Peraturan Pemerintah Nomor : 65 TAHUN 2001

Kategori : Lainnya

Pajak Daerah


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 65 TAHUN 2001
 
TENTANG
 
PAJAK DAERAH
 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

 

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Daerah;

 

Mengingat :

 

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
  3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4048);
  4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

 

MEMUTUSKAN :

 

Menetapkan :

 

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK DAERAH.

 

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

  1. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah.

  2. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.

  3. Kendaraan di atas air adalah semua kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan yang digunakan di atas air.

  4. Penyerahan kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air adalah pengalihan hak milik kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha;

  5. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah bahan bakar yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air;

  6. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah;

  7. Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut.

  8. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan/atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.

  9. Restoran adalah tempat menyantap makanan dan/atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering.

  10. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga;

  11. Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah;

  12. Penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah;

  13. Bahan galian golongan C adalah bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  14. Tempat parkir adalah tempat parkir di luar badan jalan yang disediakan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran;

  15. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyediaan barang dan/atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik hotel, restoran, penyelenggara hiburan, atau penyelenggara tempat parkir.

 

 

BAB II
PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN

KENDARAAN DI ATAS AIR

Bagian Pertama
Pajak Kendaraan Bermotor

 

Pasal 2

 

(1)

Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

(2) Dikecualikan sebagai objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor oleh :
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik;
  3. Subjek Pajak lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 3

 

(1)

Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor.

(2)

Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.

 

 

Pasal 4

 

(1) Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dihitung sebagai perkalian dari 2 (dua) unsur pokok;
  1. Nilai Jual Kendaraan Bermotor;
  2. Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
(2)

Nilai Jual Kendaraan Bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor.

(3) Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan faktor-faktor :
  1. isi silinder dan/atau satuan daya;
  2. penggunaan kendaraan bermotor;
  3. jenis kendaraan bermotor;
  4. merek kendaraan bermotor;
  5. tahun pembuatan kendaraan bermotor;
  6. berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang diizinkan;
  7. dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor tertentu.
(4) Bobot sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor:
  1. tekanan gandar;
  2. jenis bahan bakar kendaraan bermotor;
  3. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin dari kendaraan bermotor.
(5)

Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan.

(6)

Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) ditinjau kembali setiap tahun.

 

 

Pasal 5

 

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar:
  1. 1,5% (satu koma lima persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
  2. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum;
  3. 0,5% (nol koma lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.

 

 

Pasal 6

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5).

(2)

Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.

 

 

Pasal 7

 

(1)

Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran kendaraan bermotor.

(2)

Pajak Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka.

(3)

Pajak Kendaraan Bermotor yang karena suatu dan lain hal masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, maka dapat dilakukan restitusi.

(4)

Tata cara pelaksanaan restitusi ditetapkan oleh Gubernur.

 

 

Bagian Kedua
Pajak Kendaraan di Atas Air

 

Pasal 8

 

(1)

Objek Pajak Kendaraan di Atas Air adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan di atas air.

(2) Objek Pajak Kendaraan di Atas Air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
  1. kendaraan di atas air dengan ukuran isi kotor kurang dari 20 M3 atau kurang dari GT 7;
  2. kendaraan di atas air yang digunakan untuk kepentingan penangkapan ikan dengan mesin berkekuatan lebih besar dari 2 PK;
  3. kendaraan di atas air untuk kepentingan pesiar perseorangan yang meliputi yacht/pleasure ship/sporty ship;
  4. kendaraan di atas air untuk kepentingan angkutan perairan daratan.
(3) Dikecualikan sebagai objek Pajak Kendaraan di Atas Air adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan di atas air oleh:
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik;
  3. Orang pribadi atau badan atas kendaraan di atas air perintis;
  4. Subjek pajak lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 9

 

(1)

Subjek Pajak Kendaraan di Atas Air adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan di atas air.

(2)

Wajib Pajak Kendaraan di Atas Air adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan di atas air.

