Undang-Undang Nomor : 11 TAHUN 2020

Kategori : KUP

Cipta Kerja


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2020

TENTANG

CIPTA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :
 

  1. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
  2. bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi;
  3. bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
  4. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan;
  5. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Cipta Kerja;


Mengingat :

 

  1. Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi;
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;



Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
  2. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
  3. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  4. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  7. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  8. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  9. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  10. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
  11. Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
  12. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.



BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2


(1) Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
  1. pemerataan hak;
  2. kepastian hukum;
  3. kemudahan berusaha;
  4. kebersamaan; dan
  5. kemandirian.
(2) Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.

 

 

Pasal 3

 

Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:

  1. menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional;
  2. menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
  3. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M serta industri nasional; dan
  4. melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.


 

Pasal 4

Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi:

  1. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
  2. ketenagakerjaan;
  3. kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M;
  4. kemudahan berusaha;
  5. dukungan riset dan inovasi;
  6. pengadaan tanah;
  7. kawasan ekonomi;
  8. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
  9. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
  10. pengenaan sanksi.

 

 

Pasal 5


Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.


BAB III
PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6


Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:

  1. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
  2. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
  3. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
  4. penyederhanaan persyaratan investasi.



Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

Paragraf 1
Umum

Pasal 7


(1) Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha.
(2) Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.
(3) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek:
  1. kesehatan;
  2. keselamatan;
  3. lingkungan; dan/atau
  4. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
(4) Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
(5) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
  1. jenis kegiatan usaha;
  2. kriteria kegiatan usaha;
  3. lokasi kegiatan usaha;
  4. keterbatasan sumber daya; dan/atau
  5. risiko volatilitas.
(6) Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. hampir tidak mungkin terjadi;
  2. kemungkinan kecil terjadi;
  3. kemungkinan terjadi; atau
  4. hampir pasti terjadi.
(7) Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
  1. kegiatan usaha berisiko rendah;
  2. kegiatan usaha berisiko menengah; atau
  3. kegiatan usaha berisiko tinggi.



Paragraf 2
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah

Pasal 8


(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha.
(2) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.


Paragraf 3
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah

Pasal 9


(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:
  1. kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dan
  2. kegiatan usaha berisiko menengah tinggi.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:
  1. nomor induk berusaha; dan
  2. sertifikat standar.
(3) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:
  1. nomor induk berusaha; dan
  2. sertifikat standar.
(4) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha.
(5) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha.
(6) Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk.



Paragraf 4
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi

Pasal 10

 

(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
  1. nomor induk berusaha; dan
  2. izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
(3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar.



Paragraf 5
Pengawasan


Pasal 11

 

Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.



Paragraf 6
Peraturan Pelaksanaan

Pasal 12

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Ketiga
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha

Paragraf 1
Umum

Pasal 13


Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:

  1. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
  2. persetujuan lingkungan; dan
  3. Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi.



Paragraf 2

Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Pasal 14


(1) Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
(2) Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar.
(3) Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
(4) Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
(6) Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha.

 

 

Pasal 15

(1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah Pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang.
(3) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
  1. rencana tata ruang wilayah nasional;
  2. rencana tata ruang pulau/kepulauan;
  3. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
  4. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan/atau
  5. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

 

 

Pasal 16

Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
  2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603); dan
  4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214).

 

 

Pasal 17

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
  2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
  3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional.
  4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
  5. Penataan ruang adalah suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
  6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
  7. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  8. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.
  10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
  11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
  12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
  14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
  15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
  16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
  17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
  18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.
  19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
  20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
  21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
  22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
  23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
  24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
  25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
  26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
  27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
  28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
  29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
  30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
  31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika.
  32. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
  33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
  34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.
   
   
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
  1. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
  2. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, dan lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
  3. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
(3) Penataan ruang wilayah secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara rencana tata ruang wilayah nasional dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, dan rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang wilayah secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan rencana tata ruang.
(5) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
(6) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
(7) Pengelolaan sumber daya ruang laut dan ruang udara diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
(8) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara pola ruang rencana tata ruang dan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
  1. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional;
  2. pemberian bantuan teknis bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota, dan rencana detail tata ruang;
  3. pembinaan teknis dalam kegiatan penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan rencana detail tata ruang;
  4. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
  5. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
  6. kerja sama penataan ruang antarnegara dan memfasilitasi kerja sama penataan ruang antarprovinsi.
(2) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi:
  1. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
  2. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
  3. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
(3) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi:
  1. penetapan kawasan strategis nasional;
  2. perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
  3. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan
  4. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
(4) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah Pusat berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang.
(5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pemerintah Pusat:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
  1. rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; dan
  2. pedoman bidang penataan ruang.
b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penyelenggaraan penataan ruang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


Wewenang Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
  1. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota;
  2. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; dan
  3. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan fasilitasi kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
   
   
6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
  1. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
  2. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
  3. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
   
   
7. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan:
  1. rencana umum tata ruang; dan
  2. rencana rinci tata ruang.
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
  1. rencana tata ruang wilayah nasional;
  2. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
  3. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
  1. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
  2. rencana detail tata ruang kabupaten/kota.
(4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang.
(5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disusun apabila:
  1. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau
  2. rencana umum tata ruang yang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A

(1) Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan dengan memperhatikan:
  1. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan kajian lingkungan hidup strategis; dan
  2. kedetailan informasi tata ruang yang akan disajikan serta kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang.
(2) Penyusunan kajian lingkungan hidup strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam penyusunan rencana tata ruang.
(3) Pemenuhan kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui penyusunan peta rencana tata ruang di atas Peta Dasar.
(4) Dalam hal Peta Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan menggunakan Peta Dasar lainnya.
   
   
9. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

 
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup:
  1. rencana struktur ruang; dan
  2. rencana pola ruang.
(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(4)  Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pada rencana tata ruang wilayah ditetapkan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap pulau, daerah aliran sungai, provinsi, kabupaten/kota, berdasarkan kondisi biogeofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antar kegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(2) Sebelum diajukan persetujuan substansi kepada Pemerintah Pusat, rencana detail tata ruang kabupaten/kota yang dituangkan dalam rancangan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota terlebih dahulu dilakukan konsultasi publik termasuk dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Bupati/Wali Kota wajib menetapkan rancangan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang rencana detail tata ruang paling lama 1 (satu) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(4) Dalam hal bupati/wali kota tidak menetapkan rencana detail tata ruang setelah jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), rencana detail tata ruang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

  
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
  1. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional;
  2. rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama;
  3. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional;
  4. penetapan kawasan strategis nasional;
  5. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
  6. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
  1. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
  2. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
  3. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
  4. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;
  5. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
  6. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
  7. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan.
(5) Peninjauan kembali rencana tata ruang dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
  1. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
  2. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
  3. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
  4. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada:
  1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
  2. pedoman bidang penataan ruang; dan
  3. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus memperhatikan:
  1. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
  2. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi;
  3. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota;
  4. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
  5. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
  6. rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan; dan
  7. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
   
   
13. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23


(1) Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:
  1. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
  2. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah provinsi;
  3. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
  4. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
  5. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan zonasi sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman untuk:
  1. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
  2. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
  3. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi;
  4. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
  5. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
  6. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana tata ruang wilayah provinsi ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan.
(5) Peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
  1. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
  2. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
  3. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
  4. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(6) Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
(7) Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(8) Dalam hal Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Gubernur menetapkan rencana tata ruang wilayah provinsi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(9) Dalam hal rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) belum ditetapkan oleh Gubernur, rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
 
   
14. Pasal 24 dihapus.
   
   
15. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada:
  1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
  2. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
  3. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus memperhatikan:
  1. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;
  2. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten;
  3. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
  4. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
  5. rencana pembangunan jangka panjang daerah; dan
  6. rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan.
   
   
16. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat:
  1. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
  2. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten;
  3. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten;
  4. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
  5. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:
  1. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
  2. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
  3. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
  4. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan
  5. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
(3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan administrasi pertanahan.
(4) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun.
(5) Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali 1 (satu) kali pada setiap periode 5 (lima) tahunan.
(6) Peninjauan kembali Rencana tata ruang wilayah kabupaten dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
  1. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
  2. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
  3. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
  4. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(7) Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten.
(8) Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(9) Dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Bupati menetapkan rencana tata ruang wilayah kabupaten paling lama 3 (tiga) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(10) Dalam hal rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum ditetapkan oleh Bupati, rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
   
   
17. Pasal 27 dihapus.
   
   
18. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 ditambah 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34A


(1) Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) huruf d, Pasal 23 ayat (5) huruf d, dan Pasal 26 ayat (6) huruf d belum dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dari Pemerintah Pusat.
   
   
19. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui:
  1. ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
  2. pemberian insentif dan disinsentif; dan
  3. pengenaan sanksi.
   
   
20. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


(1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
(4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), dapat dimintakan ganti kerugian yang layak kepada instansi pemberi persetujuan.
(6) Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan memberikan ganti kerugian yang layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang dilarang menerbitkan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan tata cara pemberian ganti kerugian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


(1) Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk:
  1. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
  2. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya;
  3. konservasi sumber daya alam;
  4. pelestarian warisan budaya lokal;
  5. pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan
  6. penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dalam Undang-Undang.
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada:
  1. kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau
  2. kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebihwilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Pasal 49 dihapus.
   
   
23. Pasal 50 dihapus.
   
   
24. Pasal 51 dihapus.
   
   
25. Pasal 52 dihapus.
   
   
26. Pasal 53 dihapus.
   
   
27. Pasal 54 dihapus.
   
   
28. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
  1. mengetahui rencana tata ruang;
  2. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
  3. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
  4. mengajukan tuntuan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
  5. mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan kegiatan penataan ruang dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
  6. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau kepada pelaksana kegiatan pemanfaatan ruang apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
   
   
29. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
  1. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
  2. memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang;
  3. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; dan
  4. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
   
   
30. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62

 
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dikenai sanksi administratif.
   
   
31. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65


(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
  1. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
  2. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
  3. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas orang perseorangan dan pelaku usaha.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
32. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69

 
(1) Setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
   
   
33. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70


(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
   
   
34. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71


Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
   
   
35. Pasal 72 dihapus.
   
   
36. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74


(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, atau Pasal 71 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, atau Pasal 71.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
  1. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
  2. pencabutan status badan hukum.
   
   
37. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75


(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, atau Pasal 71 dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata.

 

 

Pasal 18

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 40, dan angka 41 diubah, di antara angka 14 dan angka 15 disisipkan satu angka yakni angka 14A, serta angka 17, angka 18, dan angka 18A dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
6. Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.
7. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
8. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
9. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.
10. Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.
11. Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
12. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
13. Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
14. Rencana Zonasi yang selanjutnya disingkat RZ adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya setiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut.
14A. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu yang selanjutnya disingkat RZ KSNT adalah rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu.
15. Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan    sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
16. Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan.
17. Dihapus.
18. Dihapus.
18A. Dihapus.
19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
20. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
21. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
22. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula.
23. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
24. Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
25. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
26. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
27. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
27A. Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
28. Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
29. Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.
30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.
31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
33. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.
35. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat.
37. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili Masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.
38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
39. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
40. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
42. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
43. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan rekomendasi kebijakan.
44. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas:
  1. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut dengan RZWP-3-K;
  2. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut dengan RZ KSN; dan
  3. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu yang selanjutnya disebut dengan RZ KSNT.
(2) Batas wilayah perencanaan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Jangka waktu berlakunya Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
(4) Peninjauan kembali Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
  1. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
  2. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
  3. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
  4. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(5) RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(6) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan masyarakat.

   
   
3. Di antara Pasal 7 dan 8 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7A


(1) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
(2) RZ KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
(3) RZ KSNT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antarwilayah, dan rencana tata ruang laut.
(4) Dalam hal RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
(5) Dalam hal RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.

Pasal 7B


Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
  2. keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
  3. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

 

Pasal 7C


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A, dan Pasal 7B diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Pasal 8 dihapus.
   
   
5. Pasal 9 dihapus.
   
   
6. Pasal 10 dihapus.
   
   
7. Pasal 11 dihapus.
   
   
8. Pasal 12 dihapus.
   
   
9. Pasal 13 dihapus.
   
   
10. Pasal 14 dihapus.
   
   
11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir wajib dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat.
   
   
12. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan satu pasal yakni Pasal 16A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16A


Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari Perairan Pesisir yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dikenai sanksi administratif.
   
   
13. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 17


(1) Pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem perairan pesisir, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
(2) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi.
   
   
14. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A


    
(1) Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.
(2) Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis tetapi rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi belum ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata
ruang laut.
(3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang menjadi acuan dalam penetapan lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis tersebut dalam rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi dilaksanakan sesuai dengan perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
15. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut diterbitkan, pemegang Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusahanya.
   
   
16. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

 

(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan:
  1. produksi garam;
  2. biofarmakologi laut;
  3. bioteknologi laut;
  4. pemanfaatan air laut selain energi;
  5. wisata bahari;
  6. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
  7. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
17. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
   
   
18. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat.
(2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
19. Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22A


(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diberikan kepada:
  1. orang perseorangan warga negara Indonesia;
  2. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;
  3. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat; atau
  4. Masyarakat Lokal.
(2) Pemanfaatan ruang perairan pesisir yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan tidak termasuk dalam kebijakan nasional yang bersifat strategis diberikan dalam bentuk konfirmasi kesesuaian ruang laut.

   
   
20. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22B


Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat.
   
   
21. Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22C


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26A


Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
   
   
23. Di antara Pasal 26A dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26B


Setiap Orang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dalam memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan disekitarnya dalam rangka penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A dikenai sanksi administratif.
   
   
24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan dan mencabut Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut di wilayah Perairan Pesisir.
   
   
25. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51


(1) Pemerintah Pusat berwenang menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
26. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60

(1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
  1. memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah mendapat Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;
  2. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
  3. mengusulkan wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
  4. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  6. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  7. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  8. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
  9. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
  10. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
  11. memperoleh ganti rugi; dan
  12. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib:
  1. memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  2. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  3. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  4. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
  5. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.

   
   
27. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71


Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
28. Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71A

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A, Pasal 26B, dan Pasal 71 dapat berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara kegiatan;
  3. penutupan lokasi;
  4. pencabutan Perizinan Berusaha;
  5. pembatalan Perizinan Berusaha; dan/atau
  6. denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
29. Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 73A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73A


Setiap Orang yang memanfaatkan pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
   
   
30. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75


Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
   
   
31. Pasal 75A dihapus.
   
   
32. Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78A


Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini berlaku adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

 

 

Pasal 19


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 12 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
  2. Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan Laut dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  3. Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi air dan berada di atas permukaan air pada waktu air pasang.
  4. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan, dan keamanan serta politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
  5. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
  6. Pembangunan Kelautan adalah pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan Laut.
  7. Sumber Daya Kelautan adalah sumber daya Laut, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
  8. Pengelolaan Kelautan adalah penyelenggaraan kegiatan, penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Sumber Daya Kelautan serta konservasi Laut.
  9. Pengelolaan Ruang Laut adalah perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang Laut yang merupakan bagian integral dari pengelolaan tata ruang.
  10. Pelindungan Lingkungan Laut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber Daya Kelautan dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di Laut yang meliputi konservasi Laut, pengendalian pencemaran Laut, penanggulangan bencana Kelautan, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta kerusakan dan bencana.
  11. Pencemaran Laut adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan Laut yang telah ditetapkan.
  12. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  13. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kelautan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, semua bentuk bangunan dan instalasi di Laut tidak mengganggu, baik Alur Pelayaran maupun Alur Laut Kepulauan Indonesia.
(2) Area operasi dari bangunan dan instalasi di Laut tidak melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan.
(3) Penggunaan area operasional dari bangunan dan instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang.
(4) Pendirian dan/atau penempatan bangunan Laut wajib mempertimbangkan kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, persyaratan, dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan di Laut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

(1) Pengelolaan Ruang Laut dilakukan untuk:
  1. melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal;
  2. memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan internasional; dan
  3. mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat kegiatan produksi, distribusi, dan jasa.
(2) Pengelolaan Ruang Laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang laut yang merupakan bagian integral dari pengelolaan tata ruang.
(3) Pengelolaan Ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dan mempertimbangkan potensi sumber daya dan lingkungan Kelautan.
   
   
4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43

(1) Perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) meliputi:
  1. perencanaan tata ruang Laut nasional;
  2. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
  3. perencanaan zonasi kawasan Laut.
(2) Perencanaan tata ruang Laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut nasional yang diintegrasikan ke dalam perencanaan tata ruang wilayah nasional.
(3) Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menghasilkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diintegrasikan ke dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi.
(4) Perencanaan zonasi kawasan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah.
(5) Rencana zonasi kawasan strategis nasional diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
(6) Dalam hal perencanaan tata ruang Laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
(7) Dalam hal rencana zonasi kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
5. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43A

(1) Perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
(2) Penyusunan perencanaan ruang Laut yang dilakukan secara berjenjang dan komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyusunan antara:
  1. rencana tata ruang Laut;
  2. rencana zonasi kawasan antar wilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, dan rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu; dan
  3. rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(3) Perencanaan ruang Laut secara berjenjang dilakukan dengan cara rencana tata ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dijadikan acuan dalam penyusunan rencana zonasi kawasan antar wilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(4) Rencana zonasi kawasan antar wilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, dan rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menjadi acuan bagi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(5) Perencanaan ruang Laut secara komplementer sebagaimana dimaksucd pada ayat (1) merupakan penataan rencana tata ruang Laut, rencana zonasi kawasan antar wilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan.

   
   
6. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut.
(2) Ketentuan sebagamana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan pemanfaatan di Laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
(3) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut yang diberikan dikenai sanksi administratif.
(5) Ketentuan mengenai Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut yang berada di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 ditambah 1 (satu) pasal yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47A

(1) Perizinan Berusaha pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 diberikan berdasarkan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
(2) Perizinan Berusaha pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk kegiatan:
  1. biofarmakologi laut;
  2. bioteknologi laut;
  3. pemanfaatan air laut selain energi;
  4. wisata bahari;
  5. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam;
  6. telekomunikasi;
  7. instalasi ketenagalistrikan;
  8. perikanan;
  9. perhubungan;
  10. kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
  11. kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara;
  12. pengumpulan data dan penelitian;
  13. pertahanan dan keamanan;
  14. penyediaan sumber daya air;
  15. pulau buatan;
  16. dumping;
  17. mitigasi bencana; dan
  18. kegiatan pemanfaatan ruang Laut lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemanfaatan ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
8. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 48


Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya kelautan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
9. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
   
   
10. Di antara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 49A dan Pasal 49B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49A

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara kegiatan;
  3. penutupan lokasi;
  4. pencabutan Perizinan Berusaha;
  5. pembatalan Perizinan Berusaha; dan/atau
  6. denda administratif. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 49B


Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).



Pasal 20


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 15 diubah serta angka 13 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
  2. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.
  3. Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.
  4. Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan  sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
  5. Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya disingkat IGD adalah IG yang berisi tentang objek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama.
  6. Informasi Geospasial Tematik yang selanjutnya disingkat IGT adalah IG yang menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada IGD.
  7. Skala adalah angka perbandingan antara jarak dalam suatu IG dengan jarak sebenarnya di muka bumi.
  8. Titik Kontrol Geodesi adalah posisi di muka bumi yang ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan sebagai kerangka acuan posisi untuk IG.
  9. Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang selanjutnya disingkat JKHN adalah sebaran titik kontrol geodesi horizontal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
  10. Jaring Kontrol Vertikal Nasional yang selanjutnya disingkat JKVN adalah sebaran titik kontrol geodesi vertikal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
  11. Jaring Kontrol Gayaberat Nasional yang selanjutnya disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol geodesi gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
  12. Peta Rupabumi Indonesia adalah peta dasar yang memberikan informasi yang mencakup wilayah darat, pantai dan laut.
  13. Dihapus.
  14. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  16. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang membidangi urusan tertentu dalam hal ini bidang penyelenggaraan IGD.
  17. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.
  18. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau badan usaha.
  19. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha yang berbadan hukum.
   
   
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
  1. garis pantai;
  2. hipsografi;
  3. perairan;
  4. nama rupabumi;
  5. batas wilayah;
  6. transportasi dan utilitas;
  7. bangunan dan fasilitas umum; dan
  8. penutup lahan.
(2) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Peta Rupabumi Indonesia.
(3) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup wilayah darat dan wilayah laut, termasuk wilayah pantai.

   
   
3. Pasal 12 dihapus.
   
   
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a merupakan garis pertemuan antara daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
(2) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. garis pantai pasang tertinggi;
  2. garis pantai tinggi muka air laut rata-rata; dan
  3. garis pantai surut terendah.
(3) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mengacu pada JKVN.

   
   
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) IGD diselenggarakan secara bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya.
(2) IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimutakhirkan secara periodik dalam jangka waktu tertentu atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Pemuktahiran IGD sewaktu-waktu apabila diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya yang berakibat berubahnya unsur IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola dan struktur kehidupan masyarakat.
(4) IGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, kriteria, dan jangka waktu pemutakhiran IGD diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diselenggarakan pada skala 1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, 1:50.000, 1:250.000, 1:1.000.000.
(2) Peta Rupabumi Indonesia skala 1:1.000 diselenggarakan pada wilayah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
(3) Peta Rupabumi Indonesia selain pada skala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada skala lain sesuai dengan kebutuhan.
   
   
7. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22A

(1) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
   
   
8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Pengumpulan DG harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:
  1. dilakukan di daerah terlarang;
  2. berpotensi menimbulkan bahaya; atau
  3. menggunakan tenaga asing dan wahana milik asing selain satelit.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
9. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55

(1) Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang dilakukan oleh:
  1. orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi sebagai tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG;
  2. kelompok orang wajib memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG serta memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG; atau
  3. badan usaha wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan IG yang dilaksanakan oleh orang perseorangan, kelompok orang, dan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
10. Pasal 56 dihapus.


Paragraf 3
Persetujuan Lingkungan

Pasal 21


Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).


Pasal 22


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 12, angka 35, angka 36, angka 37, dan angka 38 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
  2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
  3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
  4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
  5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
  6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
  7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
  8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
  9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
  10. Kajian lingkungan hidup strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
  11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
  12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah rangkaian proses pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dituangkan dalam bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
  13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
  14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
  15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
  16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
  17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
  18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
  19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
  20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
  21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
  22. Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
  23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
  24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
  25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
  26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
  27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
  28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
  29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
  30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
  31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
  32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
  34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
  35. Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
  36. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  37. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
   
   
2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
  1. baku mutu air;
  2. baku mutu air limbah;
  3. baku mutu air laut;
  4. baku mutu udara ambien;
  5. baku mutu emisi;
  6. baku mutu gangguan; dan
  7. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
  1. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
  2. mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
3. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.
(2) Uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Pusat.
(3) Tim uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat.
(4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.
(5) Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji kelayakan lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


Dokumen Amdal memuat:

  1. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
  2. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
  3. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
  4. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
  5. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan
  6. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
   
   
5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

 

(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

 
Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat menunjuk pihak lain.
   
   
7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


(1) Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun Amdal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Pasal 29 dihapus.
   
   
9. Pasal 30 dihapus.
   
   
10. Pasal 31 dihapus.
   
   
11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membantu penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan Amdal.
(3)  Penentuan mengenai usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
12. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL.
(2) Pemenuhan standar UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(3) Berdasarkan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi UKL-UPL.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang diintegrasikan ke dalam Nomor Induk Berusaha.
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kegiatan yang termasuk dalam kategori berisiko rendah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
14. Pasal 36 dihapus.
   
   
15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:

  1. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
  2. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup; atau
  3. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
   
   
16. Pasal 38 dihapus.
   
   
17. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

(1) Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup diumumkan kepada masyarakat.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan/atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
18. Pasal 40 dihapus.
   
   
19. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55

(1) Pemegang Persetujuan Lingkungan wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
20. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

(1) Setiap orang yang menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan Pengelolaan Limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri Pengelolaan Limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
(4) Pengelolaan Limbah B3 wajib mendapat Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(6) Keputusan pemberian Perizinan Berusaha wajib diumumkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan Limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61A


Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:

  1. menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, dan/atau mengolah B3;
  2. menghasilkan, mengangkut, menyimpan, mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah, dan/atau menimbun Limbah B3;
  3. melakukan pembuangan air limbah ke laut;
  4. melakukan pembuangan air limbah ke sumber air;
  5. membuang emisi ke udara; dan/atau
  6. memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah;

yang merupakan bagian dari kegiatan usaha, pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal atau UKL-UPL.

   
   
23. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63

(1) Dalam pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
  1. menetapkan kebijakan nasional;
  2. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
  3. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
  4. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
  5. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
  6. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
  7. mengembangkan standar kerja sama;
  8. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
  9. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
  10. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
  11. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
  12. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
  13. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
  14. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan tingkat nasional dan kebijakan tingkat provinsi;
  15. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan Persetujuan Lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
  16. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
  17. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
  18. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
  19. menetapkan standar pelayanan minimal;
  20. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  21. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
  22. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
  23. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
  24. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
  25. menerbitkan Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat;
  26. menetapkan wilayah ekoregion; dan
  27. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
(2) Dalam pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
  1. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
  2. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
  3. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
  4. melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL;
  5. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
  6. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
  7. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota;
  8. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
  9. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
  10. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
  11. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa;
  12. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan;
  13. melaksanakan standar pelayanan minimal;
  14.  menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
  15. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
  16. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
  17. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
  18. menerbitkan Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Daerah pada tingkat provinsi; dan
  19. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
(3) Dalam pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
  1. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
  2. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
  3. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH tingkat kabupaten/kota;
  4. melaksanakan kebijakan mengenai Amdal dan UKL-UPL;
  5. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
  6. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
  7. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
  8. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
  9. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
  10. melaksanakan standar pelayanan minimal;
  11. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
  12. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
  13. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
  14. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
  15. menerbitkan Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Daerah pada tingkat kabupaten/kota; dan
  16. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
   
   
24. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69

(1)  Setiap orang dilarang:
  1. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
  2. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  5. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
  6. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
  7. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau persetujuan lingkungan;
  8. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
  9. menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal; dan/atau
  10. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
   
   
25. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
26. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72


Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

   
   
27. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73


Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Daerah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah jika Menteri menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

   
   
28. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 76

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
29. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77


Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Menteri menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

   
   
30. Pasal 79 dihapus.
   
   
31. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82

(1) Pemerintah Pusat berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2) Pemerintah Pusat berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
   
   
32. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B, dan Pasal 82C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82A


Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:

  1. Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1) atau Pasal 59 ayat (4); atau
  2. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; 
dikenai sanksi administratif.

 

Pasal 82B

(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang memiliki:
  1. Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau Pasal 59 ayat (4);
  2. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau
  3. persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);
yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu:
  1. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, dimana perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka berat, dan/atau matinya orang dikenai sanksi administratif dan mewajibkan kepada Penanggung Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dan/atau tindakan lain yang diperlukan; atau
  2. menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf i dikenai sanksi administratif.
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimilikinya dikenai sanksi administratif.

Pasal 82C

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82A dan Pasal 82B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. paksaan pemerintah;
  3. denda administratif;
  4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
33. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88


Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
   
   
34. Pasal 93 dihapus.
   
   
35. Pasal 102 dihapus.
   
   
36. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109


Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
  1. Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), atau Pasal 59 ayat (4);
  2. persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau
  3. persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1); yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
   
   
37. Pasal 110 dihapus.
   
   
38. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 111


Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
   
   
39. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 112


Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Paragraf 4

Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi


Pasal 23


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama Pelaku Usaha dalam memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi bangunan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); dan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108).



Pasal 24


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 14, dan angka 15 diubah dan disisipkan 3 (tiga) angka baru, yakni angka 16, angka 17, dan angka 18 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
  2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.
  3. Pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.
  4. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.
  5. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
  6. Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung.
  7. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.
  8. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya.
  9. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
  10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
  11. Pengkaji Teknis adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, yang mempunyai sertifikat kompetensi kerja kualifikasi ahli atau sertifikat badan usaha untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi Bangunan Gedung.
  12. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
  13. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar bangunan gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
  14. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  16. Penyedia Jasa Konstruksi adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi.
  17. Profesi Ahli adalah seseorang yang telah memenuhi standar kompetensi dan ditetapkan oleh lembaga yang diakreditasi oleh Pemerintah Pusat.
  18. Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi, yang diberi tugas oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
   
   
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Setiap bangunan gedung memiliki fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus digunakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RDTR.
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam Persetujuan Bangunan Gedung.
(3) Perubahan fungsi bangunan gedung harus mendapatkan persetujuan kembali dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi standar teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.
(2) Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal bangunan gedung merupakan bangunan gedung adat dan cagar budaya, bangunan gedung mengikuti ketentuan khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Pasal 8 dihapus.
   
   
6. Pasal 9 dihapus.
   
   
7. Pasal 10 dihapus.
   
   
8. Pasal 11 dihapus.
   
   
9. Pasal 12 dihapus.
   
   
10. Pasal 13 dihapus.
   
   
11. Pasal 14 dihapus.
   
   
12. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Penerapan pengendalian dampak lingkungan hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(2) Pengendalian dampak lingkungan pada bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
13. Pasal 16 dihapus.
   
   
14. Pasal 17 dihapus.
   
   
15. Pasal 18 dihapus.
   
   
16. Pasal 19 dihapus.
   
   
17. Pasal 20 dihapus.
   
   
18. Pasal 21 dihapus.
   
   
19. Pasal 22 dihapus.
   
   
20. Pasal 23 dihapus.
   
   
21. Pasal 24 dihapus.
   
   
22. Pasal 25 dihapus.
   
   
23. Pasal 26 dihapus.
   
   
24. Pasal 27 dihapus.
   
   
25. Pasal 28 dihapus.
   
   
26. Pasal 29 dihapus.
   
   
27. Pasal 30 dihapus.
   
   
28. Pasal 31 dihapus.
   
   
29. Pasal 32 dihapus.
   
   
30. Pasal 33 dihapus.
   
   
31. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34

(1) Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara berkewajiban memenuhi standar teknis bangunan gedung.
(3) Penyelenggara bangunan gedung terdiri atas pemilik bangunan gedung, Penyedia Jasa Konstruksi, Profesi Ahli, Penilik, pengkaji teknis, dan pengguna bangunan gedung.
(4) Dalam hal terdapat perubahan standar teknis bangunan gedung, pemilik bangunan gedung yang belum memenuhi standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus memenuhi ketentuan standar teknis secara bertahap.
   
   
32. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(2) Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan, baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
(3) Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
(4) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh penyedia jasa perencana konstruksi yang memenuhi syarat dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyedia jasa perencana konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus merencanakan bangunan gedung dengan acuan standar teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(6) Dalam hal bangunan gedung direncanakan tidak sesuai dengan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), bangunan gedung harus dilengkapi hasil pengujian untuk mendapatkan persetujuan rencana teknis dari Pemerintah Pusat.
(7) Hasil perencanaan harus dikonsultasikan dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis bangunan gedung.
(8) Dalam hal perencanaan bangunan gedung yang menggunakan prototipe yang ditetapkan Pemerintah Pusat, perencanaan bangunan gedung tidak memerlukan kewajiban konsultasi dan tidak memerlukan pemeriksaan pemenuhan standar.
   
   
33. Pasal 36 dihapus.
   
   
34.

Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B yang berbunyi sebagai berikut:


Pasal 36A

(1) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis bangunan gedung dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimohonkan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.


Pasal 36B

(1) Pelaksanaan bangunan gedung dilakukan oleh penyedia jasa pelaksana konstruksi yang memenuhi syarat dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi melakukan kegiatan pengawasan dan bertanggung jawab untuk melaporkan setiap tahapan pekerjaan.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan inspeksi pada setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai pengawasan yang dapat menyatakan lanjut atau tidaknya pekerjaan konstruksi ke tahap berikutnya.
(4) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
  1. pekerjaan struktur bawah;
  2. pekerjaan basemen jika ada;
  3. pekerjaan struktur atas; dan
  4. pengujian.
(5) Dalam melaksanakan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menugaskan Penilik berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(6) Dalam hal pelaksanaan diperlukan adanya perubahan dan/atau penyesuaian terhadap rencana teknis, penyedia jasa perencana wajib melaporkan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenanganya untuk mendapatkan persetujuan sebelum pelaksanaan perubahan dapat dilanjutkan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
35. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


(1) Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut mendapatkan sertifikat laik fungsi.
(2) Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan surat pernyataan kelaikan fungsi yang diajukan oleh Penyedia Jasa Pengawasan atau Manajemen Konstruksi kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah inspeksi tahapan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36B ayat (4) huruf d yang menyatakan bangunan gedung memenuhi standar teknis bangunan gedung.
(4) Penerbitan sertifikat laik fungsi bangunan gedung dilakukan bersamaan dengan penerbitan surat bukti kepemilikan bangunan gedung.
(5) Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada bangunan gedung harus dilakukan untuk memastikan bangunan gedung tetap memenuhi persyaratan laik fungsi.
(6) Dalam pemanfaatan bangunan gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
   
   
36. Di antara pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37A


Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan bangunan gedung diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
37. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

 
(1) Bangunan gedung dapat dibongkar apabila:
  1. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
  2. berpotensi menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya;
  3. tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung; atau
  4. ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan dan rencana teknis bangunan gedung yang tercantum dalam persetujuan saat dilakukan inspeksi bangunan gedung.
(2) Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hasil pengkajian teknis dan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal, dilakukan oleh pengkaji teknis.
(4) Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
38. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mempunyai hak:
  1. mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
  2. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan persetujuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
  3. mendapatkan surat ketetapan bangunan gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Pusat;
  4. mendapatkan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cagar budaya;
  5. mengubah fungsi bangunan setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
  6. mendapatkan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal bangunan gedung dibongkar oleh Pemerintah Pusat bukan karena kesalahan pemilik bangunan gedung.
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mempunyai kewajiban:
  1. menyediakan rencana teknis bangunan gedung yang memenuhi standar teknis bangunan gedung yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya;
  2. memiliki Persetujuan Bangunan Gedung;
  3. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan rencana teknis;
  4. mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat atas perubahan rencana teknis bangunan gedung yang terjadi pada tahap pelaksanaan bangunan; dan
  5. menggunakan penyedia jasa perencana, pelaksana, pengawas, dan pengkajian teknis yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan pekerjaan terkait bangunan gedung.
   
   
39. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41


(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak:
  1. mengetahui tata cara penyelenggaraan bangunan gedung;
  2. mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;
  3. mendapatkan keterangan mengenai standar teknis bangunan gedung; dan/atau
  4. mendapatkan keterangan mengenai bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban:
a. memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsinya;
b. memelihara dan/atau merawat bangunan gedung secara berkala;
c. melengkapi pedoman/petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung;
d. melaksanakan pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung;
e. memperbaiki bangunan gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi; dan
f. membongkar bangunan gedung dalam hal:
  1. telah ditetapkan tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
  2. berpotensi menimbulkan bahaya dalam pemanfaatannya;
  3. tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung; atau
  4. ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan dengan rencana teknis bangunan gedung yang tercantum dalam persetujuan saat dilakukan inspeksi bangunan gedung.
(3) Kewajiban membongkar bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dilaksanakan dengan tidak menganggu keselamatan dan ketertiban umum.
   
   
40. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung secara nasional untuk meningkatkan pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung.
(2) Sebagian penyelenggaraan dan pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
41. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


Setiap pemilik bangunan gedung, Penyedia Jasa Konstruksi, Profesi Ahli, Penilik, pengkaji teknis, dan/atau pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenai sanksi administratif.

   
   
42. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. pembatasan kegiatan pembangunan;
  3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
  4. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;
  5. pembekuan persetujuan bangunan gedung;
  6. pencabutan persetujuan bangunan gedung;
  7. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
  8. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
  9. perintah pembongkaran bangunan gedung.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
43. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46


(1) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.
(2) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup.
(3) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
(4) Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), hakim memperhatikan pertimbangan dari Profesi Ahli.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
44.

Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 47A


(1) Pemerintah Pusat menetapkan prototipe bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan.
(2) Prototipe bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk bangunan gedung sederhana yang umum digunakan masyarakat.
(3) Prototipe bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.



