Peraturan Pemerintah Nomor : 9 TAHUN 2021

Kategori : KUP, PPh, PPN

Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2021

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG
KEMUDAHAN BERUSAHA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4982) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6373);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6361);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Cipta Kerja adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  3. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  4. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  5. Obligasi adalah surat utang, surat utang negara, dan obligasi daerah yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan yang diterbitkan oleh pemerintah dan nonpemerintah termasuk surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah (sukuk).
  6. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga, ujrah/fee, bagi hasil, margin, penghasilan sejenis lainnya dan/atau diskonto.


Pasal 2


Perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


BAB II
PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG
KEMUDAHAN BERUSAHA DI BIDANG
PAJAK PENGHASILAN

Pasal 3


(1) Atas penghasilan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Tarif pemotongan sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1b) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Tarif pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diturunkan menjadi sebesar 10% (sepuluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda.
(4) Penghasilan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan penurunan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penghasilan Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
(5) Bunga Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk:
  1. bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
  2. diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan; dan
  3. diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi.
(6) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh:
  1. penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
  2. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi.
(7) Ketentuan mengenai Bunga Obligasi atas Obligasi yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(8) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.


BAB III
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN
UNTUK KEMUDAHAN BERUSAHA MENGENAI PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

Pasal 4


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6361) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
   
2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2A


(1) Pengecualian penghasilan berupa dividen atau penghasilan lain dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan berlaku untuk dividen atau penghasilan lain yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dan badan dalam negeri sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
(2) Dividen yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dividen yang dibagikan berdasarkan rapat umum pemegang saham atau dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rapat umum pemegang saham atau dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk rapat sejenis dan mekanisme pembagian dividen sejenis.
(4) Penghasilan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri dan penghasilan aktif dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap.
(5) Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri atau Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, tidak dipotong Pajak Penghasilan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 butir a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri terutang Pajak Penghasilan pada saat dividen diterima atau diperoleh.
(7) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.


BAB IV
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
UNTUK KEMUDAHAN BERUSAHA

Pasal 5


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, serta di antara angka 1 dan angka 2 Pasal 1 disisipkan 5 (lima) angka yakni angka 1a, angka 1b, angka 1c, angka 1d, dan angka 1e, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
1a. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
1b. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
1c. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
1d. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
1e. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
2. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
3. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
4. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
5. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
6. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
7. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
   
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A


Pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal IA ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai meliputi pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal kepada badan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
   
3. Ketentuan Pasal 16 dihapus.
   
4. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6), dan ayat (7) Pasal 17 diubah, serta penjelasan ayat (5) Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
  2. impor Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
  8. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat pembayaran.
(3) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
a. penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak selain penyerahan oleh pemilik barang atau yang disebut consignor kepada penerima barang atau yang disebut consignee secara konsinyasi, terjadi pada saat:
1. Barang Kena Pajak Berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli;
2. Barang Kena Pajak Berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang;
3. Barang Kena Pajak Berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
4. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
b. penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak Berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli;
c. penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, terjadi pada saat:
1. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau
2. kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak diketahui;
d. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, yaitu pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat:
1. ditandatanganinya akta pembubaran oleh notaris;
2. berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam anggaran dasar;
3. tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau
4. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada;
dan
e. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A, yang tidak memenuhi ketentuan Pasal IA ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau perubahan bentuk usaha, terjadi pada saat:
1. disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai dengan hasil rapat umum pemegang saham yang tertuang dalam perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha;
2. ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh notaris;
3. disepakati atau ditetapkannya pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A yang tertuang dalam perjanjian pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal; atau
4. ditandatanganinya akta mengenai pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A oleh notaris.
(4) Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(5) Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat:
  1. harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
  2. kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diketahui; atau
  3. mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak.
(6) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, terjadi pada saat yang lebih dahulu terjadi di antara saat:
  1. harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
  2. Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
  3. harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
(7) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui.
(8) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(9) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terjadi pada saat Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
(10) Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
   
5. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A


(1) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a untuk penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, bagi consignor, terjadi pada saat harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak consignor, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
(2) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a untuk penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, bagi consignee, terjadi pada saat:
  1. Barang Kena Pajak Berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli;
  2. Barang Kena Pajak Berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang;
  3. Barang Kena Pajak Berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
  4. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak consignee, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
   
6. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 19 diubah, serta ayat (2) Pasal 19 dihapus, sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Faktur Pajak wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10), serta Pasal 17A.
(2) Dihapus.
(3) Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
(4) Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap tidak membuat Faktur Pajak.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
   
7. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19A


(1) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi:
    1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah;
    2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    3. nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
    4. nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(3) Nomor induk kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 mempunyai kedudukan yang sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam rangka pembuatan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan.
(4) Faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) huruf b angka 1 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.
   