 

 

Pasal 10

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air dihitung berdasarkan Nilai Jual Kendaraan di Atas Air.

(2)

Nilai Jual Kendaraan di Atas Air diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan di atas air.

(3) Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan di atas air tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan di Atas Air ditentukan berdasarkan faktor-faktor, antara lain:
  1. penggunaan kendaraan di atas air;
  2. jenis kendaraan di atas air;
  3. merek kendaraan di atas air;
  4. tahun pembuatan atau renovasi kendaraan di atas air;
  5. isi kotor kendaraan di atas air;
  6. banyaknya penumpang atau berat muatan maksimum yang diizinkan;
  7. dokumen impor untuk jenis kendaraan di atas air tertentu.
(4)

Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan.

(5)

Tabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditinjau kembali setiap tahun.

 

 

Pasal 11

 

Tarif Pajak Kendaraan di Atas Air ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).

 

 

Pasal 12

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Kendaraan di Atas Air yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4).

(2)

Pajak Kendaraan di Atas Air yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan di atas air terdaftar.

 

 

Pasal 13

 

(1)

Pajak Kendaraan di Atas Air dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran kendaraan di atas air.

(2) Pajak Kendaraan di Atas Air dibayar sekaligus di muka.
(3)

Pajak Kendaraan di Atas Air yang karena suatu dan lain hal masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, maka dapat dilakukan restitusi.

(4) Tata cara pelaksanaan restitusi ditetapkan oleh Gubernur.

 

 

BAB III
BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR

DAN KENDARAAN DI ATAS AIR

Bagian Pertama
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

 

Pasal 14

 

(1)

Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kendaraan bermotor.

(2) Termasuk penyerahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
  1. untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan;
  2. untuk diperdagangkan;
  3. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia;
  4. digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olah raga bertaraf internasional.
(3)

Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c tidak berlaku apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia.

(4) Dikecualikan sebagai objek pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penyerahan kendaraan bermotor kepada:
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. Kedutaan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik;
  3. Subjek pajak lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 15

 

(1)

Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.

(2)

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.

 

 

Pasal 16

 

Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan ayat (2), atau ayat (3).

 

 

Pasal 17

 

(1) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan pertama ditetapkan sebesar:
  1. 10% (sepuluh persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
  2. 10% (sepuluh persen) untuk kendaraan bermotor umum;
  3. 3% (tiga persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.
(2) Tarif Bea Balik Nama kendaraan bermotor atas penyerahan kedua dan selanjutnya ditetapkan sebesar:
  1. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
  2. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum;
  3. 0,3% (nol koma tiga persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.
(3) Tarif Bea Balik Nama kendaraan bermotor atas penyerahan karena warisan ditetapkan sebesar:
  1. 0,1% (nol koma satu persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
  2. 0,1% (nol koma satu persen) untuk kendaraan bermotor umum;
  3. 0,03% (nol koma nol tiga persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.

 

 

Pasal 18

 

(1)

Pokok Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

(2)

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor didaftarkan.

(3)

Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat pendaftaran.

 

 

Pasal 19

 

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib mendaftarkan penyerahan kendaraan bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak saat penyerahan.

 

 

Pasal 20

 

Orang pribadi atau badan yang menyerahkan kendaraan bermotor melaporkan secara tertulis penyerahan tersebut kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak saat penyerahan.

 

 

Bagian Kedua
Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air

 

Pasal 21

 

(1)

Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air adalah penyerahan kendaraan di atas air.

 

(2) Kendaraan di atas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
  1. kendaraan di atas air dengan ukuran isi kotor kurang dari 20 M3 atau kurang dari GT 7;
  2. kendaraan di atas air yang digunakan untuk kepentingan penangkapan ikan dengan mesin berkekuatan lebih besar dari 2 PK;
  3. kendaraan di atas air untuk kepentingan pesiar perseorangan yang meliputi yacht/pleasure ship/sporty ship;
  4. kendaraan di atas air untuk kepentingan angkutan perairan daratan.
(3) Termasuk penyerahan kendaraan di atas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemasukan kendaraan di atas air dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
  1. untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan;
  2. untuk diperdagangkan;
  3. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia;
  4. digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olah raga bertaraf internasional.
(4)

Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c tidak berlaku apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia.

