• Permasalahan WP OPPT

  • begawan5060

    Member
    22 July 2010 at 7:58 pm

    Berdasarkan Ps 25 yat (7) UU PPh, dapat diartikan bahwa semua Wajib Pajak orang pribadi termasuk dalam pengertian WP OPPT.
    Menurut PER – 32/PJ/2010, nampaknya dikembalikan sebagaimana amanat UU PPh, namun memang masih “dipersempit sedikit”, yaitu bahwa semua Wajib Pajak orang pribadi termasuk dalam pengertian WP OPPT, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha industri dan Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan.

    Permasalahan
    Meskipun ketentuan pelaksanaan sudah komplit, tetapi terdapat hal-hal yang masih dipertanyakan dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam, yaitu dalam hal :
    1.Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sekaligus memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, dengan kata lain sebagai pengusaha sekaligus sebagai pegawai suatu instansi/lembaga. Apakah termasuk dalam pengertian WP OPPT?
    2.Usaha restoran, apakah termasuk pedagang pengecer atau penyerahan jasa atau produsen? Hal ini penting harus diketahui dalam rangka memastikan apakah termasuk pengertian WP OPPT atau tidak.
    3.WP OPPT melakukan penyerahan barang ke Bendaharawan Pemerintah. Bagaimana pemotongannya? Berapa seharusnya besarnya angsuran PPh Pasal 25?
    Contoh :
    WP OPPT pedagang pengecer dalam masa Agustus 2010 menjual barang dengan perincian :
    Penjualan ke Bendaharawan Pemerintah = Rp. 100.000.000,00
    Penjualan lainnya = Rp. 200.000.000,00
    Jumlah seluruh penjualan = Rp. 300.000.000,00
    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar : 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00. Apabila demikian berarti jumlah yang harus dibayar = Rp. 2.250.000,00 + (1,5% X Rp. 100.000.000,00) = Rp. 3.750.000,00
    Padahal jumlah yang harus dibayar semestinya = 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00
    Atau,
    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar : 0,75% X Rp. 200.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00. Apabila demikian berarti jumlah yang harus dibayar = Rp. 1.500.000,00 + (1,5% X Rp. 100.000.000,00) = Rp. 3.000.000,00
    Padahal jumlah yang harus dibayar semestinya = 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00
    Atau,
    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar : 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00. Telah dibayar melalui pemotongan oleh Bendaharawan = 1,5% X Rp. 100.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
    Angsuran PPh Pasal 25 yang masih harus dibayar sendiri = Rp. 2..250.000,00 – Rp. 1.500.000,00 = Rp. 750.000,00
    4.WP OPPT melakukan penyerahan jasa ke Pemotong Pajak. Bagaimana pemotongannya? Berapa seharusnya besarnya angsuran PPh Pasal 25?
    Contoh :
    WP OPPT pengusaha jasa dalam masa Agustus 2010 menjual jasa dengan perincian :
    Penjualan ke Pemotong Pajak = Rp. 100.000.000,00
    Penjualan lainnya = Rp. 200.000.000,00
    Jumlah seluruh penjualan = Rp. 300.000.000,00
    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar : 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00. Apabila demikian berarti jumlah yang harus dibayar = Rp. 2.250.000,00 + (50% X Rp. 100.000.000,00 X 5%) = Rp. 4.750.000,00
    Padahal jumlah yang harus dibayar semestinya = 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00
    Atau,
    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar : 0,75% X Rp. 200.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00. Apabila demikian berarti jumlah yang harus dibayar = Rp. 1.500.000,00 + (50% X Rp. 100.000.000,00 X 5%) = Rp. 4.000.000,00
    Padahal jumlah yang harus dibayar semestinya = 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00
    Atau,
    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar : 0,75% X Rp. 300.000.000,00 = Rp. 2.250.000,00. Telah dibayar melalui pemotongan = (50% X Rp. 100.000.000,00 X 5%) = Rp. 2.500.000,00
    Angsuran PPh Pasal 25 yang lebih dibayar = Rp. 2.250.000,00 – Rp. 2.500.000,00 = (Rp. 250.000,00)

    Mohon komentarnya..

  • begawan5060

    Member
    22 July 2010 at 7:58 pm
  • Aries Tanno

    Member
    22 July 2010 at 9:52 pm

    Pasal 3 PER No. 32 Tahun 2010
    (1) Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.
    (2) Pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
    (3) Pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

    Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 Ayat 3 PER No. 32 Tahun 2010 diatas, bukankah angsuran PPh 25 sebesar 0,75% dari peredaran bruto setiap bulannya hanya merupakan kredit pajak di dalam SPT Tahunan?.

    Dengan demikian, ketentuan yang sekarang secara tersirat menghendaki bahwa WPOPPT membuat perhitungan kembali PPh terutang pada akhir tahun pajak yang dicantumkan di dalam SPT Tahunan yang disampaikan. Dengan demikian PPh yang dipotong oleh bendaharawan pemerintah atau pemotong lainnya, disamping PPh Pasal 25 yang dibayar setiap bulan, akan diperlakukan sebagai kredit pajak di dalam SPT Tahunan PPh tersebut.