Pasal 25


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108) diubah sebagai berikut: 


1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, serta disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 14 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Arsitektur adalah wujud hasil penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi, dan kaidah estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
  2. Praktik Arsitek adalah penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur yang meliputi perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/atau pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya, serta yang terkait dengan kawasan dan kota.
  3. Arsitek adalah seseorang yang telah memenuhi syarat dan ditetapkan oleh Dewan untuk  melakukan Praktik Arsitek.
  4. Arsitek Asing adalah Arsitek berkewarganegaraan asing yang melakukan Praktik Arsitek di Indonesia.
  5. Uji Kompetensi adalah penilaian kompetensi Arsitek yang terukur dan objektif untuk menilai capaian kompetensi dalam bidang Arsitektur dengan mengacu pada standar kompetensi Arsitek.
  6. Surat Tanda Registrasi Arsitek adalah bukti tertulis bagi Arsitek untuk melakukan Praktik Arsitek.
  7. Lisensi adalah bukti tertulis yang berlaku sebagai surat tanda penanggung jawab Praktik Arsitek dalam penyelenggaraan izin mendirikan bangunan dan perizinan lain.
  8. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah upaya pemeliharaan kompetensi Arsitek untuk menjalankan Praktik Arsitek secara berkesinambungan.
  9. Pengguna Jasa Arsitek adalah pihak yang menggunakan jasa Arsitek berdasarkan perjanjian kerja.
  10. Organisasi Profesi adalah Ikatan Arsitek Indonesia.
  11. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  12. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
  14. Dewan Arsitek Indonesia yang selanjutnya disebut Dewan adalah dewan yang dibentuk oleh Organisasi Profesi dengan tugas dan fungsi membantu Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan keprofesian Arsitek.
   
   
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Pemberian layanan Praktik Arsitek wajib memenuhi standar kinerja Arsitek.
(2) Standar kinerja Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tolok ukur yang menjamin efisiensi, efektivitas, dan syarat mutu yang dipergunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan Praktik Arsitek.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kinerja Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


Untuk melakukan Praktik Arsitek, seseorang wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek.
   
   
4.

Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 6A


Dalam hal penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur berupa bangunan gedung sederhana dan bangunan gedung adat, penyelenggaraan kegiatan tidak wajib dilakukan oleh Arsitek.

   
   
5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
6. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Setiap Arsitek dalam penyelenggaraan bangunan gedung wajib memiliki Lisensi.
(2) Dalam hal Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki Lisensi, Arsitek wajib bekerja sama dengan Arsitek yang memiliki Lisensi.
(3) Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi sesuai dengan norma, standar, kriteria, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Lisensi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Arsitek Asing harus melakukan alih keahlian dan alih pengetahuan.
(2) Alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
  1. mengembangkan dan meningkatkan jasa Praktik Arsitek pada kantor tempatnya bekerja;
  2. mengalihkan pengetahuan dan kemampuan profesionalnya kepada Arsitek; dan/atau
  3. memberikan pendidikan dan/atau pelatihan kepada lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan dalam bidang Arsitektur tanpa dipungut biaya.
(3) Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


Organisasi Profesi bertugas:
  1. melakukan pembinaan anggota;
  2. menetapkan dan menegakkan kode etik profesi Arsitek;
  3. menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan;
  4. melakukan komunikasi, pengaturan, dan promosi tentang kegiatan Praktik Arsitek;
  5. memberikan masukan kepada pendidikan tinggi Arsitektur tentang perkembangan Praktik Arsitek;
  6. memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat mengenai lingkup layanan Praktik Arsitek;
  7. mengembangkan Arsitektur dan melestarikan nilai budaya Indonesia; dan
  8. melindungi Pengguna Jasa Arsitek.
   
   
9. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


(1) Dalam mendukung keprofesian Arsitek, Organisasi Profesi membentuk Dewan yang bersifat mandiri dan independen.
(2) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur:
  1. anggota Organisasi Profesi;
  2. Pengguna Jasa Arsitek; dan
  3. perguruan tinggi.
(3) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikukuhkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
10. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap profesi Arsitek.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
  1. menetapkan kebijakan pengembangan profesi Arsitek dan Praktik Arsitek;
  2. melakukan pemberdayaan Arsitek; dan
  3. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Arsitek dalam pelaksanaan peraturan dan standar penataan bangunan dan lingkungan.
(3) Pemerintah Pusat dalam melakukan fungsi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan Praktik Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Dewan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Pasal 36 dihapus.
   
   
12. Pasal 37 dihapus.
   
   
13. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Setiap Arsitek yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 atau Pasal 20 dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara Praktik Arsitek;
  3. pembekuan Surat Tanda Registrasi Arsitek; dan/atau
  4. pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Organisasi Profesi Arsitek.
   
   
14. Pasal 39 dihapus.
   
   
15. Pasal 40 dihapus.
   
   
16. Pasal 41 dihapus.


Bagian Keempat
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan
Investasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 26


Perizinan Berusaha terdiri atas sektor:
  1. kelautan dan perikanan;
  2. pertanian;
  3. kehutanan;
  4. energi dan sumber daya mineral;
  5. ketenaganukliran;
  6. perindustrian;
  7. perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi penilaian kesesuaian;
  8. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
  9. transportasi;
  10. kesehatan, obat dan makanan;
  11. pendidikan dan kebudayaan;
  12. pariwisata;
  13. keagamaan;
  14. pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan
  15. pertahanan dan keamanan.


Paragraf 2
Kelautan dan Perikanan

Pasal 27


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, angka 25, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
  2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
  3. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.
  4. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
  5. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  7. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
  8. Konservasi Sumber Daya Ikan adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
  9. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
  10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
  11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan.
  12. Pembudi Daya Ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
  13. Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
  14. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
  15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  16. Dihapus.
  17. Dihapus.
  18. Dihapus.
  19. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
  20. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
  21. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disingkat ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
  22. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
  23. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
  24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan.
  25. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
   
   
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Pemerintah Pusat menetapkan:
  1. rencana pengelolaan perikanan;
  2. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
  3. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
  4. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
  5. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
  6. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
  7. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
  8. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
  9. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
  10. pelabuhan perikanan;
  11. sistem pemantauan kapal perikanan;
  12. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
  13. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;
  14. pembudidayaan ikan dan pelindungannya;
  15. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;
  16. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
  17. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
  18. kawasan konservasi perairan;
  19. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
  20. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan
  21. jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:
  1. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
  2. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
  3. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
  4. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
  5. sistem pemantauan kapal perikanan;
  6. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
  7. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;
  8. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;
  9. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
  10. kawasan konservasi perairan;
  11. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
  12. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan
  13. jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi.
(3) Kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, tidak berlaku bagi Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil.
(4) Pemerintah Pusat menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
   
   
3. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal baru, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20A


(1) Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25A


(1) Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis perikanan harus memenuhi standar mutu hasil perikanan.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Jenis usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari usaha:
  1. penangkapan Ikan;
  2. pembudidayaan Ikan;
  3. pengangkutan Ikan;
  4. pengolahan Ikan; dan
  5. pemasaran Ikan.
   
   
6. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa dokumen Perizinan Berusaha.
(4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(5) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Nelayan Kecil.
   
   
7.

Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 27A


(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif.
(3) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) atau tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib membawa dokumen Perizinan Berusaha.
(4) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil.
   
   
9. Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28A


Setiap orang dilarang:
  1. memalsukan dokumen Perizinan Berusaha;
  2. menggunakan Perizinan Berusaha palsu;
  3. menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau orang lain; dan/atau
  4. menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri.
   
   
10. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.
(2) Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal dalam mematuhi pelaksanaan perjanjian perikanan tersebut.
(3) Pemerintah Pusat menetapkan pengaturan mengenai pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.
   
   
11. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31


(1) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
12. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Setiap Orang yang meliputi kegiatan dalam rangka pendidikan, penyuluhan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, serta kesenangan dan wisata.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi seseorang yang menangkap ikan dan/atau membudidayakan ikan untuk kebutuhan sehari-hari.
(4) Persetujuan bagi kegiatan penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
14. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

  
(1) Setiap Orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik laut dari Pemerintah Pusat.
(3) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A


(1) Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anak buah kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan Perizinan Berusaha, atau pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36


(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.
(2) Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
17. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka.
(2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya.
(3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
   
   
18. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
19. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41


(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan.
(2) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan:
  1. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;
  2. klasifikasi pelabuhan perikanan;
  3. pengelolaan pelabuhan perikanan;
  4. persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan;
  5. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan yang meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
  6. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.
(3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk.
(4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan Perizinan Berusaha, atau pencabutan Perizinan Berusaha.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
20. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan.
(2) Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
  1. menerbitkan persetujuan berlayar;
  2. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan;
  3. memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan;
  4. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan;
  5. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
  6. memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan;
  7. mengatur olah gerak dan lalu lintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan;
  8. mengawasi pemanduan;
  9. mengawasi pengisian bahan bakar;
  10. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan;
  11. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
  12. memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;
  13. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;
  14. memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal perikanan;
  15. menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
  16. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.
(3) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan wajib memiliki persetujuan berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan.
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yang membidangi urusan pelayaran.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di pelabuhan perikanan dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di pelabuhan perikanan setempat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
21. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memenuhi standar laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.

   
   
22. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


(1) Persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan memenuhi standar laik operasi.
(2) Pemenuhan standar laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
23. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, persetujuan berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi standar laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.

   
   
24. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


Setiap orang asing yang mendapat Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI dikenai pungutan perikanan.

   
   
25. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89


Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) yang menimbulkan korban terhadap kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

   
   
26. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92


Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melakukan usaha perikanan yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rpl.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

   
   
27. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93


(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang menimbulkan kecelakaan dan/atau menimbulkan korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang menimbulkan kecelaakaan dan/atau menimbulkan korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
   
   
28. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94


Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan yang berbendera Indonesia atau berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
   
   
29. Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94A


Setiap orang yang memalsukan dokumen Perizinan Berusaha, menggunakan Perizinan Berusaha palsu, menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau orang lain, dan/atau menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
   
   
30. Pasal 95 dihapus.
   
   
31. Pasal 96 dihapus.
   
   
32. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 97


(1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
   
   
33. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98


Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
   
   
34. Ketentuan Pasal 100B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100B


Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
   
   
35. Ketentuan Pasal 100C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100C


Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf 1, atau huruf m dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudidaya Ikan Kecil dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
   
   
36. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101


Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93 atau Pasal 94 dilakukan oleh Korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan terhadap korporasi dipidana denda dengan tambahan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda yang dijatuhkan.


Paragraf 3
Pertanian

Pasal 28


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor pertanian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613);
  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043);
  3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6412);
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433);
  5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170); dan
  6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619).


Pasal 29


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan.
(2) Penetapan batasan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
  1. jenis tanaman; dan/atau
  2. ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan atau inti plasma dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
   
   
3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling lambat 2 (dua) tahun setelah pemberian status hak atas tanah.
(2) Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lahan Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
   
   
5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan mengenai jenis, kriteria, besaran, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Pemerintah Pusat menetapkan jenis benih tanaman Perkebunan yang pengeluaran dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan persetujuan.
(2) Pengeluaran benih dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Pemasukan benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas.
(2) Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproduksi dan diedarkan.
(3) Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum diedarkan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran serta Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Pasal 31 dihapus.
   
   
9.  Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


(1) Dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memenuhi persyaratan minimum sarana dan prasarana pengendalian organisme pengganggu Tanaman Perkebunan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan minimum sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39


Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
   
   
11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


Pengalihan kepemilikan Perusahaan Perkebunan kepada penanam modal asing dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah Pusat.
   
   
12. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
14. Pasal 45 dihapus.
   
   
15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


(1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. penghentian sementara kegiatan;
  2. pengenaan denda; dan/atau
  3. paksaan Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana pada ayat (1) dan kriteria,  jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


(1) Perizinan Berusaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) diberikan oleh:
  1. gubernur untuk wilayah lintas kabupaten/kota; dan
  2. bupati/wali kota untuk wilayah dalam suatu kabupaten/kota,
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Dalam hal lahan Usaha Perkebunan berada pada wilayah lintas provinsi, izin diberikan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perusahaan Perkebunan yang telah mendapat Perizinan Berusaha wajib menyampaikan laporan perkembangan usahanya secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
(4) Laporan perkembangan usaha secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan kepada Pemerintah Pusat.
   
   
17. Pasal 49 dihapus.
   
   
18. Pasal 50 dihapus.
   
   
19. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58


(1) Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
  1. area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau
  2. areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan,
wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% (dua puluh persen) dari luas lahan tersebut.
(2) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan lainnya, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
   
   
20. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. denda;
  2. pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/atau
  3. pencabutan Perizinan Berusaha Perkebunan.
(3) Kentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67


(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Pasal 68 dihapus.
   
   
23. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70


(1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
24. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74


(1) Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu tertentu setelah unit pengolahannya beroperasi.
(2) Kebun yang dibangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terintegrasi dengan unit pengolahan hasil perkebunan setelah unit pengolahan tersebut beroperasi.
(3) Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
25. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75


(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
26. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93


(1) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(3) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat,
dan dana lain yang sah.
(4) Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana Perkebunan, pengembangan Perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi industri Perkebunan.
(5) Dana yang dihimpun oleh Pelaku Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelola oleh badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan badan pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
27. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95


(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal, dengan memperhatikan kepentingan Pekebun.
   
   
28. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96


(1) Pembinaan Usaha Perkebunan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. perencanaan;
  2. pelaksanaan Usaha Perkebunan;
  3. pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan;
  4. penelitian dan pengembangan;
  5. pengembangan sumber daya manusia;
  6. pembiayaaan Usaha Perkebunan; dan
  7. pemberian rekomendasi penanaman modal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
29. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 97


(1) Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik negara, swasta, dan/atau Pekebun dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Evaluasi atas kinerja Perusahaan Perkebunan milik negara dan/atau swasta dilaksanakan melalui penilaian Usaha Perkebunan secara rutin dan/atau sewaktu-waktu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
30. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99


(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan melalui:
  1. pelaporan dari Pelaku Usaha Perkebunan; dan/atau
  2. pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil Usaha Perkebunan.
(2) Dalam hal tertentu, pengawasan dapat dilakukan melalui pemeriksaan terhadap proses dan Hasil Perkebunan.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di lapangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
31. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103


Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
   
   
32. Pasal 105 dihapus.
   
   
33. Pasal 109 dihapus.


Pasal 30


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Permohonan hak PVT diajukan kepada Kantor PVT secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Dalam hal permohonan hak PVT diajukan oleh:
  1. orang atau badan hukum selaku kuasa pemohon harus disertai surat kuasa khusus dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap kuasa yang berhak; atau
  2. ahli waris harus disertai dokumen bukti ahli waris.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan hak PVT diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan hak PVT harus diajukan ke Kantor PVT secara tertulis selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa pengumuman dengan membayar biaya pemeriksaan tersebut.
(2) Besarnya biaya pemeriksaan substantif ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
   
   
3. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Hak PVT dapat beralih atau dialihkan karena:
  1. pewarisan;
  2. hibah;
  3. wasiat;
  4. perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau
  5. sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.
(2) Pengalihan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c harus disertai dengan dokumen PVT berikut hak lain yang berkaitan dengan itu.
(3) Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengalihan hak PVT diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan pada Kantor PVT dan dimuat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
(2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatatkan di Kantor PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63


(1) Untuk kelangsungan berlakunya hak PVT, pemegang hak PVT wajib membayar biaya tahunan.
(2) Untuk setiap pengajuan permohonan hak PVT, permintaan pemeriksaan, petikan Daftar Umum PVT, salinan surat PVT, salinan dokumen PVT, pencatatan pengalihan hak PVT, pencatatan surat perjanjian lisensi, pencatatan Lisensi Wajib, serta lain-lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini wajib membayar biaya.
(3) Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.


Pasal 31


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6412) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian.
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
  1. dilakukan kajian strategis;
  2. disusun rencana alih fungsi Lahan;
  3. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan/atau
  4. disediakan Lahan pengganti terhadap Lahan budi daya Pertanian.
(4) Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilaksanakan pada Lahan Pertanian yang telah memiliki jaringan pengairan lengkap wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkap.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan dikenai sanksi administratif berupa:
  1. penghentian sementara kegiatan;
  2. pengenaan denda administratif;
  3. paksaan Pemerintah;
  4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) Pengadaan benih unggul melalui pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pengeluaran benih unggul dari wilayah Negara Republik Indonesia dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran benih unggul dari wilayah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh instansi pemerintah, pemasukan dan pengeluaran Benih harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
5. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


(1) Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari luar negeri dapat dilakukan untuk:
  1. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
  2. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau
  3. memenuhi keperluan di dalam negeri.
(2) Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan.
(3) Setiap Orang yang melakukan pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Dalam hal pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemerintah, pemasukan harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
6. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86


(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2) Pemerintah Pusat dilarang memberikan Perizinan Berusaha terkait Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat.
(3) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha.
   
   
7. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102


(1) Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib membangun, menyusun, dan mengembangkan sistem informasi Pertanian yang terintegrasi.
(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan untuk  keperluan:
  1. perencanaan;
  2. pemantauan dan evaluasi;
  3. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Pertanian; dan
  4. pertimbangan penanaman modal.
(4) Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pusat data dan informasi.
(5) Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib melakukan pemutakhiran data dan informasi Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh masyarakat.
(6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Pelaku Usaha dan masyarakat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108


(1) Sanksi administratif dikenakan kepada:
  1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 71 ayat (3), Pasal 76 ayat (3), atau Pasal 79;
  2. Pelaku Usaha dan/atau instansi pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), ayat (2) atau ayat (3); atau
  3. Produsen dan/atau distributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administratif;
  3. penghentian sementara kegiatan usaha;
  4. penarikan produk dari peredaran;
  5. pencabutan izin; dan/atau
  6. penutupan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Pasal 111 dihapus.


Pasal 32


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib meningkatkan produksi Pertanian.
(2) Kewajiban peningkatan produksi Pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui strategi perlindungan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
   
   
2. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan Petani.
(2) Impor komoditas Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan instrumen perdagangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
3. Pasal 101 dihapus.


Pasal 33


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Pelaku usaha wajib mengutamakan pemanfaatan sumber daya manusia dalam negeri.
(2) Pemanfaatan Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Usaha hortikultura dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam negeri.
(2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri dengan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus:
  1. lebih efisien;
  2. ramah lingkungan; dan
  3. diutamakan yang mengandung komponen hasil produksi dalam negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait sarana hortikultura diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


(1) Sarana hortikultura yang diedarkan wajib memenuhi standar mutu dan Perizinan Berusaha.
(2) Dalam hal sarana hortikultura merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan hayati.
(3) Apabila standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, Pemerintah Pusat menetapkan persyaratan teknis minimal.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikecualikan untuk sarana hortikultura produksi lokal yang diedarkan secara terbatas dalam satu kelompok.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji mutu dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A


(1) Setiap orang yang mengedarkan sarana hortikultura yang tidak memenuhi standar mutu, tidak memenuhi persyaratan teknis minimal, dan/atau tidak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. penghentian kegiatan usaha;
  2. penarikan produk yang dipasarkan;
  3. denda administratif;
  4. paksaan pemerintah; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administrtatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Pasal 48 dihapus.
   
   
6. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


(1) Unit usaha budi daya hortikultura mikro dan kecil wajib didata oleh Pemerintah.
(2) Unit usaha budi daya hortikultura menengah dan unit usaha budi daya hortikultura besar harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
7. Pasal 51 dihapus.
   
   
8. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


(1) Usaha hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib memenuhi standar proses atau persyaratan teknis minimal.
(2) Pelaku usaha dalam memproduksi produk hortikultura wajib memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura.
(3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi pengembangan usaha hortikultura untuk memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56


(1) Usaha hortikultura dapat dilakukan dengan pola kemitraan.
(2) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan pelaku usaha hortikultura mikro, kecil, menengah, dan besar.
(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan pola:
  1. inti-plasma;
  2. subkontrak;
  3. waralaba;
  4. perdagangan umum;
  5. distribusi dan keagenan; dan
  6. bentuk kemitraan lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57


(1) Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi benih, sertifikasi, peredaran benih, serta pengeluaran benih dari dan pemasukan benih ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan introduksi dalam bentuk benih atau materi induk yang belum ada di wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu benih melalui penerapan sertifikasi.
(4) Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu benih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu) kelompok.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi benih, sertifikasi, peredaran benih, serta pengeluaran dan pemasukan benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Pasal 63 dihapus.
   
   
13. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68


Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta izin khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
14. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73


(1) Usaha perdagangan produk hortikultura mengatur proses jual beli antarpedagang serta antara pedagang dan konsumen.
(2) Pelaku usaha perdagangan produk hortikultura harus menerapkan sistem kelas produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sistem kelas produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88


(1) Impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek:
  1. keamanan pangan produk hortikultura;
  2. persyaratan kemasan dan pelabelan;
  3. standar mutu; dan
  4. ketentuan keamanan dan pelindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan.
(2) Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Impor produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam meningkatkan pemasaran hortikultura memberikan informasi pasar.
   
   
17. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92


(1) Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan produk hortikultura dapat menyelenggarakan penjualan produk hortikultura lokal dan asal impor.
(2) Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan produk hortikultura sebagaimanadimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan fasilitas pemasaran yang memadai.
   
   
18. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100


(1) Pemerintah Pusat mendorong penanaman modal dalam usaha hortikultura.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
   
   
19. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101


Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib memberikan kesempatan pemagangan dan alih teknologi.
   
   
20. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 122


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 33, Pasal 36 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 54 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 60 ayat (2), Pasal 71, Pasal 73 ayat (2), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat (1), Pasal 88 ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 101, Pasal 108 ayat (2), atau Pasal 109 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. peringatan secara tertulis;
  2. denda administratif;
  3. penghentian sementara kegiatan;
  4. penarikan produk dari peredaran oleh pelaku usaha;
  5. pencabutan izin; dan/atau
  6. penutupan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Pasal 126 dihapus.
   
   
22. Pasal 131 dihapus.


Pasal 34


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.
(2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
  1. penghasil tumbuhan pakan;
  2. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan;
  3. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
  4. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan kesehatan hewan.
(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya Ternak skala kecil wajib menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.
(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan Ternak murah.
(5) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan pengembangan usaha Peternak mikro, kecil, dan menengah.
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit, dan/atau bakalan.
(3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
(4) Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu.
(5) Sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi.
(6) Setiap orang dilarang mengedarkan Benih atau Bibit yang tidak memenuhi kewajiban sertifikat Layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
   
   
3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan untuk:
  1. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
  2. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  3. mengatasi kekurangan Benih dan/atau Bibit di dalam negeri; dan/atau
  4. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Pengeluaran Benih dan/atau Bibit dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin.
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam negeri.
(3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan untuk diedarkan secara komersial wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang-undangan.
(4) Setiap orang dilarang:
  1. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
  2. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan Ruminansia yang mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
  3. menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Budi Daya Ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
(2) Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat.
(4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan Ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat diantara pelaku usaha.
   
   
7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Budi Daya melalui penanaman modal oleh perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang berbadan hukum.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
   
   
8. Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36B


(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan peternak.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Pemasukan Ternak dari luar negeri harus:
  1. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
  2. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan
  3. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang karantina hewan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36C


(1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia Indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner.
(3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari suatu negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
  1. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh Otoritas Veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
  2. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
  3. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
  1. berupa sediaan biologi yang penyakitnya tidak ada di Indonesia;
  2. tidak memiliki nomor pendaftaran;
  3. tidak diberi label dan tanda; dan
  4. tidak memenuhi standar mutu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Penyediaan obat hewan dapat berasal dari produksi dalam negeri atau dari luar negeri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59


(1) Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
14. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


(1) Setiap Orang yang mempunyai unit usaha Produk Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa nomor kontrol veteriner dari Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan kewenanganya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan unit usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan produk hewan yang dihasilkan oleh unit usaha skala rumah tangga yang belum memenuhi persyaratan nomor kontrol veteriner.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62


(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69


(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
(2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
17. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72


(1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah
   
   
18. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (2), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), atau Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. peringatan secara tertulis;
  2. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
  3. pencabutan Perizinan Berusaha dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran;
  4. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
  5. pengenaan denda.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
19. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88


Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin yang belum diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) yang mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Paragraf 4

Kehutanan

Pasal 35


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Kehutanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4374); dan
  2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432).


Pasal 36


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4374) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui:
  1. penunjukan kawasan hutan;
  2. penataan batas kawasan hutan;
  3. pemetaan kawasan hutan; dan
  4. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
(3) Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
(4) Pemerintah Pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada daerah yang strategis.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


(1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna pengoptimalan manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
(2) Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 26


(1) Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
  1. perseorangan;
  2. koperasi;
  3. badan usaha milik negara;
  4. badan usaha milik daerah; atau
  5. badan usaha milik swasta.
   
   
6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
7. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
  1. perseorangan;
  2. koperasi;
  3. badan usaha milik negara;
  4. badan usaha milik daerah; atau
  5. badan usaha milik swasta.
   
   
8. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29A


(1) Pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial.
(2) Perhutanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada:
  1. perseorangan;
  2. kelompok tani hutan; dan
  3. koperasi.

Pasal 29B


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
   
   
10. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31


(1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan kelestarian, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
(2) Ketentuan mengenai Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


Pemegang Perizinan Berusaha wajib untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan yang dikelolanya.
   
   
12. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan.
(3) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


(1) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan penerimaan negara bukan pajak di bidang kehutanan.
(2) Penerimaan negara bukan pajak di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari dana reboisasi hanya dipergunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
(3) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(4) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemungutan hasil hutan hanya dikenakan penerimaan negara bukan pajak berupa provisi di bidang kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
14. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui pinjam pakai oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang dilakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
   
   
15. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat mengatur pelindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
(2) Pelindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 wajib melindungi hutan dalam areal kerjanya.
(4) Pelindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
(5) Untuk menjamin pelaksanaan pelindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya pelindungan hutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


(1) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan di areal kerjanya.
(2) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
   
   
17. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


(1) Setiap orang yang diberi Perizinan Berusaha di kawasan hutan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(2) Setiap orang dilarang:
  1. mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
  2. membakar hutan;
  3. memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau persetujuan dari pejabat yang berwenang;
  4. menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
  5. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
  6. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
  7. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa persetujuan pejabat yang berwenang.
(3) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan/atau mengangkut tumbuhan dan/atau satwa yang dilindungi diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
18. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 50A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50A


(1) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d dan/atau huruf e dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dikenai sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
  1. orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau
  2. orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat.
   
   
19. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78


(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
(8) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(10) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf g diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(11) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) apabila dilakukan oleh korporasi dan/atau atas nama korporasi, korporasi dan pengurusnya dikenai pidana dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari denda pidana pokok.
(12) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.
   
   
20. Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 80


(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Undang-Undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
(2) Setiap pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan yang diatur dalam Undang-Undang ini apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 37


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 3, angka 5, angka 23, dan angka 24 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.
  2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
  3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha atau penggunaan Perizinan Berusaha yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah Pusat.
  4. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
  5. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
  6. Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
  7. Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan.
  8. Pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.
  9. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
  10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu melalui kegiatan penebangan, permudaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
  11. Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan adalah Perizinan Berusaha dari Pemerintah untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.
  12. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.
  13. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan.
  14. Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50 (satu koma lima puluh) meter di atas permukaan tanah.
  15. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando.
  16. Pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab tertentu.
  17. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh Undang-Undang diberi wewenang khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
  18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri.
  19. Pelapor adalah orang yang memberitahukan adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.
  20. Informan adalah orang yang menginformasikan secara rahasia adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.
  21. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.
  22. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
  23. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  24. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12


Setiap orang dilarang:
  1. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan;
  2. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;
  4. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  5. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;
  6. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  7. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  8. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;
  9. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara;
  10. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara;
  11. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar;
  12. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
  13. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
   
   
4. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12A


(1) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf f dan/atau huruf h dikenai sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
  1. orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan; atau
  2. orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat.
   
   
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Setiap orang dilarang:
  1. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  2. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  3. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  4. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; dan/atau
  5. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap orang dilarang:
  1. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  2. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat di dalam kawasan hutan;
  3. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  4. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; dan/atau
  5. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
6. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A


(1) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf d dikenai sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
  1. orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan; atau
  2. orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat.
   
   
7. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, atau Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, atau huruf e serta kegiatan lain di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. paksaan pemerintah;
  3. denda administratif;
  4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


Setiap orang dilarang:
  1. memalsukan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan;
  2. menggunakan Perizinan Berusaha palsu terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan; dan/atau
  3. memindah tangankan atau menjual Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kecuali dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
9. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


Setiap pejabat dilarang:
  1. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya;
  2. menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan dan/atau Perizinan Berusaha terkait penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
  4. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
  5. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
  6. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak;
  7. melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas dengan sengaja; dan/atau
  8. lalai dalam melaksanakan tugas.
   
   
10. Pasal 53 dihapus.
   
   
11. Pasal 54 dihapus.
   
   
12. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82


(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
  1. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;
  2. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
  3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan kurang dari 5 (lima) tahun dan tidak terus menerus, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Korporasi yang:
  1. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;
  2. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
  3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c;
dipidana bagi:
  1. pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
  2. korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.
   
   
13. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83


(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
  1. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
  2. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
  3. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h, 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
  1. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
  2. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
  3. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan kurang dari 5 (lima) tahun dan tidak secara terus menerus, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Korporasi yang:
  1. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
  2. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
  3. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
dipidana dengan pidana penjara bagi pengurusnya paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan/atau korporasi dikenakan pemberatan 1/3 dari denda pokoknya.
(5) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda.
   
   
14. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 84


(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Korporasi yang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana bagi:
  1. pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
  2. korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.
   
   
15. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 85


(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana bagi:
  1. pengurusnya pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
  2. korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.
   
   
16. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92


(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
  1. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
  2. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Korporasi yang:
  1. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
  2. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a;
dipidana dengan pidana penjara bagi pengurusnya paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan/atau bagi korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pokoknya.
   
   
17. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93


(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
  1. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
  2. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
  3. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
  1. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
  2. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
  3. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Korporasi yang:
  1. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
  2. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
  3. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e,
dipidana dengan pidana penjara bagi pengurusnya paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan/atau korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.
   
   
18. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96


(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
  1. memalsukan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;
  2. menggunakan Perizinan Berusaha palsu terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau
  3. memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Korporasi yang:
  1. memalsukan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;
  2. menggunakan Perizinan Berusaha palsu terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/ataupenggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau
  3. memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c, 
dipidana bagi:
  1. pengurusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
  2. korporasi dikenai pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.
   
   
19. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105


Setiap pejabat yang:
  1. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a;
  2. menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan dan/atau Perizinan Berusaha terkait penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b;
  3. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c;
  4. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d;
  5. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf e;
  6. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf f; dan/atau
  7. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
   
   
20. Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 110A dan Pasal 110B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 110A


(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
(2) Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini tidak menyelesaikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dikenai sanksi administratif, berupa:
  1. pembayaran denda administratif; dan/atau
  2. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Pasal 110B

    
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan/atau huruf e, dan/atau Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf e, atau kegiatan lain di kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini dikenai sanksi administratif, berupa:
  1. penghentian sementara kegiatan usaha;
  2. pembayaran denda administatif; dan/atau
  3. paksaan pemerintah.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Pasal 111 dihapus.
   
   
22. Pasal 112 dihapus.


Paragraf 5
Energi Dan Sumber Daya Mineral

Pasal 38


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525);
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
  3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585); dan
  4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052).


Pasal 39


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) diubah sebagai berikut:

1. Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 128A


(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2), dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.
(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 162


Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


Pasal 40


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 21 dan angka 22 diubah, dan angka 23 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
  2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.
  3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.
  4. Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi.
  5. Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
  6. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja.
  7. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.
  8. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
  9. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
  10. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
  11. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.
  12. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi.
  13. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.
  14. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa.
  15. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia.
  16. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
  17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
  19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  20. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.
  21. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  22. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  23. Dihapus.
  24. Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir.
  25. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
   
   
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat melalui kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.
   
   
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas:
  1. Kegiatan Usaha Hulu; dan
  2. Kegiatan Usaha Hilir.
(3) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
  1. Eksplorasi; dan
  2. Eksploitasi.
(4) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
  1. Pengolahan;
  2. Pengangkutan;
  3. Penyimpanan; dan
  4. Niaga.
   
   
4. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23


(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Badan Usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan usaha:
  1. Pengolahan;
  2. Pengangkuatan;
  3. Penyimpanan; dan/atau
  4. Niaga.
(3) Perizinan Berusaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukan kegiatan usahanya.
(4) Permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan menggunakan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
   
   
5. Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 23A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23A


(1) Setiap orang yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dikenai sanksi administratif berupa penghentian usaha dan/atau kegiatan, denda, dan/atau paksaan Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi administratif terhadap:
  1. pelanggaran salah satu persyaratan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha; dan/atau
  2. ketidakterpenuhinya persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa memiliki Perizinan Berusaha atau Kontrak Kerja Sama dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
   
   
8. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


Jika tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
   
   
9. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55


Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).


Pasal 41


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan prinsip pemanfaatan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan terhadap:
a. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
  1. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung;
  2. Kawasan Hutan konservasi;
  3. kawasan konservasi di perairan; dan
  4. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.
b. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang berada di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kawasan Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung, Kawasan Hutan konservasi, dan wilayah laut.
(2) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
  1. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
  2. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(3) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
  1. wilayah kabupaten/kota, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
  2. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi.
   
   
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


Kewenangan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi:
  1. pembuatan kebijakan nasional;
  2. pengaturan di bidang Panas Bumi;
  3. Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi;
  4. pembuatan norma, standar, pedoman, dan kriteria untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung;
  5. pembinaan dan pengawasan;
  6. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi;
  7. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi;
  8. pelaksanaan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan Panas Bumi; dan
  9. pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan kemampuan perekayasaan.
   
   
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
  1. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung;
  2. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya;
  3. pembinaan dan pengawasan;
  4. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi pada wilayah provinsi; dan
  5. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi pada wilayah provinsi.
   
   
5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi:
  1. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung;
  2. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya;
  3. pembinaan dan pengawasan;
  4. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota; dan
  5. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota.
   
   
6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung.
(2) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
  1. lintas wilayah provinsi, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung;
  2. Kawasan Hutan konservasi;
  3. kawasan konservasi di perairan; dan
  4. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.
(3) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
  1. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
  2. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(4) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
  1. wilayah kabupaten/kota, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
  2. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi.
(5) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diberikan berdasarkan permohonan dari Setiap Orang.
(6) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung diberikan setelah Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mendapat persetujuan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
   
   
7. Pasal 12 dihapus.
   
   
8. Pasal 13 dihapus.
   
   
9. Pasal 14 dihapus.
   
   
10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, termasuk harga energi Panas Bumi, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Badan Usaha yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi.
(2) Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Badan Usaha berdasarkan hasil penawaran Wilayah Kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi wajib memenuhi Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
13. Pasal 25 dihapus.
   
   
14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36


(1) Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c jika pelaku usaha di bidang Panas Bumi:
  1. melakukan pelanggaran terhadap salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi; dan/atau
  2. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat terlebih dahulu memberikan kesempatan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan kepada pelaku usaha di bidang Panas Bumi untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
   
   
15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d jika :
  1. Pelaku usaha di bidang Panas Bumi memberikan data, informasi, atau keterangan yang tidak benar dalam permohonan; atau
  2. Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi dinyatakan batal berdasarkan putusan pengadilan.
   
   
16. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38

(1) Dalam hal Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pelaku usaha di bidang Panas Bumi wajib memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewajiban pelaku usaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan telah terpenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat menetapkan persetujuan pengakhiran Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi setelah pelaku usaha di bidang Panas Bumi melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan  di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
   
   
17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 27 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 31 ayat (3), atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara seluruh kegiatan;
  3. denda administrasi; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
18. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Pemerintah Pusat melakukan Eksplorasi untuk menetapkan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), sebelum melakukan Eksplorasi, Menteri melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan, atau bentuk penggantian lain kepada pemakai tanah di atau tanah negara atau pemegang hak.
(4) Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi dilakukan oleh badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, penyediaan tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Pemegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung atau Pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi sebelum melakukan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan harus:
a. memperlihatkan:
  1. Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung atau salinan yang sah; atau
  2. Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi atau salinan yang sah;
b. memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; dan
c. melakukan penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemakai tanahdi atas tanah negara dan/atau pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
(2) Jika pemegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung atau pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak wajib mengizinkan pemegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung atau pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi untuk melaksanakan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah yang bersangkutan.
   