(5) Dikecualikan sebagai objek pajak Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penyerahan kendaraan di atas air kepada :
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. Kedutaan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik;
  3. Orang pribadi atau badan atas kendaraan di atas air perintis;
  4. Subjek pajak lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 22

 

(1)

Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air adalah orang pribadi atau badan yang dapat menerima penyerahan kendaraan di atas air.

(2)

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan di atas air.

 

 

Pasal 23

 

Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air adalah Nilai Jual Kendaraan di Atas Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3).

 

 

Pasal 24

 

(1)

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air atas penyerahan pertama ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

(2)

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air atas penyerahan kedua dan selanjutnya ditetapkan sebesar 1% (satu persen).

(3)

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air atas penyerahan karena warisan ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).

 

 

Pasal 25

 

(1)

Pokok Pajak Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

(2)

Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan di atas air didaftarkan.

(3)

Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air dilakukan pada saat pendaftaran.

 

 

Pasal 26

 

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air wajib mendaftarkan penyerahan kendaraan di atas air dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak saat penyerahan.

 

 

Pasal 27

 

Orang pribadi atau badan yang menyerahkan kendaraan di atas air melaporkan secara tertulis penyerahan tersebut kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak saat penyerahan.

 

 

BAB IV
PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR

 

Pasal 28

 

(1)

Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air.

(2)

Bahan bakar kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah bensin, solar, dan bahan bakar gas.

 

 

Pasal 29

 

(1)

Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor.

(2)

Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor.

(3)

Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia bahan bakar kendaraan bermotor.

 

 

Pasal 30

 

Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor.

 

 

Pasal 31

 

Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

 

 

Pasal 32

 

Besarnya pokok Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

 

 

BAB V

PAJAK PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN

AIR BAWAH TANAH DAN AIR PERMUKAAN

 

Pasal 33

 

(1) Objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah :
  1. pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan;
  2. pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan;
  3. pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah :
  1. pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air permukaan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air;
  3. pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat;
  4. pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga;
  5. pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 34

 

(1)

Subjek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah dan/atau air permukaan.

(2)

Wajib Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah dan/atau air permukaan.

 

 

Pasal 35

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah nilai perolehan air.

(2) Nilai perolehan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung menurut sebagian atau seluruh faktor-faktor:
  1. jenis sumber air;
  2. lokasi sumber air;
  3. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
  4. volume air yang diambil, atau dimanfaatkan, atau diambil dan dimanfaatkan;
  5. kualitas air;
  6. luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
  7. musim pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air;
  8. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air.
(3)

Besarnya nilai perolehan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sepanjang digunakan untuk kegiatan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah yang memberikan pelayanan publik, pertambangan minyak bumi dan gas alam ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 36

 

Tarif Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan ditetapkan sebagai berikut:
  1. Air bawah tanah sebesar 20% (dua puluh persen);
  2. Air permukaan sebesar 10% (sepuluh persen).

 

 

Pasal 37

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.

(2)

Khusus Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang ketenaga listrikan untuk kemanfaatan umum yang tarifnya ditetapkan oleh Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pokok pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan dalam harga jual listrik di Daerah yang dijangkau oleh sistem pasokan tenaga listrik yang bersangkutan.

(3)

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat air berada.

 

 

BAB VI

PAJAK HOTEL

 

Pasal 38

 

(1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan hotel dengan pembayaran, termasuk:
  1. fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek;
  2. pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan;
  3. fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum;
  4. jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel;
(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
  1. penyewaan rumah atau kamar, apartemen dan/atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel;
  2. pelayanan tinggal di asrama, dan pondok pesantren;
  3. fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan di hotel yang dipergunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran;
  4. pertokoan, perkantoran, perbankan, salon yang dipergunakan oleh umum di hotel;
  5. pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum.