8. Ketentuan ayat (1) Pasal 20 diubah, ayat (2) dan ayat (3) Pasal 20 dihapus, serta ditambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 20 yakni ayat (4), sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir, termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, merupakan Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui pihak ketiga dan penunjukan pihak ketiga sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


BAB V
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG KETENTUAN UMUM
DAN TATA CARA PERPAJAKAN UNTUK KEMUDAHAN BERUSAHA

Pasal 6


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
3. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
4. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
5. Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan petugas Verifikasi atas hasil Verifikasi yang dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.
6. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
7. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.
8. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
9. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
10. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, yang selanjutnya disebut P3B, adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
11. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure), yang selanjutnya disebut MAP, adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.
12. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
13. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), yang selanjutnya disebut APA, adalah perjanjian tertulis antara:
  1. Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau
  2. Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.
   
2. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Pasal 7 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 7 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), serta penjelasan ayat (3) Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, apabila:
  1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  2. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(2) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disertai dengan:
  1. penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang;
  2. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang; dan
  3. Surat Setoran Pajak sebagai pembayaran sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen).
(2a) Pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
(3) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
(4) Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
   
3. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (8) Pasal 8 diubah, serta ayat (7) Pasal 8 dihapus, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan.
(2) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
  1. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
  2. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
  3. Surat Setoran Pajak atas sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(3) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar.
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut.
(5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administratif terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
   
4. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A


(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, yaitu:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.
(3) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
(4) Penentuan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit mempertimbangkan modal usaha, peredaran bruto, dan tahun pendirian kegiatan usaha Wajib Pajak.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara melakukan pencatatan dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tata cara menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
   
5. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 12 diubah, di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 12 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a), dan penjelasan ayat (1) Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12


(1) Apabila pada saat Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan ditangguhkan sampai dengan:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
  3. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
  4. Penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
  5. Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanjutkan apabila:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
  2. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
  3. Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangka meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
  4. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihentikan apabila:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. Penyidikan dihentikan karena Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  3. Penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
  4. Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan.
(5) Direktur Jenderal Pajak masih dapat melakukan Pemeriksaan apabila setelah Pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat data selain yang diungkapkan dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
   
6. Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah, serta ayat (2) dan ayat (3) Pasal 14 dihapus, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan, dalam hal:
  1. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  3. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
  4. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
  5. Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
  6. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
   
7. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang terhadap:
  1. data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, termasuk data yang semula belum terungkap; atau
  2. keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
   
8. Ketentuan ayat (1) Pasal 16 diubah dan ayat (2) Pasal 16 dihapus, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a ditambah sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut.
(2) Dihapus.
   
9. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


(1) Hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18, dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan atau laporan hasil Pemeriksaan ulang.
(2) Berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan atau laporan hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan.
(3) Berdasarkan nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak.
   
10. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 24 diubah, serta penjelasan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 24 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(3) Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
   
11. Ketentuan Pasal 29 dihapus.
   
12. Ketentuan Pasal 43 dihapus.
   
13. Ketentuan Pasal 44 dihapus.
   
14. Ketentuan Pasal 45 dihapus.
   
15. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45A


(1) Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
(3) Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(4) Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan:
  1. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan
  2. paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
(7) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(8) Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak; atau
  2. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Pengadilan Pajak.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
   
16. Ketentuan ayat (1), ayat (6), dan ayat (7) huruf d Pasal 60 diubah, ayat (7) huruf c dan huruf e Pasal 60 dihapus, dan penjelasan ayat (2) Pasal 60 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 60 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


(1) Berdasarkan hasil pengembangan dan analisis terhadap informasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka.
(3) Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
(4) Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(5) Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pejabat yang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka berwenang:
  1. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  2. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
  3. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  4. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
  5. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54;
  6. meminta keterangan kepada pihak yang berkaitan dan dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan; dan
  7. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Pemeriksaan Bukti Permulaan harus ditindaklanjuti dengan:
a. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam hal ditemukan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
b. pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan dalam hal Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c. dihapus;
d. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau
2. tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
atau
e. dihapus.
   