   
20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46


Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
   
   
21. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung berhak melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.
   
   
22. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 48


Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib:
  1. memahami dan menaati peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku;
  2. melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
   
   
23. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi kewajiban berupa:
  1. pajak daerah; dan
  2. retribusi daerah.
   
   
24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


(1) Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a atau huruf b atau Pasal 49 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara seluruh kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; dan/atau
  3. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
25. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56


(1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j, Pasal 53 ayat (1), atau Pasal 54 ayat (1) atau ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara seluruh kegiatan Eksplorasi,
  3. Eksploitasi, dan pemanfaatan; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
26. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

 
(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
27. Pasal 60 dihapus.
   
   
28. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67


Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
   
   
29. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68


Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).
   
   
30. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69


Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
   
   
31. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70


Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dipidana dengan denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
   
   
32. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71


Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
   
   
33. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72


Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
   
   
34. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73


Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
   
   
35. Pasal 74 dihapus.



Pasal 42


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 10, angka 12, angka 15, dan angka 16 diubah, serta angka 11 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.
  2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat.
  3. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
  4. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik.
  5. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.
  6. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke konsumen.
  7. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
  8. Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
  9. Rencana umum ketenagalistrikan adalah rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik.
  10. Perizinan Berusaha terkait ketenagalistrikan adalah perizinan untuk melakukan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri, dan/atau usaha jasa penunjang tenaga listrik.
  11. Dihapus.
  12. Wilayah usaha adalah wilayah yang ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai tempat badan usaha melakukan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik.
  13. Ganti rugi hak atas tanah adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut.
  14. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
  15. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  16. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan ketenagalistrikan.
  18. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan, baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum.
   
   
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3


(1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
   
   
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
(2) Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk:
  1. kelompok masyarakat tidak mampu;
  2. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang;
  3. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan
  4. pembangunan listrik perdesaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang ketenagalistrikan meliputi:
  1. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional;
  2. penetapan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan;
  3. penetapan standar, pedoman, dan kriteria di bidang ketenagalistrikan;
  4. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen;
  5. penetapan rencana umum ketenagalistrikan nasional;
  6. penetapan wilayah usaha;
  7. penetapan Perizinan Berusaha terkait jual beli tenaga listrik lintas negara;
  8. penetapan Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik;
  9. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang Perizinan Berusaha  penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;
  10. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;
  11. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang PerizinanBerusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri;
  12. penetapan Perizinan Berusaha untuk kegiatan jasa penunjang tenaga listrik;
  13. penetapan Perizinan Berusaha terkait usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau penanam modal asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing;
  14. penetapan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang Perizinan Berusaha terkait penyediaan tenaga listrik atau Perizinan Berusaha terkait operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
  15. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan;
  16. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;
  17. pembinaan jabatan fungsional inspektur ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan; dan
  18. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang Perizinan Berusahanya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi di bidang ketenagalistrikan meliputi:
  1. penetapan peraturan daerah provinsi di bidang ketenagalistrikan;
  2. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah provinsi;
  3. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang Perizinan Berusahanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;        
  4. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk provinsi; dan
  5. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang Perizinan Berusahanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengikutsertakan Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha:
  1. pembangkitan tenaga listrik;
  2. transmisi tenaga listrik;
  3. distribusi tenaga listrik; dan/atau
  4. penjualan tenaga listrik.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
(3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.
(4) Dalam hal usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan dilakukan secara terintegrasi, usaha pembangkitan dan/atau transmisi dapat dilakukan di luar Wilayah Usahanya.
(5) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dengan jenis usaha distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Wilayah Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
(2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
(4) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah provinsi sesuai kewenangannya memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi.
(5) Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah Pusat wajib menugasi badan usaha milik negara untuk menyediakan tenaga listrik.
   
   
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilaksanakan hanya untuk pemakaian sendiri.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya.
(3) Instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
   
   
9. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:
  1. konsultansi dalam bidang instalasi tenaga listrik;
  2. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik;
  3. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;
  4. pengoperasian instalasi tenaga listrik;    
  5. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;    
  6. penelitian dan pengembangan;    
  7. pendidikan dan pelatihan;    
  8. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
  9. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
  10. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan;    
  11. sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan
  12. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik.
(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, dan koperasi yang memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

 
Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha.
   
   
11. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diberikan kepada badan usaha untuk kegiatan:
  1. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;
  2. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri; dan
  3. usaha jasa penunjang tenaga listrik.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk untuk kegiatan jual beli tenaga listrik lintas negara.
(3) Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri, dan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
   
   
12. Pasal 20 dihapus.
   
   
13. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan Perizinan Berusaha.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria berkaitan dengan Perizinan Berusaha.
   
   
14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23


(1) Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dapat menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Penjualan kelebihan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik.
   
   
16. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
17. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


Penetapan Perizinan Berusaha industri penunjang tenaga listrik untuk industri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.
   
   
18. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


(1) Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berhak untuk:
  1. melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun di bawah permukaan;
  2. melintasi laut, baik di atas maupun di bawah permukaan;
  3. melintasi jalan umum dan jalan kereta api;
  4. masuk ke tempat umum atau perseorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu;
  5. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah;
  6. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan
  7. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.
(2) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik harus melaksanakannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
19. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib:
  1. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku;
  2. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat;
  3. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan
  4. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
   
   
20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Konsumen berhak untuk:
  1. mendapat pelayanan yang baik;
  2. mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;
  3. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;
  4. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan
  5. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
(2) Konsumen wajib:
  1. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
  2. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;
  3. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;
  4. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan
  5. menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.
(3) Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Penggunaan tanah oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah.
(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Dalam hal tanah yang digunakan pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(6) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat.
   
   
22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan epada pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik.
   
   
23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.
(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik berdasarkan norma, tandar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


(1) Pemerintah Pusat menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.Pemerintah Pusat menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.
   
   
25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
   
   
26. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum berdasarkan Perizinan Berusaha.
   
   
27. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.
(2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan kondisi:
  1. andal dan aman bagi instalasi;
  2. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya dari bahaya; dan
  3. ramah lingkungan.
(3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
  2. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan
  3. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.
(4) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi.
(5) Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia.
(6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi.
(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
28. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


(1) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu kelangsungan penyediaan tenaga listrik.
(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik jaringan.
(3) Pemilik jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
29. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46

 
(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal:
  1. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik;
  2. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika;
  3. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;
  4. pemenuhan persyaratan keteknikan;
  5. pemenuhan aspek pelindungan lingkungan hidup;
  6. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
  7. penggunaan tenaga kerja asing;
  8. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik;
  9. pemenuhan persyaratan perizinan;
  10. penerapan tarif tenaga listrik; dan
  11. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha penunjang tenaga listrik.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat:
  1. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;
  2. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan;
  3. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan
  4. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dibantu oleh inspektur ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(4) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
30. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37, Pasal 42, Pasal 44 ayat (4) atau ayat (5), atau Pasal 45 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. pembekuan kegiatan sementara;
  3. denda; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang:
  1. telah diberi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);
  2. berpotensi masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum jaringan tenaga listrik; atau
  3. berpotensi membahayakan keselamatan dan/atau mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik, 
dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
31. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49

(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

   
   
32. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan kematian seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik wajib memberi ganti rugi kepada korban.
(4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
33. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51A


Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang telah:
  1. diberi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);
  2. masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum jaringan tenaga listrik; dan/atau
  3. membahayakan keselamatan dan/atau mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik, 
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
   
   
34. Pasal 52 dihapus.
   
   
35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal instalasi listrik rumah tangga masyarakat dioperasikan tanpa sertifikat laik operasi, dampak yang timbul akibat ketiadaan sertifikat laik operasi menjadi tanggung jawab penyedia tenaga listrik.



Paragraf 6
Ketenaganukliran

Pasal 43


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Ketenaganukliran, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3676) diubah:

1. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2A


Pemerintah Pusat berwenang memberikan Perizinan Berusaha terkait ketenaganukliran.
   
   
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Pemerintah Pusat membentuk Badan Pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengawas menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan inspeksi.
   
   
3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) Bahan Galian Nuklir dikuasai oleh negara.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan wilayah usaha pertambangan Bahan Galian Nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Bahan Galian Nuklir diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9A


(1) Pemerintah Pusat dapat menetapkan badan usaha yang melakukan kegiatan pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara yang bekerja sama dengan badan usaha milik swasta.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif.
(5) Badan usaha terkait pertambangan mineral dan batubara yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(6) Dalam hal orang perseorangan ataupun badan usaha menemukan mineral ikutan radioaktif, pelaku wajib mengalihkan kepada Negara atau badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pertambangan Bahan Galian Nuklir dan mineral ikutan radioaktif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Pasal 10 dihapus.
   
   
6. Penjelasan Pasal 14 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
   
   
7. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, kecuali dalam hal tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Pasal 18 dihapus.
   
   
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


(1) Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  Pasal 25


(1) Pemerintah Pusat menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi.
(2) Penentuan tempat penyimpanan lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
   
   
11. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41


(1) Setiap orang yang membangun, mengoperasikan, dan/atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(3) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.


Paragraf 7
Perindustrian

Pasal 44


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Perindustrian, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
  1. pembangunan sumber daya manusia;
  2. pemanfaatan sumber daya alam;
  3. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;
  4. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi;
  5. penyediaan sumber pembiayaan; dan
  6. penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong bagi industri.
   
   
2. Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48A


(1) Untuk menjaga kelangsungan proses produksi dan/atau pengembangan industri, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong sesuai dengan rencana kebutuhan industri.
(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kemudahan dalam mengimpor bahan baku dan/atau bahan penolong untuk industri sesuai dengan rencana kebutuhan industri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


(1) Pemerintah Pusat melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan Standardisasi Industri.
(2) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara.
(3) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
   
   
4. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


(1) Setiap Orang dilarang:
  1. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; atau
  2. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
(2) Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengecualian atas SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu.
   
   
5. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

 
(1) Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui penilaian kesesuaian.
(2) Penilaian kesesuaian SNI yang diterapkan secara sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi.
(3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59


(1) Pemerintah Pusat mengawasi pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga terakreditasi.
   
   
7. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84


(1) Industri Strategis dikuasai oleh negara.
(2) Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Industri yang:
  1. memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak;
  2. meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis; dan/atau
  3. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara.
(3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
  1. pengaturan kepemilikan;
  2. penetapan kebijakan;
  3. pengaturan Perizinan Berusaha;
  4. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan
  5. pengawasan.
(4) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
  1. penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah Pusat;
  2. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta; atau
  3. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi:
  1. penetapan jenis Industri Strategis;
  2. pemberian fasilitas; dan
  3. pemberian kompensasi kerugian.
(6) Perizinan Berusaha terkait Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan oleh Pemerintah Pusat.
(7) Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan paling sedikit dengan menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk.
(8) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi penetapan Industri Strategis sebagai objek vital nasional dan pengawasan distribusi.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101


(1) Setiap kegiatan usaha Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. Industri kecil;
  2. Industri menengah; dan
  3. Industri besar.
(3) Perusahaan Industri yang telah memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
  1. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki; dan
  2. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan.
   
   
9. Pasal 102 dihapus.
   
   
10. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104


Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) dapat melakukan perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105


(1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
12 Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 105A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105A


Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri yang berada di kawasan ekonomi khusus dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kawasan ekonomi khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
13. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106


(1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri.
(2) Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang:
  1. belum memiliki Kawasan Industri;
  2. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis; atau
  3. terdapat Kawasan Ekonomi Khusus yang memiliki zona industri.
(3) Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi:
  1. Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
  2. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
(4) Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri.
(5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
14. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108

 
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105 dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 115


(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
  1. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau
  2. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 117


(1) Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri.
(3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
  1. sumber daya manusia Industri;
  2. pemanfaatan sumber daya alam;
  3. manajemen energi;
  4. manajemen air;
  5. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara;
  6. Data Industri dan Data Kawasan Industri;
  7. standar Industri Hijau;
  8. standar Kawasan Industri;
  9. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri; dan
  10. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan.
(4) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga terakreditasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Paragraf 8
Perdagangan, Metrologi Legal, Jaminan Produk Halal, dan Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian

Pasal 45


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi dan penilaian kesesuaian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan
  3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604).


Pasal 46


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri.
(2) Setiap Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Pemerintah Pusat melakukan pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
(2) Pengembangan, penataan, dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan Perizinan Berusaha, tata ruang, zonasi dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian, kemitraan, dan kerja sama usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha, tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d merupakan salah satu sarana Perdagangan untuk mendorong kelancaran Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri.
(2) Setiap pemilik gudang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Setiap pemilik gudang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang melakukan penyimpanan Barang yang ditujukan untuk diperdagangkan harus menyelenggarakan pencatatan administrasi paling sedikit berupa jumlah Barang yang disimpan dan jumlah Barang yang masuk dan yang keluar dari Gudang.
(2) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang tidak menyelenggarakan pencatatan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan administratif Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Setiap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap Pelaku Usaha yang tidak melakukan pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Pemerintah Pusat dapat meminta data dan/atau informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
(2) Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
   
   
8. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib menghentikan kegiatan Perdagangan Barang dan menarik Barang dari:
  1. distributor;
  2. agen;
  3. grosir;
  4. pengecer; dan/atau
  5. konsumen.
(2) Perintah penghentian kegiatan Perdagangan dan penarikan dari Distribusi terhadap Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
9. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


(1) Setiap Pelaku Usaha wajib memenuhi ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dibatasi Perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Setiap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
10. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Pemerintah Pusat mengatur kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor.
(2) Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
  1. peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;
  2. peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri;
  3. peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal; dan
  4. peningkatan dan pengembangan produk invensi dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri.
(3) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit meliputi:
  1. peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor;
  2. pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang;
  3. penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri;
  4. pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri; dan
  5. pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar Negeri.
(4) Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi:
  1. Perizinan Berusaha/persetujuan;
  2. standar; dan
  3. pelarangan dan pembatasan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diekspor.
(2) Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap Barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
13. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


(1) Impor Barang hanya dapat dilakukan oleh Importir yang memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Dalam hal Impor tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, importir tidak memerlukan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
14. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46


(1) Importir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diimpor.
(2) Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


(1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.   
(2) Dalam hal tertentu, Pemerintah Pusat dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Pasal 49 dihapus.
   
   
17. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51


(1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor.
(2) Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria barang yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
18. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


(1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor.
(2) Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.
(3) Setiap Eksportir dan/atau Importir yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan mengenai kriteria barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
19. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


(1) Eksportir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) terhadap Barang impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Pemerintah Pusat.
   
   
20. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 57


(1) Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi:
  1. SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau
  2. persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
(2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
(3) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
  1. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
  2. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
  3. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau
  4. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.
(5) Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat.
(6) Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian.
(7) Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif.
   
   
21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


(1) Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib.
(2) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
  1. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
  2. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
  3. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
  4. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau
  5. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal.
(4) Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat.
(5) Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif.
   
   
22. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


(1) Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu.
(3) Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
23. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63


Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dikenai sanksi administratif.

   
   
24. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65


(1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
(2) Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
(4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
  2. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
  3. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
  4. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
  5. cara penyerahan Barang.
(5) Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang sedang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
(6) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
25. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74


(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses Pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian insentif, fasilitas, informasi peluang Pasar, bimbingan teknis, serta bantuan promosi dan pemasaran untuk pengembangan Ekspor.
(3) Pemerintah Pusat dapat mengusulkan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri.
(4) Pemerintah Pusat dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pihak lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
   
   
26. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77


(1) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri wajib memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
27. Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 77A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77A


(1) Pengenaan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 17 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 33 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 43 ayat (2), Pasal 46 ayat (2), Pasal 52 ayat (3), Pasal 57 ayat (7), Pasal 60 ayat (6), Pasal 63, Pasal 65 ayat (6), atau Pasal 77 ayat (3) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. penarikan Barang dari distribusi;
  3. penghentian sementara kegiatan usaha;
  4. penutupan Gudang;
  5. denda; dan/atau
  6. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
28.

Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 81


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.

   
   
29. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
30. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) mempunyai wewenang melakukan:

  1. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik Barang dari Distribusi atau menghentikan kegiatan Jasa yang diperdagangkan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan; dan/atau
  2. pencabutan Perizinan Berusaha.
   
   
31. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100


(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemerintah Pusat menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
(2) Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam melaksanakan pengawasan harus membawa surat tugas yang sah dan resmi.
(3) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit melakukan pengawasan terhadap:
  1. Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan;
  2. Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur;
  3. Distribusi Barang dan/atau Jasa;
  4. pendaftaran Barang Produk Dalam Negeri dan asal Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
  5. pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib;
  6. Perizinan Berusaha terkait gudang; dan
  7. penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
(4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat:
  1. merekomendasikan penarikan Barang dari Distribusi dan/atau pemusnahan Barang;
  2. merekomendasikan penghentian kegiatan usaha Perdagangan; atau
  3. merekomendasikan pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan.
(5) Dalam hal melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas pengawas melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
(6) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan instansi terkait.
   
   
32. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
33. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104


(1) Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidanasebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
(3) Bagi Pelaku Usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77A ayat (1).
   
   
34. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106


(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
(3) Bagi Pelaku Usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77A ayat (1).
   
   
35. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109


Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

   
   
36. Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 116


Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).


Pasal 47


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193) diubah:

1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


Pemerintah Pusat mengatur tentang:
  1. pengujian dan pemeriksaan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya;
  2. pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang; dan
  3. tempat dan daerah dilaksanakan tera dan tera ulang alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis tertentu.
   
   
2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Setiap Pelaku Usaha yang membuat dan/atau memperbaiki alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap Pelaku Usaha yang melakukan impor alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya ke dalam wilayah Republik Indonesia harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan terbungkus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Pasal 48


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) diubah sebagai berikut:

1. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A


(1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil.
(2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
   
   
2. Penjelasan Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
   
   
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
  1. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
  2. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
  3. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.
(2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum, dan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum.
(3) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat LPH yang didirikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga keagamaan Islam berbadan hukum dan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum dapat bekerja sama dengan badan usaha milik negara atau Badan Pengawas Obat dan Makanan.
   
   
5. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
(2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
  1. warga negara Indonesia;
  2. beragama Islam;
  3. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian;
  4. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; dan
  5.  mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.
   
   
6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH dan Auditor Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 atau Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas:
  1. mengawasi PPH di perusahaan;
  2. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
  3. mengoordinasikan PPH; dan
  4. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan.
(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
  1. beragama Islam; dan
  2. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.
(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.
(4) Dalam hal kegiatan usaha dilakukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil, Penyelia Halal dapat berasal dari Organisasi Kemasyarakatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.
(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen:
  1. data Pelaku Usaha;
  2. nama dan jenis Produk;
  3. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
  4. pengolahan Produk.
(3) Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk berdasarkan permohonan Pelaku Usaha.
(2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.
   
   
12. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31


(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
(2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
(4) Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memerlukan tambahan waktu pemeriksaan, LPH dapat mengajukan perpanjangan waktu kepada BPJPH.
(5) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI dengan tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk tidak sesuai dengan standar yang dimiliki oleh BPJPH, BPJPH menyampaikan pertimbangan kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa.
   
   
14. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
(3) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan kehalalan Produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH.
(4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh MUI kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.
   
   
15. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk.
   
   
16. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A


Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administratif.
   
   
17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
18. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41


(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
19. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3) Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perpanjangan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya.
   
   
21. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. sosialisasi dan edukasi mengenai JPH;
  2. pendampingan dalam PPH;
  3. publikasi bahwa produk berada dalam pendampingan;
  4. pemasaran dalam jejaring ormas Islam berbadan hukum; dan
  5. pengawasan Produk Halal yang beredar.
(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.
   
   
23. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
24. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56


Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


Paragraf 9
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Pasal 49


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158);
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252);
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018); dan
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405).


Pasal 50


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi standar.
(2) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi standar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan Perizinan Berusaha bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

 
(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam 1 (satu) hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam:
  1. bentuk rumah susun umum yang dibangun dalam satu hamparan yang sama; atau
  2. bentuk dana untuk pembangunan rumah umum.
(3) Pengelolaan dana dari konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
(4) Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam bentuk rumah susun umum.
(5) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.
(6) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan perumahan dengan hunian berimbang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1),
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan
yang menangani pembangunan perumahan dan permukiman sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab:
  1. menyediakan tanah bagi perumahan; dan
  2. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian.
   
   
7. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap pembangunan
dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
memenuhi persyaratan kepastian atas:
  1. status pemilikan tanah;
  2. hal yang diperjanjikan;
  3. Persetujuan Bangunan Gedung;
  4. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
  5. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


(1) Pengendalian perumahan dilakukan mulai dari tahap:
  1. perencanaan;
  2. pembangunan; dan
  3. pemanfaatan.
(2) Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk:
  1. Perizinan Berusaha atau persetujuan;
  2. penertiban; dan/atau
  3. penataan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55


(1) Orang perseorangan yang memiliki rumah umum dengan kemudahan yang diberikan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah hanya dapat menyewakan dan/atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah kepada pihak lain dalam hal:
  1. pewarisan; atau
  2. penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun.
(2) Dalam hal dilakukan pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengalihannya wajib dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk atau dibentuk oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam bidang perumahan dan permukiman.
(3) Jika pemilik meninggalkan rumah secara terus-menerus dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun tanpa memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berwenang mengambil alih kepemilikan rumah tersebut.
(4) Rumah yang telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didistribusikan kembali kepada MBR.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukkan dan pembentukan lembaga, kemudahan, dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah MBR diatur dalam Peraturan Presiden.
   
   
10. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107


(1) Tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan, dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman.
(2) Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penetapan lokasi atau persetujuan kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
(3) Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan perumahan dan permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.
(4) Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109


(1) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilaksanakan bagi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.
(2) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh bupati/wali kota.
(3) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur.
(4) Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak memerlukan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
   
   
12. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 114


(1) Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah badan hukum memperoleh persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
(2) Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah tercapai kesepakatan bersama.
(3) Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
(4) Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
13. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IXA
BADAN PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

Pasal 117A


(1) Untuk mewujudkan penyediaan rumah umum yang layak dan terjangkau bagi MBR, Pemerintah Pusat membentuk badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
(2) Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
  1. mempercepat penyediaan rumah umum;
  2. menjamin bahwa rumah umum hanya dimiliki dan dihuni oleh MBR;
  3. menjamin tercapainya asas manfaat rumah umum; dan
  4. melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah umum dan rumah khusus.
(3) Badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi mempercepat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
(4) Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), badan percepatan penyelenggaraan perumahan bertugas:
  1. melakukan upaya percepatan pembangunan perumahan;
  2. melaksanakan pengelolaan dana konversi dan pembangunan rumah sederhana serta rumah susun umum;
  3. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian;
  4. melaksanakan penyediaan tanah bagi perumahan;
  5. melaksanakan pengelolaan rumah susun umum dan rumah susun khusus serta  memfasilitasi penghunian, pengalihan, dan pemanfaatan;
  6. melaksanakan pengalihan kepemilikan rumah umum dengan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah;
  7. menyelenggarakan koordinasi operasional lintas sektor, termasuk dalam penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
  8. melakukan pengembangan hubungan kerja sama di bidang rumah susun dengan berbagai instansi di dalam dan di luar negeri.


Pasal 117B


(1) Badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117A terdiri atas:
  1. unsur pembina;
  2. unsur pelaksana; dan
  3. unsur pengawas.
(2) Unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berjumlah 5 (lima) orang yang proses seleksi dan pemilihannya dilakukan oleh DPR.
(3) Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(4) Unsur pembina, unsur pelaksana, dan unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
   
   
14. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 134


Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar.
   
   
15. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 150


(1) Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 36 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. pembatasan kegiatan pembangunan;
  3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
  4. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan;
  5. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
  6. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
  7. membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar;
  8. pembatasan kegiatan usaha;
  9. pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung;
  10. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
  11. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah;
  12. perintah pembongkaran bangunan rumah;
  13. pembekuan Perizinan Berusaha;
  14. pencabutan Perizinan Berusaha;
  15. pengawasan;
  16. pembatalan Perizinan Berusaha;
  17. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;
  18. pencabutan insentif;
  19. pengenaan denda administratif; dan/atau
  20. penutupan lokasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151


Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang membangun perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
   
   
17. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 153


(1) Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 51


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
(2) Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
(3) Dalam hal pembangunan rumah susun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam 1 (satu) lokasi kawasan rumah susun komersial pembangunan rumah susun umum dapat dilaksanakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota yang sama.
(4) Kewajiban menyediakan rumah susun umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikonversi dalam bentuk dana untuk pembangunan rumah susun umum.
(5) Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menyediakan rumah susun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Standar pembangunan rumah susun meliputi:
  1. persyaratan administratif;
  2. persyaratan teknis; dan
  3. persyaratan ekologis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Pemisahan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian.
(2) Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan rumah susun.
(3) Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disahkan oleh Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
4. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

 
Dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi:
  1. status hak atas tanah; dan
  2. Persetujuan Bangunan Gedung.
   
   
5. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya.
(2) Rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan pemanfaatan pembangunan Rumah Susun diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Pasal 30 dihapus.
   
   
7. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31

 
(1) Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi fungsi bagian bersama, benda bersama, dan fungsi hunian.
   
   
8. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Pasal 33 dihapus.
   
   
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39


(1) Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada bupati/wali kota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan Persetujuan Bangunan Gedung sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, permohonan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Pelaku pembangunan wajib melengkapi lingkungan rumah susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(2) Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
  1. kemudahan dan keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-hari;
  2. pengamanan jika terjadi hal yang membahayakan; dan
  3. struktur, ukuran, dan kekuatan sesuai dengan fungsi dan penggunaannya.
(3) Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan minimal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.
(2) PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
  1. status kepemilikan tanah;
  2. Persetujuan Bangunan Gedung;
  3. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
  4. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
  5. hal yang diperjanjikan.
   
   
13. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Sarusun umum yang memperoleh kemudahan dari pemerintah hanya dapat dimiliki atau disewa oleh MBR.
(2) Setiap orang yang memiliki sarusun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal:
  1. pewarisan; atau
  2. perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(3) Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat dilakukan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dan kriteria dan tata cara pemberian kemudahan kepemilikan sarusun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
   
   
14. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56


(1) Pengelolaan rumah susun meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
(2) Pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan oleh pengelola yang berbadan hukum, kecuali rumah susun umum sewa, rumah susun khusus, dan rumah susun negara.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendaftar dan mendapatkan Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendaftar dan mendapatkan Perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67


(1) Dalam pelaksanaan peningkatan kualitas rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, PPPSRS dapat bekerja sama dengan pelaku pembangunan rumah susun.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang berdasarkan prinsip kesetaraan.
(3) Pelaksanaan peningkatan kualitas rumah susun umum dan rumah susun khusus dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan.
   
   
16. Pasal 72 dihapus.
   
   
17. Pasal 73 dihapus.
   
   
18. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 107


Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1), Pasal 98, Pasal 100, atau Pasal 101 dikenai sanksi administratif.
   
   
19. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108


(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
  3. penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
  4. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan rumah susun;
  5. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
  6. pencabutan sertifikat laik fungsi;
  7. pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun;
  8. perintah pembongkaran bangunan rumah susun;
  9. denda administratif; dan/atau
  10. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pemulihan.
   
   
20. Pasal 110 dihapus.
   
   
21. Pasal 112 dihapus.
   
   
22. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 113


Setiap orang yang:
  1. mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang sudah ditetapkan; atau
  2. mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 menimbulkan korban terhadap manusia atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
   
   
23. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 114


Setiap pejabat yang:
  1. menetapkan lokasi yang berpotensi menimbulkan bahaya untuk pembangunan rumah susun; atau
  2. mengeluarkan Persetujuan Bangunan Gedung rumah susun yang tidak sesuai dengan lokasi peruntukan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
   
   
24. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 117


(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 111, Pasal 115 atau Pasal 116 dilakukan oleh badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
  1. pencabutan Perizinan Berusaha; atau
  2. pencabutan status badan hukum.


Pasal 52


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;
  2. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi;
  3. menyelenggarakan Perizinan Berusaha dalam rangka registrasi badan usaha Jasa Konstruksi;
  4. menyelenggarakan Perizinan Berusaha terkait Jasa Konstruksi;
  5. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga yang melaksanakan sertifikasi badan usaha;
  6. mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi;
  7. mengembangkan sistem permodalan dan sistem penjaminan usaha Jasa Konstruksi;
  8. memberikan dukungan dan pelindungan bagi pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional;
  9. mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi;
  10. menyelenggarakan penerbitan Perizinan Berusaha dalam rangka penanaman modal asing;
  11. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi besar;
  12. menyelenggarakan pengembangan layanan usaha Jasa Konstruksi;
  13. mengumpulkan dan mengembangkan sistem informasi yang terkait dengan pasar Jasa Konstruksi di negara yang potensial untuk pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional;
  14. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa Konstruksi nasional dan internasional;
  15. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam pasar Jasa Konstruksi;
  16. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi nasional;
  17. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional; dan
  18. menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
  2. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa;
  3. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan; dan
  4. mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
  2. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi;
  3. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan
  4. menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan.
(4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. mengembangkan standar kompetensi kerja dan pelatihan Jasa Konstruksi;
  2. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja konstruksi nasional;
  3. menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan;
  4. mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi;
  5. menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
  6. menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi, pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
  7. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi;
  8. menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi;
  9. menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional tenaga kerja konstruksi serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi;
  10. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja konstruksi asing; dan
  11. membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi atau lembaga pendidikan dan pelatihan.
(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. mengembangkan standar material dan peralatan konstruksi, serta inovasi teknologi konstruksi;
  2. mengembangkan skema kerja sama antara institusi penelitian dan pengembangan dan seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
  3. menetapkan pengembangan teknologi prioritas;
  4. memublikasikan material dan peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku kepentingan, baik nasional maupun internasional;
  5. menetapkan dan meningkatkan penggunaan standar mutu material dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia;
  6. melindungi kekayaan intelektual atas material dan peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan
  7. membangun sistem rantai pasok material, peralatan, dan teknologi konstruksi.
(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
  2. meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa Konstruksi;
  3. memfasilitasi penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi sebagai media aspirasi masyarakat Jasa Konstruksi;
  4. memberikan dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan
  5. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalamUsaha Penyediaan Bangunan.
(7) Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
(8) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi nasional; dan
  2. mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi nasional dan internasional.
   
   
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. memberdayakan badan usaha Jasa Konstruksi;
  2. menyelenggarakan pengawasan pemberian Perizinan Berusaha;
  3. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi di provinsi;
  4. menyelenggarakan pengawasan sistem rantai pasok konstruksi di provinsi; dan
  5. memfasilitasi kemitraan antara badan usaha Jasa Konstruksi di provinsi dengan badan usaha dari luar provinsi.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. menyelenggarakan pengawasan pemilihan penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
  2. menyelenggarakan pengawasan Konstruksi; dan
  3. menyelenggarakan pengawasan tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan Jasa Konstruksi di provinsi.
(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi kecil dan menengah.
(4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan menyelenggarakan pengawasan:
  1. Sistem Sertifikasi Kompetensi Kerja;
  2. pelatihan tenaga kerja konstruksi; dan
  3. upah tenaga kerja konstruksi.
(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. menyelenggarakan pengawasan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi;
  2. memfasilitasi kerja sama antara institusi penelitian dan pengembangan Jasa Konstruksi dengan seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
  3. memfasilitasi pengembangan teknologi prioritas;
  4. menyelenggarakan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi; dan
  5. meningkatkan penggunaan standar mutu material dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.
(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
  1. memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa Konstruksi provinsi;
  2. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi; dan
  3. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam usaha penyediaan bangunan.
(7) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi di provinsi.
   
   
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
  1. penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi; dan
  2. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah provinsi.
   
   
4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
  1. penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi;
  2. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah kabupaten/kota;
  3. penerbitan Perizinan Berusaha kualifikasi kecil, menengah, dan besar; dan
  4. pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib pemanfaatan Jasa Konstruksi.
   
   
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

 
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat melibatkan masyarakat Jasa Konstruksi.
   
   
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan serta Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


(1) Kualifikasi usaha bagi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 terdiri atas:
  1. kecil;        
  2. menengah; dan        
  3. besar.        
(2) Penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penilaian terhadap:
  1. penjualan tahunan;        
  2. kemampuan keuangan;        
  3. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan
  4. kemampuan dalam konstruksi penyediaan peralatan konstruksi.
(3) Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan batasan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
10. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


Perizinan Berusaha sebagaimana dimasud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Perizinan Berusaha berlaku untuk melaksanakan kegiatan usaha Jasa Konstruksi di seluruh wilayah Republik Indonesia.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 membentuk peraturan di daerah mengenai Perizinan Berusaha.
   
   
12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha.
(2) Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan registrasi badan usaha sebagaimana dimaksud ada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Pasal 31 dihapus.
   
   
14. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a wajib:
  1. berbentuk badan usaha dengan kualifikasi yang setara dengan kualifikasi besar;
  2. memenuhi Perizinan Berusaha;
  3. membentuk kerja sama operasi dengan badan usaha Jasa Konstruksi nasional berkualifikasi besar yang memenuhi Perizinan Berusaha;
  4. mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;
  5. menempatkan warga negara Indonesia sebagai pimpinan tertinggi kantor perwakilan;
  6. mengutamakan penggunaan material dan teknologi konstruksi dalam negeri;
  7. memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan kearifan lokal;
  8. melaksanakan proses alih teknologi; dan
  9. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan prinsip kesetaraan kualifikasi, kesamaan layanan, dan tanggung renteng.
   
   
15. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


(1) Ketentuan mengenai kerja sama modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam rangka kerja sama modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b harus memenuhi persyaratan kualifikasi besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c.
(3) Badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam rangka kerja sama modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
(4) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
16. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha, tata cara kerja sama operasi, dan penggunaan lebih banyak tenaga kerja Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
17. Pasal 36 dihapus.
   
   
18. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan melalui penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi.
(2) Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjakan sendiri atau melalui pengikatan Jasa Kontruksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri atau melalui pengikatan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
19. Pasal 42 dihapus.
   
   
20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik.
   
   
21. Pasal 57 dihapus.
   
   
22. Pasal 58 dihapus.
   
   
23. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59


(1) Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa, dan Penyedia Jasa wajib memenuhi standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
24. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69


(1) Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan efisien sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja.
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja.
(3) Standar Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelatihan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
25. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72


(1) Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman profesional, setiap tenaga kerja konstruksi harus melakukan registrasi kepada Pemerintah Pusat.
(2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda daftar pengalaman profesional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
26. Pasal 74 dihapus.
   
   
27. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84


(1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi.
(2) Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat.
(3) Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diusulkan dari:
  1. asosiasi perusahaan yang terakreditasi;
  2. asosiasi profesi yang terakreditasi;
  3. institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi kriteria;
  4. perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria; dan
  5. asosiasi terkait rantai pasok konstruksi yang terakreditasi.
(4) Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan oleh lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan dalam penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat yang mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi dan pembentukan lembaga diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
28. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89


Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. denda administratif; dan/atau
  3. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.
   
   
29. Pasal 92 dihapus.
   
   
30. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96


(1) Setiap Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. denda administratif;
  3. penghentian sementara kegiatan Konstruksi;
  4. layanan Jasa pencantuman dalam daftar hitam;
  5. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/ atau
  6. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Setiap Pengguna Jasa dan/ atau Penyedia Jasa yang dalam memberikan pengesahan atau persetujuan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. denda administratif;
  3. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
  4. pencantuman dalam daftar hitam;
  5. pembekuan Perizinan Berusaha;
  6. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
  7. pencabutan Sertifikat Badan Usaha untuk Penyedia Jasa Konstruksi.
   
