perjanjian sewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini wajib dibuat dalam bahasa Indonesia, dan apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan kedalam bahasa asing.

    BAB IV
    PELAKSANAAN HAK OPSI

    Pasal 10

    Pada saat berakhirnya masa sewa-guna-usaha dari transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi, lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa-guna-usaha.

    Pasal 11
    (1) Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usaha.
    (2)

    Dalam hal lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa-guna-usaha.

    Pasal 12

    Dalam hal lessee menggunakan opsi membeli maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal.

    BAB V
    PERLAKUAN AKUNTANSI

    Pasal 13

    Akuntansi transaksi sewa-guna-usaha dilaksanakan sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa-guna-usaha di Indonesia.

    BAB VI
    PERLAKUAN PERPAJAKAN

    Bagian Pertama
    Sewa-guna-usaha Dengan Hak Opsi

    Pasal 14

    Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :

    penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari

  • Aries Tanno

    Member
    12 July 2012 at 3:17 pm

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR SE – 29/PJ.42/1992

    TENTANG

    PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    Bersama ini disampaikan rekaman Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing).Berkenaan dengan keputusan tersebut dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut :

    Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November 1991 berlaku mulai tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 19 Januari 1991.Dengan berlakunya keputusan tersebut maka Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 48/KMK.013/1991 tanggal 19 Januari 1991 tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing),tidak berlaku lagi. Atas perjanjian Sewa Guna Usaha (Lease Agreement) yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 berlaku ketentuan lama, walaupun masa Sewa Guna Usaha berakhir
    sesudah tanggal tersebut.
    Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1169/KMK.01/1991 dimaksud, dikenal adanya 2 (dua) jenis kegiatan sewa guna usaha, yakni :

    2.1.

    Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) yang ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya. kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut :

    a.

    Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha (lease term) pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.

    b.

    Masa sewa guna usaha sekurang-kurangnya :

    2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I;

    3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III;

    7 (tujuh) tahun untuk Golongan Bangunan.

    Penggolongan jenis barang modal tersebut ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.

    c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
    2.2.

    Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease).
    Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :

    a.

    Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa guna usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor.

    b.

    Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

    2.3.

    Karena kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease), sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI tersebut ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya, maka lessor diperlukan sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).

    Ditinjau dari teknis pelaksanaannya, transaksi sewa guna usaha dapat dilaksanakan sebagai berikut :
    3.1. Sewa Guna Usaha Langsung (Direct Lease).
    Dalam transaksi ini Lessee belum pernah memiliki barang modal yang menjadi obyek sewa guna usaha, sehingga atas permintaannya Lessor membeli barang modal tersebut.
    3.2. Penjualan dan Penyewaan Kembali (Sale and Lease Back).
    Dalam transaksi ini Lessee terlebih dahulu menjual barang modal yang sudah dimilikinya kepada Lessor dan atas barang modal yang sama kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha antara Lessee (pemilik semula) dengan Lessor (pembeli barang modal tersebut).
    Sewa Guna Usaha Sindikasi (Syndicated Lease).
    Dalam praktek juga dimungkinkan adanya sewa guna usaha sindikasi (syndicated Lease) yaitu beberapa perusahaan sewa guna usaha secara bersama melakukan transaksi sewa guna usaha dengan satu Lessee. Dalam hal ini salah satu perusahaan sewa guna usaha akan bertindak sebagai koordinator, sehingga Lessee cukup berkomunikasi dengan koordinator ini. Adapun perlakuan perpajakan terhadap finance lease dan operating lease adalah sebagaimana
    diuraikan dalam butir 5 dan 6 Surat Edaran ini.

    Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease).
    5.1

    Bagi Lessor.

    5.1.1.