    Ketentuan yang sekarang ini beda sekali dengan aturan sebelumnya yang menyatakan bahwa bila WPOPPT tidak memiliki penghasilan lain yang bersifat final, PPh 25 yang dibayar oleh masing2 outlet adalah pelunasan PPh tahun berjalan.

    Demikian rekan begawan…
    Mohon Koreksinya.

    Salam

  • NIC

    Member
    23 July 2010 at 9:31 am

    Memang perkara OPPT dengan dikeluarkannya PER-32 TAHUN 2010 cukup unik. Unik karena menandaskan bahwa pada dasarnya semua WP OP adalah OPPT karena cukup punya 1 tempat usaha saja. Ini selaras dengan penjelasan pasal 25 (7) UU PPh kita.

    Originaly posted by begawan5060:

    semua Wajib Pajak orang pribadi termasuk dalam pengertian WP OPPT, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha industri dan Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan.

    Unik juga PER 32 tersebut karena mengembalikan ke ketentuan lama bahwa OPPT adalah sbg pedagang pengecer.

    Tarif 0,75% pun ketika di awal sebelum dikeluarkannya UU PPh menyisakan pertanyaan apakah tarif ini final atau tidak.

    Jika kembali ke ketentuan lama, tarif 2% bagi OPPT adalah final. Jadi, apakah tarif 0,75% tersebut juga final??? Aturan di UU PPh ketika baru terbit tidak mengatur hal ini. Kalau begitu, 0,75% tersebut tidak final??? UU PPh juga tidak mengatur ini.

    Akhirnya, PER-32 terbit dan jawabannya: TIDAK FINAL. Ini menurut saya adalah suatu langkah yang "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Aturan di atas PER-32 adalah PMK 255 tahun 2008 yang juga telah diubah dengan PMK 208 tahun 2009. Sayang, kedua PMK tersebut tidak menjelaskan final atau tidak.

    Permasalahan sifat tarif sudah jelas dengan PER-32 tersebut. Namun, bagaimana dengan perhitungannya??? Dan, yang jadi maslah sebenarnya adalah: SIAPA SEBENARNYA OPPT ITU? Apakah semua WP OP boleh mengaku kalau dirinya OPPT? Tentu dengan hitung2an kalau OPPT lebih rendah pajaknya atau jika lebih tinggi, WP pun berhak tidak mengaku sebagai OPPT???

  • ktfd

    Member
    23 July 2010 at 12:45 pm

    rekan begawan,
    tak tambahi satu lagi permasalahan per 32/2010 ini:
    berpotensi menimbulkan lebih bayar bagi wpop yg menggunakan norma (setau saya
    sebagian besar wpop pedagang eceran menggunakan norma) karena:
    1. tidak memperhitungkan persentase norma pedagang eceran (20% di tempat saya)
    2. tidak meperhitngkan ptkp
    oleh karena itu, maka per 32 ini akan lebih banyak menimbulkan permasalahan dan
    kesulitan2 dan ketidakjelasan2 daripada manfaat yg ingin dicapainya.
    mohon tanggapan rekan2.
    salam.

  • begawan5060

    Member
    23 July 2010 at 5:46 pm
    Originaly posted by ktfd:

    rekan begawan,
    tak tambahi satu lagi permasalahan per 32/2010 ini:
    berpotensi menimbulkan lebih bayar bagi wpop yg menggunakan norma (setau saya
    sebagian besar wpop pedagang eceran menggunakan norma)

    Sependapat…

  • begawan5060

    Member
    23 July 2010 at 5:51 pm
    Originaly posted by hanif:

    Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 3 Ayat 3 PER No. 32 Tahun 2010 diatas, bukankah angsuran PPh 25 sebesar 0,75% dari peredaran bruto setiap bulannya hanya merupakan kredit pajak di dalam SPT Tahunan?.

    Sangat sependapat… karena sudah cukup jelas.
    Yang ingin saya diskusikan itu adalah : Berapa angsuran PPh Ps 25 yang seharusnya dibayar apabila sebagian omsetnya ke pemotong/pemungut pajak?

  • begawan5060

    Member
    23 July 2010 at 7:28 pm
    Originaly posted by NIC:

    Permasalahan sifat tarif sudah jelas dengan PER-32 tersebut.

    Setuju…

    Originaly posted by NIC:

    Namun, bagaimana dengan perhitungannya???

    Menurut rekan NIC gimana?

  • wijaya87

    Member
    28 July 2010 at 12:00 pm
    Originaly posted by ktfd:

    tak tambahi satu lagi permasalahan per 32/2010 ini:
    berpotensi menimbulkan lebih bayar bagi wpop yg menggunakan norma (setau saya
    sebagian besar wpop pedagang eceran menggunakan norma) karena:
    1. tidak memperhitungkan persentase norma pedagang eceran (20% di tempat saya)
    2. tidak meperhitngkan ptkp

    Saya tidak sependapat dengan rekan ktfd menurut KEP 536/PJ./2000 (lampiran)
    http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&id_topik=&i d_jenis=&p_tgl=tahun&tahun=2000&nomor=536&q=&q_do= macth&cols=isi&hlm=1&page=show&id=1189#
    terdapat perhitungan pedagang eceran dimana terdapat PTKP sebagai pengurang penghasilan netto.

