Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 8/PMK.03/2021

Kategori : PPN

Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Oleh Badan Usaha Milik Negara Dan Perusahaan Tertentu Yang Dimiliki Secara Langsung Oleh Badan Usaha Milik Negara Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8/PMK.03/2021

TENTANG
 
TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK

PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH OLEH BADAN USAHA MILIK NEGARA

DAN PERUSAHAAN TERTENTU YANG DIMILIKI SECARA LANGSUNG OLEH
BADAN USAHA MILIK NEGARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :

  1. bahwa kegiatan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh pemungut, penyetor, dan pelapor pajak, perlu mendapat kepastian hukum,
  2. bahwa untuk memberikan kemudahan bagi Badan Usaha Milik Negara dan perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara dalam melaksanakan kewajibannya sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
  3. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 16A ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki secara Langsung oleh Badan Usaha Milik Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  6. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);


MEMUTUSKAN :

 
Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH OLEH BADAN USAHA MILIK NEGARA DAN PERUSAHAAN TERTENTU YANG DIMILIKI SECARA LANGSUNG OLEH BADAN USAHA MILIK NEGARA SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
          

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disingkat PPnBM, adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  4. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
  5. Barang Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat BKP, adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  6. Jasa Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat JKP, adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  7. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang.
          

Pasal 2


(1) PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh rekanan kepada pemungut PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pemungut PPN.
(2) Rekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN.
(3) Dalam hal terjadi penyerahan BKP dan/atau JKP oleh pemungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lainnya, PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pemungut PPN yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.

               

Pasal 3


(1) Pemungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:
  1. BUMN;
  2. BUMN yang dilakukan restrukturisasi oleh Pemerintah setelah tanggal 1 April 2015, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada BUMN lainnya; dan
  3. perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN.
(2) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham di atas 25% (dua puluh lima persen).
(3) Perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak lagi dimiliki secara langsung oleh BUMN, perusahaan dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPN.


Pasal 4


(1) Jumlah PPN yang dipungut oleh pemungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Dalam hal atas penyerahan BKP, selain terutang PPN juga terutang PPnBM, jumlah PPnBM yang dipungut oleh pemungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu sebesar tarif PPnBM yang berlaku dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.

               

Pasal 5


(1) PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh pemungut PPN dalam hal:
  1. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
  2. pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN;
  3. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
  4. pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
  5. pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
  6. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, tidak dikenai PPN atau PPN dan PPnBM.
(2) PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 6


(1) Rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada saat:
  1. penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
  2. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP; atau
  3. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 7


(1) Pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan pada saat:
  1. penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
  2. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP; atau
  3. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
(2) Pemungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyetorkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat oleh pemungut PPN atas nama rekanan dengan mencantumkan:
  1. Nomor Pokok Wajib Pajak, nama, dan alamat rekanan pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak, kolom nama, dan kolom alamat; dan
  2. kode dan nomor seri Faktur Pajak pada kolom uraian.
(4) Pemungut PPN harus menyampaikan cetakan, salinan, atau fotokopi Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada rekanan.
(5) Pemungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut dan disetor dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi pemungut PPN, paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi pemungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib dilampiri dengan daftar nominatif Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(7) Daftar nominatif Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 8


Dalam hal pemungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), pemungut PPN dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
               

Pasal 9


Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 841); dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2015 tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 345),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
          

Pasal 10


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2021.
               
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
     

 


  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Januari 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA    


 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 75