    Penghasilan yang dikenakan PPh adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha yaitu seluruh pembayaran sewa guna usaha dikurangi dengan angsuran pokok. Dalam hal sewa guna usaha sindikasi, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara proporsional sesuai dengan perjanjian antar anggota sindikasi yang bersangkutan. Terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 dan berakhir sesudah tanggal tersebut, tetap berlaku ketentuan lama yaitu penghasilan yang dikenakan PPh adalah seluruh pembayaran Sewa Guna Usaha yang diterima atau diperoleh lessor.

    5.1.2.

    Lessor tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan. Terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 dan berakhir sesudah tanggal tersebut, lessor tetap harus melakukan penyusutan atas barang modal yang
    disewa-guna-usahakan sampai saat berakhirnya Kontrak Sewa Guna Usaha dan/atau lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal tersebut.Dalam hal demikian, maka berlaku ketentuan mengenai penarikan harta dari pemakaian karena sebab biasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (7) huruf b Undang-Undang PPh 1984. Apabila pada saat berakhirnya kontrak Sewa
    Guna Usaha lessee tidak menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal yang di Sewa Guna Usahakan, maka lessor tetap melakukan penyusutan.

    5.1.3.

    Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu, setinggi-tingginya 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang Sewa Guna Usaha, yaitu jumlah seluruh pembayaran Sewa Guna Usaha yang meliputi angsuran pokok (principal) dan bunga. Cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dibentuk, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tahun pajak yang berkenaan.

    5.1.4.

    Kerugian yang diderita karena piutang sewa guna usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi, dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang berkenaan.

    5.1.5.

    Dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud, maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi, maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto tahun pajak yang bersangkutan.

    5.1.6.

    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk setiap bulan adalah jumlah PPh sebagai hasil penerapan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 terhadap penghasilan kena pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir yang disetahunkan, dibagi dua belas. Dalam hal lessor juga melaksanakan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), maka laporan keuangan
    triwulanan dimaksud adalah laporan keuangan triwulanan gabungan.

    5.2.

    Bagi Lessee

    5.2.1.

    Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa guna usaha, sampai saat Lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut. Penyusutan dilakukan mulai tahun pajak digunakannya hak opsi.Khusus untuk barang modal berupa tanah, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, tidak diperbolehkan untuk
    dilakukan penyusutan.

    5.2.2.

    Dasar penyusutan yang dipakai setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan.

    5.2.3.

    Pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau terutang, kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut dapat digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi.

    5.2.4.

    (dua) transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Transaksi penjualan barang modal kepada Lessor diperlakukan sebagai penarikan aktiva dari pemakaian oleh sebab biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991. Transaksi sewa guna usaha diperlakukan sebagaimana butir 5.2.1. s/d 5.2.3. di atas.

    5.3.

    Atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

    5.4.

    Perlakuan PPh tersebut pada butir 5.1., butir 5.2., dan butir 5.3. mulai berlaku terhadap sewa guna usaha yang kontraknya ditandatangani setelah berlakunya Keputusan Menteri Keuangan tersebut pada butir 1 di atas.

    Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).

    6.1.

    Bagi lessor

    6.1.1.

    Seluruh pembayaran sewa guna usaha yang diterima atau diperoleh merupakan obyek PPh.

    6.1.2.

    Pembebanan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dimulai pada tahun pajak barang modal yang bersangkutan disewa-guna-usahakan. Khusus terhadap barang modal berupa tanah, sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, tidak diperbolehkan untuk disusutkan.

    6.1.3.

    Lessor tidak diperkenankan membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu.

    6.2.

    Bagi Lessee

    6.2.1.

    Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan.

    6.2.2.

    Pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau yang terutang adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

    6.3.

    Atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau terutang oleh lessee wajib dipotong PPh Pasal 23. Dasar perhitungan pemotongan PPh Pasal 23 adalah penerimaan sewa guna usaha bruto.

    Perusahaan sewa guna usaha yang semata-mata bergerak di bidang usaha sewa guna usaha tanpa hak opsi/

  • Aries Tanno

    Member
    12 July 2012 at 3:19 pm

    Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).

