• PPh Pasal 23 atau 26???

  • Nha

    Member
    27 August 2010 at 2:04 pm
  • Nha

    Member
    27 August 2010 at 2:04 pm

    Dear Rekan ortax,,

    Perusahaan kami melakukan transaksi dengan perusahaan luar negeri misalkan X ltd dan X ltd ini memiliki kantor perwakilan di indonesia yaitu PT X. Perusahaan kami menggnakan jasa dan memperoleh invoice serta membayarkannya langsung ke X Ltd namun jasa tersebut di lakukan di indonesia dan dilakukan oleh orang indonesia. atas pembayaran jasa tersebut apakah terutang pph pasal 23 atau pph pasal 26

  • sammi

    Member
    27 August 2010 at 2:10 pm

    pph pasal 26 karena transaksi dan pembayarannya ke luar negeri.

  • junjungansitohang

    Member
    27 August 2010 at 9:25 pm

    pph 23 karena memiliki kantor perwakilan di Indonesia

    salam

  • Aries Tanno

    Member
    27 August 2010 at 10:22 pm

    karena transaksinya adalah dengan pihak LN, merupakan objek PPh 26.
    Namun demikian, PPh 26 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya di Indonesia.
    Sebab, jasa yang sama juga disediakan oleh BUTnya tersebut

    Salam

  • dennykasan

    Member
    27 August 2010 at 10:38 pm
    Originaly posted by Nha:

    Perusahaan kami melakukan transaksi dengan perusahaan luar negeri misalkan X ltd

    Originaly posted by Nha:

    Perusahaan kami menggnakan jasa dan memperoleh invoice serta membayarkannya langsung ke X Ltd

    Dari kedua poin diatas jelas bahwa transaksi ini merupakan objek PPh ps 26…

    Originaly posted by hanif:

    Namun demikian, PPh 26 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh BUTnya di Indonesia.
    Sebab, jasa yang sama juga disediakan oleh BUTnya tersebut

    kredit pajak atas apa rekan?
    transaksi terjadi antara X Ltd dan PT ABC (Indonesia), sedangkan BUT (X Ltd di Indonesia) hanya sebagai perantara saja…

  • Aries Tanno

    Member
    27 August 2010 at 10:54 pm

    Penjelasan Ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008

    Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Contoh:

    A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.

    Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.

    Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

    "Pasal 5 UU No. 10 Tahun 1994
    (1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :

    1. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
    2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
    3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

    Penjelasan Pasal 5 UU No. 10 tahun 1994
    Pasal 5

    Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.

    Ayat (1)

    Huruf a

    Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.

    Huruf b

    Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

    Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.

    Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.

    Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.

    Huruf c
    Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.
    Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.

    Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.
    Ayat (2)
    Cukup jelas

    Ayat (3)

    Huruf a

    Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    Huruf b dan huruf c
    Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan.
    Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.

    Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.

  • dennykasan

    Member
    27 August 2010 at 11:13 pm

    mantab penjelasan rekan hanif.. thanks…

  • junjungansitohang

    Member
    28 August 2010 at 3:29 am

    Rekan sammi dan rekan Hanif, kok saya cenderung ke PPh 23 ya??

    Mencoba berpendapat:
    PT. X diatas merupakan perwakilan asing dari X.ltd.
    Asumsi saya PT. X ini merupakan BUT karena berstatus Badan (PT).

    Objek pajak BUT diantaranya:pasal 5 ayat 1 huruf B UU PPh – no 36 th 2008, adalah:
    penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.

    Pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada X.ltd merupakan penghasilannya kantor pusat. Berhubung PT. X (BUT) merupakan perwakilannya X.ltd di Indonesia
    maka saya berasumsi usaha atau kegiatan yang dijalankan X.ltd adalah ruang lingkup usaha PT.X (BUT) dan PT.X (BUT) dapat menjalankan usaha seperti tersebut.
    Dengan demikian pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada X.ltd. dianggap juga penghasilannya PT. (BUT) sesuai isi pasal 5.

    Walaupun perusahaan membayar ke X.ltd namun pemotongan pphnya dilakukan melalui NPWPnya PT.X (BUT). PPh tersebut adalah pasal 23.

    Demikianlah rekan-rekan

    Mohon koreksi

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    28 August 2010 at 4:13 am
    Originaly posted by junjungansitohang:

    Rekan sammi dan rekan Hanif, kok saya cenderung ke PPh 23 ya??

    he he he
    berbeda pendapat itu sangat wajar rekan junjungan…
    Tapi untuk kasus ini saya yakin adalah Objek PPh Pasal 26 Pe De nih….he he he

    Dasarnya :
    Transaksi dilakukan dengan pihak LN.
    Hal ini sangat lazim di Indonesia. Sebab, kata orang nih, orang indonesia itu "luar negeri Minded". Sehingga lebih cendrung untuk bertransaksi dengan pihak asing. Walau sebenarnya orang indonesia atau BUT SP LN juga menyediakan jasa yang sama dengan kantor pusatnya di LN.