    Mohon Koreksi.. Ciww

    ortax

  • ktfd

    Member
    28 July 2010 at 3:30 pm
    Originaly posted by wijaya87:

    Saya tidak sependapat dengan rekan ktfd menurut KEP 536/PJ./2000 (lampiran)
    http://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&id_topik=&i d_jenis=&p_tgl=tahun&tahun=2000&nomor=536&q=&q_do= macth&cols=isi&hlm=1&page=show&id=1189#
    terdapat perhitungan pedagang eceran dimana terdapat PTKP sebagai pengurang penghasilan netto.

    hehehe… rekan wijaya, kemungkinan besar anda salah paham atas pernyataan saya
    sebelumnya… maksud saya adalah:
    penentuan tarif pph 25 utk wopot sebesar 0,75% belum/tidak memperhitungkan tarif
    norma dan tarif ptkp, jadi bukan dalam menghitung pph utk wpopt yg tidak memperhitungkan
    ptkp dan seterusnya, gitu lho rekan wi…
    jadi semakin besar nilai ptkp seseorang wpopt, maka akan semakin besar kemungkinan
    utk lebih bayar, dan semakin kecil tarif norma wpopt maka akan semakin besar pula
    kemungkinan utk lebih bayar.
    salam.

    ortax

  • begawan5060

    Member
    28 July 2010 at 9:20 pm
    Originaly posted by ktfd:

    hehehe… rekan wijaya, kemungkinan besar anda salah paham atas pernyataan saya
    sebelumnya… maksud saya adalah:
    penentuan tarif pph 25 utk wopot sebesar 0,75% belum/tidak memperhitungkan tarif
    norma dan tarif ptkp, jadi bukan dalam menghitung pph utk wpopt yg tidak memperhitungkan
    ptkp dan seterusnya, gitu lho rekan wi…
    jadi semakin besar nilai ptkp seseorang wpopt, maka akan semakin besar kemungkinan
    utk lebih bayar, dan semakin kecil tarif norma wpopt maka akan semakin besar pula
    kemungkinan utk lebih bayar.

    Supaya rekan Wijaya lebih jelas, diberikan ilustrsinya dong…

  • layo2

    Member
    29 July 2010 at 9:02 am

    Rekan2 Ortax……
    sy yg baru belajar perpajakan jd bingung, dengan banyaknya peraturan Perpajakan , ada pake Norma Perhitungan sekarang timbul lg PER 32 tahun 2010,
    yang masih berlaku yang Norma Perhitungan atau PER-32 tahun 2010?
    Aturan dan peraturan pelaksanaan masih ngambang sepertinya?

    mohon koreksinya???

  • wannabewongkpp

    Member
    29 July 2010 at 9:20 am

    menurut saya, masalah yang terjadi hanyalah masalah cash flow saja.
    mungkin alasan mereka (pemerintah) mbuat aturan seperti itu dalam rangka otonomi daerah.

    potensi lebih bayar? emangnya ada apa dengan lebih bayar? bukankah Lebih Bayar itu bagian dari mekanisme pajak? apakah lebih bayar suatu kejahatan?

    justru yang harusnya dituntut adalah apakah dng membayar 0,75% di tiap lokasi usaha sudah menjamin keamanan dan kenyamanan dalam berusaha di lokasi tersebut?

  • layo2

    Member
    29 July 2010 at 11:22 am
    Originaly posted by wannabewongkpp:

    menurut saya, masalah yang terjadi hanyalah masalah cash flow saja.
    mungkin alasan mereka (pemerintah) mbuat aturan seperti itu dalam rangka otonomi daerah.

    bisa jd, tapi didaerah sendiri udah ada pungutan2 lain selain pajak.
    hrs ada kejelasan dari pemerintah dan ke terbukaan kepada rakyat dana pajak buat apa aja sebenarnya, sementara rakyat malas untuk membayar pajak kerena penyaluranya tidak jelas,harga brg membumbung tinggi n byk permasalahan lainnya apalagi adanya kasus Gayus n gayus2 yg lainnya

    Originaly posted by wannabewongkpp:

    potensi lebih bayar? emangnya ada apa dengan lebih bayar? bukankah Lebih Bayar itu bagian dari mekanisme pajak? apakah lebih bayar suatu kejahatan?

    setuju rekan

    Originaly posted by wannabewongkpp:

    justru yang harusnya dituntut adalah apakah dng membayar 0,75% di tiap lokasi usaha sudah menjamin keamanan dan kenyamanan dalam berusaha di lokasi tersebut?

    setuju rekan………

  • wannabewongkpp

    Member
    29 July 2010 at 11:49 am
    Originaly posted by layo2:

    apalagi adanya kasus Gayus n gayus2 yg lainnya

    apa hubungan gayus di sini? jangan ngaco rekan.

Viewing 1 - 15 of 40 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now