    6.1.

    Bagi lessor

    6.1.1.

    Seluruh pembayaran sewa guna usaha yang diterima atau diperoleh merupakan obyek PPh.

    6.1.2.

    Pembebanan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dimulai pada tahun pajak barang modal yang bersangkutan disewa-guna-usahakan. Khusus terhadap barang modal berupa tanah, sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, tidak diperbolehkan untuk disusutkan.

    6.1.3.

    Lessor tidak diperkenankan membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu.

    6.2.

    Bagi Lessee

    6.2.1.

    Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan.

    6.2.2.

    Pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau yang terutang adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

    6.3.

    Atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau terutang oleh lessee wajib dipotong PPh Pasal 23. Dasar perhitungan pemotongan PPh Pasal 23 adalah penerimaan sewa guna usaha bruto.

    Perusahaan sewa guna usaha yang semata-mata bergerak di bidang usaha sewa guna usaha tanpa hak opsi/semata-mata operating lease (perusahaan sewa menyewa biasa) maka penghitungan PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.04/1991 tidak berlaku.

    Berdasarkan Pasal 14 huruf c jo. Pasal 16 huruf d Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari jangka waktu minimum sebagaimana tersebut pada butir 2.1. huruf b diatas. Dalam hal perjanjian finance lease menyatakan jangka waktu yang lebih pendek atau pada pelaksanaannya berakhir dalam jangka waktu yang lebih pendek dari jangka waktu minimum yang disyaratkan, perlakuan perpajakannya disamakan dengan operating lease.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) jo. Pasal 13 Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, mulai tahun pajak 1991 perlakuan akuntansi terhadap transaksi sewa guna usaha adalah sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa guna usaha di Indonesia. Dalam hal terdapat finance lease yang kontraknya ditandatangani sesudah 19 Januari 1991 dan termasuk dalam tahun pajak 1991, misalnya kontrak ditandatangani tanggal 20 Januari 1991 dan tahun buku perusahaan 1 Februari 1990 s/d 31 Januari 1991, maka perlakuan pajaknya sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.04/1991 sedangkan untuk perlakuan akuntansinya sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa guna usaha.

    Atas barang modal yang disewa guna usahakan, lessor maupun lessee wajib melakukan pencatatan yang terpisah dari aktiva yang tidak disewa-guna-usahakan.

    Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan tersebut, lessee dilarang menyewa guna usahakan kembali barang modal yang disewa guna usaha kepada pihak lain. Lessee yang bergerak di bidang usaha persewaan, dalam rangka menjalankan usahanya, dapat menyewakan barang modal yang disewa guna usaha kepada langganannya.

    Berdasarkan Pasal 20 Keputusan Menteri Keuangan tersebut, lessor wajib menyampaikan laporan triwulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lambat 15 (lima belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

    Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Penyuluhan Pajak agar menyebar luaskan materi Keputusan Menteri Keuangan tersebut kepada para wajib pajak terkait di wilayah kerjanya masing-masing.

    Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    ttd
    Drs. MAR'IE MUHAMMAD

  • alvaro

    Member
    12 July 2012 at 3:26 pm

    Dear rekan Hanif,

    Saya sudah coba mempelajari peraturan yang rekan kirimkan, tapi terus terang saya masih bingung mengenai aspek perpajakan setelah dilakukan sale and lease back, sesuai dengan pertanyaan saya sebelumnya:

    Originaly posted by hanif:

    – Pada saat sale (dari PT ABC kepada lessor) apakah ada pencatatan laba penjualan asset sebesar 625 juta (1 milyar – 375 juta)?
    – Sejak dilakukan sale and lease back, biaya apa saja yang bisa di biayakan (DE) atas mesin tersebut? Mengingat nilai buku mesin tersebut lebih kecil dari total seluruh pembayaran selama masa lease back.

    Salam dan terima kasih,
    Alvaro

Viewing 1 - 8 of 8 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now