 

 

Pasal 39

 

(1)

Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada hotel.

(2) Wajib Pajak Hotel adalah pengusaha hotel.

 

 

Pasal 40

 

Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel.

 

 

Pasal 41

 

(1) Tarif Pajak Hotel paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen);
(2)

Tarif Pajak Hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 42

 

(1) Besarnya pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(2)

Pajak Hotel yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat hotel berlokasi.

 

 

BAB VII

PAJAK RESTORAN

 

Pasal 43

 

(1)

Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran.

(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
  1. Pelayanan usaha jasa boga atau katering;
  2. Pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang peredarannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

 

 

Pasal 44

 

(1)

Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada restoran.

(2) Wajib Pajak Restoran adalah pengusaha restoran.

 

 

Pasal 45

 

Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran.

 

 

Pasal 46

 

(1)

Tarif Pajak Restoran paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Tarif Pajak Restoran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 47

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

(2)

Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat restoran berlokasi.

 

 

BAB VIII

PAJAK HIBURAN

 

Pasal 48

 

(1)

Objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.

(2)

Tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan.

 

 

Pasal 49

 

(1)

Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan/atau menikmati hiburan.

(2)

Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.

 

 

Pasal 50

 

Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan/atau menikmati hiburan.

 

 

Pasal 51

 

(1)

Tarif Pajak Hiburan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).

(2)

Tarif Pajak Hiburan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 52

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.

(2)

Pajak Hiburan yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat hiburan diselenggarakan.

 

 

BAB IX

PAJAK REKLAME

 

Pasal 53

 

(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.
(2) Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:
  1. Penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
  2. penyelenggaraan reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 54

 

(1)

Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemesanan reklame.

(2)

Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.

 

 

Pasal 55

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa reklame.

(2)

Nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan dengan memperhatikan lokasi penempatan, jenis, jangka waktu penyelenggaraan, dan ukuran media reklame.

(3)

Cara perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(4)

Hasil perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.

 

 

Pasal 56

 

(1)

Tarif Pajak Reklame paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).

(2)

Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 57

 

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55.

(2)

Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat reklame tersebut diselenggarakan.

 

 

BAB X

PAJAK PENERANGAN JALAN

 

Pasal 58

 

(1)

Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, di wilayah daerah yang tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.

(2) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
  1. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik;
  3. penggunaan tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait;
  4. penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 59

 

(1)

Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik.

(2)

Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menjadi pelanggan listrik dan/atau pengguna tenaga listrik.

(3)

Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh PLN maka pemungutan Pajak Penerangan Jalan dilakukan oleh PLN.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemungutan Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 60

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.

(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan:
  1. dalam hal tenaga listrik berasal dari PLN dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban ditambah dengan biaya pemakaian kwh yang ditetapkan dalam rekening listrik;
  2. dalam hal tenaga listrik berasal dari bukan PLN dengan tidak dipungut bayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, penggunaan listrik atau taksiran penggunaan listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(3)

Khusus untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).

 

 

Pasal 61

 

(1)

Tarif Pajak Penerangan Jalan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Tarif Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 62

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60.

(2)

Dalam hal Pajak Penerangan Jalan dipungut oleh PLN maka besarnya pokok pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan PLN.

(3)

Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penggunaan tenaga listrik.

 

 

BAB XI

PAJAK PENGAMBILAN

BAHAN GALIAN GOLONGAN C

 

Pasal 63

 

(1)

Objek Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah kegiatan pengambilan bahan galian golongan C.