17. Ketentuan ayat (2) Pasal 62 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 62 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 62 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62


(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah melunasi:
a. jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan; dan/atau
b. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak,
ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak tersebut.
(2a) Pembayaran jumlah pajak ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebagaimana  dimaksud pada ayat (2) merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
(3) Jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung berdasarkan berita acara pemeriksaan ahli sebelum dilakukan pelunasan dalam rangka pengajuan permintaan penghentian Penyidikan oleh Menteri Keuangan.
   
18. Di antara Pasal 63 dan Pasal 64 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 63A dan Pasal 63B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63A


(1) Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik dan menggunakan tanda tangan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
(2) Tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanda tangan elektronik tersertifikasi dan tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi.
(3) Dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi, Wajib Pajak diberikan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
(4) Penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(5) Menteri Keuangan dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk menyediakan fasilitas pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik; dan
b. kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain serta lingkup pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak secara elektronik,
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 63B


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan atau ketetapan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam bentuk elektronik dan ditandatangani secara elektronik.
(2) Keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkekuatan hukum sama dengan keputusan atau ketetapan yang tertulis.
(3) Dalam hal keputusan atau ketetapan dibuat dalam bentuk elektronik, tidak dibuat keputusan atau ketetapan dalam bentuk tertulis.
(4) Tanggal dikirim atau tanggal diterima terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara elektronik merupakan tanggal pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman secara elektronik atas keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

     

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 7


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) sampai dengan 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.


Pasal 8


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sampai dengan 30 (tiga puluh) hari setelah Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


Pasal 9


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
1. terhadap:
a. surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020 yang memuat sanksi administratif berupa bunga, yang penghitungan sanksi administratifnya dimulai sebelum tanggal 2 November 2020; dan
b. pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang diajukan sejak tanggal 2 November 2020, yang penghitungan sanksi administratifnya dimulai sebelum tanggal 2 November 2020,
pengenaan sanksi administratifnya dihitung menggunakan tarif bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penghitungan tarif bunga sebagai dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga yang berlaku untuk bulan November 2020;
2. terhadap:
a. pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
b. permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
yang diajukan oleh Wajib Pajak sejak tanggal 2 November 2020, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
3. terhadap sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dikenakan melalui Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
4. terhadap imbalan bunga yang diberikan berdasarkan ketetapan, keputusan, atau putusan yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020 dan penghitungan imbalan bunganya dimulai sebelum tanggal 2 November 2020, imbalan bunga tersebut dihitung menggunakan tarif bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penghitungan tarif bunga sebagai dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga yang berlaku untuk bulan November 2020;
5. terhadap pembayaran kembali Pajak Masukan yang telah dikembalikan atau telah dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang belum dilakukan sampai dengan tanggal 2 November 2020, atas Pajak Masukannya diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
6. terhadap imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan dan belum dilakukan pembayaran kembali oleh Wajib Pajak sampai dengan tanggal 2 November 2020, imbalan bunga tersebut ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4985), masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 11


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 19



PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2021

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG
KEMUDAHAN BERUSAHA

 


I. UMUM

Dalam rangka mendukung cipta kerja yang memerlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja).

Undang-Undang Cipta Kerja antara lain telah mengubah 3 (tiga) Undang-Undang di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut antara lain terdapat amanah dalam ketentuan Pasal 111 yang mengatur mengenai pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (1b) Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

Dalam ketentuan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Cipta Kerja, juga terdapat pengaturan untuk melakukan penyesuaian peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut di atas perlu melakukan penyesuaian beberapa peraturan sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019, yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan
c. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Di samping itu, dalam rangka mendukung kemudahan berusaha sebagai salah satu tujuan dari Undang-Undang Cipta Kerja, terdapat proses bisnis di bidang perpajakan yang juga perlu dilakukan penyesuaian, yaitu dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dalam administrasi perpajakan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyederhanakan proses bisnis dan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Pada prinsipnya, Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memberikan landasan hukum pengaturan perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha serta mendukung percepatan implementasi kebijakan strategis di bidang perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha di bidang Pajak Penghasilan, bidang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dengan pokok-pokok materi antara lain sebagai berikut:
a. perlakuan perpajakan di bidang Pajak Penghasilan antara lain pengaturan dividen atau penghasilan lain yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan berlaku untuk yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dan badan dalam negeri sejak diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja;
b. perlakuan perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah antara lain pengaturan kedudukan nomor induk kependudukan dipersamakan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam rangka pembuatan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli orang pribadi; dan
c. perlakuan perpajakan di bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara lain perubahan sanksi administratif dalam pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan pada saat Pemeriksaan dari 50% (lima puluh persen) menjadi tarif bunga berdasarkan suku bunga acuan dengan jangka waktu maksimal 24 (dua puluh empat) bulan, dan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dari 150% (seratus lima puluh persen) menjadi 100% (seratus persen), serta permintaan penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dari denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak menjadi 3 (tiga) kali jumlah pajak.