   
31. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99


(1) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dari tempat kerja.
(2) Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang mempekerjakan tenaga kerja konstruksi yang tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. denda administratif; dan/atau
  2. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.
(3) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) yang tidak berpraktik sesuai dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional, dan atau standar khusus dikenai sanksi berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. denda administratif;
  3. pembekuan Sertifikat Kompetensi Kerja; dan/atau
  4. pencabutan Sertifikat Kompetensi Kerja.
(4) Setiap lembaga sertifikasi profesi yang tidak mengikuti ketentuan pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dikenai sanksi berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. denda administratif;
  3. pembekuan lisensi; dan/atau
  4. pencabutan lisensi.
   
   
32. Pasal 101 dihapus.
   
   
33. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102


Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 53


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari.
(2) Selain hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) negara memprioritaskan hak rakyat atas Air sebagai berikut:
  1. kebutuhan pokok sehari hari;
  2. pertanian rakyat; dan c. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum.
(3) Dalam hal ketersediaan Air tidak mencukupi untuk prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemenuhan Air untuk kebutuhan pokok sehari-hari lebih diprioritaskan dari yang lainnya.
(4) Dalam hal ketersediaan Air mencukupi, setelah urutan prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), urutan prioritas selanjutnya adalah:
  1. penggunaan Sumber Daya Air guna memenuhi kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik; dan
  2. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha lainnya yang telah ditetapkan Perizinan Berusaha.
(5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menetapkan urutan prioritas pemenuhan Air pada Wilayah Sungai sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(6) Dalam menetapkan prioritas pemenuhan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terlebih dahulu memperhitungkan keperluan Air untuk pemeliharaan Sumber Air dan lingkungan hidup.
(7) Hak rakyat atas Air bukan merupakan hak kepemilikan atas Air, melainkan hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan menggunakan sejumlah kuota Air sesuai dengan alokasi yang penetapannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Sumber Daya Air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta untuk memenuhi kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik dan kebutuhan usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) Atas dasar penguasaan negara terhadap Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat diberi tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengelola Sumber Daya Air.
(2) Penguasaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan tetap mengakui Hak Ulayat Masyarakat Adat setempat dan hak yang serupa dengan itu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak Ulayat dari Masyarakat Adat atas Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah diatur dalam Peraturan Daerah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12


Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/ kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki tugas:
  1. membantu Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam mengelola Sumber Daya Air di wilayah desa berdasarkan asas kemanfaatan umum dan dengan memperhatikan kepentingan desa lain;
  2. mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat desa dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di wilayahnya;
  3. ikut serta dalam menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air; dan
  4. membantu Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas Air bagi warga desa.
   
   
5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Sebagian tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 dalam mengelola Sumber Daya Air yang meliputi satu Wilayah Sungai dapat ditugaskan kepada Pengelola Sumber Daya Air.
(2) Pengelola Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa unit pelaksana teknis kementerian/unit pelaksana teknis daerah atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air.
(3) Sebagian tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk:
  1. menetapkan kebijakan;
  2. menetapkan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air;
  3. menetapkan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air;
  4. menetapkan kawasan lindung Sumber Air;
  5. menerbitkan Perizinan Berusaha atau Persetujuan;
  6. membentuk wadah koordinasi;
  7. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
  8. membentuk Pengelola Sumber Daya Air; dan
  9. menetapkan nilai satuan BJPSDA.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan program dan rencana kegiatan.
(2) Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat.
(3) Setiap Orang atau kelompok masyarakat atas prakarsa sendiri dapat melaksanakan kegiatan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi untuk kepentingan sendiri berdasarkan Persetujuan atau Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi dilakukan dengan:
  1. mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria;
  2. memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal; dan c. mengutamakan keselamatan, keamanan kerja, dan keberlanjutan fungsi ekologis, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kewajiban memperoleh persetujuan atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi kegiatan nonkonstruksi yang tidak mengakibatkan perubahan fisik pada Sumber Air.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Pemantauan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan terhadap:
  1. Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air;
  2. pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi; dan
  3. pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air.
(2) Evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan berdasarkan hasil pemantauan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap tujuan Pengelolaan Sumber Daya Air.
(3) Hasil evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air.
(4) Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


(1) Penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c untuk kebutuhan usaha dan kebutuhan bukan usaha dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air.
(2) Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan fungsi kawasan dan kelestarian lingkungan hidup.
(3) Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat disewakan atau dipindah tangankan, baik sebagian maupun seluruhnya.
   
   
9. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


(1) Persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha terdiri atas:
a. persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari diperlukan jika:
  1. cara penggunaannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air; dan/atau
  2. penggunaannya diajukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah yang besar.
b. persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk pemenuhan kebutuhan pertanian rakyat diperlukan jika:
  1. cara penggunaannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air; dan/atau
  2. penggunaannya untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.
c. persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk pemenuhan kebutuhan bagi kegiatan selain untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat yang bukan merupakan kegiatan usaha.
   
   
10. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


(1) Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat berupa penggunaan:
  1. Sumber Daya Air sebagai media;
  2. Air dan Daya Air sebagai materi;
  3. Sumber Air sebagai media; dan/atau
  4. Air, Sumber Air, dan/atau Daya Air sebagai media dan materi.
(2) Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
(3) Pemberian Perizinan Berusaha dilakukan secara ketat dengan urutan prioritas:
  1. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari bagi kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah yang besar;
  2. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang mengubah kondisi alami Sumber Air;
  3. pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada;
  4. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum;
  5. kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik;
  6. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan
  7. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha swasta atau perseorangan.
(4) Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan untuk:
  1. titik atau tempat tertentu pada Sumber Air;
  2. ruas tertentu pada Sumber Air; atau
  3. bagian tertentu dari Sumber Air.
(5) Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada:
  1. badan usaha milik negara;
  2. badan usaha milik daerah;
  3. badan usaha milik desa;
  4. koperasi;
  5. badan usaha swasta; atau
  6. perseorangan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan Air dan Daya Air sebagai materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa Air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum.
   
   
12. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51


(1) Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dapat diberikan kepada pihak swasta setelah memenuhi syarat tertentu dan ketat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf f paling sedikit:
  1. sesuai dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air;
  2. memenuhi persyaratan teknis administratif;
  3. mendapat persetujuan dari para pemangku kepentingan di kawasan Sumber Daya Air; dan
  4. memenuhi kewajiban biaya Konservasi Sumber Daya Air yang merupakan komponen dalam BJPSDA dan kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


(1) Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain dilarang, kecuali untuk tujuan kemanusiaan.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan telah dapat terpenuhinya kebutuhan penggunaan Sumber Daya Air di Wilayah Sungai yang bersangkutan serta daerah sekitarnya.
(3) Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang bersangkutan dan memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.
(4) Rencana penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi publik oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mendapat Persetujuan dari Pemerintah Pusat berdasarkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
14. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56


(1) Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya terhadap Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Air diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70


Setiap Orang yang dengan sengaja:
  1. melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tanpa memperoleh Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3);
  2. menyewakan atau memindah tangankan, baik sebagian maupun keseluruhan Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44; atau
  3. melakukan penggunaan Sumber Daya Air tanpa Perizinan Berusaha untuk kebutuhan usaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
   
   
16. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73


Setiap Orang yang karena kelalaiannya:
  1. melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4); atau
  2. menggunakan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Paragraf 10
Transportasi

Pasal 54


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi di sektor Transportasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); dan
  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).


Pasal 55


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
  1. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
  2. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan jalan menurut kelas jalan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36


Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha.
   
   
3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan yang bekerja sama dengan usaha mikro dan kecil.
(4) Fasilitas Terminal harus menyediakan tempat untuk kegiatan usaha mikro dan kecil paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
(5) Ketentuan mengenai kerja sama dengan usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penyediaan tempat untuk kegiatan usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39


(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan fasilitas Terminal.
(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
(3) Dalam hal Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan swasta.
   
   
5. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
  1. rancang bangun;
  2. buku kerja rancang bangun;
  3. rencana induk Terminal; dan
  4. dokumen Amdal atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang telah mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas.
(2) Pembangunan Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
  1. perencanaan;
  2. pelaksanaan; dan
  3. pengawasan operasional Terminal.
(4) Pembangunan Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta perencanaan dan pelaksanaan dalam pengoperasian Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa dan swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
6. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
  1. usaha khusus perparkiran; atau
  2. penunjang usaha pokok.
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, Perizinan Berusaha, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


(1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.
(2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan swasta.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 53


(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b wajib dilakukan bagi mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.
(2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
  1. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan
  2. pengesahan hasil uji.
(3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh:
  1. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
  2. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah; atau
  3. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


(1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor yang berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.
(3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(5) Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78


(1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99


(1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis mengenai dampak Lalu Lintas yang terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang telah mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Pasal 100 dihapus.
   
   
13. Pasal 101 dihapus.
   
   
14. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 126


Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:
  1. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan;
  2. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;
  3. menurunkan Penumpang selain di tempat pemberhentian dan/atau di tempat tujuan tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau
  4. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha.
   
   
15. Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 162


(1) Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib:
  1. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut;
  2. memiliki tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut;
  3. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan;
  4. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; dan
  5. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
(2) Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut.
   
   
16. Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 165

    
(1) Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda.
(2) Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain.
(3) Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
17. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 170


(1) Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu.
(2) Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap serta sistem informasi manajemen dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.
   
   
18. Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 173


(1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
  1. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau
  2. pengangkutan jenazah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
19. Pasal 174 dihapus.
   
   
20. Pasal 175 dihapus.
   
   
21. Pasal 176 dihapus.
   
   
22. Pasal 177 dihapus.
   
   
23. Pasal 178 dihapus.
   
   
24. Ketentuan Pasal 179 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 179


(1) Perizinan Berusaha terkait penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) diberikan oleh:
a. Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:
  1. angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi;
  2. angkutan dengan tujuan tertentu; atau
  3. angkutan pariwisata.
b. gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; dan
d. bupati/wali kota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
25. Pasal 180 dihapus.
   
   
26.. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185


(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi angkutan pada trayek atau lintas tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
27. Ketentuan Pasal 199 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 199


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, atau Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. denda administratif;
  3. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
28 Ketentuan Pasal 220 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 220


(1) Rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh:
  1. Pemerintah Pusat;
  2. Pemerintah Daerah;
  3. badan hukum;
  4. lembaga penelitian; dan/atau
  5. perguruan tinggi.
(2) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat.
   
   
29. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 222


(1) Pemerintah Pusat wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.
(3) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat.
   
   
30. Pasal 308 dihapus.



Pasal 56


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait prasarana perkeretaapian umum.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
  1. Pemerintah Pusat untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;
  2. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
  3. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perizinan Berusaha terkait prasarana perkeretaapian umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24A


Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
3. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenai sanksi administratif.
   
   
4. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
  1. Pemerintah Pusat untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
  2. pemerintah provinsi untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan c. pemerintah kabupaten/kota untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32A


Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
6. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
  1. Pemerintah Pusat untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
  2. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
  3. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait perkeretaapian khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33A


Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), dikenai sanksi administratif.
   
   
8. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77


Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif.
   
   
9. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 80A


Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
10. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82


Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi administratif.
   
   
11. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107


Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dikenai sanksi administratif.
   
   
12. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 112


Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, dikenai sanksi administratif.
   
   
13. Di antara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 116A dan Pasal 116B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 116A


Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 116B


Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
14. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 135


Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti rugi senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
   
   
15. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 168


Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
   
   
16. Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 185A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185A


(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A, Pasal 28, Pasal 32A, Pasal 33A, Pasal 77, Pasal 80A, Pasal 82, Pasal 107, Pasal 112, Pasal 116A, Pasal 116B, Pasal 135, atau Pasal 168 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
17. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 188


Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
   
   
18. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 190


Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
   
   
19. Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 191


Jika tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33A mengakibatkan timbulnya kecelakaan kereta api dan/atau kerugian bagi harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
   
   
20. Ketentuan Pasal 195 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 195


Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
   
   
21. Ketentuan Pasal 196 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 196


(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan prasarana perkeretaapian dengan petugas yang tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, pelaku penyelenggara dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, pelaku penyelenggara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
   
   
22. Ketentuan Pasal 203 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 203


(1) Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) yang mengakibatkan kecelakaan kereta api dan/atau kerugian bagi harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, Awak Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, Awak Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
   
   
23. Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 204


(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
   
   
24. Ketentuan Pasal 210 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 210


(1) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193 mengakibatkan luka berat bagi orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(3) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193 dilakukan oleh Badan Usaha Penyelenggara yang mengakibatkan luka berat bagi orang, pelaku dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193, dilakukan oleh Badan Usaha Penyelenggara yang mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).


Pasal 57


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pengaturan;
  2. pengendalian; dan
  3. pengawasan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu, baik intramoda maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.
(2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).
(3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek.
(4) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.
   
   
3. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh Badan Usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
4. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A


(1) Sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia, Kapal Asing dapat melakukan kegiatan khusus di wilayah perairan Indonesia yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan khusus yang dilakukan oleh kapal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
   
   
6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


(1) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan laut diberikan oleh:
  1. bupati/wali kota yang bersangkutan bagi Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
  2. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau
  3. Pemerintah Pusat bagi Badan Usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional.
(2) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan laut pelayaran-rakyat diberikan oleh:
  1. bupati/wali kota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau
  2. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional.
(3) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Usaha untuk angkutan sungai dan danau diberikan oleh:
  1. bupati/wali kota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha; atau
  2. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(4) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memenuhi Perizinan Berusaha untuk trayek yang diberikan oleh:
  1. bupati/wali kota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota;
  2. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau
  3. Pemerintah Pusat bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antar negara, 
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan penyeberangan diberikan oleh:
  1. bupati/wali kota sesuai dengan domisili Badan Usaha; atau
  2. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk Badan Usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(6) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib memenuhi Perizinan Berusaha untuk persetujuan pengoperasian kapal yang diberikan oleh:
  1. bupati/wali kota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
  2. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan
  3. Pemerintah Pusat bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarprovinsi dan/atau antarnegara, 
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Pasal 30 dihapus.
   
   
8. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31


(1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan.
(2) Usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. bongkar muat barang;
  2. jasa pengurusan transportasi;
  3. angkutan perairan pelabuhan;
  4. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut;
  5. tally mandiri;
  6. depo peti kemas;
  7. pengelolaan kapal (ship management);
  8. perantara jual beli dan/atau sewa kapal;
  9. keagenan Awak Kapal (ship manning agency);
  10. keagenan kapal; dan
  11. perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan.
(2) Ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
(3) Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
   
   
10. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
11. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51


(1) Angkutan multimoda dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan angkutan multimoda dari Pemerintah Pusat.
(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang.
   
   
13. Ketentuan Pasal 52 diubah sehinga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


(1) Pelaksanaan angkutan multimoda dilakukan berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh penyedia jasa angkutan multimoda.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dokumen elektronik.
   
   
14. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28 ayat (4) atau ayat (6), Pasal 33, Pasal 38 ayat (1), Pasal 41 ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 46, Pasal 47, atau Pasal 54 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90


(1) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dan jasa terkait dengan kepelabuhanan.
(2) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang.
(3) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
  1. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat;
  2. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
  3. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;
  4. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas;
  5. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;
  6. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro;
  7. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
  8. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau
  9. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal.
(4) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di pelabuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91


(1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal.
(3) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan.
(4) Dalam keadaan tertentu, terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya pada pelabuhan yang diusahakan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian.
(5) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau Badan Usaha.
   
   
17. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96


(1) Pembangunan pelabuhan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari:
  1. Pemerintah Pusat untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan
  2. gubernur atau bupati/wali kota untuk pelabuhan pengumpan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
18. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 97


(1) Pelabuhan laut hanya dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan operasional serta wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
(2) Perizinan Berusaha terkait pengoperasian pelabuhan laut diberikan oleh:
  1. Pemerintah Pusat untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan
  2. gubernur atau bupati/wali kota untuk pelabuhan pengumpan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
19. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98


(1) Pembangunan pelabuhan sungai dan danau wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan sungai dan danau yang dilakukan oleh instansi pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha untuk mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau diberikan oleh bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
20. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99


Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan pengusahaan di pelabuhan serta Perizinan Berusaha terkait pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Pasal 103 dihapus.
   
   
22. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104


(1) Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal:
  1. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok tersebut; atau
  2. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus.
(2) Pembangunan dan pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
23. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106


Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah Pusat atau dikembalikan seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan.
   
   
24. Pasal 107 dihapus.
   
   
25. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 111


(1) Kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan oleh pelabuhan utama.
(2) Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:
  1. pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;    
  2. kepentingan perdagangan internasional;    
  3. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional;
  4. posisi geografis yang terletak pada pelayaran lintasan internasional;    
  5. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;    
  6. fasilitas pelabuhan;    
  7. keamanan dan kedaulatan negara; dan    
  8. kepentingan nasional lainnya.  
(3) Terminal khusus tertentu dapat digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan luar negeri.
(4) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan:
  1. aspek administrasi;
  2. aspek ekonomi;
  3. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
  4. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
  5. fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan Karantina; dan
  6. jenis komoditas khusus.
(5) Pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
26. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 124


Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal yang sesuai dengan ketentuan standar internasional.
   
   
27. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 125


(1) Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta data kelengkapannya.
(2) Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan perombakan harus dilakukan sesuai dengan gambar rancang bangun dan data yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan perombakan kapal dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
28. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 126


(1) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. sertifikat keselamatan kapal penumpang;
  2. sertifikat keselamatan kapal barang; dan
  3. sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan.
   
   
29. Ketentuan Pasal 127 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 127


(1) Sertifikat kapal tidak berlaku apabila:
  1. masa berlaku sudah berakhir;
  2. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement);
  3. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal;
  4. kapal berubah nama;
  5. kapal berganti bendera;
  6. kapal tidak sesuai dengan data-data teknis dalam sertifikat keselamatan kapal;
  7. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi kapal, perubahan ukuran utama kapal, dan perubahan fungsi, atau jenis kapal;
  8. kapal tenggelam atau hilang; atau
  9. kapal ditutuh (scrapping).
(2) Sertifikat kapal dibatalkan apabila:
  1. keterangan dalam dokumen kapal yang digunakan untuk penerbitan sertifikat ternyata tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya;
  2. kapal sudah tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; atau
  3. sertifikat diperoleh secara tidak sah.
(3) Persyaratan sertifikat kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disesuaikan berdasarkan ketentuan standar internasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
30. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 129


(1) Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal.
(2) Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
(3) Pengakuan dan penunjukan badan klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada Pemerintah Pusat.
   
   
31. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 130


(1) Setiap kapal yang memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) wajib dipelihara sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
(2) Dalam keadaan tertentu Pemerintah Pusat dapat memberikan pembebasan sebagian persyaratan yang ditetapkan dengan tetap memperhatikan keselamatan kapal.
(3) Pemeliharaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu.
   
   
32. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 133


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pembangunan kapal serta pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
33. Penjelasan Pasal 154 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan.
   
   
34. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 155


(1) Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu sebagai berikut:
  1. pengukuran dalam negeri untuk kapal yang berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh empat) meter;
  2. pengukuran internasional untuk kapal yang berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih; dan
  3. pengukuran khusus untuk kapal yang akan melalui terusan tertentu.
(3) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh gross tonnage).
(4) Surat Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk.
   
   
35. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157


(1) Pemilik, operator kapal, atau Nakhoda melaporkan kepada Pemerintah Pusat dalam hal terjadi perombakan kapal yang menyebabkan perubahan data yang ada dalam Surat Ukur.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik.
   
   
36. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 158

    
(1) Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:
  1. kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh gross tonnage);
  2. kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
  3. kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(3) Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
(4) Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberi grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah didaftar.
(5) Kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran.
   
   
37. Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 159

(1) Pendaftaran kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemilik kapal bebas memilih salah satu tempat pendaftaran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendaftarkan kapalnya.
   
   
38. Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 163

(1) Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberi Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia oleh Pemerintah Pusat.
(2) Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
  1. Surat Laut untuk kapal berukuran GT 175 (seratus tujuh puluh lima gross tonnage) atau lebih;
  2. Pas Besar untuk kapal berukuran GT 7 (tujuh gross tonnage) sampai dengan ukuran kurang dari GT 175 (seratus tujuh puluh lima gross tonnage); atau
  3. Pas Kecil untuk kapal berukuran kurang dari GT 7 (tujuh gross tonnage).
(3) Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberi pas sungai dan danau.
   
   
39. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 168


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan dokumentasi pendaftaran kapal serta tata cara dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
40. Ketentuan Pasal 169 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 169

 

(1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal.
(2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
(3) Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Dokumen Penyesuaian Manajemen Keselamatan (Document of Compliance) untuk perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan (Safety Management Certificate) untuk kapal.
(4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
41. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 170


(1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal.
(2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
(3) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Sertifikat Keamanan Kapal Internasional (International Ship Security Certificate).
(4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah
   
   
42. Ketentuan Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 171


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), Pasal 97 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (3), Pasal 104 ayat (2), Pasal 106, Pasal 125 ayat (1), Pasal 130 ayat (1), Pasal 131 ayat (2), Pasal 132 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 135, Pasal 137 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 149 ayat (1), Pasal 152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 158 ayat (5), Pasal 160 ayat (1), Pasal 162 ayat (1), atau Pasal 165 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Pejabat pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
43. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 197


(1) Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
44. Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 204


(1) Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam.
(2) Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
45. Ketentuan Pasal 213 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 213


(1) Pemilik, Operator Kapal, atau Nakhoda wajib memberitahukan kedatangan kapalnya di pelabuhan kepada Syahbandar.
(2) Setiap kapal yang memasuki pelabuhan wajib menyerahkan surat, dokumen, dan warta Kapal kepada Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan dan/atau menyampaikan secara elektronik sebelum kapal tiba untuk dilakukan pemeriksaan.
(3) Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), surat, dokumen, dan warta kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Berlayar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kedatangan kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
46. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 225


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1), Pasal 204 ayat (2), Pasal 213 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 214, Pasal 215, atau Pasal 216 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
47. Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 243


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3), Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
48. Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 273


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
49. Ketentuan Pasal 288 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 288


Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa memenuhi Perizinan Berusaha untuk trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
50. Ketentuan Pasal 289 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 289


Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha terkait persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
51. Ketentuan Pasal 290 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 290


Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang menimbulkan korban manusia atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
52. Ketentuan Pasal 291 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 291


Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
   
   
53. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 292


Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
   
   
54. Ketentuan Pasal 293 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 293


Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) yang menimbulkan kecelakaan dan/atau korban manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
55. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 294


(1) Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang mengakibatkan timbulnya korban manusia atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan/atau kerugian harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
   
   
56. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 295


Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
   
   
57. Ketentuan Pasal 296 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 296


Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
   
   
58. Ketentuan Pasal 297 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 297


(1) Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di pelabuhan, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri tanpa memenuhi Perizinan Berusaha atau Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
   
   
59. Ketentuan Pasal 298 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 298


Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
   
   
60. Ketentuan Pasal 299 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 299


Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
61. Ketentuan Pasal 307 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 307


Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
62. Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 308


Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
63. Ketentuan Pasal 310 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 310


Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
64. Ketentuan Pasal 313 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 313


Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
   
   
65. Ketentuan Pasal 314 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 314


Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
   
   
66. Ketentuan Pasal 321 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 321


Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kecelakaan kapal dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
   
   
67. Ketentuan Pasal 322 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 322


Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau terjadinya kecelakaan kapal dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
   
   
68. Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 336


(1) Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana melakukan kekuasaan, dan menggunakan kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.
(3) Setiap pejabat yang karena melaksanakan tugas sesuai dengan jabatan dan kewenangannya menyebabkan kerugian harta benda dan/atau hilangnya nyawa seseorang di luar kekuasaannya, pejabat tersebut tidak dapat dikenai sanksi.



Pasal 58

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun.
(2) Rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
2. Pasal 14 dihapus.
   
   
3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi harus memiliki sertifikat tipe.
   
   
4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang dirancang dan diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat sertifikat validasi tipe.
(2) Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perjanjian antarnegara di bidang kelaikudaraan.
   
   
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
6. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat validasi tipe, dan sertifikat tipe diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang wajib memiliki sertifikat produksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Pasal 20 dihapus.
   
   
9. Pasal 21 dihapus.
   
   
10. Pasal 22 dihapus.
   
   
11. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


Pesawat udara yang telah didaftarkan dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diterbitkan sertifikat pendaftaran.
   
   
12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Pasal 31 dihapus.
   
   
14. Pasal 32 dihapus.
   
   
15. Pasal 33 dihapus.
   
   
16. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 terdiri atas:
  1. sertifikat kelaikudaraan standar pertama (initial airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara pertama kali dioperasikan oleh setiap orang; dan
  2. sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama dan akan dioperasikan secara terus menerus.
   
   
17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
18. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41


(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara untuk kegiatan angkutan udara wajib memiliki sertifikat.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. sertifikat operator pesawat udara (air operator certificate) yang diberikan kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga; atau
  2. sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate) yang diberikan kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara bukan niaga.
   
   
19. Pasal 42 dihapus.
   
   
20. Pasal 43 dihapus.
   
   
21. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46


(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara berkelanjutan.
(2) Dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang harus membuat program perawatan pesawat udara yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
23. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, serta baling-baling pesawat terbang dan komponennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat dilakukan oleh:

  1. perusahaan angkutan udara yang telah memiliki sertifikat operator pesawat udara;
  2. badan hukum organisasi perawatan pesawat udara yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara (approved maintenance organization); atau
  3. personel ahli perawatan pesawat udara yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft maintenance engineer license).
   
   
24. Pasal 48 dihapus.
   
   
25. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan.
   
   
26. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50


Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenai sanksi administratif.
   
   
27. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
28. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58


(1) Setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.
(2) Personel pesawat udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian pesawat udara wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
   
   
29. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui pengesahan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
30. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau sertifikat pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
31. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63


(1) Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat udara Indonesia.
(2) Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas pesawat udara asing dapat dioperasikan setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Pesawat udara sipil asing dapat dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara nasional untuk penerbangan ke dan dari luar negeri setelah adanya perjanjian antarnegara.
(4) Pesawat udara sipil asing yang akan dioperasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan kelaikudaraan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian pesawat udara sipil serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
32. Pasal 64 dihapus.
   
   
33. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66


Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
34. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67


(1) Setiap pesawat udara negara yang dibuat dan dioperasikan harus memenuhi standar rancang bangun, produksi, dan kelaikudaraan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pesawat udara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki tanda identitas.
   
   
35. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84


Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
36. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85


(1) Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha terkait angkutan udara niaga berjadwal.
(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional.
(4) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya.
   
   
37. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91


(1) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usahaangkutan udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang (flight approval).
(3) Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(4) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan udara niaga nasional.
(5) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya.
   
   
38. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93


(1) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat.
   
   
39. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94


(1) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal oleh perusahaan angkutan udara asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpang sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya.
(2) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal oleh perusahaan angkutan udara asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
40. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95


(1) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan persetujuan Pemerintah Pusat.
(2) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
41. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96


Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
42. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 97


(1) Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam:
  1. pelayanan dengan standar maksimum;
  2. pelayanan dengan standar menengah; atau
  3. pelayanan dengan standar minimum.
(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menyediakan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan.
   
   
43. Pasal 99 dihapus.
   
   
44. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
45. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109


Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
46. Pasal 110 dihapus.
   
   
47. Pasal 111 dihapus.
   
   
48. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 112


Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berlaku selama pemegang Perizinan Berusaha masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.
   
   
49. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 113


(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilarang dipindah tangankan kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.
(2) Pemegang Perizinan Berusaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.
   
   
50. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 114


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh Perizinan Berusaha terkait angkutan udara niaga diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
51. Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 118


(1) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga wajib:
  1. melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Perizinan Berusaha diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau kegiatannya;
  2. memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu;
  3. mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  4. menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara niaga yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi;
  5. melayani calon penumpang secara adil tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;
  6. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara, termasuk keterlambatan dan pembatalan penerbangan setiap jangka waktu tertentu kepada Pemerintah Pusat;
  7. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan perincian biaya, setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Pemerintah Pusat;
  8. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga, dan pemilikan pesawat udara kepada Pemerintah Pusat; dan
  9. memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.
(2) Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, badan usaha, dan lembaga tertentu wajib:
  1. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
  2. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;
  3. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan
  4. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili kantor pusat kegiatan kepada Pemerintah Pusat.
(3) Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh orang perseorangan wajib:
  1. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin diterbitkan;
  2. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain;
  3. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan
  4. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili pemegang izin kepada Pemerintah Pusat.
   
   
52. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 119

 
(1) Dalam hal Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, Perizinan Berusaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya.
(2) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf c dikenai sanksi administratif.
(3) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
53. Ketentuan Pasal 120 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 120


Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Perizinan Berusaha, persyaratan, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur, dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
54. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 130


Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta sanksi administratif, termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
55. Pasal 131 dihapus.
   
   
56. Pasal 132 dihapus.
   
   
57. Pasal 133 dihapus.
   
   
58. Ketentuan Pasal 137 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 137


Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
59. Ketentuan Pasal 138 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 138


(1) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pengelola pergudangan dan/atau badan usaha angkutan udara sebelum dimuat ke dalam pesawat udara.
(2) Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus dan/atau barang berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam pesawat udara.
(3) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
60. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 139


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
61. Ketentuan Pasal 205 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 205


(1) Daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo.
(2) Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar udara harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
62. Pasal 215 dihapus.
   
   
63 Ketentuan Pasal 218 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 218


Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan kriteria, jenis, besaran denda, serta tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
64. Ketentuan Pasal 219 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 219


(1) Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.
(2) Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
65. Ketentuan Pasal 221 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 221


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
66. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 222


(1) Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.
(2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Pemerintah Pusat.
   
   
67. Ketentuan Pasal 224 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 224


Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat.
   
   
68. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 225


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
69. Ketentuan Pasal 233 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 233


(1) Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) dapat diselenggarakan oleh:
  1. badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; atau
  2. unit penyelenggara bandar udara untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindah tangankan.
(3) Pelayanan jasa terkait bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (3) dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
(4) Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusahanya.
   
   
70. Ketentuan Pasal 237 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 237


Pemerintah Pusat mengembangkan usaha kebandarudaraan melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
   
   
71. Ketentuan Pasal 238 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 238


Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
72. Ketentuan Pasal 242 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 242


Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
73. Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 247


(1) Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana ketentuan pada bandar udara.
   
   
74. Ketentuan Pasal 249 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 249


Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara setelah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
75. Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 250


Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
   
   
76. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 252


Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
77. Ketentuan Pasal 253 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 253


Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter terdiri atas:
  1. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport);
  2. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport); dan
  3. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan (helideck).
   
   
78. Ketentuan Pasal 254 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 254


(1) Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan.
(2) Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanda pendaftaran (register) oleh Pemerintah Pusat.
   
   
79. Ketentuan Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 255


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian persetujuan pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
80. Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 275


(1) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada setiap unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan.
(3) Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
  1. unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara;
  2. unit pelayanan navigasi pendekatan; dan
  3. unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.
   
   
81. Ketentuan Pasal 277 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 277


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
82. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 292


(1) Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.
(2) Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasiandan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
   
   
83. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 294


Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat.
   
   
84. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 295


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
85. Ketentuan Pasal 317 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 317


Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, kriteria,  jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
86. Ketentuan Pasal 389 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 389


Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Pemerintah Pusat setelah memenuhi persyaratan.
   
   
87. Ketentuan Pasal 392 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 392


Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
88. Ketentuan Pasal 418 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 418


Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
   
   
89. Ketentuan Pasal 423 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 423


(1) Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
   
   
90. Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 428


(1) Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 yang mengakibatkan timbulnya korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).



Paragraf 11
Kesehatan, Obat, dan Makanan

 

Pasal 59

 

Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
  2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
  3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
  4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062); dan
  5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360).



Pasal 60

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) diubah sebagai berikut.

 

1. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Fasilitas pelayanan kesehatan menurut jenis pelayanannya terdiri atas:
  1. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
  2. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
  2. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
  3. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta.
(4) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
2. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pelayanan kesehatan dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60


(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106


(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berwenang mencabut Perizinan Berusaha dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh Perizinan Berusaha, yang terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dan alat kesehatan tersebut dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 111


(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, serta harus ditarik dari peredaran, dicabut Perizinan Berusaha, dan diamankan/disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 182 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 182


(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan dapat memberikan Perizinan Berusaha terhadap setiap penyelenggaraan upaya kesehatan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dapat mendelegasikan pengawasan kepada Pemerintah Daerah dan mengikutsertakan masyarakat.
   
   
7. Ketentuan Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 183


Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
   
   
8. Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 187


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dalam penyelenggaraan upaya di bidang kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 188


Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
   
   
10. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 197


Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).



Pasal 61


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, atau Pasal 16 dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara kegiatan;
  3. denda aministratif;
  4. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
  5. pencabutan perizinan berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Pemerintah menetapkan klasifikasi rumah sakit berdasarkan kemampuan pelayanan, fasilitas kesehatan, sarana penunjang, dan sumber daya manusia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
(2) Setiap penyelenggara Rumah Sakit yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan klasifikasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Pelaksanaan Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dicabut jika:
  1. habis masa berlakunya;
  2. tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar;
  3. terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  4. atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum.
   
   
6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
  1. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
  2. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
  3. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
  4. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
  5. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
  6. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
  7. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
  8. menyelenggarakan rekam medis;
  9. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia;
  10. melaksanakan sistem rujukan;
  11. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
  12. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien;
  13. menghormati dan melindungi hak pasien;
  14. melaksanakan etika Rumah Sakit;
  15. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
  16. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan, baik secara regional maupun nasional;
  17. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
  18. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit;
  19. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
  20. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
(2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi admisnistratif berupa:
  1. teguran;
  2. teguran tertulis;
  3. denda; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Rumah Sakit.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit, wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu lembaga independen, baik dari dalam maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.
(3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Sakit dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
  1. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat;
  2. peningkatan mutu pelayanan kesehatan;
  3. keselamatan pasien;
  4. pengembangan jangkauan pelayanan; dan
  5. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit.
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengangkat tenaga pengawas sesuai kompetensi dan keahliannya.
(4) Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis perumahsakitan.
(5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mengenakan sanksi administratif berupa:
  1. teguran;
  2. teguran tertulis;
  3. denda; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Rumah Sakit.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), serta kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62


Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).



Pasal 62

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) Psikotropika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Ekspor Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Impor Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh:
  1. Industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
  2. Lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
(3) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilarang mengedarkan psikotropika yang diimpornya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


(1) Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor, eksportir atau importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Permohonan untuk memperoleh surat persetujuan ekspor psikotropika dilampiri dengan surat persetujuan impor psikotropika yang telah mendapat persetujuan impor psikotropika dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengimpor psikotropika.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat persetujuan ekspor dan surat persetujuan impor diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


Pemerintah Pusat menyampaikan surat persetujuan impor terkait impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor psikotropika.
   
   
6. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


(1) Setiap pengangkutan ekspor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Setiap pengangkutan impor psikotropika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Psikotropika yang dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor.
   
   
8. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Eksportir psikotropika wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor.
(4) Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang memasuki wilayah Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengekspor.

 

 

Pasal 63

 

Beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Industri farmasi tertentu dapat memproduksi narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Pusat melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Perizinan Berusaha, pengendalian, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Industri farmasi atau perusahaan Pedagang Besar Farmasi milik negara dapat melaksanakan impor narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat memberi Perizinan Berusaha kepada perusahaan selain perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
(2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Pemerintah Pusat terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
(3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
   
   
4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


(1) Industri farmasi atau perusahaan Pedagang Besar Farmasi dapat melaksanakan ekspor narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  pemohon harus melampirkan surat persetujuan yang diterbitkan oleh negara pengimpor.
   