(2) Bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
  1. asbes;
  2. batu tulis;
  3. batu setengah permata;
  4. batu kapur;
  5. batu apung;
  6. batu permata;
  7. bentonit;
  8. dolomit;
  9. feldspar;
  10. garam batu (halite);
  11. grafit;
  12. granit/andesit;
  13. gips;
  14. kalsit;
  15. kaolin;
  16. leusit;
  17. magnesit;
  18. mika;
  19. marmer;
  20. nitrat;
  21. opsidien;
  22. oker;
  23. pasir dan kerikil;
  24. pasir kuarsa;
  25. perlit;
  26. phospat;
  27. talk;
  28. tanah serap (fullers earth);
  29. tanah diatome;
  30. tanah liat;
  31. tawas (alum);
  32. tras;
  33. yarosif;
  34. zeolit;
  35. basal;
  36. trakkit.
(3) Dikecualikan dari objek Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah:
  1. kegiatan pengambilan bahan galian golongan C yang nyata-nyata tidak dimaksudkan untuk mengambil bahan galian golongan C tersebut dan tidak dimanfaatkan secara ekonomis.
  2. Pengambilan bahan galian golongan C lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 64

 

(1)

Subjek Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah orang pribadi atau badan yang mengambil bahan galian golongan C.

(2)

Wajib Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan pengambilan bahan galian golongan C.

 

 

Pasal 65

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah nilai jual hasil pengambilan bahan galian golongan C.

(2)

Nilai jual sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis bahan galian golongan C.

 

 

Pasal 66

 

(1)

Tarif Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2)

Tarif Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 67

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.

(2)

Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan bahan galian golongan C.

 

 

BAB XII

PAJAK PARKIR

 

Pasal 68

(1)

Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran.

(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
  1. Penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. Penyelenggaraan parkir oleh kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik;
  3. Penyelenggaraan tempat parkir lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 69

 

(1)

Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas tempat parkir.

(2)

Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat parkir.

 

 

Pasal 70

 

Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir.

 

 

Pasal 71

 

(1)

Tarif Pajak Parkir paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2)

Tarif Pajak Parkir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 72

 

(1)

Besarnya pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.

(2)

Pajak Parkir yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat parkir berlokasi.

 

 

BAB XIII

PAJAK LAIN-LAIN

 

Pasal 73

 

Selain jenis pajak Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-undang.

 

 

BAB XIV

TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

YANG KADALUWARSA DAN TATA CARA

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK

 

Pasal 74

 

(1)

Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.

(2)

Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Propinsi yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3)

Bupati atau Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Kabupaten atau Kota yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4)

Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Daerah.

 

 

Pasal 75

 

Tata cara pelaksanaan pemungutan pajak ditetapkan oleh Kepala Daerah.

 

 

BAB XV

BIAYA PEMUNGUTAN

 

Pasal 76

 

(1)

Dalam rangka kegiatan pemungutan Pajak Daerah dapat diberikan biaya pemungutan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).

(2)

Pedoman tentang alokasi biaya pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan.

 

 

BAB XVI
BAGI HASIL PAJAK

Bagian Pertama
Bagi Hasil Pajak Propinsi kepada

Daerah Kabupaten/Kota

 

Pasal 77

 

(1)

Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi yang bersangkutan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

(2)

Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi yang bersangkutan paling sedikit 70% (tujuh puluh persen).

(3)

Bagian Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Daerah Kabupaten/Kota.

(4)

Penggunaan bagian Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

 

 

Bagian Kedua
Bagi Hasil Pajak Kabupaten kepada Desa

 

Pasal 78

 

(1)

Hasil penerimaan pajak Kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10% (sepuluh persen) bagi Desa di wilayah Daerah Kabupaten yang bersangkutan.

(2)

Bagian Desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Desa.

(3)

Penggunaan bagian Desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sepenuhnya oleh Desa yang bersangkutan.

 

 

BAB XVII
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH

Bagian Pertama
Pengundangan Peraturan Daerah

 

Pasal 79

 

Peraturan Daerah tentang Pajak diundangkan dalam Lembaran Daerah yang bersangkutan.

 

 

Bagian Kedua
Pengawasan Peraturan Daerah

 

Pasal 80

 

(1)

Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan.

(2)

Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan membatalkan Peraturan Daerah dimaksud.

(3)

Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dimaksud.