Dengan penyusunan Peraturan Pemerintah ini diharapkan optimalisasi pengaturan di bidang perpajakan dapat mendukung dan mewujudkan tujuan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang akan memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
   
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "Obligasi dengan kupon" adalah yang dikenal dengan istilah interest bearing debt securities.

Yang dimaksud dengan "masa kepemilikan" adalah yang dikenal dengan istilah holding period.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "bunga berjalan" adalah yang dikenal dengan istilah accrued interest.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "Obligasi tanpa bunga" adalah yang dikenal dengan istilah non-interest bearing debt securities.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk transaksi berbasis syariah. Imbal hasil tersebut dapat berupa ujrah/fee, margin, bagi hasil, atau penghasilan sejenis lainnya sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Pasal 4

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 2A


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan diterima atau diperoleh dividen atau penghasilan lain:

  1. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) tahunan.
  2. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date).

Contoh dividen atau penghasilan lain yang memenuhi dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f untuk dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan:

  1. PT A (perusahaan go public di Indonesia) mengumumkan dividen sebesar Rp 10.000.000.000,00 saat RUPS pada tanggal 27 Oktober 2020. Recording date dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2020 dan pembayaran dividen dilakukan pada tanggal 5 November 2020. Maka atas penghasilan dividen yang diterima oleh PT B (pemegang saham saat recording date) tidak termasuk penghasilan dividen yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
  2. PT X (perusahaan tidak go public) mengumumkan dividen sebesar Rp 15.000.000.000,00 saat RUPS pada tanggal 3 November 2020. Pembayaran dividen dilakukan pada tanggal 5 November 2020. Maka atas penghasilan dividen yang diterima oleh Tuan Y (pemegang saham PT X) termasuk penghasilan dividen yang dapat dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Pasal 5

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 5A


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 16


Dihapus.


Angka 4


Pasal 17


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak.

Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka:

  1. penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli; dan
  2. perpindahan hak penguasaan atas barang dapat juga terjadi pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat barang diserahkan kepada juru kirim atau perusahaan angkutan.

Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan sebagai sumber dokumennya.

Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Termasuk dalam pengertian faktur penjualan, yaitu dokumen lain yang berfungsi sama dengan faktur penjualan.


Huruf b


Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "persediaan" adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "penggabungan usaha, peleburan usaha, pemecahan usaha, dan pengambilalihan usaha" adalah penggabungan usaha, peleburan usaha, pemisahan usaha, dan pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.

Yang dimaksud dengan "pemekaran usaha" adalah pemisahan 1 (satu) badan usaha menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" adalah berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak adalah commanditaire vennootschap kemudian berubah menjadi perseroan terbatas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.

Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Ayat (10)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 17A


Ayat (1)


Penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:

  1. consignor menitipkan Barang Kena Pajak kepada consignee; dan
  2. consignee menyerahkan Barang Kena Pajak yang dititipkan sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada pembeli Barang Kena Pajak dimaksud.

Berdasarkan ketentuan ini, penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh consignor tidak terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung untuk dititipkan kepada consignee, tetapi terjadi pada saat consignor mengakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak consignor, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 19


Ayat (1)


Secara prinsip, Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian karena suatu hal, dapat terjadi keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Atas keterlambatan pembuatan Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai.

Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten.

Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini, yaitu dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang dibuat atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak.

Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:


  1. Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak.

Contoh 1:

PT Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada Tuan Igna pada tanggal 15 Mei 2021. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Aman membuat Faktur Pajak pada tanggal 15 Mei 2021.

Contoh 2:

PT Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of delivery) loco gudang penjual (FOB shipping point). Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang PT Ceria pada tanggal 10 Juni 2021 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi dengan tanggal DO (delivery order) 10 Juni 2021. Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 12 Juni 2021. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Berkah membuat Faktur Pajak pada tanggal 10 Juni 2021.