   
6. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Perizinan Berusaha terkait impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor dan Surat Persetujuan Impor narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut Ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
   
   
9. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36


(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39


(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Pasal 64

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
  2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
  3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
  4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
  5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
  6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan.
  7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan.
  8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat.
  9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah.
  10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi.
  11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
  12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa.
  13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga.
  14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
  15. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
  16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.
  17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
  18. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan.
  19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
  20. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan.
  21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
  22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.
  23. Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.
  24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.
  25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.
  26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak.
  27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama internasional.
  28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan.
  29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang.
  30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain.
  31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan.
  32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas.
  33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.
  34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik.
  35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak.
  36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan.
  37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
  38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang.
  40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  41. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
   
   
2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Sumber penyediaan Pangan diprioritaskan berasal dari:
  1. Produksi Pangan dalam negeri;
  2. Cadangan Pangan Nasional; dan/atau
  3. Impor.
(2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan non tarif.
   
   
3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Produksi Pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Pangan.
(2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.
   
   
4. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36


(1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional.
(3) Impor Pangan dan Impor Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.
   
   
5. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39


Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.
   
   
6. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.
(3) Pelaku Usaha Pangan termasuk Usaha Mikro dan Kecil wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan.
(5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan termasuk pentahapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72


(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), Pasal 71 ayat (1), dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. denda;
  2. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
  3. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
  4. ganti rugi; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74


(1) Pemerintah Pusat wajib memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
9. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77


(1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 81


(1) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Pasal 87 dihapus.
   
   
12. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88


(1) Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar.
(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib membina, mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha Pangan Segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal Keamanan Pangan dan Mutu Pangan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Penerapan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan Segar serta jenis dan/atau skala usaha.
   
   
13. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89A


(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 86 ayat (2), atau Pasal 89 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. denda;
  2. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
  3. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
  4. ganti rugi; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
14. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91


(1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh Usaha Mikro dan Kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 133


Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).
   
   
16. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 134


(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan, yang dapat menghambat penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang.
(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
   
   
17. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 135


(1) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana pada dimaksud ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang.
(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
   
   
18. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 139


(1) Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang.
(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
   
   
19. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 140


(1) Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang.
(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A.
   
   
20. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 141


(1) Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A ayat (2).
   
   
21. Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 142


(1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A ayat (2).



Paragraf 12
Pendidikan dan Kebudayaan

Pasal 65

 

(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Pasal 66

 

Untuk mempermudah pelaku usaha perfilman dalam melakukan kegiatan usaha, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5060) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk Perizinan Berusaha terkait pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuat film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pembuatan film diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

    
(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan berdasarkan persetujuan dari Pemerintah Pusat tanpa dipungut biaya.
(2) Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan penggunaan lokasi dan insan perfilman asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78


(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, atau Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administratif;
  3. penutupan sementara; dan/atau
  4. pembubaran atau pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Pasal 79 dihapus.



Paragraf 13
Kepariwisataan

Pasal 67


Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor kepariwisataan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Usaha pariwisata meliputi:
  1. daya tarik wisata;
  2. kawasan pariwisata;
  3. jasa transportasi wisata;
  4. jasa perjalanan wisata;
  5. jasa makanan dan minuman;
  6. penyediaan akomodasi;
  7. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
  8. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
  9. jasa informasi wisata;
  10. jasa konsultan pariwisata;
  11. jasa pramuwisata;
  12. wisata tirta; dan
  13. spa.
(2) Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha pariwisata wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Pasal 16 dihapus.
   
   
4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Setiap pengusaha pariwisata wajib:
  1. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
  2. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
  3. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
  4. memberikan kenyamanan, keramahan, pelindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;
  5. memberikan pelindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
  6. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
  7. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
  8. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
  9. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;
  10. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
  11. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
  12. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
  13. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan
  14. memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Pemerintah provinsi berwenang:
  1. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi;
  2. mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya;
  3. menerbitkan Perizinan Berusaha;
  4. menetapkan destinasi pariwisata provinsi;
  5. menetapkan daya tarik wisata provinsi;
  6. memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
  7. memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi; dan
  8. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
(2) Penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
6. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Pemerintah kabupaten/kota berwenang:
  1. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota;
  2. menetapkan destinasi pariwisata kabupaten/kota;
  3. menetapkan daya tarik wisata kabupaten/kota;
  4. menerbitkan Perizinan Berusaha;
  5. mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya;
  6. memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
  7. memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru;
  8. menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingkup kabupaten/kota;
  9. memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di wilayahnya;
  10. menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata; dan
  11. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
(2) Penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
7. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata memiliki standar usaha.
(2) Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Pasal 56 dihapus.
   
   
9. Pasal 64 dihapus.



Paragraf 14
Keagamaan

Pasal 68

 

Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor keagamaan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6388) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 19 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu.
  2. Ibadah Umrah adalah berkunjung ke Baitullah di luar musim haji dengan niat melaksanakan umrah yang dilanjutkan dengan melakukan tawaf, sai, dan tahalul.
  3. Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, serta pelaporan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah.
  4. Jemaah Haji adalah warga negara yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  5. Jemaah Haji Reguler adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Menteri.
  6. Jemaah Haji Khusus adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus.
  7. Jemaah Umrah adalah seseorang yang melaksanakan Ibadah Umrah.
  8. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umum.
  9. Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat PPIH adalah petugas yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan pembinaan, pelayanan dan pelindungan, serta pengendalian dan pengoordinasian pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di Arab Saudi.
  10. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus.
  11. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disingkat PIHK adalah badan hukum yang memiliki Perizinan Berusaha untuk melaksanakan Ibadah Haji khusus.
  12. Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disebut Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.
  13. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
  14. Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi.
  15. Dana Efisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji.
  16. Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut Bipih Khusus adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh Jemaah Haji yang akan menunaikan Ibadah Haji khusus.
  17. Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji.
  18. Setoran Jemaah adalah sejumlah uang yang diserahkan oleh Jemaah Haji melalui BPS Bipih.
  19. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki Perizinan Berusaha untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.
  20. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang selanjutnya disingkat KBIHU adalah kelompok yang menyelengarakan bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang telah memenuhi Perizinan Berusaha.
   
   
2. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis;
  3. penghentian sementara kegiatan;
  4. denda administratif;
  5. paksaan pemerintah; dan/atau
  6. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
   
   
4. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58


Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan:
  1. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam;
  2. terdaftar sebagai PPIU yang terakreditasi;
  3. memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan bank; dan
  4. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
   
   
5. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59


(1) Pelaksanaan Ibadah Haji khusus dilakukan oleh PIHK setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PIHK menjalankan kegiatan usaha Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dalam rangka penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 60 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63


(1) PIHK wajib:
  1. memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan Ibadah Haji khusus;
  2. memberikan bimbingan dan pembinaan Ibadah Haji khusus;
  3. memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan;
  4. memberangkatkan, melayani, dan memulangkan Jemaah Haji Khusus sesuai dengan perjanjian;
  5. memberangkatkan penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus;
  6. memfasilitasi pemindahan calon Jemaah Haji Khusus kepada PIHK lain atas permohonan jemaah; dan
  7. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri.
(2) PIHK yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administratif;
  3. pembekuan Perizinan Berusaha; atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83


(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap PIHK paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
(2) Hasil pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada DPR RI.
   
   
9. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85


(1) Pemerintah Pusat melaksanakan akreditasi PIHK.
(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PIHK.
(3) Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PIHK.
(4) Pemerintah Pusat memublikasikan hasil akreditasi PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi PIHK diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89


(1) Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam dan memenuhi persyaratan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90


(1) Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PPIU menjalankan kegiatan usaha penyelenggaraan Ibadah Umrah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91


(1) PPIU dapat membuka kantor cabang PPIU di luar domisili perusahaan.
(2) Pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.
   
   
14. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92


Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
15. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94

 
(1) PPIU wajib:
  1. menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang pembimbing ibadah setiap 45 (empat puluh lima) orang Jemaah Umrah;
  2. memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah;
  3. memiliki perjanjian kerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi;
  4. memberangkatkan dan memulangkan Jemaah Umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi;
  5. menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada Menteri secara tertulis sebelum keberangkatan;
  6. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
  7. membuat laporan kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) Hari setelah tiba kembali di tanah air;
  8. memberangkatkan Jemaah Umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan;
  9. mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi;
  10. mengikuti prinsip syariat; dan
  11.  membuka rekening penampungan yang digunakan untuk menampung dana jamaah untuk kegiatan umrah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekening penampungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95


(1) PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administratif;
  3. pembekuan Perizinan Berusaha; atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
17. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99


(1) Pemerintah Pusat mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah.
(2) Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah.
(3) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Pemerintah Pusat dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah Umrah.
   
   
18. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101


(1) Hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah digunakan sebagai dasar akreditasi dan pengenaan sanksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan evaluasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
19. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103


Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PPIU.
   
   
20. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104


(1) Pemerintah Pusat melakukan akreditasi PPIU.
(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PPIU.
(3) Akreditasi terhadap PPIU dilakukan setiap 5 (lima) tahun.
   
   
21. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106


Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Di antara Pasal 118 dan Pasal 119 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 118A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 118A


(1) PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa:
  1. penghentian sementara kegiatan;
  2. denda administratif;
  3. paksaan pemerintah;
  4. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
  5. pencabutan perizinan berusaha.
(3) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PIHK dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus serta kerugian immateril lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi  administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
23. Di antara Pasal 119 dan Pasal 120 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 119A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 119A


(1) PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa:
  1. penghentian sementara kegiatan;
  2. denda administratif;
  3. paksaan pemerintah;
  4. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
  5. pencabutan perizinan berusaha.
(3) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPIU dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Umroh serta kerugian immateril lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
24. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 125


Dalam hal PIHK yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Haji Khusus ke tanah air, PIHK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
   
   
25. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 126


Dalam hal PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Umroh ke tanah air, PPIU dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).



Paragraf 15
Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran

Pasal 69

 

Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065);
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); dan
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun     2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252).



Pasal 70

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


(1) Penyelenggaraan Pos dapat dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12


(1) Pemerintah Pusat mengembangkan usaha penyelenggara Pos melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
(2) Penyelenggara Pos asing yang telah memenuhi persyaratan dapat menyelenggarakan Pos di Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyelenggara Pos asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
3. Pasal 13 dihapus.
   
   
4. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (3), atau Pasal 15 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administratif; dan/atau
  3. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Pasal 71

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881) diubah:

 

1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

 
(1) Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Pusat dapat menetapkan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah penyelenggaraan telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.
   
   
3. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi khusus tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) Setiap alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dan dimasukkan untukdiperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi standar teknis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar teknis alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit oleh Pelaku Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit oleh selain Pelaku Usaha wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan sesuai dengan peruntukan dan tidak menimbulkan gangguan yang merugikan.
(4) Dalam hal penggunaan spektrum frekuensi radio tidak optimal dan/atau terdapat kepentingan umum yang lebih besar, Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan spektrum frekuensi radio.
(5) Pemerintah Pusat dapat menetapkan penggunaan bersama spektrum frekuensi radio.
(6) Pemegang Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penyelenggaraan telekomunikasi dapat melakukan:
  1. kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru; dan/atau
  2. pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio, dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(7) Kerja sama penggunaan dan/atau pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(8) Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penggunaan bersama spektrum frekuensi radio, kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, dan pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


(1) Pemegang Perizinan Berusaha dan persetujuan untuk penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi radio.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 34A dan Pasal 34B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34A


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta untuk menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif telekomunikasi untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya terjangkau.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 34B


(1) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur pasif yang dapat digunakan untuk keperluan telekomunikasi wajib membuka akses pemanfaatan infrastruktur pasif dimaksud kepadapenyelenggara telekomunikasi.
(2) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang telekomunikasi dan/atau penyiaran dapat membuka akses pemanfaatan infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi dan/atau penyelenggara penyiaran.
(3) Pemanfaatan infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak secara adil, wajar, dan non-diskriminatif.
(4) Pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (7), atau Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. penghentian sementara kegiatan;
  3. denda administratif; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
9. Pasal 46 dihapus.
   
   
10. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
   
   
11. Pasal 48 dihapus.



Pasal 72

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
(2) Warga negara asing dapat menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk bidang keuangan dan bidang teknik.
   
   
2. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

    
(1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.
(2) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau media informasi lainnya.
   
   
3. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33


(1) Penyelenggaraan penyiaran dapat diselenggarakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Lembaga penyiaran wajib membayar biaya Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur berdasarkan zona/daerah penyelenggaraan penyiaran yang ditetapkan dengan parameter tingkat ekonomi setiap zona/daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah dengan cakupan wilayah siaran penyelenggaraan penyiaran dapat meliputi seluruh Indonesia.
   
   
4. Pasal 34 dihapus.
   
   
5. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3), Pasal 36 ayat (4), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (3), Pasal 46 ayat (6), Pasal 46 ayat (7), Pasal 46 ayat (8), Pasal 46 ayat (9), Pasal 46 ayat (10), atau Pasal 46 ayat (11) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. Teguran tertulis;
  2. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
  3. Pembatasan durasi dan waktu siaran;
  4. Denda administratif;
  5. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
  6. Tidak diberi perpanjangan Perizinan Berusaha penyelenggaraan penyiaran; dan/atau
  7. Pencabutan Perizinan Berusaha penyelenggaraan penyiaran.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57


(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5), atau Pasal 36 ayat (6) yang dilakukan untuk penyiaran radio dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5), atau Pasal 36 ayat (6) yang dilakukan untuk penyiaran televisi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
   
   
7. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58


(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk penyiaran radio dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk penyiaran televisi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
   
   
8. Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 60A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60A


(1) Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
(2) Migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Paragraf 16
Pertahanan dan Keamanan

Pasal 73

 

Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Pertahanan dan Keamanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343); dan
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).

 

 

Pasal 74

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343), diubah sebagai berikut:

 

1.  Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a merupakan:
  1. badan usaha milik negara; dan/atau
  2. badan usaha milik swasta,
yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama.
   
   
2. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, KKIP mempunyai tugas dan wewenang:
  1. merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang Industri Pertahanan;
  2. menyusun dan membentuk rencana induk Industri Pertahanan yang berjangka menengah dan panjang;
  3. mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional Industri Pertahanan;
  4. mengoordinasikan kerja sama luar negeri dalam rangka memajukan dan mengembangkan Industri Pertahanan;
  5. melakukan sinkronisasi penetapan kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan antara Pengguna dan Industri Pertahanan;
  6. menetapkan standar Industri Pertahanan;
  7. merumuskan kebijakan pendanaan dan/atau pembiayaan Industri Pertahanan;
  8. merumuskan mekanisme penjualan dan pembelian Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan hasil Industri Pertahanan ke dan dari luar negeri; dan
  9. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Industri Pertahanan secara berkala.
(2) Rancangan rencana induk jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Kegiatan produksi merupakan pembuatan produk oleh Industri Pertahanan sesuai dengan perencanaan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).
(2) Kegiatan produksi Industri Pertahanan wajib mengutamakan penggunaan bahan mentah, bahan baku, dan komponen dalam negeri.
(3) Dalam kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan 2 (dua) fungsi produksi Industri Pertahanan.
(4) Industri Pertahanan dalam kegiatan produksi harus terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


(1) Kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
(2) Badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan sistem pengawasan yang diterapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
(3) Sistem pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi proses produksi sampai dengan penjualan produk, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
(4) Kepemilikan modal atas industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan baku dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
   
   
5. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55


Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan negara lain wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
6. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56


(1) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dilakukan dengan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Dalam rangka pertimbangan kepentingan strategis nasional, DPR dapat melarang atau memberikan pengecualian penjualan produk Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tertentu sesuai dengan politik luar negeri yang dijalankan Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemberian Perizinan Berusaha terkait pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66


Setiap Orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan bagi pertahanan dan keamanan.
   
   
8. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67


Setiap Orang dilarang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
9. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68


Setiap Orang dilarang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
10. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69


Setiap Orang dilarang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
   
   
11. Di antara Pasal 69 dan 70 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 69A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69A


(1) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dilakukan oleh instansi pemerintah, kegiatan tersebut wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(2) Perizinan Berusaha dan persetujuan dari Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 56 serta persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dan Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72


(1) Setiap Orang yang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
   
   
13. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73

    
(1) Setiap Orang yang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
   
   
14. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74


(1) Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara lain tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
   
   
15. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75


Setiap orang yang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada Pasal 69A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).



Pasal 75

 

Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 15

 

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
  1. menerima laporan dan/atau pengaduan;
  2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
  3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
  4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
  5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
  6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
  7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
  8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
  9. mencari keterangan dan barang bukti;
  10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
  11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
  12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan
  13. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
  1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
  2. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
  3. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
  4. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
  5. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
  6. memberikan Perizinan Berusaha dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan di bidang Perizinan Berusaha;
  7. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
  8. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
  9. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
  10. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; dan
  11. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kelima
Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu

Paragraf 1
Umum

Pasal 76

 

Untuk mempermudah masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam melakukan investasi pada sektor tertentu yaitu penanaman modal, perbankan, dan perbankan syariah, Undang-Undang Cipta Kerja ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); dan
  3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).



Paragraf 2
Penanaman Modal

 

Pasal 77

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2


Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku dan menjadi acuan utama bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
   
   
2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12


(1) Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. budi daya dan industri narkotika golongan I;
  2. segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino;
  3. penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES);
  4. pemanfaatan atau pengambilan koral dan pemanfaatan atau pengambilan karang dari alam yang digunakan untuk bahan bangunan/kapur/kalsium, akuarium, dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati (recent death coral) dari alam;
  5. industri pembuatan senjata kimia; dan
  6. industri bahan kimia industri dan industri bahan perusak lapisan ozon.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
   
   
3. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan bagi koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah dalam pelaksanaan penanaman modal berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
(2) Pelindungan dan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembinaan dan pengembangan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui:
  1. program kemitraan;
  2. pelatihan sumber daya manusia;
  3. peningkatan daya saing;
  4. pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar;
  5. akses pembiayaan; dan
  6. penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
(3) Pelindungan dan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
(4) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


(1) Pemerintah Pusat memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal.
(2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang:
  1. melakukan perluasan usaha; atau
  2. melakukan penanaman modal baru.
(3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memenuhi kriteria:
  1. menyerap banyak tenaga kerja;
  2. termasuk skala prioritas tinggi;
  3. termasuk pembangunan infrastruktur;
  4. melakukan alih teknologi;
  5. melakukan industri pionir;
  6. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;
  7. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
  8. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
  9. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi;
  10. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri; dan/atau
  11. termasuk pengembangan usaha pariwisata.
(4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
   
   
5. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.



Paragraf 3
Perbankan

 

Pasal 78

 

Ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 22

 

(1) Bank Umum dapat didirikan oleh:
  1. warga negara Indonesia;
  2. badan hukum Indonesia; atau
  3. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.



Paragraf 4
Perbankan Syariah

Pasal 79

 

Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 9

 

(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
  1. warga negara Indonesia;
  2. badan hukum Indonesia;
  3. pemerintah daerah; atau
  4. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
  1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;
  2. pemerintah daerah; atau
  3. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
(3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.



BAB IV
KETENAGAKERJAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 80

 

Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam mendukung ekosistem investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

 

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); dan
  4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141).



Bagian Kedua
Ketenagakerjaan

Pasal 81

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh:
  1. lembaga pelatihan kerja pemerintah;
  2. lembaga pelatihan kerja swasta; atau
  3. lembaga pelatihan kerja perusahaan.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
(4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
   
   
2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat penyertaan modal asing, Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
3. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas:
  1. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
  2. lembaga penempatan tenaga kerja swasta.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
4. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
  1. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
  3. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
(5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.
(6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Pasal 43 dihapus.
   
   
6. Pasal 44 dihapus.
   
   
7. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
  1. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing;
  2. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing; dan
  3. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu.
   
   
8. Pasal 46 dihapus.
   
   
9. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
10. Pasal 48 dihapus.
   
   
11. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49


Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
12. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56


(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
  1. jangka waktu; atau
  2. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
(3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
13. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
   
   
14. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
   
   
15. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
  1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
  3. pekerjaan yang bersifat musiman;
  4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
  5. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:
  1. pekerja/buruh meninggal dunia;
  2. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
  3. selesainya suatu pekerjaan tertentu;
  4. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
  5. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
   
   
17. Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61A


(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh.
(2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
18. Pasal 64 dihapus.
   
   
19. Pasal 65 dihapus.
   
   
20. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66


(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.
(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
21. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77


(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
  2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
22. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78


(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
  1. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
  2. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
23. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79


(1) Pengusaha wajib memberi:
  1. waktu istirahat; dan
  2. cuti.
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
  1. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
  2. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
24. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88


(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. upah minimum;    
  2. struktur dan skala upah;    
  3. upah kerja lembur;    
  4. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
  5. bentuk dan cara pembayaran upah;
  6. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan
  7. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
25. Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88A


(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.
(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah.

Pasal 88B


(1) Upah ditetapkan berdasarkan:
  1. satuan waktu; dan/atau
  2. satuan hasil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 88C


(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
(4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
(5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.
(6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 88D


(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.
(2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 88E


(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
   
   
26. Pasal 89 dihapus.
   
   
27. Pasal 90 dihapus.
   
   
28. Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 90A dan Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90A


Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.


Pasal 90B


(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.
(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
29. Pasal 91 dihapus.
   
   
30. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92


(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
31. Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 92A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92A


Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

   
   
32 Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94


Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
   
   
33 Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95


(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
   
   
34 Pasal 96 dihapus.
   
   
35 Pasal 97 dihapus.
   
   
36 Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98


(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan.
(2) Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar, dan akademisi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
37 Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151


(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
   
   
38 Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 151A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151A


Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:
  1. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
  2. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu;
  3. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau
  4. pekerja/buruh meninggal dunia.
   
   
39 Pasal 152 dihapus.
   
   
40 Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 153


(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:
  1. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  2. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  4. menikah;
  5. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  6. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
  7. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  8. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  9. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
  10. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
   
   
41. Pasal 154 dihapus.
   
   
42. Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 154A


(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara  terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur).
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. perusahaan pailit;
g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
  1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
  2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
  4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
  5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
  6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
  1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
  2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
  3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
o. pekerja/buruh meninggal dunia.
(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
43. Pasal 155 dihapus.
   
   
44. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156


(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
45. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157


(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja terdiri atas:
  1. upah pokok; dan
  2. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan upah sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
(4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum, upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.
   
   
46. Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 157A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157A


(1) Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.
   
   
47. Pasal 158 dihapus.
   
   
48. Pasal 159 dihapus.
   
   
49. Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 160


(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, pengusaha tidak wajib membayar upah, tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima persen) dari upah;
  2. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima persen) dari upah;
  3. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh lima persen) dari upah;
  4. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh persen) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
   
   
50. Pasal 161 dihapus.
   
   
51. Pasal 162 dihapus.
   
   
52. Pasal 163 dihapus.
   
   
53. Pasal 164 dihapus.
   
   
54. Pasal 165 dihapus.
   
   
55. Pasal 166 dihapus.
   
   
56. Pasal 167 dihapus.
   
   
57. Pasal 168 dihapus.
   
   
58. Pasal 169 dihapus.
   
   
59. Pasal 170 dihapus.
   
   
60. Pasal 171 dihapus.
   
   
61. Pasal 172 dihapus.
   
   
62. Pasal 184 dihapus.
   
   
63. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185


(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
   
   
64. Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 186


(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 93 ayat (2), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
   
   
65. Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 187


(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
   
   
66. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 188


(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
   
   
67. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 190


(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (2) undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
68. Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 191A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 191A


Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
  1. untuk pertama kali upah minimum yang berlaku, yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan.
  2. bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.



Bagian Ketiga
Jenis Program Jaminan Sosial

Pasal 82

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


Jenis program jaminan sosial meliputi:
  1. jaminan kesehatan;
  2. jaminan kecelakaan kerja;
  3. jaminan hari tua;
  4. jaminan pensiun;
  5. jaminan kematian; dan
  6. jaminan kehilangan pekerjaan.
   
   
2. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) Bagian yakni Bagian Ketujuh Jaminan Kehilangan Pekerjaan sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketujuh
Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Pasal 46A


(1) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan dan Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan kehilangan pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  

Pasal 46B


(1) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan.

Pasal 46C


(1) Peserta jaminan kehilangan pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar iuran.
(2) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Pemerintah Pusat.
 

Pasal 46D


(1) Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah.
(3) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
 

Pasal 46E


(1) Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan berasal dari:
  1. modal awal pemerintah;
  2. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau
  3. dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Keempat
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Pasal 83

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program:
  1. jaminan kecelakaan kerja;
  2. jaminan hari tua;
  3. jaminan pensiun;
  4. jaminan kematian; dan
  5. jaminan kehilangan pekerjaan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, program jaminan hari tua, dan program jaminan kehilangan pekerjaan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk program jaminan kehilangan pekerjaan ditetapkan paling sedikit Rp6.000.000.000.000,00 (enam triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.



Bagian Kelima
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

Pasal 84

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6141) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Calon Pekerja Migran Indonesia adalah setiap tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
  2. Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
  3. Keluarga Pekerja Migran Indonesia adalah suami, istri, anak, atau orang tua termasuk hubungan karena putusan dan/atau penetapan pengadilan, baik yang berada di Indonesia maupun yang tinggal bersama Pekerja Migran Indonesia di luar negeri.
  4. Pekerja Migran Indonesia Perseorangan adalah Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan.
  5. Pelindungan Pekerja Migran Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi, dan sosial.
  6. Pelindungan Sebelum Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk memberikan pelindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan.
  7. Pelindungan Selama Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk memberikan pelindungan selama Pekerja Migran Indonesia dan anggota keluarganya berada di luar negeri.
  8. Pelindungan Setelah Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk memberikan pelindungan sejak Pekerja Migran Indonesia dan anggota keluarganya tiba di debarkasi di Indonesia hingga kembali ke daerah asal, termasuk pelayanan lanjutan menjadi pekerja produktif.
  9. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia adalah badan usaha berbadan hukum perseroan terbatas yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan Pekerja Migran Indonesia.
  10. Mitra Usaha adalah instansi dan/atau badan usaha berbentuk badan hukum di negara tujuan penempatan yang bertanggung jawab menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pemberi kerja.
  11. Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, badan hukum swasta, dan/atau perseorangan di negara tujuan penempatan yang mempekerjakan Pekerja Migran Indonesia.
  12. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Mitra Usaha atau Pemberi Kerja yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak dalam rangka penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan.
  13. Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut Perjanjian Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Calon Pekerja Migran Indonesia yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak, dalam rangka penempatan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  14. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara Pekerja Migran Indonesia dan Pemberi Kerja yang memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban setiap pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan selama bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  15. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di suatu negara tujuan penempatan yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan.
  16. Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut SIP3MI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang akan menjadi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
  17. Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut SIP2MI adalah izin yang diberikan oleh kepala Badan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang digunakan untuk menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia.
  18. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk pelindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
  19. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
  20. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang menyelenggarakan program Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
  21. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  22. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  23. Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
  24. Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perwakilan Republik Indonesia adalah perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler Republik Indonesia yang secara resmi mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan di negara tujuan penempatan atau pada organisasi internasional.
  25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
  26. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan dalam pelayanan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara terpadu.
   
   
2. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51


(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib memiliki izin yang memenuhi Perizinan Berusaha dan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan dipindah tangankan kepada pihak lain.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
3. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat membentuk kantor cabang di luar wilayah domisili kantor pusatnya.
(2) Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia menjadi tanggung jawab kantor pusat Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
(3) Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah provinsi.
(4) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
   
   
4. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57


(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus menyerahkan pembaruan data paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Dalam hal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak menyerahkan pembaruan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia diizinkan untuk memperbarui izin paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja dengan membayar denda keterlambatan.
(3) Ketentuan mengenai denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
5. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89A


Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha.



BAB V
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA
MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 85

 

Untuk memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); dan
  3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).



Bagian Kedua
Koperasi

Pasal 86

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Koperasi Primer dibentuk paling sedikit oleh 9 (sembilan) orang.
(2) Koperasi Sekunder dibentuk oleh paling sedikit 3 (tiga) Koperasi.
   
   
2. Penjelasan Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


(1) Perangkat organisasi Koperasi terdiri atas:
  1. Rapat Anggota;
  2. Pengurus; dan
  3. Pengawas.
(2) Selain memiliki perangkat organisasi Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
(2) Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh anggota yang pelaksanaanya diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.
(3) Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara daring dan/atau luring.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.
   
   
5. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.
(2) Usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara tunggal usaha atau serba usaha.
(3) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi dalam rangka menarik masyarakat menjadi anggota Koperasi.
(4) Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Koperasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
6. Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44A


(1) Koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
(2) Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai dewan pengawas syariah.
(3) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang atau lebih yang memahami syariah dan diangkat oleh Rapat Anggota.
(4) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Pengurus serta mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan prinsip syariah.
(5) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya mendapatkan pembinaan atau pengembangan kapasitas oleh Pemerintah Pusat dan/atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Ketiga
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

 

Pasal 87

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12


(1) Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk:
  1. menyederhanakan tata cara dan jenis Perizinan Berusaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan
  2. membebaskan biaya Perizinan Berusaha bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya Perizinan Berusaha bagi Usaha Kecil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil;
(2) Badan Usaha Milik Negara menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.
(3) Usaha Besar nasional dan asing menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.
(4) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada Dunia Usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
   
   
4. Pasal 25 dihapus.
   
   
5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


Kemitraan dilaksanakan dengan pola:
  1. inti-plasma;
  2. subkontrak;
  3. waralaba;
  4. perdagangan umum;
  5. distribusi dan keagenan;
  6. rantai pasok; dan
  7. bentuk-bentuk kemitraan lain.
   
   
6. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama pemasaran, atau penyediaan lokasi usaha dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh Usaha Besar yang dilakukan secara terbuka.
(2) Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh Usaha Besar dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan.
(3) Pengaturan sistem pembayaran dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
   
   
7. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32A


Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola rantai pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, dapat dilakukan melalui kegiatan dari Usaha Mikro dan Kecil oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar paling sedikit meliputi:
  1. pengelolaan perpindahan produk yang dilakukan oleh perusahaan dengan penyedia bahan baku;
  2. pendistribusian produk dari perusahaan ke konsumen; dan/atau
  3. pengelolaan ketersediaan bahan baku, pasokan bahan baku serta proses fabrikasi.
   
   
8. Penjelasan Pasal 35 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.



Bagian Keempat
Basis Data Tunggal

Pasal 88

 

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem informasi dan pendataan UMK-M yang terintegrasi.
(2) Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai basis data tunggal UMK-M.
(3) Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan mengenai UMK-M.
(4) Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara tepat waktu, akurat, dan tepat guna serta dapat diakses oleh masyarakat.
(5) Pemerintah Pusat melakukan pembaharuan sistem informasi dan basis data tunggal paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(6) Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai basis data tunggal UMK-M diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Kelima
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil

Pasal 89

 

(1) Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster melalui sinergi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait.
(2) Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam:
  1. suatu rantai produk umum;
  2. ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa; atau
  3. penggunaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi secara terintegrasi.
(3) Saling melengkapi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan di lokasi klaster dengan tahap pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku, proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil melalui perdagangan elektronik/non elektronik.
(4) Penentuan lokasi Klaster Usaha Mikro dan Kecil disusun dalam program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pemetaan potensi, keunggulan daerah, dan strategi penentuan lokasi usaha.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendampingan sebagai upaya pengembangan Usaha Mikro dan Kecil untuk memberi dukungan manejemen, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana.
(6) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan dukungan sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan fasilitas yang meliputi:
  1. lahan lokasi klaster;
  2. aspek produksi;
  3. infrastruktur;
  4. rantai nilai;
  5. pendirian badan hukum;
  6. sertifikasi dan standardisasi;
  7. promosi;
  8. pemasaran;
  9. digitalisasi; dan
  10. penelitian dan pengembangan
(7) Pemerintah Pusat mengoordinasikan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster.
(8) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Keenam
Kemitraan

Pasal 90

 

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha.
(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan antara Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil.
(5) Pemerintah Pusat mengatur pemberian insentif kepada Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Ketujuh
Kemudahan Perizinan Berusaha

Pasal 91

 

(1) Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Kecil berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring atau luring dengan melampirkan:
  1. Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan
  2. Surat keterangan berusaha dari pemerintah setingkat rukun tetangga.
(3) Pendaftaran secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberi nomor induk berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
(4) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha.
(5) Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Perizinan Berusaha, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
(6) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan terhadap Perizinan Berusaha, pemenuhan standar, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
(7) Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki risiko menengah atau tinggi terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan serta lingkungan selain melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil wajib memiliki sertifikat sertifikasi standar dan/atau izin.
(8) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan fasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedelapan
Kemudahan Fasilitasi Pembiayaan dan Insentif Fiskal

Pasal 92

 

(1) Usaha Mikro dan Kecil diberi kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Usaha Mikro dan Kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberi insentif berupa tidak dikenai biaya atau diberi keringanan biaya.
(3) Usaha Mikro dan Kecil yang berorientasi ekspor dapat diberi insentif kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(4) Usaha Mikro dan Kecil tertentu dapat diberi insentif Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.



Pasal 93

 

Kegiatan Usaha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program.



Pasal 94

 

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempermudah dan menyederhanakan proses untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam hal pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Kesembilan
Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan
Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan Keuangan dan
Inkubasi

 

Pasal 95

 

(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
(2) Pengalokasian Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 96

 

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil.



Pasal 97

 

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 98

 

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaataan sistem/aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil.



Pasal 99

 

Penyelenggaraan inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, Dunia Usaha, dan/atau masyarakat.

 

 

Pasal 100

 

Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan untuk:

  1. menciptakan usaha baru;
  2. menguatkan dan mengembangkan kualitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
  3. mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Pasal 101

 

Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 meliputi:

  1. penciptaan dan penumbuhan usaha baru serta penguatan kapasitas pelaku usaha pemula yang berdaya saing tinggi;
  2. penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
  3. peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Pasal 102

 

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha melakukan pedampingan untuk meningkatkan kapasitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mampu mengakses:

  1. pembiayaan alternatif untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemula;
  2. pembiayaan dari dana kemitraan;
  3. bantuan hibah pemerintah;
  4. dana bergulir; dan
  5. tanggung jawab sosial perusahaan.



Bagian Kesepuluh
Partisipasi UMK dan Koperasi pada Infrastruktur Publik

Pasal 103

 

Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 53A sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 53A

 

(1) Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan Tempat Istirahat, Pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol, serta menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
(2) Pengusahaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan lahan pada Jalan Tol paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroperasi maupun untuk Jalan Tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi.
(3) Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan.
(4) Penanaman dan pemeliharaan tanaman di Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.



Pasal 104

 

(1) Dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha swasta wajib mengalokasikan penyediaan tempat promosi, tempat usaha, dan/atau pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik yang mencakup:
  1. terminal;
  2. bandar udara;
  3. pelabuhan;
  4. stasiun kereta api;
  5. tempat istirahat dan pelayanan jalan tol; dan
  6. infrastruktur publik lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Alokasi penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas tempat perbelanjaan dan/atau promosi yang strategis pada infrastruktur publik yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik pada ayat (1) dan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



BAB VI
KEMUDAHAN BERUSAHA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 105

 

Untuk mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922);
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953);
  4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
  5. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie);
  6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870);
  11. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);
  12. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); dan
  13. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3817).