(4)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

 

BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 81

 

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku :

  1. Semua Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1998, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, dapat dilaksanakan tanpa memerlukan pengesahan.
  2. Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih tetap berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, sepanjang Peraturan Daerah Propinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan belum ditetapkan.
  3. Peraturan Daerah Propinsi tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor masih tetap berlaku selama 3 (tiga) bulan.
  4. Peraturan Daerah lainnya selain sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3 yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, diadakan penyesuaian dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun.

 

 

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 82

 

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3691) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3771);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3693);

dinyatakan tidak berlaku;

 

 

Pasal 83

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 September 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd

 

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

 

 

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 September 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


ttd

 

BAMBANG KESOWO

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 118

 

 

 


PENJELASAN
ATAS

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 65 TAHUN 2001

 

TENTANG

 

PAJAK DAERAH

 

UMUM

 

Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah, khususnya yang bersumber dari Pajak Daerah perlu ditingkatkan sehingga kemandirian Daerah dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah dapat terwujud.

Untuk meningkatkan pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan pertumbuhan perekonomian di Daerah, diperlukan penyediaan sumber-sumber pendapatan asli daerah yang hasilnya memadai. Upaya peningkatan penyediaan pembiayaan dari sumber tersebut, antara lain, dilakukan dengan peningkatan kinerja pemungutan, penyempurnaan dan penambahan jenis pajak, serta pemberian keleluasaan bagi Daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan khususnya dari sektor Pajak Daerah melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, maka Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1998 sudah tidak sesuai lagi dan perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah pengganti, sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah ini mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

 

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Termasuk dalam objek Pajak Kendaraan Bermotor yaitu kendaraan bermotor yang digunakan di semua jenis jalan darat, antara lain, di kawasan Bandara, Pelabuhan Laut, Perkebunan, Kehutanan, Pertanian, Pertambangan, Industri, Perdagangan, dan sarana olah raga dan rekreasi.
Alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak adalah alat yang dapat bergerak/berpindah tempat dan tidak melekat secara permanen.

Ayat (2)

Huruf a

Kendaraan bermotor milik Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah tidak dikecualikan sebagai objek Pajak Kendaraan Bermotor.

Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf c

Subjek pajak yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, orang pribadi atau yang memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan pengolahan lahan pertanian rakyat, dan Badan Usaha Milik Negara yang memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan keselamatan.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2

Dalam hal Wajib Pajak badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut.

Pasal 4

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Bobot dinyatakan sebagai koefisien tertentu. Koefisien sama dengan 1, berarti kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan oleh kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih besar dari 1, berarti kendaraan bermotor tersebut membawa pengaruh buruk terhadap kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan.

Contoh:
Nilai Jual Kendaraan Bermotor merek X tahun Y adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Koefisien bobot ditentukan sama dengan 1, 2 maka dasar pengenaan pajak dari kendaraan bermotor tersebut adalah : Rp 100.000.000,00 x 1,2 = Rp 120.000.000,00

Ayat (2)

Harga pasaran umum adalah harga rata-rata yang diperoleh dari sumber data, antara lain, Agen Tunggal Pemegang Merek, asosiasi penjual kendaraan bermotor.
Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya.

Ayat (3)

Faktor-faktor tersebut dalam ayat ini tidak harus semuanya dipergunakan dalam menghitung Nilai Jual Kendaraan Bermotor.

Ayat (4)

Huruf a

Tekanan gandar dibedakan atas jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor.

Huruf b

Jenis bahan bakar kendaraan bermotor dibedakan, antara lain, solar, bensin, gas,listrik atau tenaga surya.

Huruf c

Jenis, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin dari kendaraan bermotor dibedakan, antara lain, jenis mesin yang 2 tak atau 4 tak, dan ciri-ciri mesin yang 1000 cc atau 2000 cc.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

 

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor merupakan satu kesatuan dengan pengurusan administrasi kendaraan bermotor lainnya.
Khusus pemungutan pajak kendaraan bermotor untuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan suatu dan lain hal dalam ayat ini, antara lain, kendaraan bermotor didaftar di daerah lain, kendaraan bermotor yang rusak dan tidak dapat digunakan lagi karena force majeure.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Kendaraan di Atas Air milik Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah tidak dikecualikan sebagai objek Pajak Kendaraan di Atas Air.

Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan kendaraan di atas air perintis adalah kapal yang digunakan untuk pelayanan angkutan perintis.

Huruf d

Subjek pajak yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, Badan Usaha Milik Negara yang memiliki atau menguasai kendaraan di atas air yang digunakan untuk keperluan keselamatan, seperti kapal pandu dan kapal tunda.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam hal Wajib Pajak badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Harga pasaran umum adalah harga rata-rata yang diperoleh dari sumber data, antara lain, dari tempat penjualan kendaraan di atas air.

Nilai Jual Kendaraan di Atas Air ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya.

Ayat (3)

Faktor-faktor tersebut dalam ayat ini tidak harus semuanya dipergunakan dalam menghitung Nilai Jual Kendaraan di Atas Air.

Ayat (4)

Dasar pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air dapat ditetapkan lebih rendah dari Nilai Jual Kendaraan di Atas Air.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Pemungutan Pajak Kendaraan di Atas Air merupakan satu kesatuan dengan pengurusan administrasi kendaraan di Atas Air lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan suatu dan lain hal, antara lain, kendaraan bermotor yang rusak dan tidak dapat digunakan lagi karena force majeure.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Penguasaan kendaraan bermotor yang melebihi 12 (dua belas) bulan dianggap sebagai penyerahan, kecuali penguasaan kendaraan bermotor karena perjanjian sewa beli.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Huruf a

Penyerahan kendaraan bermotor kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah tidak dikecualikan sebagai objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf c

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang tercantum dalam Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5).

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Laporan tertulis tersebut, antara lain, berisi :

  - nama dan alamat orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan;
  - tanggal, bulan dan tahun penyerahan;
  - nomor polisi kendaraan bermotor;
  - lampiran foto kopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK).

Pasal 21

Ayat (1)

Penguasaan kendaraan di atas air yang melebihi 12 (dua belas) bulan dianggap sebagai penyerahan, kecuali penguasaan kendaraan di atas air karena perjanjian sewa beli.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Huruf a

Penyerahan kendaraan di atas air kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah tidak dikecualikan sebagai objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air.

Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan kendaraan di atas air perintis adalah kapal yang digunakan untuk pelayanan angkutan perintis.

Huruf d

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Nilai jual kendaraan di atas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah nilai jual kendaraan di atas air yang tercantum dalam ketetapan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4).

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Laporan tertulis tersebut, antara lain berisi:

  - nama dan alamat orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan;
  - tanggal, bulan dan tahun penyerahan;
  - Pas Kapal;
  - Nomor Pas Kapal.

Pasal 28

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor adalah bahan bakar diperoleh melalui, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum untuk Kendaraan di Atas Air.

Ayat (2)

Termasuk dalam pengertian bensin adalah, antara lain, premium, premix, bensin biru, super TT.

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan penyedia bahan bakar kendaraan bermotor, antara lain, Pertamina dan produsen lainnya.

Pasal 30

Yang dimaksud dengan nilai jual adalah harga jual sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 31

Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor. Dengan demikian, harga eceran bahan bakar kendaraan bermotor sudah termasuk pajak ini.

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan dalam ketentuan ini, antara lain, pengambilan air dalam sektor pertambangan migas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan dalam ketentuan ini, antara lain, pemanfaatan air dalam bidang ketenagalistrikan.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Tidak termasuk yang dikecualikan sebagai objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah .

Huruf b

Contoh, Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta.

Huruf c

Pengecualian objek pajak atas pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf d

Pengecualian objek pajak atas pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf e

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Penggunaan faktor-faktor tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah.

Yang dimaksud dengan musim pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan, dan pemanfaatan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf g adalah musim kemarau atau musim hujan.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang menyediakan layanan publik dan tarif layanannya ditetapkan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pembebanan yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena pembayaran atas jenis ini dilakukan dari bagi hasil penerimaan negara dari sektor pertambangan minyak bumi dan gas alam.