Dalam hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (invoice) diterbitkan tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan. Penerbitan faktur penjualan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.

Contoh 3:

PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of delivery) franco gudang pembeli (FOB destination). Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 12 Agustus 2021 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 Agustus 2021. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (invoice) pada tanggal 16 Agustus 2021. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Cantik wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 13 Agustus 2021 atau paling lama tanggal 16 Agustus 2021.
     
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak.

Contoh 1:

Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2021. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2021. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2021.

Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh 2:

Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2021. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Agustus 2021.

Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh 3:

Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2021. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2021. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Agustus 2021.
     
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak.

Contoh 1:

PT Semangat menyewakan 1 (satu) unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak, disepakati antara lain:
  • PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2021.
  • Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp 120.000.000,00.
  • Pembayaran sewa, yaitu tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp 10.000.000,00 per tahun.
Pada tanggal 29 September 2021, PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2021 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp 10.000.000,00.

Contoh 2:

PT Toryung mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan jasa konsultasi manajemen dan pelatihan kepada staf marketing PT Toryung selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp 60.000.000,00. Pembayaran jasa konsultasi akan dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan jasa konsultasi tanggal 1 Juli 2021. Pada tanggal 10 Agustus 2021, Firma Cerah Konsultan mengajukan tagihan untuk pembayaran jasa konsultasi bulan Juli 2021 sebesar Rp 10.000.000,00. PT Toryung melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Agustus 2021. Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 10 Agustus 2021 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp 10.000.000,00 (sesuai dengan nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 20 Agustus 2021.

Contoh 3:

PT Setiyakom merupakan perusahaan jasa telekomunikasi. PT Setiyakom melakukan penagihan kepada pelanggan sesuai dengan periode pemakaian selama 1 (satu) bulan. Pengumpulan data-data pemakaian dari pelanggan memerlukan waktu beberapa hari, sehingga faktur penjualan baru dapat diterbitkan beberapa hari setelahnya.

Misalnya untuk pemakaian oleh pelanggan pada tanggal 1 sampai dengan 30 Juni 2021, PT Setiyakom menerbitkan faktur penjualan (melakukan penagihan) pada tanggal 5 Juli 2021.

Untuk kasus ini, Faktur Pajak dibuat pada saat penyerahan jasa tersebut dinyatakan atau dicatat sebagai piutang atau penghasilan, yaitu pada akhir periode pemakaian (tanggal 30 Juni 2021) atau paling lama pada saat diterbitkannya faktur penjualan (tanggal 5 Juli 2021).

Matriks saat pembuatan Faktur Pajak untuk beberapa contoh penyerahan di bidang jasa telekomunikasi, yaitu sebagai berikut:

No. Periode Pemakaian/ penyerahan Jasa Kena Pajak Periode
Pengakuan
Penghasilan
Saat Diakui Penghasilan Penerbitan faktur Penjualan Paling Lama Faktur Pajak Dibuat
1a 1-30 Juni 2021 1-30 Juni 2021 Juni 2021 30 Juni 2021 30 Juni 2021
1b 1-30 Juni 2021 1-30 Juni 2021 Juni 2021 5 Juli 2021 5 Juli 2021
1c 1-30 Juni 2021 1-30 Juni 2021 Juni 2021 31 Juli 2021 31 Juli 2021
2 26 Mei-25 Juni 2021 26 Mei - 25 Juni 2021 Juni 2021 6 Juli 2021 6 Juli 2021
3 16 Mei -15 Juni 2021 16 Mei -15 Juni 2021 Mei 2021 20 Juni 2021 20 Juni 2021
4 16 Mei -15 Juni 2021 16 Mei -15 Juni 2021 Juni 2021 20 Juni 2021 20 Juni 2021
5 16 Mei -15 Juni 2021 16 -31 Mei 2021 Mei 2021 31 Mei 2021 31 Mei 2021
1-15 Juni 2021 Juni 2021 15 Juni 2021 15 Juni 2021
     
  4. Penyerahan sebagian tahap pekerjaan (pembayaran termin).

Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat pembuatan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Umumnya, pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Selanjutnya, setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh:
  1. Tanggal 1 April 2021, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20%.
  2. Tanggal 1 Mei 2021, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1.
  3. Tanggal 1 Juni 2021, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2.
  4. Tanggal 20 Juni 2021, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3.
  5. Tanggal 25 Agustus 2021, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
  6. Tanggal 1 September 2021, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan.
  7. Tanggal 1 Maret 2022, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.