    Saat pemberian jasa, terlepas dari apakah nantinya akan dilakukan oleh pihak asing langsung atau dilaksanakan oleh BUTnya di Indonesia atau dibantu oleh BUTnya di Indonesia, namun karena transaksi dilakukan dengan pihak asing dan pembayarannya juga langsung kepada pihak asing, tidak ada dasar bagi pemotong pajak untuk menerapkan ketentuan PPh Pasal 23. Sebab, bukti transaksi atau penerimanya adalah pihak asing. Dengan demikian harus dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai tax treaty.

    PPh Pasal 26 yang telah dipotong tersebut tidak final karena BUT dari perusahaan asing tersebut juga menyediakan jasa yang sama. Dengan demikian, PPh Pasal 26 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak bagi BUTnya setelah menggabungkan penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 26 tersebut dengan penghasilan BUT itu sendiri di Indonesia.

    Demikian rekan junjungan….
    Mohon koreksinya

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    28 August 2010 at 4:20 am
    Originaly posted by junjungansitohang:

    Walaupun perusahaan membayar ke X.ltd namun pemotongan pphnya dilakukan melalui NPWPnya PT.X (BUT)

    rasanya ini tidak disebutkan oleh rekan Nha, rekan junjungan….

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    28 August 2010 at 11:49 am
    Originaly posted by hanif:

    he he he
    berbeda pendapat itu sangat wajar rekan junjungan…

    tepat sekali rekan hanif…

    Originaly posted by hanif:

    Tapi untuk kasus ini saya yakin adalah Objek PPh Pasal 26 Pe De nih….he he he

    hehehehe…

    Originaly posted by hanif:

    Saat pemberian jasa, terlepas dari apakah nantinya akan dilakukan oleh pihak asing langsung atau dilaksanakan oleh BUTnya di Indonesia atau dibantu oleh BUTnya di Indonesia, namun karena transaksi dilakukan dengan pihak asing dan pembayarannya juga langsung kepada pihak asing, tidak ada dasar bagi pemotong pajak untuk menerapkan ketentuan PPh Pasal 23. Sebab, bukti transaksi atau penerimanya adalah pihak asing. Dengan demikian harus dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau sesuai tax treaty.

    Ini dia dasarnya rekan:

    Originaly posted by Nha:

    Perusahaan kami menggnakan jasa dan memperoleh invoice serta membayarkannya langsung ke X Ltd namun jasa tersebut di lakukan di indonesia dan dilakukan oleh orang indonesia.

    Dilakukan oleh orang indonesia (yang saya garis bawahi) sama artinya yang melaksanakan jasa tersebut adlah PT. X (BUT).

    Originaly posted by hanif:

    PPh Pasal 26 yang telah dipotong tersebut tidak final karena BUT dari perusahaan asing tersebut juga menyediakan jasa yang sama. Dengan demikian, PPh Pasal 26 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak bagi BUTnya setelah menggabungkan penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 26 tersebut dengan penghasilan BUT itu sendiri di Indonesia.

    Saya pikir fungsi BUT (PT. X) disini adlah wakil dari Pusat (X.ltd) untuk melaksanakan kegiatan/usaha di Indonesia. Adalah hal yang aneh jika X.ltd langsung mengerjakan pekerjaan di Indonesia yang jenis usaha atau lingkup usaha yang dikerjakannya seharusnya dapat dilakukan oleh BUTnya (Isi pasal 5 ayat 1 huruf c : objek pajak BUT).
    Kemungkinan dapat ada jika usaha/kegiatan X.ltd di Indonesia berbeda dengan lingkup usaha buTnya.(tidak ada hubungan efektif dg usaha yang yang dijalankan BUTnya) maka wajarlah pemotongan pajaknya berdasar pasal 26. Namun inipun harus diuji dulu berapa lama kegiatan tsb berlangsung di Indonesia/ Uji "time test" jika memang ada treaty dg negara mitra dimana X.ltd berkedudukan serta harus juga memenuhi persyaratan lain mengenai kelengkapan administrasi domisili X.ltd yang mnerangkan bahwa X.ltd berdomisili di negara mitra tsb/COD.