Bagian Kedua
Keimigrasian

Pasal 106

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 angka 14, angka 18, angka 21, dan angka 30 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.
  2. Wilayah Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Indonesia serta zona tertentu yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
  3. Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.
  4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
  5. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Imigrasi.
  6. Direktorat Jenderal Imigrasi adalah unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang Keimigrasian.
  7. Pejabat Imigrasi adalah pegawai yang telah melalui pendidikan khusus Keimigrasian dan memiliki keahlian teknis Keimigrasian serta memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang ini.
  8. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian yang selanjutnya disebut dengan PPNS Keimigrasian adalah Pejabat Imigrasi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana Keimigrasian.
  9. Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia.
  10. Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian adalah sistem teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi guna mendukung operasional, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam melaksanakan Fungsi Keimigrasian.
  11. Kantor Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan Fungsi Keimigrasian di daerah kabupaten, kota, atau kecamatan.
  12. Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar Wilayah Indonesia.
  13. Dokumen Perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi internasional lainnya untuk melakukan perjalanan antarnegara yang memuat identitas pemegangnya.
  14. Dokumen Keimigrasian adalah Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dan Izin Tinggal yang dikeluarkan oleh Pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri.
  15. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia adalah Paspor Republik Indonesia dan Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik Indonesia.
  16.  Paspor Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Paspor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada warga negara Indonesia untuk melakukan perjalanan antarnegara yang berlaku selama jangka waktu tertentu.
  17. Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Surat Perjalanan Laksana Paspor adalah dokumen pengganti paspor yang diberikan dalam keadaan tertentu yang berlaku selama jangka waktu tertentu.
  18. Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan tertulis, baik secara manual maupun elektronik yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk pemberian Izin Tinggal.
  19. Tanda Masuk adalah tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada Dokumen Perjalanan warga negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual maupun elektronik, yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan masuk Wilayah Indonesia.
  20. Tanda Keluar adalah tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada Dokumen Perjalanan warga negara Indonesia dan Orang Asing, baik manual maupun elektronik, yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan keluar Wilayah Indonesia.
  21. Izin Tinggal adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing oleh Pejabat Imigrasi atau pejabat dinas luar negeri baik secara manual maupun elektronik untuk berada di Wilayah Indonesia.
  22. Pernyataan Integrasi adalah pernyataan Orang Asing kepada Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu syarat memperoleh Izin Tinggal Tetap.
  23. Izin Tinggal Tetap adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing tertentu untuk bertempat tinggal dan menetap di Wilayah Indonesia sebagai penduduk Indonesia.
  24. Izin Masuk Kembali adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi kepada Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas dan Izin Tinggal Tetap untuk masuk kembali ke Wilayah Indonesia.
  25. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  26. Penjamin adalah orang atau Korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing selama berada di Wilayah Indonesia.
  27. Alat Angkut adalah kapal laut, pesawat udara, atau sarana transportasi lain yang lazim digunakan, baik untuk mengangkut orang maupun barang.
  28. Pencegahan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang.
  29. Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian.
  30. Intelijen Keimigrasian adalah kegiatan penyelidikan Keimigrasian dan pengamanan Keimigrasian dalam rangka penyajian informasi melalui analisis guna menetapkan perkiraan keadaan Keimigrasian yang dihadapi atau yang akan dihadapi.
  31. Tindakan Administratif Keimigrasian adalah sanksi administratif yang ditetapkan Pejabat Imigrasi terhadap Orang Asing di luar proses peradilan.
  32. Penyelundupan Manusia adalah perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak.
  33. Rumah Detensi Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan Fungsi Keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian.
  34. Ruang Detensi Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian yang berada di Direktorat Jenderal Imigrasi dan Kantor Imigrasi.
  35. Deteni adalah Orang Asing penghuni Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi yang telah mendapatkan keputusan pendetensian dari Pejabat Imigrasi.
  36. Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia.
  37. Penanggung Jawab Alat Angkut adalah pemilik, pengurus, agen, nakhoda, kapten kapal, kapten pilot, atau pengemudi alat angkut yang bersangkutan.
  38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut.
  39. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, dan Konsulat Republik Indonesia.
   
   
2. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


Visa kunjungan diberikan kepada Orang Asing yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, prainvestasi, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau singgah untuk meneruskan perjalanan ke negara lain.
   
   
3. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39


(1) Visa tinggal terbatas diberikan kepada Orang Asing:
  1. sebagai rohaniawan, tenaga ahli, pekerja, peneliti, pelajar, investor, rumah kedua, dan keluarganya, serta Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia, yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia untuk bertempat tinggal dalam jangka waktu yang terbatas; atau
  2. dalam rangka bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah perairan nusantara, laut teritorial, landas kontinen, dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Visa tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Pemberian Visa kunjungan dan Visa tinggal terbatas merupakan kewenangan Menteri.
(2) Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan ditandatangani oleh Pejabat Imigrasi.
(3) Dalam hal Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan di Perwakilan Republik Indonesia, pemberian Visa dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi di Perwakilan Republik Indonesia dan/atau pejabat dinas luar negeri.
(4) Pejabat dinas luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang memberikan Visa setelah memperoleh Keputusan Menteri.
   
   
5. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46


(1) Orang Asing pemegang Visa diplomatik atau Visa dinas dengan maksud bertempat tinggal di Wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda Masuk wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk untuk memperoleh Izin Tinggal diplomatik atau Izin Tinggal dinas.
(2) Orang Asing pemegang Visa tinggal terbatas setelah mendapat Tanda Masuk wajib mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Imigrasi untuk memperoleh Izin Tinggal terbatas.
(3) Jika Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak melaksanakan kewajiban tersebut, Orang Asing yang bersangkutan dianggap berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah.
(4) Dalam hal Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapatkan Izin Tinggal terbatas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, tidak perlu mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Imigrasi untuk memperoleh Izin Tinggal terbatas.
   
   
6. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada:
  1. Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas sebagai rohaniwan, pekerja, investor, dan rumah kedua;
  2. keluarga karena perkawinan campuran;
  3. suami, istri, dan/atau anak dari Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap; dan
  4. Orang Asing eks warga negara Indonesia dan eks subjek anak berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia.
(2) Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan kepada Orang Asing yang tidak memiliki paspor kebangsaan.
(3) Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap merupakan penduduk Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63


(1) Orang Asing tertentu yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki Penjamin yang menjamin keberadaannya.
(2) Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin selama tinggal di Wilayah Indonesia serta wajib melaporkan setiap perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat.
(3) Penjamin wajib membayar biaya yang timbul untuk memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia apabila Orang Asing yang bersangkutan:
  1. telah habis masa berlaku Izin Tinggalnya; dan/atau
  2. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi.
(4) Ketentuan mengenai penjaminan tidak berlaku bagi:
  1. Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia;
  2. Pelaku Usaha dengan kewarganegaraan asing yang menanamkan modal sebagai investasinya di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal; dan
  3. Warga dari suatu negara yang secara resiprokal memberikan pembebasan penjaminan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai pengganti penjamin selama berada di Wilayah Indonesia.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jaminan keimigrasian bagi Orang Asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
8. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71


(1) Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib:
  1. memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap perubahan status sipil, kewarganegaraan, pekerjaan, Penjamin, atau perubahan alamatnya kepada Kantor Imigrasi setempat; atau
  2. menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Ketiga
Paten

Pasal 107

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3


(1) Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
(2) Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.
(3) Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. produk sederhana;
  2. proses sederhana; atau
  3. metode sederhana.
   
   
2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


(1) Paten wajib dilaksanakan di Indonesia.
(2) Pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ialah sebagai berikut:
  1. pelaksanaan Paten-produk yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi Paten;
  2. pelaksanaan Paten-proses yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi Paten; atau
  3. pelaksanaan Paten-metode, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten.
   
   
3. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82


(1) Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan:
  1. Paten tidak dilaksanakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan paten;
  2. Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat; atau
  3. Paten hasil pengembangan dari Paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan Paten pihak lain yang masih dalam pelindungan.
(2) Permohonan Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya.
   
   
4. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 122


(1) Paten sederhana diberikan hanya untuk satu Invensi.
(2) Permohonan Pemeriksaan Substantif atas Paten sederhana dilakukan bersamaan dengan pengajuan Permohonan Paten sederhana dengan dikenai biaya.
(3) Apabila permohonan pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dilakukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau biaya pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dibayar, Permohonan Paten sederhana dianggap ditarik kembali.
   
   
5. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 123


(1) Pengumuman Permohonan Paten sederhana dilakukan paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten sederhana.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan Paten sederhana.
(3) Pemeriksaan substantif atas Permohonan Paten sederhana dilakukan setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(4) Dikecualikan terhadap ketentuan dalam Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4), bahwa keberatan terhadap Permohonan Paten sederhana langsung digunakan sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.
   
   
6. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 124


(1) Menteri wajib memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan Paten sederhana paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan Permohonan Paten sederhana.
(2) Paten sederhana yang diberikan oleh Menteri dicatat dan diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-elektronik.
(3) Menteri memberikan sertifikat Paten sederhana kepada Pemegang Paten sederhana sebagai bukti hak.



Bagian Keempat
Merek

Pasal 108

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


Merek tidak dapat didaftar jika:
  1. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundangan-undang, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
  2. sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
  3. memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
  4. memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
  5. tidak memiliki daya pembeda;
  6. merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum; dan/atau
  7. mengandung bentuk yang bersifat fungsional.
   
   
2. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23


(1) Pemeriksaan substantif merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa terhadap Permohonan pendaftaran Merek.
(2) Segala keberatan dan atau sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 menjadi pertimbangan dalam pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal tidak terdapat keberatan terhitung sejak tanggal berakhirnya pengumuman, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
(4) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(5) Dalam hal terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
(6) Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) Hari.
(7) Dalam hal diperlukan untuk melakukan pemeriksaan substantif, dapat ditetapkan tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa.
(8) Hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dianggap sama dengan hasil pemeriksaan  substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa dengan Persetujuan Menteri.
   
   
3. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Sertifikat Merek diterbitkan oleh Menteri sejak Merek tersebut terdaftar.
(2) Sertifikat Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
  1. nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar;
  2. nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan melalui Kuasa;
  3. Tanggal Penerimaan;
  4. nama negara dan Tanggal Penerimaan pemohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas;
  5. label Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam warna jika Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan jika Merek menggunakan bahasa asing, huruf selain huruf Latin, dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin;
  6. nomor dan tanggal pendaftaran;
  7. kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan
  8. jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek.



Bagian Kelima
Perseroan Terbatas

 

Pasal 109

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1



Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.
  2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.
  3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
  4. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
  5. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
  6. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
  7. Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
  8. Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
  9. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
  10. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
  11. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.
  12. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.
  13. Surat Tercatat adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan menyebutkan tanggal penerimaan.
  14. Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional.
  15. Hari adalah hari kalender.
  16. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
   
   
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan.
(4) Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan bukti pendaftaran.
(5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib:
  1. mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain; atau
  2. Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang:
  1. pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan
  2. atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
(7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
  1. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
  2. Badan Usaha Milik Daerah;
  3. Badan Usaha Milik Desa;
  4. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sesuai dengan Undang-Undang tentang Pasar Modal; atau
  5. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.
(8) Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.
   
   
3. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan.
(2) Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 153


Ketentuan mengenai biaya Perseroan sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
   
   
5. Di antara Pasal 153 dan Pasal 154 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 153A, Pasal 152B, Pasal 153C, Pasal 153D, Pasal 153E, Pasal 153F, Pasal 153G, Pasal 153H, Pasal 153I, dan Pasal 153J sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 153A


(1) Perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.
(2) Pendirian Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153B


(1) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2) memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian
Perseroan.
(2) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153C


(1) Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ditetapkan oleh RUPS dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format isian perubahan pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153D


(1) Direksi Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A menjalankan pengurusan Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil bagi kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/atau pernyataan pendirian Perseroan.
 

Pasal 153E


(1) Pemegang saham Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A merupakan orang perseorangan.
(2) Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan Terbatas untuk Usaha Mikro dan Kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 153F


(1) Direksi Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan Tata Kelola Perseroan yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat laporan keuangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153G


(1) Pembubaran Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh RUPS yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Pembubaran Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena:
  1. berdasarkan keputusan RUPS;
  2. jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir;
  3. berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
  6. dicabutnya Perizinan Berusaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 153H


(1) Dalam hal Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sudah tidak memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A, Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil menjadi Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 153I


(1) Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil diberikan keringanan biaya terkait pendirian badan hukum.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan biaya Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 153J


(1) Pemegang saham Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
  1. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
  2. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
  3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
  4. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.



Bagian Keenam
Undang-Undang Gangguan

Pasal 110

 

Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Bagian Ketujuh
Perpajakan

Pasal 111

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893)

diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

 

Yang menjadi subjek pajak adalah:
(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi; dan
  2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
(2)  Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang:
  1. bertempat tinggal di Indonesia;
  2. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
  3. dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
  1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
  4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
c. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
  1. tempat tinggal;
  2. pusat kegiatan utama;
  3. tempat menjalankan kebiasan;
  4. status subjek pajak; dan/atau
  5. persyaratan tertentu lainnya yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; dan
d. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, dan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:
  1. tempat kedudukan manajemen;
  2. cabang perusahaan;
  3. kantor perwakilan;
  4. gedung kantor;
  5. pabrik;
  6. bengkel;
  7. gudang;
  8. ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
  12. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  13. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  14. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  16. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
   
   
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
  1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
  2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
  3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
  5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
(1a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan:
  1. memiliki keahlian tertentu; dan
  2. berlaku selama 4 (empat) tahun pajak yang dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.
(1b) Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh warga negara asing sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar Indonesia.
(1c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak berlaku terhadap warga negara asing yang memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tempat warga negara asing memperoleh penghasilan dari luar Indonesia.
(1d) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan Pajak Penghasilan bagi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
  1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. penghasilan berupa hadiah undian;
  3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
  4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
  5. penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a.
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;
f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut:
1 dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau
b) badan dalam negeri;
2 dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut:
a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak; atau
b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang ini;
3 dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2 merupakan:
a) dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek; atau
b) dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham;
4 dalam hal dividen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b) dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2 diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a) berlaku ketentuan:
a) atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan;
b) atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dikenai Pajak Penghasilan; dan
c) atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a) serta atas selisih sebagaimana dimaksud pada huruf b), tidak dikenai Pajak Penghasilan;
5. dalam hal dividen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 2, diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a) berlaku ketentuan:
a) atas dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan; dan
b) atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen dan/atau penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a), tidak dikenai Pajak Penghasilan;
6. dalam hal dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang ini, dividen dimaksud tidak dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 2;
7. pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal penghasilan tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi persyaratan berikut:
a) penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri; dan
b) bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri;
8. pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 7, berlaku ketentuan:
a) tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang;
b) tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan; dan/atau
c) tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
9. dalam hal Wajib Pajak tidak menginvestasikan penghasilan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 7, berlaku ketentuan:
a) penghasilan dari luar negeri tersebut merupakan penghasilan pada tahun pajak diperoleh; dan
b) Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut merupakan kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang ini;
10. ketentuan lebih lanjut mengenai:
a) kriteria, tata cara dan jangka waktu tertentu untuk investasi sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 7;
b) tata cara pengecualian pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 7; dan
c) perubahan batasan dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5,
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang  telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
o. dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
p. sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

 

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
  1. dividen;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
(1b) Tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
  1. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
  2. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.



Pasal 112

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1A


(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
  1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
  3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
  5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
  6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antarcabang;
  7. dihapus; dan
  8. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
  3. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
  4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
  5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
   
   
2. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A


(1) Dihapus.
(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;
  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.
(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
  1. jasa pelayanan kesehatan medis;
  2. jasa pelayanan sosial;
  3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
  4. jasa keuangan;
  5. jasa asuransi;
  6. jasa keagamaan;
  7. jasa pendidikan;
  8. jasa kesenian dan hiburan;
  9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
  10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
  11. jasa tenaga kerja;
  12. jasa perhotelan;
  13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  14. jasa penyediaan tempat parkir;
  15. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
  16. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  17. jasa boga atau katering.
   
   
3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) Dihapus.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
  1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
  3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
  4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
  5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
  6. Dihapus.
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
(6b) Dihapus.
(6c) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun.
(6d) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.
(6e) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):
a. wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak:
  1. telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
  2. telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak; dan/atau
b. tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud.
(6f) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:
  1. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
  2. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
  3. akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d).
(6g) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajiban pembayaran kembali sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6f), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a oleh Pengusaha Kena Pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a) dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
  1. dihapus;
  2. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
  4. dihapus;
  5. dihapus;
  6. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  7. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
  8. dihapus;
  9. dihapus; dan
  10. dihapus.
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran padaMasa Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(9a) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.
(9b) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(9c) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Dihapus.
(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
  1. kriteria belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2a);
  2. penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c);
  3. penentuan sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c);
  4. tata cara pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a; dan
  5. tata cara pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (9a), ayat (9b), dan ayat (9c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
   
   
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
  2. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
  3. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
  4. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
  1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
  2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi:
  1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
  2. nama dan alamat, dalam hal pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(5a) Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.



Pasal 113

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu sebagai berikut:
  1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  2. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(3a) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
  1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
  2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
  3. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
  4. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan pemeriksaan tetap dilanjutkan.
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak:
  1. batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan; atau
  2. jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Masa dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
(6) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2c) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3a) Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(1a) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan dan diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
(4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   
   
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
  4. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
  5. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a); atau
  6. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2a) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
(3) Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
  1. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
  2. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
  3. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(3a) Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, hanya diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya.
(4) Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud.
(5) Dihapus.
(6) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   
   
5. Pasal 13A dihapus.
   
   
6.  Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
f. dihapus;
g. dihapus; atau
h. terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, dalam hal:
  1. diterbitkan keputusan;
  2. diterima putusan; atau
  3. ditemukan data atau informasi
yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak.
(2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
(5) Dihapus.
(5a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.   
(5b) Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
(5c) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (5b):
  1. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
  2. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya banding; dan
  3. Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum.
(6) Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   
   
7. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkanpenambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(4) Dihapus.
(5) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   
   
8. Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga Pasal 17B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17B


(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberi imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(4) Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a):
  1. tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
  2. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  3. dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diberi dalam hal pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan:
  1. tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3); atau
  2. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan karena dilakukan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B.
(6) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(7) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
   
   
9. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak dikenai bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
   
   
10. Pasal 27A dihapus.
   
   
11. Di antara Pasal 27A dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27B sehingga berbunyi sebagai     berikut:

Pasal 27B


(1) Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
(3) Wajib Pajak diberi imbalan bunga dalam hal permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan:
  1. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan
  2. diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
(6) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(7) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung:
  1. sejak tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan, atau pembatalan surat ketetapan pajak;
  2. sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan, atau pembatalan surat ketetapan pajak; atau
  3. sejak tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan, atau pembatalan Surat Tagihan Pajak.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   
   
12. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


Setiap orang yang karena kealpaannya:
  1. idak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
   
   
13. Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga Pasal 44B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44B


(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.



Pasal 114

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 141


Jenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
  1. Retribusi Perizinan Berusaha terkait persetujuan bangunan gedung yang selanjutnya disebut Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung;
  2. Retribusi Perizinan Berusaha terkait tempat penjualan minuman beralkohol yang selanjutnya disebut Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
  3. Retribusi Perizinan Berusaha terkait trayek yang selanjutnya disebut Retribusi Izin Trayek; dan
  4. Retribusi Perizinan Berusaha terkait perikanan yang selanjutnya disebut Retribusi Izin Usaha Perikanan.
   
   
2. Pasal 144 dihapus.
   
   
3. Di antara Bab VII dan Bab VIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIIA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB VIIA
KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN PAJAK DAN RETRIBUSI

   
   
4. Di antara Pasal 156 dan Pasal 157 disisipkan 2 (dua) pasal yaitu Pasal 156A dan Pasal 156B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156A


(1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan pelindungan dan pengaturan yang berkeadilan, Pemerintah sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional; dan
  2. pengawasan dan evaluasi terhadap Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
(3) Penetapan tarif Pajak yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup tarif atas jenis Pajak Provinsi dan jenis Pajak Kabupaten/Kota yang diatur dalam Pasal 2.
(4) Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 156B


(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan wajib pajak atau diberikan secara jabatan oleh kepala daerah berdasarkan pertimbangan yang rasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan kepala daerah dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
(5) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
   
   
5. Di antara Pasal 157 ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157


(1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
(2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
(3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
(4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
(5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
(5a) Dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri Keuangan melakukan evaluasi dari sisi kebijakan fiskal nasional.
(6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan.
(7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/wali kota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling  lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dengan tembusan kepada Menteri Keuangan.
(8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan dengan disertai alasan penolakan.
(9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan.
(10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/wali kota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
   
   
6.  Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 158


(1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan untuk dilakukan evaluasi.
(2) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan melakukan evaluasi Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah berlaku untuk menguji kesesuaian antara Peraturan Daerah dimaksud dan kepentingan umum serta antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kebijakan fiskal nasional.
(3) Dalam hal berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau kebijakan fiskal nasional, Menteri Keuangan merekomendasikan dilakukannya perubahan atas Peraturan Daerah dimaksud kepada Menteri Dalam Negeri.
(4) Penyampaian rekomendasi perubahan Peraturan Daerah oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Berdasarkan rekomendasi perubahan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri memerintahkan gubernur/bupati/wali kota untuk melakukan perubahan Peraturan Daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja.
(6) Jika dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja, gubernur/bupati/wali kota tidak melakukan perubahan atas Peraturan Daerah tersebut, Menteri Dalam Negeri menyampaikan rekomendasi pemberian sanksi kepada Menteri Keuangan.
   
   
7. Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 159


(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 158 ayat (5) oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil.
(2) Pemberian sanksi oleh Menteri Keuangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
8. Di antara Pasal 159 dan Pasal 160 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 159A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 159A


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara:
  1. evaluasi Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157;
  2. pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan aturan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158; dan
  3. pemberian sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedelapan
Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman

Pasal 115

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pelindungan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk membantu Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
  2. Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam untuk melaksanakan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik.
  3. Nelayan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan.
  4. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan.
  5. Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
  6. Nelayan Buruh adalah Nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha Penangkapan Ikan.
  7. Nelayan Pemilik adalah Nelayan yang memiliki kapal penangkap Ikan yang digunakan dalam usaha Penangkapan Ikan dan secara aktif melakukan Penangkapan Ikan.
  8. Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh Ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat dan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan kelestarian, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  9. Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan air payau, dan Ikan air laut.
  10. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
  11. Penggarap Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang menyediakan tenaganya dalam Pembudidayaan Ikan.
  12. Pemilik Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang memiliki hak atau izin atas lahan dan secara aktif melakukan kegiatan Pembudidayaan Ikan.
  13. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
  14. Petambak Garam adalah Setiap Orang yang melakukan kegiatan Usaha Pergaraman.
  15. Petambak Garam Kecil adalah Petambak Garam yang melakukan Usaha Pergaraman pada lahannya sendiri dengan luas lahan paling luas 5 (lima) hektare dan perebus Garam.
  16. Penggarap Tambak Garam adalah Petambak Garam yang menyediakan tenaganya dalam Usaha Pergaraman.
  17. Pemilik Tambak Garam adalah Petambak Garam yang memiliki hak atas lahan yang digunakan untuk produksi Garam dan secara aktif melakukan Usaha Pergaraman.
  18. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
  19. Garam adalah senyawa kimia yang komponen utamanya berupa natrium klorida dan dapat mengandung unsur lain, seperti magnesium, kalsium, besi, dan kalium dengan bahan tambahan atau tanpa bahan tambahan iodium.
  20. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya Ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi, dan pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis Perikanan.
  21. Pergaraman adalah semua hal yang berhubungan dengan praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran Garam.
  22. Usaha Perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis Perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran.
  23. Usaha Pergaraman adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis Pergaraman yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran.
  24. Komoditas Perikanan adalah hasil dari Usaha Perikanan yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan/atau dipertukarkan.
  25. Komoditas Pergaraman adalah hasil dari Usaha Pergaraman yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan/atau dipertukarkan.
  26. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  27. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan usaha prasarana dan/atau sarana produksi Perikanan, prasarana dan/atau sarana produksi Garam, pengolahan, dan pemasaran hasil Perikanan, serta produksi Garam yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia.
  28. Kelembagaan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk Nelayan, Pembudi Daya Ikan, atau Petambak Garam atau berdasarkan budaya dan kearifan lokal.
  29. Asuransi Perikanan adalah perjanjian antara Nelayan atau Pembudi Daya Ikan dan pihak  perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Penangkapan Ikan atau Pembudidayaan Ikan.
  30. Asuransi Pergaraman adalah perjanjian antara Petambak Garam dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Pergaraman.
  31. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh perusahaan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam kepada perusahaan pembiayaan dan bank.
  32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  33. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan Perikanan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37

    
(1) Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian impor Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38A


(1) Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa:
  1. penghentian sementara kegiatan;
  2. pembekuan Perizinan Berusaha;
  3. denda administratif;
  4.  paksaan pemerintah; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74


Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

 


Bagian Kesembilan
Wajib Daftar Perusahaan

Pasal 116


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Bagian Kesepuluh
Badan Usaha Milik Desa

Pasal 117


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
  4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
  5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
  6. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah Badan Hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
  7. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
  8. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
  9. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
  10. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
  11. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
  12. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
  13. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  14. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  16. Menteri adalah menteri yang menangani Desa.
   
   
2. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 87


(1) Desa dapat mendirikan BUM Desa.
(2) BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(3) BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk unit usaha berbadan hukum sesuai dengan kebutuhan dan tujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

   

Bagian Kesebelas
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pasal 118


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


(1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
(2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


(1) Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.
(2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
  1. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;
  2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
  3. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27;
  4. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
  5. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;
  6. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
  7. pengenaan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda.
   
   
5. Pasal 49 dihapus.

 

 

BAB VII
DUKUNGAN RISET DAN INOVASI

Pasal 119


Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang berusaha, Undang-Undang ini mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); dan
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6374).



Pasal 120


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah menjadi sebagai berikut:

1. Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB V
KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM, RISET, DAN INOVASI

   
   
2. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66


(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum serta riset dan inovasi nasional.
(2) Penugasan khusus kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan, kegiatan usaha BUMN, serta mempertimbangkan kemampuan BUMN.
(3) Rencana penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji bersama antara BUMN yang bersangkutan dengan Pemerintah Pusat.
(4) Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak fisibel, Pemerintah Pusat harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan.
(5) Penugasan kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS atau Menteri.
(6) BUMN dalam melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan:
  1. badan usaha milik swasta;
  2. badan usaha milik daerah;
  3. koperasi;
  4. BUMN;
  5. lembaga penelitian dan pengembangan;
  6. lembaga pengkajian dan penerapan; dan/atau
  7. perguruan tinggi.


Pasal 121


Ketentuan Pasal 48 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 6374) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


(1) Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional.
(2) Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi di daerah, Pemerintah Daerah membentuk badan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.


BAB VIII
PENGADAAN TANAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 122


Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan
  2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068).



Bagian Kedua
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum

Pasal 123


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280) diubah menjadi sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal rencana Pengadaan Tanah, terdapat Objek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, tanah ulayat/tanah adat, dan/atau tanah aset Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, penyelesaian status tanahnya harus dilakukan sampai dengan penetapan lokasi.
(3) Penyelesaian perubahan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
(4) Perubahan obyek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah Pusat dilakukan melalui mekanisme:
  1. pelepasan kawasan hutan dalam hal Pengadaan Tanah dilakukan oleh Instansi; atau
  2. pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan dalam hal Pengadaan Tanah dilakukan oleh swasta.
   
   
2. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:

  1. pertahanan dan keamanan nasional;
  2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
  3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
  4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
  5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
  6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/atau distribusi tenaga listrik;
  7. jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;
  8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
  9. rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  10. fasilitas keselamatan umum;
  11. permakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
  13. cagar alam dan cagar budaya;
  14. kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa;
  15. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus;
  16. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  17. prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  18. pasar umum dan lapangan parkir umum;
  19. kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  20. kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  21. kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  22. kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
  23. kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan
  24. kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

 

(1) Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dengan melibatkan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan/atauRencana Kerja Pemerintah/instansi yang bersangkutan.
   
   
4. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

 

(1) Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari:

  1. Pihak yang Berhak;
  2. Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah; dan
  3. Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah.
(2) Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan untuk Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.
(3) Pelibatan Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah atas lokasi rencana pembangunan.
(4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan.
(5) Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
(6) Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
(7) Pihak yang Berhak, Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah, dan Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah yang tidak menghadiri Konsultasi Publik setelah diundang 3 (tiga) kali secara patut dianggap menyetujui rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
5. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 19A, Pasal 19B, dan Pasal 19C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19A


(1) Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektare dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan Pihak yang Berhak.
(2) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kesesuaian tata ruang wilayah.



Pasal 19B


Dalam hal Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektare dilakukan langsung antara Pihak yang Berhak dan Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh bupati/wali kota.

Pasal 19C


Setelah penetapan lokasi Pengadaan Tanah dilakukan, tidak diperlukan lagi persyaratan:
  1. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
  2. pertimbangan teknis;
  3. di luar kawasan hutan dan di luar kawasan pertambangan;
  4. di luar kawasan gambut/sempadan pantai; dan
  5. analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
   
   
6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Permohonan perpanjangan waktu penetapan lokasi disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku penetapan lokasi berakhir.
   
   
7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28


(1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
  1. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
  2. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.
(2) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(3) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh penyurvei berlisensi.
   
   
8. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


(1) Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
(2) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan disertai dengan berita acara.
(3) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan mengikat.
(4) Besarnya nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian.
(5) Musyawarah penetapan bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai dengan para Pihak yang Berhak.
   
   
9. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36


(1) Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
  1. uang;
  2. tanah pengganti;
  3. pemukiman kembali;
  4. kepemilikan saham; atau
  5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
10. Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan.
   
   
11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42


(1) Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.
(2) Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau
b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
  1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
  2. masih dipersengketakan kepemilikannya;
  3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
  4. menjadi jaminan di Bank.
(3) Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) Hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
   
   
12. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46


(1) Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
  1. Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintahan;
  2. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
  3. Objek Pengadaan Tanah kas desa;
(2) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi.
(3) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(4) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah Kas Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(5) Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
(6) Nilai Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf yang diganti.



Bagian Ketiga
Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Pasal 124


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
  1. dilakukan kajian kelayakan strategis;
  2. disusun rencana alih fungsi lahan;
  3. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
  4. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.
(4) Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan.
(5) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan.
(6) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berkut:

Pasal 73


Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


Bagian Keempat
Pertanahan

Paragraf 1
Bank Tanah

Pasal 125


(1) Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah.
(2) Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah.
(3) Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
(4) Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.


Pasal 126


(1) Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk:
  1. kepentingan umum;
  2. kepentingan sosial;
  3. kepentingan pembangunan nasional;
  4. pemerataan ekonomi;
  5. konsolidasi lahan; dan
  6. reforma agraria.
(2) Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah.


Pasal 127


Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit.


Pasal 128


Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. Pendapatan sendiri;
  3. Penyertaan modal negara; dan
  4. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 129


(1) Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan.
(2) Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
(3) Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
(4) Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk:
  1. melakukan penyusunan rencana induk;
  2. membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha/persetujuan;
  3. melakukan pengadaan tanah; dan
  4. menentukan tarif pelayanan.
(5) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 130


Badan bank tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 terdiri atas:
  1. Komite;
  2. Dewan Pengawas; dan
  3. Badan Pelaksana.


Pasal 131


(1) Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf a diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait.
(2) Ketua dan anggota Komite ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan.


Pasal 132


(1) Dewan Pengawas berjumlah paling banyak 7 (tujuh) orang terdiri atas 4 (empat) orang unsur profesional dan 3 (tiga) orang yang dipilih oleh Pemerintah Pusat.
(2) Terhadap calon unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses seleksi oleh Pemerintah Pusat yang selanjutnya disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dipilih dan disetujui.
(3) Calon unsur profesional yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit berjumlah 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan.


Pasal 133


(1) Badan Pelaksana terdiri atas Kepala dan Deputi.
(2) Jumlah Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite.
(3) Kepala dan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Komite.
(4) Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh Dewan Pengawas.


Pasal 134


Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana diatur dalam Peraturan Presiden.


Pasal 135


Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Paragraf 2
Penguatan Hak Pengelolaan

Pasal 136


Hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.


Pasal 137


(1) Sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak pengelolaan kepada:
  1. instansi Pemerintah Pusat;   
  2. Pemerintah Daerah;   
  3. Badan bank tanah;   
  4. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;
  5. Badan hukum milik negara/daerah; atau   
  6. Badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(2) Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk:
  1. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang;
  2. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan
  3. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian.
(3) Pemberian hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah negara dengan keputusan pemberian hak di atas tanah negara.
(4) Hak pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat.


Pasal 138


(1) Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan tanah.
(2) Di atas tanah hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
(4) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi tanah hak pengelolaan.


Pasal 139


(1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan dan/atau mencabut hak pengelolaan sebagian atau seluruhnya.
(2) Tata cara pembatalan hak pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan.


Pasal 140


(1) Dalam hal bagian bidang tanah hak pengelolaan diberikan dengan hak milik, bagian bidang tanah hak pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya.
(2) Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan transmigrasi.


Pasal 141


Dalam rangka pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di atas hak pengelolaan, dalam waktu tertentu, dilakukan evaluasi pemanfaatan hak atas tanah.



Pasal 142


Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pengelolaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Paragraf 3
Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing

Pasal 143


Hak milik atas satuan rumah susun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.



Pasal 144


(1) Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:
  1. warga negara Indonesia;
  2. badan hukum Indonesia;
  3. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau
  5. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia.
(2) Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan.
(3) Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 145


(1) Rumah susun dapat dibangun di atas Tanah:
  1. hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara; atau
  2. hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.
(2) Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi.
(3) Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak apabila sudah mendapat sertifikat laik fungsi.


Paragraf 4
Pemberian Hak atas Tanah/Hak Pengelolaan
pada Ruang atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah

Pasal 146


(1) Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan.
(2) Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang di bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.


Pasal 147


Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan hak atas tanah dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik.



BAB IX
KAWASAN EKONOMI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 148


Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah Pelaku Usaha dalam melakukan investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775); dan
  3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054).


Pasal 149


Kawasan Ekonomi terdiri atas:
  1. Kawasan Ekonomi Khusus; dan
  2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.


Bagian Kedua

Kawasan Ekonomi Khusus


Pasal 150


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) diubah menjadi sebagai berikut:


1. Ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 5, angka 6, dan angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
  2. Zona adalah area di dalam KEK dengan batas tertentu yang pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya.
  3. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK.
  4. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat provinsi atau lebih dari satu provinsi, untuk membantu Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK.
  5. Administrator adalah unit kerja yang bertugas menyelenggarakan Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK.
  6. Badan Usaha adalah badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
  7. Pelaku Usaha adalah Pelaku Usaha yang menjalankan kegiatan usaha di KEK.
   
   
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3


(1) Kegiatan usaha di KEK terdiri atas:
  1. produksi dan pengolahan;
  2. logistik dan distribusi;
  3. pengembangan teknologi;
  4. pariwisata;
  5. pendidikan;
  6. kesehatan;
  7. energi; dan/atau
  8. ekonomi lain.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pelaksanaan kegiatan usaha kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h ditetapkan oleh Dewan Nasional.
(5) Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja.
(6) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan zonasi di KEK.
(7) Di dalam KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK.
   
   
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK memenuhi kriteria:
  1. sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung;
  2. mempunyai batas yang jelas; dan
  3. lahan yang diusulkan menjadi KEK paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan telah dikuasai sebagian atau seluruhnya.
   
   
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh:
  1. Badan Usaha; atau
  2. Pemerintah Daerah.
(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
  1. badan usaha milik negara;
  2. badan usaha milik daerah;
  3. koperasi;
  4. badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas; atau
  5. badan usaha patungan atau konsorsium.
(3) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
  1. Pemerintah Daerah provinsi; atau
  2. Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
   
   
5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan paling sedikit:
  1. peta lokasi pengembangan serta luas area yang diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk;
  2. rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi dengan pengaturan zonasi;
  3. rencana dan sumber pembiayaan;
  4. persetujuan Lingkungan;
  5. hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial;
  6. jangka waktu suatu KEK dan rencana strategis; dan
  7. penguasaan lahan yang dikuasai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan.
   
   
6. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mendukung KEK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8.
   
   
7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


Setelah KEK ditetapkan:
  1. Badan Usaha yang mengusulkan KEK ditetapkan sebagai pembangun dan pengelola KEK;
  2. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai pengusul menetapkan Badan Usaha untuk membangun dan mengelola KEK.
   
   
8. Pasal 11 dihapus.
   
   
9. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK dapat bersumber dari:
  1. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah;
  2. swasta;
  3. kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta; dan/atau
  4. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri dalam kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK.
   