Pada angka 1 sampai dengan angka 4, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedangkan pada angka 5 sampai dengan angka 7, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Agustus 2021 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya.

Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Cara penghitungan tersebut di atas juga berlaku dalam hal penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian.

Ayat (2)


Dihapus.


Ayat (3)


Pada dasarnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Namun demikian karena suatu hal, dapat terjadi keterlambatan pembuatan Faktur Pajak.

Atas keterlambatan pembuatan Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai.

Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini, yaitu dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang dibuat atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.


Ayat (4)


Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah.


Ayat (5)


Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dengan menegaskan bahwa Faktur Pajak yang dibuat lebih dari 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah, sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.


Angka 7


Pasal 19A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Faktur Pajak yang mencantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak orang pribadi sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Angka 8


Pasal 20


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dihapus.


Ayat (3)


Dihapus.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Pasal 6

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 7


Ayat (1)


Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu:

  1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  2. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan, sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulai dilakukan Penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (2a)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak yang diatur pada ayat ini dapat dilakukan:

  1. pada saat Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
  2. pada saat Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan namun sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak disampaikan saat dilakukannya Pemeriksaan Bukti Permulaan maka untuk membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang sedang dilakukan.

Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak disampaikan setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan namun surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidikan dihentikan sepanjang pengungkapan ketidakbenaran tersebut telah dinyatakan sesuai dengan keadaan sebenarnya melalui keterangan ahli.

Yang dimaksud dengan “sesuai dengan keadaan yang sebenarnya” adalah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan Wajib Pajak jumlahnya sama atau lebih besar daripada temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Apabila pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan kepada Wajib Pajak disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai tidak ditindaklanjutinya Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 8


Ayat (1)


Pada prinsipnya Wajib Pajak memiliki hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan. Namun demikian, dalam hal Direktur Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak tetap diberi kesempatan untuk mengungkapkan dengan kesadaran sendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak.

Untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan tidak dipertimbangkannya pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh pemeriksa pajak, maka pengungkapan tersebut harus dilakukan sebelum pemeriksa pajak menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. Hal ini disebabkan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan harus mencerminkan seluruh temuan-temuan yang dihasilkan selama pelaksanaan Pemeriksaan.

Dengan demikian pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak yang dilakukan setelah surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan akan menyebabkan pengungkapan tersebut tidak tercermin dalam surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. Di samping itu, pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan tidak mencerminkan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilandasi oleh kesadaran sendiri Wajib Pajak.


Ayat (2)


Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar dan Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administratif harus dilampirkan apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar. Apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak.


Ayat (3)


Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dalam laporan tersendiri, pemeriksa pajak harus menyelesaikan pemeriksaannya untuk membuktikan kebenaran laporan tersendiri tersebut.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Dihapus.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 10A


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 12


Ayat (1)


Tindak pidana di bidang perpajakan merupakan perbuatan yang diancam sanksi pidana berdasarkan undang-undang yang terkait dengan perpajakan, antara lain Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap merupakan putusan terakhir terhadap upaya hukum yang dilakukan atas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, jumlah pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak dikembalikan, yaitu sesuai dengan putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan.


Ayat (4a)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 14


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dihapus.


Ayat (3)


Dihapus.


Angka 7


Pasal 15


Ayat (1)


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak dengan jenis pajak dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang akan diterbitkan, kecuali surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya merupakan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam rangka pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan Pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan, perlu dilakukan Pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 16


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dihapus.


Angka 9


Pasal 20


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 24


Ayat (1)


Berdasarkan sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian, surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.

Contoh:

Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2021. Sampai dengan tanggal 31 Maret 2022 Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2020. Dalam tahun 2022, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2019 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2019.


Ayat (2)


Penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Contoh:

Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2019. Pada tanggal 28 Desember 2021, Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dihapus. Dalam tahun 2023, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa dalam Tahun Pajak 2018, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, dalam Tahun Pajak 2020, Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan sebesar Rpl00.000.000,00 dan dalam Tahun Pajak 2022, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2018, 2020, dan 2022.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 29


Dihapus.


Angka 12


Pasal 43


Dihapus.


Angka 13


Pasal 44


Dihapus.