    Demikian rekan hanif

    Mohon koreksi rekan kembali

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    28 August 2010 at 11:52 am
    Originaly posted by hanif:

    rasanya ini tidak disebutkan oleh rekan Nha, rekan junjungan….

    benar rekan…

    namun karena ada perwakilan di indonesia dan berbentuk Badan (PT) maka saya berasumsi BUT tsb ber-NPWP

    Originaly posted by Nha:

    X ltd ini memiliki kantor perwakilan di indonesia yaitu PT X.

    Mohon pendapat rekan hanif

    Salam

  • Aries Tanno

    Member
    28 August 2010 at 7:26 pm

    Rekan junjungan…
    coba telaah lagi isi penjelasan pasal 26 ayat 5 berikut :

    Penjelasan Pasal 26 Ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008

    Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    Selanjutnya :

    "Pasal 5 UU No. 10 Tahun 1994
    (1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :

    a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
    b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
    c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

    Penjelasan Pasal 5 UU No. 10 tahun 1994

    Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.

    Ayat (1)

    Huruf a

    Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.

    Huruf b

    Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

    Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.

    Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.

    Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.

    berdasarkan keterangan di dalam pasal 5 tersebut benar sekali bahwa penghasilan yang diperoleh oleh kantor pusat yang berada di LN dari indonesia hakekatnya merupakan penghasilan BUT di Indonesia, dengan syarat bahwa BUT juga menyediakan jasa yang sama.
    Makanya dikatakan di dalam pasal 26 ayat 5 dinayatakan bahwa penghasilan tersebut bersifat tidak final. Sebab, bisa dijadikan kredit pajak oleh BUT tersebut. Pengkreditan dilakukan oleh BUT tersebut setelah menggabungkan atau mengakui penghasilan kantor pusatnya tersebut sebagai penghasilan ia sendiri.

    Namun demikian, karena transaksi dilakukan langsung oleh kantor pusat, maka, PPh yang harus diperhitungkan adalah PPh Pasal 26, bukan PPh Pasal 23. Hal ini terlepas dari apakah nantinya pekerjaan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh kantor pusat atau dibantu oleh BUT atau sepenuhnya dilaksanakan sepenuhnya oleh BUT.

    Kata kunci disini adalah bahwa transaksi dilakukan dengan kantor pusat, bukan dengan BUT. Dengan demikian, bukti transaksi yang dibuat adalah dengan pihak kantor pusat, bukan dengan BUT.

    terkadang dilapangan, masalah prestise seringkali jadi pertimbangan saat betransaksi dan bekerjasama dengan pihak LN. Padahal, jasa yang sama sebetulnya tersedia di Indonesia. Akibatnya, ketika lawan transaksi menggunakan nama BUTnya yang ada di Indonesia, yang berkonsekwensi merupakan objek PPh 23, barangkali pihak pengguna jasa lebih baik membatalkan transaksinya. sebab, prestisenya akan berbeda.

    Demikian rekan junjungan….
    Mohon koreksinya

    Salam

  • junjungansitohang

    Member
    29 August 2010 at 6:41 am
    Originaly posted by hanif:

    Namun demikian, karena transaksi dilakukan langsung oleh kantor pusat, maka, PPh yang harus diperhitungkan adalah PPh Pasal 26, bukan PPh Pasal 23. Hal ini terlepas dari apakah nantinya pekerjaan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh kantor pusat atau dibantu oleh BUT atau sepenuhnya dilaksanakan sepenuhnya oleh BUT.

    Kata kunci disini adalah bahwa transaksi dilakukan dengan kantor pusat, bukan dengan BUT. Dengan demikian, bukti transaksi yang dibuat adalah dengan pihak kantor pusat, bukan dengan BUT.

    sebentar dulu rekan hanif , yah:
    kalau kita lihat isi pasal 5 ayat 1 huruf c beserta penjelasannya;
    "Pasal 5
    (1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
    c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
    penjelasannya:
    Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y.
    Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.

    Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap."

    Yang saya tangkap dari penjelasan pasal 5 ayat 1 c ini sbb:
    Bahwa Kantor Pusat (LN) memperoleh ph. berupa royalty atas penggunaan merk dagangnya dari PT.Y.(DN). Ini mrp. objek pemotongan pasal 26 (final).

    Namun oleh karena BUTnya kantor pusat juga memberikan jasa manajemen kpd PT.Y. dimana kedua jasa yg diberikan mpy. hub.efektif maka pemotongan royalty yg mrp.Ph.nya KP menjadi objek pemotongan pasl 23 dan atas royalty diperlakukan sbg Ph.nya BUT.

    Walaupun transaksi sebenarnya adalah antara PT. Y (DN) dg Kantor Pusat nya BUT – Indonesia di Luar negeri sana.

    Mohon koreksi rekan kembali
    salam

Viewing 1 - 15 of 114 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now