   
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang mengoordinasikan urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Sekretariat Jenderal Dewan Nasional.
(3) Ketentuan mengenai Dewan Nasional dan Sekretariat Jenderal Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

   
Dewan Nasional bertugas:
  1. menetapkan strategi dan kebijakan umum pembentukan dan pengembangan KEK;
  2. membentuk Administrator;
  3. menetapkan standar pengelolaan di KEK;
  4. melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah untuk dijadikan KEK;
  5. memberikan rekomendasi pembentukan KEK;
  6. mengkaji dan merekomendasikan langkah pengembangan di wilayah yang potensinya belum berkembang;
  7. menyelesaikan permasalahan strategis dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan KEK; dan
  8. memantau dan mengevaluasi keberlangsungan KEK serta merekomendasikan langkah tindak lanjut hasil evaluasi kepada Presiden, termasuk mengusulkan pencabutan status KEK.
   
   
12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Dewan Kawasan dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan di tingkat provinsi yang sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK.
(2) Dalam hal suatu KEK wilayahnya mencakup lebih dari 1 (satu) provinsi dapat dibentuk 1 (satu) Dewan Kawasan dengan melibatkan provinsi yang bersangkutan.
(3) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diusulkan oleh Dewan Nasional kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertanggung jawab kepada Dewan Nasional.
(5) Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Kawasan, dibentuk Sekretariat Dewan Kawasan.
   
   
13. Pasal 20 dihapus.
   
   
14. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


Dewan Kawasan bertugas:
  1. melaksanakan strategi dan kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional dalam pembentukan dan pengembangan KEK;
  2. membantu Dewan Nasional dalam mengawasi pelaksanaan tugas Administrator;
  3. menetapkan langkah strategis penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di wilayah kerjanya;
  4. menyampaikan laporan pengelolaan KEK kepada Dewan Nasional setiap akhir tahun; dan
  5. menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat permasalahan strategis kepada Dewan Nasional.
   
   
15. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Dewan Kawasan dapat:
  1. meminta penjelasan Administrator mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK;
  2. meminta masukan dan/atau bantuan kepada instansi Pemerintah Pusat atau para ahli sesuai dengan kebutuhan; dan/atau
  3. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan kebutuhan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
16. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23


(1) Administrator bertugas menyelenggarakan:
  1. Perizinan Berusaha dan perizinan lainnya yang diperlukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha;
  2. pelayanan non perizinan yang diperlukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha; dan
  3. pengawasan dan pengendalian pengoperasionalan KEK.
(2) Tugas Administrator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Administrator menyampaikan laporan kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan.
   
   
17. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian pengoperasionalan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, Administrator berwenang untuk mendapatkan laporan atau penjelasan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha mengenai kegiatannya.
   
   
18. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24A


(1) Pelaksanaan tugas Administrator dilakukan sesuai dengan tata kelola pemerintahan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Administrator dapat dijabat oleh aparatur sipil negara atau nonaparatur sipil negara yang memiliki kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dipilih secara selektif sesuai dengan kriteria dan kualifikasi yang ditentukan oleh Dewan Nasional.

Pasal 24B


Ketentuan lebih lanjut mengenai Administrator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 24A diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 24C


(1) Administrator dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum.
(2) Penerapan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
19. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Dewan Nasional, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional, Dewan Kawasan, Sekretariat Dewan Kawasan, dan Administrator memperoleh pembiayaan yang bersumber dari:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
  3. sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
20. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26


(1) Badan Usaha yang melakukan pembangunan dan pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a bertugas:
  1. membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana di dalam KEK;
  2. menyelenggarakan pengelolaan pelayanan sarana dan prasarana kepada Pelaku Usaha; dan
  3. menyelenggarakan promosi.
(2) Penyelenggaraan promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan secara terpadu dengan promosi yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau Pemerintah Daerah terkait.
   
   
21. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


(1) Di dalam KEK berlaku ketentuan larangan impor dan ekspor yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Terhadap impor barang ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan.
(3) Bagi barang yang membahayakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan/atau lingkungan dapat dikenai pembatasan apabila barang dimaksud bukan merupakan bahan baku bagi kegiatan usaha dan institusi teknis terkait secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan di KEK.
(4) Pelaksanaan ketentuan mengenai impor dan ekspor dilakukan melalui sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional.
(5) Pemerintah Pusat mengembangkan sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional sebagaimana  dimaksud pada ayat (4).
   
   
22. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberi fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Selain fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan tambahan fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan jenis kegiatan usaha di KEK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
   
   
23. Pasal 31 dihapus.
   
   
24. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32


(1) Impor barang ke KEK diberi fasilitas berupa:
  1. pembebasan atau penangguhan bea masuk;
  2. pembebasan cukai sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong produksi;
  3. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk barang kena pajak; dan
  4. tidak dipungut Pajak Penghasilan impor.
(2) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Tempat Penimbunan Berikat ke KEK diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak di KEK diberi fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(4) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud, Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan Jasa Kena Pajak dari KEK ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kecuali ditujukan ke kawasan atau pihak yang mendapatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(5) Ketentuan mengenai kriteria dan perincian Barang Kena Pajak berwujud, Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
   
   
25. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32A


(1) Impor barang konsumsi ke KEK yang kegiatan utamanya bukan produksi dan pengolahan diberi fasilitas:
  1. bagi barang konsumsi yang bukan Barang Kena Cukai dengan jumlah dan jenis tertentu sesuai dengan bidang usahanya diberi fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor; dan
  2. bagi barang konsumsi yang berupa Barang Kena Cukai dikenakan cukai dan diberi fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor.
(2) Barang konsumsi asal impor yang dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean harus dilunasi bea masuk, dan/atau pajak dalam rangka impor.
   
   
26. Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33A


(1) Administrator dapat ditetapkan untuk melakukan kegiatan pelayanan kepabeanan mandiri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(2) Pengawasan dan pelayanan atas perpindahan barang di dalam KEK dilakukan secara manual dan/atau menggunakan teknologi informasi yang terhubung dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
   
   
27. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


(1) Wajib pajak yang melakukan usaha di KEK diberi insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.
(3) Selain insentif pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas dan kemudahan lain.
   
   
28. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36


(1) KEK diberi kemudahan, percepatan, dan prosedur khusus dalam memperoleh hak atas tanah, pemberian perpanjangan, dan/atau pembaharuannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Nasional.
   
   
29. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) KEK diberi kemudahan dan keringanan di bidang Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhan, dan keimigrasian bagi orang asing, serta diberi fasilitas keamanan.
(2) Ketentuan mengenai kemudahan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
   
   
30. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38A


Penetapan KEK yang menyelenggarakan kegiatan usaha yang terkait dengan perindustrian sekaligus sebagai penetapan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perindustrian.
   
   
31. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


(1) Selain pemberian fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 39, Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Pusat dapat memberikan fasilitas dan kemudahan lain.
(2) Ketentuan mengenai bentuk fasilitas dan kemudahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
32. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41


Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau komisaris diberikan sekali dan berlaku selama tenaga kerja asing yang bersangkutan menjadi direksi atau komisaris.
   
   
33. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43


(1) Dalam KEK dapat dibentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus oleh gubernur.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
34. Pasal 44 dihapus.
   
   
35. Pasal 45 dihapus.
   
   
36. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha.
   
   
37. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, sebagian atau seluruh Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yaitu Batam, Bintan, dan Karimun, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775), sebelum atau sesudah jangka waktu yang ditetapkan berakhir, dapat ditetapkan menjadi KEK.
(2) Penetapan sebagian atau seluruh Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun menjadi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan usulan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun.
(3) Dalam hal Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditetapkan menjadi KEK, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas berakhir sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
(4) Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang tidak ditetapkan menjadi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang lokasinya terpisah dari permukiman penduduk dapat diterapkan ketentuan lalu lintas barang dan/atau diberikan fasilitas dan kemudahan KEK.
(6) Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penerapan ketentuan lalu lintas barang dan/atau pemberian fasilitas dan kemudahan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

Paragraf 1
Umum

Pasal 151


(1) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri atas:
  1. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; dan
  2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
(2) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
  1. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam;
  2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan; dan
  3. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun.


Paragraf 2
Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas

Pasal 152


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775) diubah menjadi sebagai berikut:


1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di daerah yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Dewan Kawasan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan.
(2) Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan ditetapkan oleh Dewan Kawasan.
(3) Badan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Pengusahaan dan penetapan Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
3. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


(1) Untuk memperlancar kegiatan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan diberi wewenang mengeluarkan Perizinan Berusaha dan perizinan lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
(2) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
(4) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah.
(5) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.
(6) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai.
(7) Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberi pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah.
(8) Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan.


Paragraf 3
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang

Pasal 153


Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 9


(1) Barang-barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Sabang.
(2) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.
(3) Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukan barang ke Kawasan Sabang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
(4) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang melalui pelabuhan dan bandar Udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah.
(5) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.
(6) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai.
(7) Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah.
(8) Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.


BAB X
INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN
PROYEK STRATEGIS NASIONAL

Bagian Kesatu
Investasi Pemerintah Pusat

Paragraf 1
Umum

Pasal 154


(1) Investasi Pemerintah Pusat dilakukan dalam rangka meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja.
(2) Maksud dan tujuan investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya;
  2. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
  3. memperoleh keuntungan; dan/atau
  4. menyelenggarakan kemanfaatan umum, tetapi tidak terbatas pada penciptaan lapangan kerja.
(3) Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
  1. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai investasi Pemerintah Pusat; dan/atau
  2. lembaga yang diberikan kewenangan khusus (sui generis) dalam rangka pengelolaan investasi, yang selanjutnya disebut Lembaga.
(4) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang untuk:
  1. melakukan penempatan dana dalam bentuk instrumen keuangan;
  2. melakukan kegiatan pengelolaan aset;
  3. melakukan kerja sama dengan pihak lain termasuk entitas dana perwalian (trust fund);
  4. menentukan calon mitra investasi;
  5. memberikan dan menerima pinjaman; dan/atau
  6. menatausahakan aset yang dimilikinya.
 

Pasal 155


(1) Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf a, Menteri Keuangan dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum lainnya.
(2) Menteri Keuangan membentuk Rekening Investasi Bendahara Umum Negara untuk menampung dana investasi Pemerintah Pusat.
(3) Dana yang ditampung dalam Rekening Investasi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan kembali secara langsung untuk mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya.
(4) Tata kelola investasi Pemerintah Pusat oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sepanjang tidak diatur secara khusus berdasarkan Undang-Undang ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 156


(1) Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat membentuk Lembaga.
(2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.


Pasal 157

(1) Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b dapat bersumber dari aset negara, aset badan usaha milik negara, dan/atau sumber lain yang sah.
(2) Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindah tangankan menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab Lembaga.
(3) Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga, dengan persetujuan Lembaga dapat dipindahtangankan secara langsung kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga.
(4) Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara jual beli, dijadikan penyertaan modal, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Aset negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun.
(6) Aset badan usaha milik negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa, tidak sedang dilakukan sita pidana atau perdata, dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun kecuali disepakati oleh pemilik hak.
(7) Ketentuan mengenai pemindahtanganan aset badan usaha milik negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk Perusahaan Perseroan (Persero) atau ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk Perusahaan Umum (Perum).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 158


(1) Modal Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b berasal dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya.
(2) Setiap perubahan penyertaan modal negara pada Lembaga, baik berupa pengurangan maupun penambahan modal yang berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Lembaga dapat melaksanakan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas khusus yang berbentuk badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.
(4) Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga.
(5) Dalam hal Lembaga mengalami keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagian keuntungan ditetapkan sebagai laba bagian Pemerintah Pusat untuk disetorkan ke kas negara, setelah dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal.
(6) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang menjadi kekayaan Lembaga dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Pasal 159


(1) Untuk meningkatkan nilai aset, Lembaga dapat melakukan pengelolaan aset melalui kerja sama dengan pihak ketiga.
(2) Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga melalui:
  1. kuasa kelola;
  2. pembentukan perusahaan patungan; dan/atau
  3. bentuk kerja sama lainnya.
(3) Dalam hal kerja sama dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, aset Lembaga dapat dipindahtangankan untuk dijadikan penyertaan modal dalam perusahaan patungan.
(4) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Aset yang dijadikan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh berada dalam keadaan:
  1. sengketa;
  2. disita, baik sita pidana maupun sita perdata;
  3. terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun, kecuali disepakati oleh pemilik hak; dan/atau
  4. sedang dalam pengikatan sebagai jaminan utang, kecuali disepakati oleh kreditur.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan aset Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Pasal 160


(1) Aset Lembaga dapat berasal dari:
  1. penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1);
  2. hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga;
  3. pemindahtanganan aset negara atau aset badan usaha milik negara;
  4. hibah; dan/atau
  5. sumber lain yang sah.
(2) Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman.
(3) Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan aset Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman.
(4) Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh organ Lembaga berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan.


Pasal 161


Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan.



Pasal 162

 

(1) Organ dan pegawai Lembaga bukan merupakan penyelengara negara, kecuali yang berasal dari pejabat negara yang bersifat ex-officio.
(2) Lembaga menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga.
(3) Lembaga tidak dapat dipailitkan, kecuali dapat dibuktikan dalam kondisi insolven.


Pasal 163


Menteri Keuangan, pejabat Kementerian Keuangan, dan organ dan pegawai Lembaga, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian investasi jika dapat membuktikan:
  1. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola;
  3. tidak memiliki benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan investasi; dan
  4. tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah.


Pasal 164


(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2) Sepanjang diatur dalam Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, dan/atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi Lembaga.


Paragraf 2
Lembaga Pengelola Investasi

Pasal 165


(1) Dalam rangka pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk Lembaga Pengelola Investasi.
(2) Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.
(3) Organ Lembaga Pengelola Investasi terdiri atas:
  1. Dewan Pengawas; dan
  2. Dewan Direktur.


Pasal 166


(1) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf a terdiri atas:
  1. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara sebagai ketua merangkap anggota;
  2. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara sebagai anggota; dan
  3. 3 (tiga) orang yang berasal dari unsur profesional sebagai anggota.
(2) Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Untuk memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Presiden membentuk panitia seleksi.
(4) Panitia seleksi melakukan:
  1. pengumuman penerimaan dan pendaftaran calon;
  2. proses seleksi; dan
  3. penyampaian nama calon kepada Presiden.
(5) Penyampaian nama calon kepada Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak pembentukan panitia seleksi.
(6) Presiden menyampaikan nama calon untuk dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi.
(7) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyelenggarakan sesi konsultasi dengan Presiden paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari Presiden.
(8) Presiden menetapkan dan mengangkat anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) selesai dilaksanakan.
(9) Dalam hal sesi konsultasi tidak terlaksana sesuai jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Presiden menetapkan dan mengangkat anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(11) Sesama anggota Dewan Pengawas dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota Dewan Pengawas dan/atau dengan anggota Dewan Direktur.
(12) Anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(13) Dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional untuk pertama kali, Presiden menetapkan masa jabatan 3 (tiga) anggota Dewan Pengawas sebagai berikut:
  1. 1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun;
  2. 1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; dan
  3. 1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(14) Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Lembaga Pengelola Investasi oleh Dewan Direktur.
(15) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (14) Dewan Pengawas berwenang:
  1. menyetujui rencana kerja dan anggaran tahunan beserta indikator kinerja utama (key performance indicator) yang diusulkan Dewan Direktur;
  2. melakukan evaluasi pencapaian indikator kinerja utama (key performance indicator);
  3. menerima dan mengevaluasi laporan pertanggungjawaban dari Dewan Direktur;
  4. menyampaikan laporan pertanggungjawaban Dewan Pengawas dan Dewan Direktur kepada Presiden;
  5. menetapkan dan mengangkat anggota Dewan Penasihat;
  6. mengangkat dan memberhentikan Dewan Direktur;
  7. menetapkan remunerasi Dewan Pengawas dan Dewan Direktur;
  8. mengusulkan peningkatan dan/atau pengurangan modal Lembaga kepada Presiden;
  9. menyetujui laporan keuangan tahunan Lembaga;
  10. memberhentikan sementara satu atau lebih anggota Dewan Direktur dan menunjuk pengganti sementara untuk Dewan Direktur; dan
  11. menyetujui penunjukan auditor Lembaga.
(16) Untuk membantu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Dewan Pengawas dapat membentuk komite.


Pasal 167


(1) Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf b berjumlah 5 (lima) orang dari unsur profesional.
(2) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas.
(3) Sesama anggota Dewan Direktur dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota Dewan Direktur dan/atau dengan anggota Dewan Pengawas.
(4) Anggota Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(5) Dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Direktur untuk pertama kali, Dewan Pengawas menetapkan masa jabatan 5 (lima) anggota Dewan Direktur sebagai berikut:
  1. 2 (dua) anggota diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun;
  2. 2 (dua) anggota diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; dan
  3. 1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(6) Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menyelenggarakan pengurusan operasional Lembaga Pengelola Investasi.
(7) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Dewan Direktur berwenang:
  1. merumuskan dan menetapkan kebijakan lembaga;
  2. melaksanakan kebijakan dan pengurusan operasional lembaga;
  3. menyusun dan mengusulkan remunerasi Dewan Pengawas dan Dewan Direktur kepada Dewan Pengawas;
  4. menyusun dan mengusulkan rencana kerja dan anggaran tahunan beserta indikator kinerja utama (key performance indicator) kepada Dewan Pengawas;
  5. menyusun struktur organisasi lembaga dan menyelenggarakan manajemen kepegawaian termasuk pengangkatan, pemberhentian, sistem penggajian, remunerasi penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga Pengelola Investasi; dan
  6. mewakili Lembaga Pengelola Investasi di dalam dan di luar pengadilan.
(8) Dewan Direktur dapat mendelegasikan tugas dan/atau wewenang pelaksanaan operasional Lembaga Pengelola Investasi kepada pegawai Lembaga Pengelola Investasi dan/atau pihak lain yang khusus itunjuk untuk itu.
(9) Pembidangan setiap anggota Dewan Direktur ditetapkan oleh Dewan Direktur.


Pasal 168


Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dan anggota Dewan Direktur, calon anggota Dewan Pengawas dari unsur profesional dan calon anggota Dewan Direktur harus memenuhi persyaratan:

  1. warga negara Indonesia;
  2. mampu melakukan perbuatan hukum;
  3. sehat jasmani dan rohani;
  4. berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama;
  5. bukan pengurus dan/atau anggota partai politik;
  6. memiliki pengalaman dan/atau keahlian di bidang investasi, ekonomi, keuangan, perbankan, hukum, dan/atau organisasi perusahaan;
  7. tidak pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan;
  8. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit; dan
  9. tidak dinyatakan sebagai orang perseorangan yang tercela di bidang investasi dan bidang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pasal 169


(1) Dalam hal diperlukan, Lembaga Pengelola Investasi dapat membentuk Dewan Penasihat untuk memberikan saran dan bimbingan kepada Lembaga Pengelola Investasi dalam hal terkait investasi.
(2) Anggota Dewan Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas.


Pasal 170


(1) Modal awal Lembaga Pengelola Investasi dapat berupa:
  1. dana tunai;
  2. barang milik negara;
  3. piutang negara pada badan usaha milik negara atau perseroan terbatas; dan/atau
  4. saham milik negara pada badan usaha milik negara atau perseroan terbatas.
(2) Modal awal Lembaga Pengelola Investasi ditetapkan paling sedikit Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) berupa dana tunai.
(3) Dalam hal modal Lembaga Pengelola Investasi berkurang secara signifikan, Pemerintah dapat menambah kembali modal Lembaga Pengelola Investasi.
(4) Penyertaan modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 171


(1) Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk dengan Undang-Undang ini hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang.
(2) Pembinaan Lembaga Pengelola Investasi dilaksanakan oleh Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Investasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 172


(1) Lembaga Pengelola Investasi dapat melakukan transaksi baik langsung maupun tidak langsung dengan entitas yang dimilikinya.
(2) Perlakuan perpajakan atas transaksi yang melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau entitas yang dimilikinya, termasuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Kemudahan Proyek Strategis Nasional

Pasal 173


(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.
(2) Dalam hal pengadaan tanah belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh badan usaha.
(3) Pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal.
(4) Dalam hal pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan usaha, mekanisme pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan tanah dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.



BAB XI
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK
MENDUKUNG CIPTA KERJA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 174


Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden.



Bagian Kedua
Administrasi Pemerintahan

Pasal 175


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah menjadi sebagai berikut:


1. Di antara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 1 angka 20 disisipkan 1 (satu) angka baru, yakni angka 19a sehingga berbunyi:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
  2. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan.
  3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
  4. Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan yang lebih tinggi.
  5. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  6. Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
  7. Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  8. Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
  9. Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
  10. Bantuan Kedinasan adalah kerja sama antara Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna kelancaran pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi pemerintahan yang membutuhkan.
  11. Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media elektronik.
  12. Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengenai keabsahan suatu Salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang dinyatakan sesuai dengan aslinya.
  13. Sengketa Kewenangan adalah klaim penggunaan Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan. 
  14. Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
  15. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. 
  16. Upaya Administratif adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan.
  17. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  18. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
  19. Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19a. Standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang atau Lembaga yang diakui oleh Pemerintah Pusat sebagai wujud persetujuan atas pernyataan untuk pemenuhan seluruh persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  20. Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  21. Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  22. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
  23. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
  24. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
  25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
   
   
2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
  1. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
  2. sesuai dengan AUPB;
  3. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
  4. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
  5. dilakukan dengan iktikad baik.
   
   
3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis.
(2) Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan terhadap Keputusan yang diproses oleh sistem elektronik yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
(3) Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Keputusan dibuat dalam bentuk elektronis, tidak dibuat Keputusan dalam bentuk tertulis.
   
   
4. Bagian kelima diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kelima
Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi

Pasal 39


(1) Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila:
  1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
  2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus dan/atau memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Standar apabila:
  1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
  2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan telah yang terstandardisasi.
(4) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi apabila:
  1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan
  2. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah.
(5) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Konsesi apabila:
  1. persetujuan diterbitkan sebelum kegiatan dilaksanakan; 
  2. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta; dan
  3. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus.
(6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen standar.
(8) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.
   
   
5. Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39A


(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi.
(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan atau dilakukan oleh profesi yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang pengawasan.
(3) Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan mekanisme pembinaan dan pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi yang dapat dilakukan oleh profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
   
   
6. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.


Bagian Ketiga
Pemerintahan Daerah

Pasal 176


Beberapa ketentuan dalam Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) diubah sebagai berikut:


1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
  1. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
  2. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices).
(3) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbentuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aturan pelaksanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
(4) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
(5) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibantu oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.
(6) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
(7) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
   
   
2. Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 250


Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan.
   
   
3. Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 251


Agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang- undangan, dan putusan pengadilan, penyusunan Perda dan Perkada berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
   
   
4. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 252


(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dikenai sanksi.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada kepala Daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 (tiga) bulan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota masih menetapkan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang tidak mendapatkan nomer register, dikenakan sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan.
   
   
5. Ketentuan Pasal 260 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 260


(1) Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berlandaskan pada riset dan inovasi nasional yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.
(2) Rencana pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan, disinergikan, dan diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan pembangunan Daerah.
   
   
6. Di antara Pasal 292 dan Pasal 293 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 292A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 292A


(1) Dalam hal penyederhanaan perizinan dan pelaksanaan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini menyebabkan berkurangnya pendapatan asli daerah, Pemerintah Pusat memberikan dukungan insentif anggaran.
(2) Pemberian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
   
7. Ketentuan Pasal 300 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 300


(1) Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat.
(2) Kepala daerah dapat menerbitkan obligasi Daerah dan/atau sukuk Daerah untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi berupa kegiatan penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan Pemerintah Daerah setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri dan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
   
   
8. Ketentuan Pasal 349 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 349


(1) Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah dan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta kebijakan Pemerintah Pusat.
(2) Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
   
   
9. Ketentuan Pasal 350 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 350


(1) Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Dalam memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu.
(3) Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
(5) Kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
(6) Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(7) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat administratif.
(8) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor setelah berkoordinasi dengan Menteri.
(9) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah:
  1. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau
  2. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan bupati/wali kota.
(10) Pengambilalihan pemberian Perizinan Berusaha oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a dilakukan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
   
   
10. Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 402A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 402A


Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
   

BAB XII
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN

Pasal 177


(1) Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha.
(2) Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya.
(3) Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan.
(4) Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
  1. peringatan;
  2. penghentian sementara kegiatan berusaha;
  3. pengenaan denda administratif;
  4. pengenaan daya paksa polisional;
  5. pencabutan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan/atau
  6. pencabutan Perizinan Berusaha.
(6) Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 178


Setiap pemegang Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (5), pemegang Perizinan Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya.


Pasal 179


(1) Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pembinaan.
(2) Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 180


(1) Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan dicabut dan dikembalikan kepada negara.
(2) Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai aset Bank Tanah.
(3) Ketentuan lebih lanjut pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset Bank Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 181


(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, setiap peraturan perundang-undangan di bawah Undang- Undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
(2) Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 182


Dalam rangka pembentukan Peraturan Pemerintah, Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan:

  1. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi; dan/atau
  2. Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah dan alat kelengkapan DPD yang menangani bidang legislasi.


Pasal 183


Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada:

  1. Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan yang menangani bidang legislasi; dan/atau
  2. Dewan Perwakilan Daerah melalui alat kelengkapan yang menangani bidang legislasi paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.


BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 184


Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. Perizinan Berusaha atau izin sektor yang sudah terbit masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha;
  2. Perizinan Berusaha dan/atau izin sektor yang sudah terbit sebelum berlakunya Undang-Undang ini dapat berlaku sesuai dengan Undang-Undang ini; dan
  3. Perizinan Berusaha yang sedang dalam proses permohonan disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 185


Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan; dan
  2. Semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan wajib disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan.


Pasal 186


Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 November 2020
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
ttd.
 
JOKO WIDODO

 


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 November 2020
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 245





PENJELASAN


ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2020

TENTANG

CIPTA KERJA

 

I. UMUM

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas karena:
  1. jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja masih cukup tinggi yaitu sebesar 45,84 juta yang terdiri dari: 7,05 juta pengangguran, 8,14 juta setengah penganggur, 28,41 juta pekerja paruh waktu, dan 2,24 juta angkatan kerja baru (jumlah ini sebesar 34,3% dari total angkatan kerja, sementara penciptaan lapangan kerja masih berkisar sampai dengan 2,5 juta per tahunnya);
  2. jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49 juta orang (55,72% dari total penduduk yang bekerja) dan cenderung menurun, dengan penurunan terbanyak pada status berusaha dibantu buruh tidak tetap;
  3. dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja.

Pemerintah Pusat telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan oleh keluarga pekerja.

Terhadap hal tersebut Pemerintah Pusat perlu mengambil kebijakan strategis untuk menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi, mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini, terutama yang menyangkut:
a. Kondisi Global (Eksternal)
Berupa ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global dan dinamika geopolitik berbagai belahan dunia serta terjadinya perubahan teknologi, industri 4.0, ekonomi digital;
b. Kondisi Nasional (Internal)
Pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir dengan realisasi investasi lebih kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019;
c. Permasalahan Ekonomi dan Bisnis
Adanya tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi yang rendah, tingkat pengangguran, angkatan kerja baru, dan jumlah pekerja informal, jumlah UMK-M yang besar namun dengan produktivitas rendah.

Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kemudahan dalam berusaha, termasuk untuk Koperasi dan UMK-M. Saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.

Dengan kondisi yang ada pada saat ini, pendapatan perkapita baru sebesar Rp4,6 juta per bulan.
Dengan memperhitungkan potensi perekonomian dan sumber daya manusia ke depan, maka Indonesia akan dapat masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik bruto sebesar $7 triliun dolar Amerika Serikat dengan pendapatan perkapita sebesar Rp27 juta per bulan.

Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:
  1. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
  2. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
  3. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan Koperasi dan UMK-M; dan
  4. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi.

Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas/frekuensi pengawasan. Perizinan Berusaha dan pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha.
Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha (business process re-engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki izin, di samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan pengawasan.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat pengaturan mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian waktu kerja tertentu, perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih daya, perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum, perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit memuat pengaturan mengenai: kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan usaha koperasi, dan kriteria UMK-M, basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M, kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M.

Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan investasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan percepatan proyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi dan penyediaan lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional.
Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama.

Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:
    a.    peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
    b.    ketenagakerjaan;
    c.    kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;
    d.    kemudahan berusaha;
    e.    dukungan riset dan inovasi;
    f.    pengadaan tanah;
    g-    kawasan ekonomi;
    h.    investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
    i.    pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
    j.     pengenaan sanksi.
   
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "pemerataan hak" adalah bahwa penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "kepastian hukum" adalah bahwa penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan penciptaan iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "kemudahan berusaha" adalah bahwa penciptaan kerja yang didukung dengan proses berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat akan mendorong peningkatan investasi, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memperkuat perekonomian yang mampu membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "kebersamaan" adalah bahwa penciptaan kerja dengan mendorong peran seluruh dunia usaha dan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk koperasi secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk kesejahteraan rakyat.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "kemandirian" adalah bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk koperasi dilakukan dengan tetap mendorong, menjaga, dan mengedepankan potensi dirinya.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Pasal 3

Cukup jelas.


Pasal 4

Cukup jelas.


Pasal 5

Cukup jelas.


Pasal 6

Cukup jelas.


Pasal 7

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha Berbasis Risiko" adalah pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan.

Yang dimaksud dengan "tingkat risiko" adalah potensi terjadinya suatu bahaya terhadap kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam dan/atau bahaya lainnya yang masuk ke dalam kategori rendah, menengah, atau tinggi.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya" termasuk di dalamnya penggunaan frekuensi radio.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "aspek lainnya" termasuk aspek keamanan atau pertahanan sesuai dengan kegiatan usaha.


Ayat (5)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "risiko volatilitas" yaitu risiko yang memiliki kecenderungan untuk mudah berubah.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Ayat (1)


Huruf a


Contoh kegiatan usaha berisiko menengah rendah antara lain wisata agro dan jasa manajemen hotel.


Huruf b


Contoh kegiatan usaha berisiko menengah tinggi antara lain industri mesin pendingin dan industri konstruksi berat siap pasang dari baja untuk bangunan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Cukup jelas.


Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Cukup jelas.


Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 6


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 8


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Kerja sama penataan ruang antarnegara melibatkan negara lain sehingga terdapat aspek hubungan antarnegara yang merupakan wewenang Pemerintah. Yang termasuk kerja sama penataan ruang antarnegara adalah kerja sama penataan ruang di kawasan perbatasan negara. Pemberian wewenang kepada Pemerintah dalam memfasilitasi kerja sama penataan ruang antarprovinsi dimaksudkan agar kerja sama penataan ruang memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerja sama.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Huruf a


Penyebarluasan informasi dilakukan antara lain melalui media elektronik, media cetak, dan media komunikasi lain, sebagai bentuk perwujudan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan penataan ruang.


Huruf b


Standar pelayanan minimal merupakan hak dan kewajiban penerima dan pemberi layanan yang disusun sebagai alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata.

Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang disusun oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menjamin mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 9


Ayat (1)


Penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah Pusat mencakup antara lain pengaturan, pembinaan, pengawasan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan yang dapat dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui komite atau forum.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 10


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 11


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 14


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran rencana umum tata ruang yang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah.

Rencana rinci tata ruang merupakan operasionalisasi rencana umum tata ruang yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat disempurnakan dengan tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana rinci dan peraturan zonasi.


Ayat (2)


Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang dibagi sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan.


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Secara administrasi pemerintahan, rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota memiliki kedudukan yang setara.

 

Ayat (3)


Huruf a


Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.


Huruf b


RDTR kabupaten/kota merupakan rencana rinci untuk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Efektivitas penerapan rencana tata ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luas pada umumnya memiliki tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam penerapannya masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Apabila perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luasnya memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian tinggi, rencana rinci tidak diperlukan.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 14A


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 17


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dalam sistem wilayah, pusat permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik pada kawasan perkotaan maupun pada kawasan perdesaan. Dalam sistem internal perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan.

Sistem jaringan prasarana, antara lain, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem persampahan dan sanitasi, serta sistem jaringan sumber daya air.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas daerah aliran sungai dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air.

Distribusi luas kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Dengan demikian kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai.


Ayat (6)


Keterkaitan antarwilayah merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarwilayah, yaitu wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota.

Keterkaitan antarfungsi kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara kawasan lindung dan kawasan budi daya.

Keterkaitan antarkegiatan kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.


Ayat (7)


Rencana tata ruang untuk fungsi pertahanan dan keamanan karena sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Sifat khusus tersebut terkait dengan adanya kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan sebagian informasi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.

Rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah mengandung pengertian bahwa penataan ruang kawasan pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya keseluruhan penataan ruang wilayah.

 

Angka 10


Pasal 18


Ayat (1)


Persetujuan substansi dari Pemerintah dimaksudkan agar peraturan daerah tentang rencana tata ruang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebijakan nasional, sedangkan rencana rinci tata ruang mengacu pada rencana umum tata ruang. Selain itu, persetujuan tersebut dimaksudkan pula untuk menjamin kesesuaian muatan peraturan daerah, baik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dengan pedoman bidang penataan ruang.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 20


Ayat (1)


Huruf a


Tujuan penataan ruang wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional merupakan landasan bagi pembangunan nasional yang memanfaatkan ruang.

Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan data dan informasi, serta pembiayaan pembangunan.

Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional, antara lain, dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global, serta mewujudkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.


Huruf b


Sistem perkotaan nasional dibentuk dari kawasan perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat kegiatan skala wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan.

Jaringan prasarana utama merupakan sistem primer yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air.

Yang termasuk dalam sistem jaringan primer yang direncanakan adalah jaringan transportasi untuk menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional.


Huruf c


Pola ruang wilayah nasional merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional.

Kawasan lindung nasional, antara lain, adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah provinsi, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah provinsi lain, kawasan lindung yang dimaksudkan untuk melindungi warisan kebudayaan nasional, kawasan hulu daerah aliran sungai suatu bendungan atau waduk, dan kawasan lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah.

Kawasan lindung nasional adalah kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam.

Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis nasional, antara lain, adalah kawasan yang dikembangkan untuk mendukung fungsi pertahanan dan keamanan nasional, kawasan industri strategis, kawasan pertambangan sumber daya alam strategis, kawasan perkotaan metropolitan, dan kawasan budi daya lain yang menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah.


Huruf d


Yang termasuk kawasan strategis nasional adalah kawasan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kawasan khusus.


Huruf e


Indikasi program utama merupakan petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun.


Huruf f


Cukup jelas.


Ayat (2)


Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang.


Ayat (3)


Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang.

Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru, hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui.


Ayat (4)


Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:

  a. perlu dilakukan revisi karena ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan/atau keadaan yang bersifat mendasar; atau
  b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang bersifat mendasar.

Ayat (5)


Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) dalam periode 5 (lima) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis.
Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang.


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 22


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 23


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Rencana struktur ruang wilayah provinsi merupakan arahan perwujudan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan jaringan prasarana wilayah provinsi yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah provinsi selain untuk melayani kegiatan skala provinsi yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai.

Dalam rencana tata ruang wilayah provinsi digambarkan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan peletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan struktur ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Rencana struktur ruang wilayah provinsi memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Huruf c


Pola ruang wilayah provinsi merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah provinsi, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan provinsi apabila dikelola oleh Pemerintah Daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.


Kawasan lindung provinsi adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah kabupaten/kota, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan bawahannya yang terletak di wilayah kabupaten/kota lain, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi.

Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis provinsi merupakan kawasan budi daya yang dipandang sangat penting bagi upaya pencapaian pembangunan provinsi dan/atau menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi.

Kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi dapat berupa kawasan permukiman, kawasan kehutanan, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan perindustrian, dan kawasan pariwisata. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten memuat rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.


Huruf d


Indikasi program utama adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun.

Huruf e


Cukup jelas.


Ayat (2)


Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi instansi Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang.


Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana pembangunan jangka panjang provinsi serta rencana pembangunan jangka menengah provinsi merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu.


Ayat (3)


Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui.


Ayat (4)


Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:

  1. perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan kebijakan dan strategi nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan/atau terjadi dinamika internal provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar; atau
  2. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan dan strategi nasional dan tidak terjadi dinamika internal provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar.