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)

Huruf a

Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar 10 (sepuluh) atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan.
Fasilitas penginapan/fasilitas tinggal jangka pendek, antara lain, gubuk pariwisata (cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hostel), losmen, dan rumah penginapan.

Huruf b

Pelayanan penunjang, antara lain, telepon, faksimil, teleks, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, taksi dan pengangkutan lainnya, yang disediakan atau dikelola hotel.

Huruf c

Fasilitas olah raga dan hiburan, antara lain, pusat kebugaran (fitness center), kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik, yang disediakan atau dikelola hotel.

Huruf d

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Termasuk dalam objek Pajak Restoran adalah rumah makan, cafe, bar, dan sejenisnya.
Pelayanan di restoran/rumah makan meliputi penjualan makanan dan/atau minuman di restoran/rumah makan, termasuk penyediaan penjualan makanan/minuman yang diantar/dibawa pulang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Ayat (1)

Hiburan, antara lain, berupa tontonan film, kesenian, pagelaran musik dan tari, diskotik, karaoke, klab malam, permainan bilyar, permainan ketangkasan, panti pijat, mandi uap, dan pertandingan olah raga.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Yang dimaksud dengan yang seharusnya dibayar adalah termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma.

Pasal 51

Hiburan berupa kesenian tradisional dikenakan tarif yang lebih rendah dari hiburan lainnya.

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)

Penyelenggaraan reklame, antara lain :

  - reklame papan/billboard/videotron/megatron;
  - reklame kain;
  - reklame melekat (stiker);
  - reklame selebaran;
  - reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
  - reklame udara;
  - reklame suara;
  - reklame film/slide;
  - reklame peragaan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 54

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam hal reklame diselenggarakan langsung oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan reklame untuk kepentingan sendiri, maka Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut. Apabila penyelenggaraan reklame dilaksanakan melalui pihak ketiga, misalnya Perusahaan Jasa Periklanan, maka pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penggunaan tenaga listrik adalah penggunaan tenaga listrik baik yang disalurkan dari PLN maupun bukan PLN.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Penerangan Jalan bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pembebanan yang pada akhirnya akan memberatkan masyarakat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena pembayaran atas jenis pajak ini dilakukan dari bagi hasil penerimaan negara dari sektor pertambangan minyak bumi dan gas alam.

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas

Pasal 63

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kegiatan pengambilan bahan galian golongan C adalah pengambilan bahan galian golongan C dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Contoh, kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, kegiatan pertambangan golongan a dan golongan b, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas.

Huruf b

Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan. Apabila nilai pasar dari hasil produksi bahan galian golongan C sulit diperoleh, maka digunakan harga standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang penambangan bahan galian golongan C.

Pasal 66

Cukup jelas

Pasal 67

Cukup jelas

Pasal 68

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Penyelenggaraan tempat parkir oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah tidak dikecualikan sebagai objek Pajak Parkir.

Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Parkir bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf c

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Penetapan jenis pajak lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini harus benar-benar bersifat spesifik dan potensial di Daerah.

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Cukup jelas

Pasal 78

Cukup jelas

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Ayat (1)

Penetapan jangka waktu 15 (lima belas) hari dalam ayat ini telah mempertimbangkan administrasi pengiriman Peraturan Daerah dari daerah yang tergolong jauh.

Ayat (2)

Pembatalan Peraturan Daerah berlaku sejak tanggal ditetapkan. Dalam hal ini Wajib Pajak tidak dapat mengajukan restitusi kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Ayat (3)

Penetapan jangka waktu 1 (satu) bulan dalam ayat ini dilakukan dengan pertimbangan untuk mengurangi dampak negatif dari pembatalan Peraturan Daerah tersebut.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 81

Cukup jelas

Pasal 82

Cukup jelas

Pasal 83

Cukup jelas

 

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4138