Angka 14


Pasal 45


Dihapus.


Angka 15


Pasal 45A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Contoh penerapan ketentuan ayat ini:
Contoh 1:

Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan restitusi sebesar Rp 2.500.000.000,00.

Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar dan menyetujui jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.500.000.000,00 sehingga tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menyatakan terdapat jumlah lebih bayar sebesar Rp 1.600.000.000,00.

Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.600.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga per bulan sebesar suku bunga acuan yang berlaku pada awal penghitungan imbalan bunga dibagi 12 (dua belas) untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebesar Rp 1.500.000.000,00.

Contoh 2:

Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan restitusi sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar namun Wajib Pajak melunasi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebelum mengajukan keberatan. Selain itu, Wajib Pajak menyetujui jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak sebesar Rp2.000.000.000,00. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak sehingga jumlah lebih bayar dalam Surat Keputusan Keberatan menjadi sebesar Rp 1.250.000.000,00.

Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 2.250.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan (Rp 1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp 1.000.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga per bulan sebesar suku bunga acuan yang berlaku pada awal penghitungan imbalan bunga dibagi 12 (dua belas) untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah lebih bayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, yaitu sebesar Rp 1.250.000.000,00.

Contoh 3:

Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan restitusi sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 500.000.000,00. Wajib Pajak melunasi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar jumlah yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebelum mengajukan keberatan. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sehingga jumlah lebih bayar dalam Surat Keputusan Keberatan menjadi sebesar Rp 1.250.000.000,00.

Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.750.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan (Rp 1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp500.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak diberikan imbalan bunga.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Yang dimaksud dengan “tanggal diterbitkannya Putusan Banding” adalah tanggal Putusan Banding tersebut diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum.

Yang dimaksud dengan “tanggal diterbitkannya Putusan Peninjauan Kembali” adalah tanggal Putusan Peninjauan Kembali tersebut diucapkan oleh hakim agung.

Contoh 1:

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2020 diterbitkan tanggal 5 April 2022 dan diajukan keberatan pada tanggal 8 Juni 2022. Jika Surat Keputusan Keberatan yang mengabulkan permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 10 Mei 2023 maka penghitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2022 s.d. 10 Mei 2023, yaitu selama 14 (empat belas) bulan [13 (tiga belas) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2022 s.d. 4 Mei 2023 ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan, yaitu tanggal 5 Mei 2023 s.d. 10 Mei 2023].

Contoh 2:

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2020 diterbitkan tanggal 5 April 2022 dan diajukan keberatan pada tanggal 10 Mei 2022. Surat Keputusan Keberatan yang menolak permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 5 Januari 2023. Wajib Pajak mengajukan banding dan Putusan Banding yang mengabulkan seluruh permohonan Wajib Pajak diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Maret 2024 dan baru diterima oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 10 Mei 2024. Dalam hal ini, penghitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2022 s.d. 20 Maret 2024, yaitu selama 24 (dua puluh empat) bulan [23 (dua puluh tiga) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2022 s.d. 4 Maret 2024 ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan, yaitu tanggal 5 Maret 2024 s.d. 20 Maret 2024].


Ayat (8)


Cukup jelas.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 60


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah mendapatkan bukti permulaan tentang dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan bukti permulaan tersebut, Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka.

Pemeriksaan Bukti Permulaan berbeda dengan Pemeriksaan mengingat Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan “pihak ketiga”, yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan seperti bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, atau pemasok.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 62


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan terkait dengan Pasal 38 atau Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan. Sedangkan dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan terkait dengan Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi sebesar jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Jumlah pajak tersebut di atas ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan atau 3 (tiga) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.


Ayat (2a)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 63A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Dalam rangka memberikan kemudahan, Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya secara elektronik melalui sistem elektronik yang dapat diintegrasikan dengan sistem elektronik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain.

Pihak lain yang dimaksud dalam ayat ini adalah pihak lain selain instansi pemerintah, lembaga, dan asosiasi yang dapat memfasilitasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan melalui sistem administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain namun terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai contoh, pihak lain tersebut dapat memfasilitasi pendaftaran Wajib Pajak secara online, pembukuan secara online, penerbitan bukti pemotongan atau pemungutan pajak secara online, dan penyampaian Surat Pemberitahuan secara online melalui sistem administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain namun terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Pasal 63B


Cukup jelas.


Pasal 7

Cukup jelas.


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6621