Ayat (5)


Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila dinamika internal provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar diakibatkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang antara lain dikarenakan adanya bencana alam, perubahan batas teritorial, perubahan batas wilayah dan/atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau dinamika internal provinsi yang tidak mengubah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional.

Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang.


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 24


Dihapus.


Angka 15


Pasal 25


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Daya dukung dan daya tampung wilayah kabupaten diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang penyusunannya dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan  pemerintahan di bidang lingkungan hidup.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 26


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Struktur ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem perkotaan wilayah kabupaten dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai.

Dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten digambarkan sistem pusat kegiatan wilayah kabupaten dan perletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten.

Rencana struktur ruang wilayah kabupaten memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan.


Huruf c


Pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Pola ruang wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang wilayah yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Rencana pola ruang wilayah kabupaten memuat rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Ayat (2)


Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten.

Rencana tata ruang kawasan perdesaan merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten yang dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk mengoptimalkan kegiatan pertanian yang dapat berbentuk kawasan agropolitan.

Rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana pembangunan jangka panjang daerah merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang kabupaten begitu juga sebaliknya.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:

  a. perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan kebijakan dan strategi nasional dan/atau provinsi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dan/atau terjadi dinamika internal kabupaten yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten secara mendasar; atau
  b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan dan strategi nasional dan/atau provinsi dan tidak terjadi dinamika internal kabupaten yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten secara mendasar.

Ayat (6)


Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun atau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dilakukan apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur ruang wilayah kabupaten yang bersangkutan menuntut adanya suatu perubahan yang mendasar sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan strategis.


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Ayat (10)


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 27


Dihapus.


Angka 18


Pasal 34A


Yang dimaksud dengan rencana zonasi adalah rencana pengelolaan ruang laut yang telah ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelum Undang-Undang ini berlaku.


Angka 19


Pasal 35

Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.


Angka 20


Pasal 37


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 48


Cukup jelas.

Angka 22


Pasal 49


Dihapus.

Angka 23


Pasal 50


Dihapus.

Angka 24


Pasal 51


Dihapus.


Angka 25


Pasal 52


Dihapus.


Angka 26


Pasal 53


Dihapus.


Angka 27


Pasal 54


Dihapus.


Angka 28


Pasal 60


Huruf a


Masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang melalui Lembaran Negara atau Lembaran Daerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah.

Pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat diketahui masyarakat, antara lain, adalah dari pemasangan peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan pada tempat umum, kantor kelurahan, dan/atau kantor yang secara fungsional menangani rencana tata ruang tersebut.


Huruf b


Pertambahan nilai ruang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan yang dapat berupa dampak langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "penggantian yang layak" adalah bahwa nilai atau besarnya penggantian tidak menurunkan tingkat kesejahteraan orang yang diberi penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 61

Huruf a


Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.


Huruf b


Memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi ruang.


Huruf c


Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memenuhi ketentuan amplop ruang dan kualitas ruang.


Huruf d


Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin agar masyarakat dapat mencapai kawasan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi syarat berikut:

  a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan/atau
  b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.

Yang termasuk dalam kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain, adalah sumber air dan pesisir pantai.


Angka 30


Pasal 62


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 65


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 69


Cukup jelas.


Angka 33


Pasal 70

 

Cukup jelas.

 

Angka 34


Pasal 71


Cukup jelas.


Angka 35


Pasal 72


Dihapus.


Angka 36


Pasal 74


Cukup jelas.


Angka 37


Pasal 75


Cukup jelas.


Pasal 18

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 7


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 7A


Cukup jelas.


Pasal 7B


Cukup jelas.


Pasal 7C


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 8


Dihapus.


Angka 5


Pasal 9


Dihapus.


Angka 6


Pasal 10


Dihapus.


Angka 7


Pasal 11


Dihapus.


Angka 8


Pasal 12


Dihapus.


Angka 9


Pasal 13


Dihapus.


Angka 10


Pasal 14


Dihapus.


Angka 11


Pasal 16


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 16A


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 17


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 17A


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "kebijakan nasional yang bersifat strategis" antara lain proyek strategis nasional atau kegiatan strategis nasional lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 18


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 19


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 20


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "memfasilitasi", antara lain, dapat berupa kemudahan persyaratan dan pelayanan cepat.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 22


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 22A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.


Angka 20


Pasal 22B


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 22C


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 26A


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 26B


Cukup jelas.


Angka 24


Pasal 50


Cukup jelas.


Angka 25


Pasal 51


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 60


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "wilayah penangkapan ikan secara tradisional" adalah wilayah penangkapan ikan untuk kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Huruf l


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 71


Cukup jelas.


Angka 28


Pasal 71A


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 73A


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 75


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 75A


Dihapus.


Angka 32


Pasal 78A


Cukup jelas.


Pasal 19

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 32


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 42


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 43


Ayat (1)


Perencanaan ruang Laut merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut.

Struktur ruang Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Pola ruang Laut meliputi kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan strategis nasional tertentu.

Perencanaan ruang Laut dipergunakan untuk menentukan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan Laut, industri maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk melindungi kelestarian sumber daya Kelautan; serta untuk menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah Laut, dan migrasi biota Laut.


Huruf a


Perencanaan tata ruang laut nasional mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Rencana zonasi kawasan strategis nasional (KSN) merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.

Rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu (KSNT) merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu.

Yang dimaksud dengan "kawasan antarwilayah" antara lain meliputi:

  a. teluk misalnya Teluk Tomini, Teluk Bone, dan Teluk Cendrawasih;
  b. selat misalnya Selat Makassar, Selat Sunda, dan Selat Karimata; dan
  c. Laut misalnya Laut Jawa, Laut Arafura, dan Laut Sawu.

Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 43A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Perencanaan ruang Laut menggunakan sifat komplementer antar hasil perencanaan ruang. Apabila dalam dokumen perencanaan ruang yang lebih rinci tidak terdapat alokasi ruang atau pola ruang untuk suatu kegiatan pemanfaatan ruang laut, maka menggunakan rencana tata ruang atau rencana zonasi Kawasan Antarwilayah.


Angka 6


Pasal 47


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 47A


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 48


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 49


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 49A


Cukup jelas.


Pasal 49B


Cukup jelas.


Pasal 20

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 7


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 12


Dihapus.


Angka 4


Pasal 13


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pasang surut air laut" adalah naik turunnya posisi muka air laut yang disebabkan pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "garis pantai ditentukan dengan mengacu pada JKVN" adalah garis pantai dan JKVN membentuk suatu kesatuan, karena pengamatan pasang surut diperlukan dalam membangun JKVN dan JKVN diperlukan dalam menentukan garis pantai.


Angka 5


Pasal 17


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "bertahap" adalah diselenggarakan secara berjenjang, wilayah demi wilayah, skala demi skala, atau berselang waktu sesuai dengan prioritas kepentingan.

Yang dimaksud dengan "sistematis" adalah diselenggarakan secara teratur sesuai dengan sistem dan teknis pemetaan.

Yang dimaksud dengan "wilayah yurisdiksi" adalah wilayah di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "jangka waktu tertentu" adalah jangka waktu untuk memutakhirkan IG yang ditentukan berdasarkan kondisi, teknologi, kebutuhan, prioritas, dan anggaran yang tersedia.

Yang dimaksud dengan "periodik" adalah kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 18


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 22A


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 28


Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "daerah terlarang" adalah daerah yang oleh instansi yang berwenang dinyatakan terlarang pada kurun waktu tertentu.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 55


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 56


Dihapus.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 22

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 20


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "baku mutu air" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "baku mutu air limbah" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air.

Huruf c


Yang dimaksud dengan "baku mutu air laut" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "baku mutu udara ambien" adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.

Huruf e


Yang dimaksud dengan "baku mutu emisi" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.

Huruf f


Yang dimaksud dengan "baku mutu gangguan" adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.

Huruf g


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 24


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Yang dimaksud dengan "Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup" adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal.

Yang dimaksud dengan "persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah" adalah bentuk keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai dasar pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 25


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau kegiatan.


Angka 5


Pasal 26


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 27


Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan.


Angka 7


Pasal 28


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 29


Dihapus.


Angka 9


Pasal 30


Dihapus.


Angka 10


Pasal 31


Dihapus.


Angka 11


Pasal 32


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 34


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup" adalah standar pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 35


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 36


Dihapus.


Angka 15


Pasal 37


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 38


Dihapus.


Angka 17


Pasal 39


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 40


Dihapus.


Angka 19


Pasal 55


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 59


Ayat (1)


Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan Limbah B3 dan telah mendapatkan izin.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 61


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 61A


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 63


Cukup jelas.


Angka 24


Pasal 69


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.


Angka 25


Pasal 71


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 72


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 73


Cukup jelas.


Angka 28


Pasal 76


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 77


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 79


Dihapus.


Angka 31


Pasal 82


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 82A


Cukup jelas.


Pasal 82B


Cukup jelas.


Pasal 82C

 

Cukup jelas.


Angka 33


Pasal 88


Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab mutlak (strict liability)" adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal ini merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) dalam gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Yang dimaksud sebagai "batas waktu tertentu adalah" jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.


Angka 34


Pasal 93


Dihapus.


Angka 35


Pasal 102


Dihapus.


Angka 36


Pasal 109


Cukup jelas.


Angka 37


Pasal 110


Dihapus.


Angka 38


Pasal 111


Cukup jelas.


Angka 39


Pasal 112


Cukup jelas.


Pasal 23

Cukup jelas.


Pasal 24

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 5


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 6


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 7


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "bangunan gedung adat" adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan kaidah-kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai budayanya, misalnya bangunan rumah adat.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 8


Dihapus.


Angka 6


Pasal 9


Dihapus.


Angka 7


Pasal 10


Dihapus.


Angka 8


Pasal 11


Dihapus.


Angka 9


Pasal 12


Dihapus.


Angka 10


Pasal 13


Dihapus.


Angka 11


Pasal 14


Dihapus.


Angka 12


Pasal 15


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "dampak penting" adalah perubahan yang sangat mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan adalah bangunan gedung yang dapat menyebabkan:

  a. perubahan pada sifat-sifat fisik dan/atau hayati lingkungan, yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan perundang-undangan;
  b. perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui berdasarkan pertimbangan ilmiah;
  c. terancam dan/atau punahnya spesies-spesies yang langka dan/atau endemik, dan/atau dilindungi menurut peraturan perundang-undangan atau kerusakan habitat alaminya;
  d. kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (seperti hutan lindung, cagar alam, taman nasional, dan suaka margasatwa) yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan;
  e. kerusakan atau punahnya benda-benda dan bangunan gedung peninggalan sejarah yang bernilai tinggi;
  f. perubahan areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi; dan/atau
  g. timbulnya konflik atau kontroversi dengan masyarakat dan/atau pemerintah.

Ayat (2)


Cukup jelas


Angka 13


Pasal 16


Dihapus.


Angka 14


Pasal 17


Dihapus.


Angka 15


Pasal 18


Dihapus.


Angka 16


Pasal 19


Dihapus.


Angka 17


Pasal 20


Dihapus.


Angka 18


Pasal 21


Dihapus.


Angka 19


Pasal 22


Dihapus.


Angka 20


Pasal 23


Dihapus.


Angka 21


Pasal 24


Dihapus.


Angka 22


Pasal 25


Dihapus.


Angka 23


Pasal 26


Dihapus.


Angka 24


Pasal 27


Dihapus.


Angka 25


Pasal 28


Dihapus.


Angka 26


Pasal 29


Dihapus.


Angka 27


Pasal 30


Dihapus.


Angka 28


Pasal 31


Dihapus.


Angka 29


Pasal 32


Dihapus.


Angka 30


Pasal 33


Dihapus.


Angka 31


Pasal 34


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Ketentuan mengenai Penyedia Jasa Konstruksi mengikuti peraturan perundang-undangan tentang jasa konstruksi.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 35


Ayat (1)


Perencanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan penyusunan rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan persyaratan teknis yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan.

Pelaksanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan pendirian, perbaikan, penambahan, perubahan, atau pemugaran konstruksi bangunan gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan gedung sesuai dengan rencana teknis yang telah disusun.

Pengawasan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan hasil akhir pekerjaan atau kegiatan manajemen konstruksi pembangunan gedung.


Ayat (2)


Cukup jelas


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "perjanjian tertulis" adalah akta otentik yang memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban setiap pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian, dan ketentuan lain yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.

Kesepakatan perjanjian sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan fungsi bangunan gedung dan bentuk pemanfaatannya, baik keseluruhan maupun sebagian.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Yang dimaksud dengan "penyedia jasa perencana konstruksi" antara lain Arsitek, Ahli Struktur dan Ahli Mechanical, Electrical and Plumbing.


Ayat (6)


Yang dimaksud dengan "pengujian" antara lain berupa hasil uji laboratorium, simulasi, dan/atau analisis.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Prototipe telah menyesuaikan dengan kondisi geografis pada rencana lokasi bangunan gedung.


Angka 33


Pasal 36


Dihapus.


Angka 34


Pasal 36A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah" merupakan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang diperuntukkan bagi bangunan gedung non-berusaha, dan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik yang diperuntukkan bagi bangunan gedung berusaha.


Pasal 36B


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Cukup jelas


Huruf b


Cukup jelas


Huruf c


Cukup jelas


Huruf d


Yang dimaksud dengan "pengujian" adalah pelaksanaan pengetesan instalasi mekanis dan elektrik bangunan gedung.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 35


Pasal 37


Ayat (1)


Yang dimaksud "laik fungsi" yaitu berfungsinya seluruh atau sebagian dari bangunan gedung yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan, serta persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 36


Pasal 37A


Cukup jelas.


Angka 37


Pasal 39


Ayat (1)


Huruf a


Bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi berarti akan membahayakan keselamatan pemilik dan/atau pengguna apabila bangunan gedung tersebut terus digunakan.

Dalam hal bangunan gedung dinyatakan tidak laik fungsi tetapi masih dapat diperbaiki, pemilik dan/atau pengguna diberikan kesempatan untuk memperbaikinya sampai dengan dinyatakan laik fungsi.

Dalam hal pemilik tidak mampu, untuk rumah tinggal apabila tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki serta membahayakan keselamatan penghuni atau lingkungan, bangunan tersebut harus dikosongkan.

Apabila bangunan tersebut membahayakan kepentingan umum, pelaksanaan pembongkarannya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah.


Huruf b


Yang dimaksud "menimbulkan bahaya" adalah ketika dalam pemanfaatan bangunan gedung dan/atau lingkungannya dapat membahayakan keselamatan masyarakat dan lingkungan.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Ayat (2)


Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan status bangunan gedung dapat dibongkar setelah mendapatkan hasil pengkajian teknis bangunan gedung yang dilaksanakan secara profesional, independen dan objektif.


Ayat (3)


Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat. Kedalaman dan keluasan tingkatan pengkajian teknis sangat bergantung pada kompleksitas dan fungsi bangunan gedung.


Ayat (4)


Rencana teknis pembongkaran bangunan gedung termasuk gambar-gambar rencana, gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat pelaksanaan pembongkaran, jadwal pelaksanaan, serta rencana pengamanan lingkungan.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 38


Pasal 40


Cukup jelas.


Angka 39


Pasal 41


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Tidak dibenarkan memanfaatkan bangunan gedung yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung meliputi pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsinya, dengan tingkatan pemeriksaan berkala disesuaikan dengan jenis konstruksi, mekanikal dan elektrikal, serta kelengkapan bangunan gedung.

Pemeriksaan secara berkala dilakukan pada periode tertentu, atau karena adanya perubahan fungsi bangunan gedung, atau karena adanya bencana yang berdampak penting pada keandalan bangunan gedung, seperti kebakaran dan gempa.

Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung dilakukan oleh pengkaji teknis yang kompeten dan memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Huruf e


Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan bangunan gedung yang dinyatakan tidak laik fungsi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengkaji teknis, sampai dengan dinyatakan telah laik fungsi.


Huruf f


Selain pemilik, pengguna juga dapat diwajibkan membongkar bangunan gedung dalam hal yang bersangkutan terikat dalam perjanjian menggunakan bangunan yang tidak laik fungsi.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 40


Pasal 43


Ayat (1)


Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.

Pengaturan dilakukan dengan pelembagaan peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai dengan di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat.

Pemberdayaan dilakukan terhadap para penyelenggara bangunan gedung dan aparat Pemerintah Daerah untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

Pengawasan dilakukan melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum.


Ayat (2)


Masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung seperti masyarakat ahli, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, masyarakat pemilik dan pengguna bangunan gedung, dan aparat pemerintah.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 41


Pasal 44


Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Yang dimaksud dengan "sanksi administratif" adalah sanksi yang diberikan oleh administrator (pemerintah) kepada pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung tanpa melalui proses peradilan karena tidak terpenuhinya ketentuan Undang-Undang ini.

Sanksi administratif meliputi beberapa jenis, yang pengenaannya bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung.

Yang dimaksud dengan "nilai bangunan gedung" dalam ketentuan sanksi adalah nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun bagi yang sedang dalam proses pelaksanaan konstruksi, atau nilai keseluruhan suatu bangunan gedung yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi bangunan gedung yang telah berdiri.


Angka 42


Pasal 45


Cukup jelas.


Angka 43


Pasal 46


Cukup jelas.


Angka 44


Pasal 47A


Cukup jelas.


Pasal 25

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 5


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 6


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 6A


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 13


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 14


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 19


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan" adalah lembaga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau swasta.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 28


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 34


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 35


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "pengaturan" antara lain peraturan terkait penyelenggaraan profesi Arsitek.

Yang dimaksud dengan "pemberdayaan" antara lain berupa penetapan gelar profesi Arsitek (Ar.), penetapan standar pendidikan Arsitektur, dan penetapan standar Praktik Arsitek.

Yang dimaksud dengan "pengawasan" antara lain pengendalian Praktik Arsitek.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 36


Dihapus.


Angka 12


Pasal 37


Dihapus.


Angka 13


Pasal 38


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 39


Dihapus.


Angka 15


Pasal 40


Dihapus.


Angka 16


Pasal 41


Dihapus.


Pasal 26

Cukup jelas.

 

Pasal 27

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 7


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Yang dimaksud dengan "sistem pemantauan kapal perikanan" adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan, seperti sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS).


Huruf l


Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan dapat dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian sumber daya ikan setempat sehingga perlu dipertimbangkan agar penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi dengan lingkungan sumber daya ikan setempat dan/atau tidak merusak keaslian sumber daya ikan.


Huruf m


Yang dimaksud dengan "penangkapan ikan berbasis budi daya" adalah penangkapan sumber daya ikan yang berkembang biak dari hasil penebaran kembali.


Huruf n


Cukup jelas.


Huruf o


Cukup jelas.


Huruf p


Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan.


Huruf q


Cukup jelas.


Huruf r


Yang dimaksud dengan "kawasan konservasi perairan" adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.


Huruf s


Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari 1 (satu) wilayah ke wilayah lainnya.


Huruf t


Cukup jelas.


Huruf u


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 20A


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 25A


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 26


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 27


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 27A


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 28


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 28A


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 30


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 31


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 32


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 33


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 35


Ayat (1)


Dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan, penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung sumber daya ikan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 35A


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 36


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 38


Ayat (1)


Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing yang melintasi perairan Indonesia, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 40


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 41


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Klasifikasi pelabuhan perikanan termasuk diantaranya pelabuhan perikanan samudera, pelabuhan perikanan nusantara dan pelabuhan perikanan pantai.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis.

Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang bersangkutan.


Huruf f


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "bongkar muat ikan" adalah termasuk juga pendaratan ikan.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 42


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan 'syahbandar di pelabuhan perikanan" adalah syahbandar yang ditempatkan secara khusus di pelabuhan perikanan untuk pengurusan administratif dan menjalankan fungsi menjaga keselamatan pelayaran.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan "log booK" adalah laporan harian nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Huruf l


Cukup jelas.


Huruf m


Cukup jelas.


Huruf n


Cukup jelas.


Huruf o


Cukup jelas.


Huruf p


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Syahbandar yang akan diangkat dimaksudkan pengusulannya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 43


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 44


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 45


Kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan.

Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya wajib memenuhi standar laik operasi dari pengawas perikanan.

Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi kapal perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka Persetujuan Berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh syahbandar setempat.


Angka 24


Pasal 49


Cukup jelas.


Angka 25


Pasal 89


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 92


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 93


Cukup jelas.


Angka 28


Pasal 94


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 94A


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 95


Dihapus.


Angka 31


Pasal 96


Dihapus.


Angka 32


Pasal 97


Cukup jelas.


Angka 33


Pasal 98


Cukup jelas.


Angka 34


Pasal 100B


Cukup jelas.


Angka 35


Pasal 100C


Cukup jelas.


Angka 36


Pasal 101


Cukup jelas.


Pasal 28

Cukup jelas.


Pasal 29

Angka 1


Pasal 14


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 15


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 16


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 17


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 18


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 24


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 30


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 31


Dihapus.


Angka 9


Pasal 35


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 39


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 40


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 42


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 43


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 45


Dihapus.


Angka 15


Pasal 47


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 48


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 49


Dihapus.


Angka 18


Pasal 50


Dihapus.


Angka 19


Pasal 58


Ayat (1)


Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% hanya ditujukan kepada pekebun yang mendapatkan lahan untuk perkebunan yang berasal dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/atau yang berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas lahan perkebunan yang bersumber dari lahan negara.

Dalam hal perolehan lahan perkebunan dilakukan langsung kepada masyarakat yang diberikan hak guna usaha, maka pekebun tersebut tidak diwajibkan untuk memberikan fasilitasi.

Kewajiban fasilitasi perkebunan masyarakat tersebut diintegrasikan dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam perolehan lahan perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan hutan yang memberikan kewajiban untuk 20% lahan kepada masyarakat dan telah dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah selesai.

Namun pekebun tetap didorong memberikan fasilitasi kepada masyarakat yang bersifat sukarela agar masyarakat dapat mengembangkan pengelolaan kebunnya.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 60


Cukup jelas.

 

Angka 21


Pasal 67


Ayat (1)


Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku Usaha Perkebunan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada Pekebun.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 68


Dihapus.


Angka 23


Pasal 70


Cukup jelas.


Angka 24


Pasal 74


Ayat (1)


Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor antara lain gula tebu.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 25


Pasal 75


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 93


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 95


Cukup jelas.

 

Angka 28


Pasal 96


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 97


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pembinaan teknis" adalah penerapan budi daya yang baik (good agricultural practices), penerapan pascapanen dan pengolahan yang baik (good handling practices) dan good manufacturing practices, dan penerapan pengembangan Perkebunan berkelanjutan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 99


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 103


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 105


Dihapus.


Angka 33


Pasal 109


Dihapus.


Pasal 30

Angka 1


Pasal 11


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai bentuk formulir permohonan dan tata cara pengisiannya, serta komponen dan besarnya biaya pemrosesan permohonan, contoh surat kuasa khusus, dan bentuk surat pernyataan aman untuk varietas transgenik.


Angka 2


Pasal 29


Ayat (1)


Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah berakhirnya pengumuman, Kantor PVT belum menerima permohonan pemeriksaan tersebut, maka permohonan PVT dianggap ditarik kembali.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 40


Ayat (1)


Hak PVT pada dasarnya dapat beralih dari, atau dialihkan oleh pemegang hak PVT kepada perorangan atau badan hukum lain.

Yang dimaksud dengan "sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-Undang" misalnya pengalihan hak PVT melalui putusan pengadilan.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai persyaratan pengalihan, formulir permohonan pengalihan dan dokumen kelengkapannya, serta komponen dan besarnya biaya pencatatan pengalihan hak PVT.

Angka 4


Pasal 43


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perjanjian lisensi meliputi hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi termasuk bagian-bagian dari pelaksanaan hak PVT yang dilisensikan, jangka waktu serta bentuk perjanjian lisensi tersebut.


Angka 5


Pasal 63


Cukup jelas.


Pasal 31

Angka 1


Pasal 19


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 22


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 32


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 43


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 44


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 86


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah batasan atau persentase yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pelaku Usaha dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian tertentu.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 102


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Pusat data dan informasi paling sedikit menyampaikan data dan informasi mengenai Varietas Tanaman, letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit Usaha Budi Daya Pertanian, permintaan pasar, peluang dan tantangan pasar, perkiraan produksi, perkiraan harga, perkiraan pasokan, perkiraan musim tanam dan musim panen, prakiraan iklim, Organisme pengganggu Tumbuhan serta hama dan penyakit hewan, ketersediaan Prasarana Budi Daya Pertanian, dan ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.

Ayat (7)


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 108


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 111


Dihapus.


Pasal 32

Angka 1


Pasal 15


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 30


Ayat (1)



Yang dimaksud dengan "kebutuhan konsumsi" adalah besarnya rata-rata tingkat konsumsi langsung ataupun tidak langsung perkapita (termasuk kebutuhan industri) dikalikan jumlah penduduk pada waktu tertentu.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 101


Dihapus.


Pasal 33

Angka 1


Pasal 15


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 33


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 35


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 35A


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 48


Dihapus.


Angka 6


Pasal 49


Ayat (1)


Pendataan dilakukan dalam rangka pembinaan dan pemberdayaan.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 51


Dihapus.


Angka 8


Pasal 52


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 54


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis minimal" adalah batasan terendah dari spesifikasi teknis yang diterapkan agar usaha hortikultura terlaksana dengan baik, jika standar baku belum ditetapkan.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "keamanan pangan produk hortikultura" adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan produk hortikultura dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 56


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "kemitraan" adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha baik langsung maupun tidak langsung antara usaha mikro dan/atau usaha kecil dengan usaha menengah dan/atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan/atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan "bentuk kemitraan lainnya" seperti kontrak budi daya, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing). Kontrak budi daya merupakan perjanjian jual beli dengan pemesanan pada awal penanaman. Kerja sama operasional meliputi kerja sama pembiayaan, penyediaan sarana produksi, teknis budi daya, manajemen, sampai dengan pemasaran.

 

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 57


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk" adalah pemasukan Benih atau materi induk dari luar negeri untuk pertama kali dan tidak diedarkan atau diperdagangkan, melainkan untuk keperluan pemuliaan tanaman.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "kelompok" adalah kumpulan pelaku usaha yang menyepakati suatu kegiatan, tanggung jawab atau penanganan risiko secara bersama berdasarkan kesamaan jenis usaha, kesamaan komoditas, dan/atau kesamaan ekosistem.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 63


Dihapus.


Angka 13


Pasal 68


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 73


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 88


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Ketentuan mengenai keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan mengacu pada perjanjian internasional Sanitary and Phitosanitary dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Penetapan "pintu masuk" bagi impor produk hortikultura dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terkait dengan masuknya OPT Karantina, keamanan hayati, spesies asing yang invasif, dan keamanan pangan.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 90


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 92


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 100


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 101


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 122


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 126


Dihapus.


Angka 22


Pasal 131


Dihapus.

Pasal 34

Angka 1


Pasal 6


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara keberlanjutan", adalah upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk memasukkan kawasan penggembalaan umum dalam program pembangunan daerah.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "kastrasi" adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkannya atau menghambat fungsinya.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "penetapan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum" yaitu upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menyediakan lahan penggembalaan umum, antara lain, misalnya tanah pangonan, tanah titisara atau tanah kas desa.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 13


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 15


Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "mutu genetik" adalah ekspresi keunggulan sifat individu.

Yang dimaksud dengan "keragaman genetik" adalah ekspresi keunggulan variasi genetik antarindividu.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "kekurangan Benih" yaitu ketidak cukupan jumlah Benih (semen atau embrio) Ternak bukan asli atau lokal (eksotik) yang digunakan untuk kebutuhan pemuliaan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan/atau mutu genetik.

Yang dimaksud dengan "kekurangan Bibit" yaitu ketidakcukupan jumlah Bibit Ternak eksotik yang sebelumnya telah dikembangkan atau beradaptasi di Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu genetik Ternak eksotik.


Huruf d


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 16


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "Ternak lokal" adalah hasil persilangan antara Ternak asli luar negeri dan Ternak asli Indonesia, yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat.


Ayat (2)


Ketentuan larangan terhadap pengeluaran Benih dan Bibit terbaik dimaksudkan untuk mempertahankan populasi dan mutu genetik Ternak asli dan lokal.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 22


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cara pembuatan pakan yang baik, misalnya dalam hal proses produksi, dan pembuatan pakan harus menjamin pakan mengandung cemaran biologi, fisik, kimia di atas ambang batas maksimal yang diperbolehkan, serta memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan yang digunakan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "pakan yang tidak layak dikonsumsi" diantaranya yaitu pakan yang:

  1. tidak berlabel;
  2. kedaluwarsa;
  3. kemasannya rusak, fisiknya rusak, berbau, berubah warna; dan/atau
  4. palsu, yaitu tidak memiliki nomor pendaftaran, isi tidak sesuai dengan label, menggunakan merek orang lain.

Huruf b


Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya penyakit sapi gila (bovine spongiform encephalopathy) atau scrapie pada domba/kambing.

Yang dimaksud dengan "ruminansia" adalah hewan yang memamah biak.

Huruf c


Yang dimaksud dengan "hormon tertentu" adalah hormon sintetik.

Yang dimaksud dengan "antibiotik", antara lain, chloramphenicol dan tetracyclin.

Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 29


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pihak tertentu", antara lain, Tentara Nasional Indonesia, kepolisian, lembaga kepabeanan, lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan.

Yang dimaksud dengan "kepentingan khusus", antara lain, kuda untuk kavaleri, anjing untuk hewan pelacak pelaku kriminal, kelinci untuk penelitian.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "tidak mengganggu ketertiban umum" antara lain adalah kegiatan budi daya Ternak dilakukan dengan memerhatikan kaidah agama dan/atau kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat serta ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 30


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 36B


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 36C


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 37


Yang dimaksud dengan "Industri pengolahan Produk Hewan" adalah industri yang melakukan kegiatan penanganan dan pemrosesan hasil hewan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, denganmemperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan.


Angka 11


Pasal 52


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi standar mutu", yaitu, antara lain, kedaluwarsa dan/atau telah rusak atau mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan biologik.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 54


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 59


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 60


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "nomor kontrol veteriner" atau NKV adalah nomor registrasi unit usaha Produk Hewan sebagai bukti telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan Produk Hewan. Bagi unit usaha Produk Hewan yang mengedarkan Produk Hewan segar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memasukkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 62


Ayat (1)


Kewajiban Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki rumah potong hewan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan/atau halal.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 69


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan hewan" yaitu serangkaian tindakan yang diperlukan, antara lain, untuk:

  a. melakukan prognosis dan diagnosis penyakit secara klinis, patologis, laboratoris, dan/atau epidemiologis;
  b. melakukan tindakan transaksi terapeutik berupa konsultasi dan/atau informasi awal (prior informed-consent) kepada pemilik hewan yang dilanjutkan dengan beberapa kemungkinan tindakan preventif, koperatif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif dengan menghindari tindakan malpraktik;
  c. melakukan pemeriksaan dan pengujian keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan;
  d. melakukan konfirmasi kepada unit pelayanan kesehatan hewan rujukan jika diperlukan;
  e. menyampaikan data penyakit dan kegiatan pelayanan kepada otoritas veteriner;
  f. menindaklanjuti keputusan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dan/atau Kesehatan Masyarakat Veteriner; dan
  g. melakukan pendidikan klien dan/atau pendidikan masyarakat sehubungan dengan paradigma sehat dan penerapan kaidah kesejahteraan hewan.

 

Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pelayanan kesehatan hewan.

Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan atau zoonosis, pelaksanaan kesehatan masyarakat veteriner, dan/atau pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu pakan, mutu Bibit/ Benih, dan/atau mutu produk hewan.

Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa medik veteriner" adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi dokter hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik kedokteran hewan, seperti rumah sakit hewan, klinik hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi reproduksi hewan, ambulatori, praktik dokter hewan, dan praktik konsultasi kesehatan hewan.

Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan (puskeswan)" adalah layanan jasa medik veteriner yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi dengan laboratorium veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner.


Ayat (2)


Kualifikasi Perizinan Berusaha antara lain meliputi:

  a. Rumah Sakit Hewan;
  b. Praktik Kedokteran Hewan; dan
  c. Laboratorium kesehatan hewan dan laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang diselenggarakan oleh swasta.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 72


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 85


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 88


Cukup jelas.


Pasal 35

Cukup jelas.


Pasal 36

Angka 1


Pasal 15


Ayat (1)


Huruf a


Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan secara digital, antara lain berupa:

  a. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;
  b. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;
  c. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
  d. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.

Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 18


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "penutupan hutan" atau forest coverage adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan.

Yang dimaksud dengan "pengoptimalan manfaat" adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 19


Ayat (1)


Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 26


Ayat (1)


Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:

  a. budi daya jamur;
  b. penangkaran satwa; dan
  c. budi daya tanaman obat dan tanaman hias.

Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:

  a. pemanfaatan untuk wisata alam;
  b. pemanfaatan air; dan
  c. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.

Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:

  a. mengambil rotan;
  b. mengambil madu; dan
  c. mengambil buah.

Usaha pemanfaatan dan pemungutan pada hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 27


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 28


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 29


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 29A


Cukup jelas.


Pasal 29B


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 30


Kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. Kewajiban badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swastabekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional. Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.


Angka 10


Pasal 31


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "aspek kelestarian hutan" antara lain:

  a. kelestarian lingkungan;
  b. kelestarian produksi; dan
  c. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil merata dan transparan.

Yang dimaksud dengan "aspek kepastian usaha" antara lain:

  a. kepastian kawasan;
  b. kepastian waktu usaha; dan
  c. kepastian jaminan hukum berusaha.

 

Ayat (2)


Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:

  a. pembatasan luas;
  b. pembatasan jumlah izin usaha; dan
  c. penataan lokasi usaha.

Angka 11


Pasal 32


Khusus bagi pemegang Perizinan Berusaha berskala besar, kewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, mencakup juga pengertian untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya.


Angka 12


Pasal 33


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "pengolahan hasil hutan" adalah pengolahan hulu hasil hutan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 35


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 38


Ayat (1)


Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang.

Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 48


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pelindungan hutan" termasuk di dalamnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Hak masyarakat hukum adat diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang Perizinan Berusaha meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:

  a. prinsip-prinsip pelindungan hutan;
  b. wewenang kepolisian khusus kehutanan;
  c. tata usaha peredaran hasil hutan; dan
  d. pemberian kewenangan operasional kepada daerah.


Angka 16


Pasal 49


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 50


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "orang" adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.

Yang dimaksud dengan "kerusakan hutan" adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.

Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan dalam pemberian Perizinan Berusaha.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 18


Pasal 50A


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 78


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 80


Cukup jelas.


Pasal 37

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 7


Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum. Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Masyarakat umum adalah masyarakat di luar masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Badan hukum yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi.


Angka 3


Pasal 12


Huruf a


Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan" adalah perizinan untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan berupa: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan/atau pemungutan hasil hutan bukan kayu.


Huruf b


Yang dimaksud dengan 'penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha" adalah penebangan pohon yang dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan yang diperoleh secara tidak sah.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Yang dimaksud dengan 'memuat" adalah memasukkan ke dalam alat angkut.


Huruf e


Cukup jelas.

Huruf f


Yang dimaksud dengan "alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon", tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.

Huruf g


Cukup jelas.

Huruf h


Cukup jelas.

Huruf i


Cukup jelas.

Huruf j


Cukup jelas.

Huruf k


Cukup jelas.

Huruf l


Cukup jelas.

Huruf m


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 12A


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 17


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 17A


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 18


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 24


Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Yang dimaksud dengan "memindahtangankan" atau "menjual Perizinan Berusaha" adalah terbatas pada pengalihan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan dari pemegang Perizinan Berusaha kepada pihak lain yang dilakukan melalui jual beli, tetapi tidak termasuk akuisisi.

Angka 9


Pasal 28


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Yang dimaksud dengan "melindungi" adalah kegiatan yang dapat menghambat berlangsungnya proses penyidikan terhadap pelaku yang telah diketahui sebagai daftar pencarian orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "membantu" adalah mereka yang dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan dan/atau yang dengan sengaja memberi kesempatan dan sarana untuk melakukan kejahatan pembalakan liar.

Huruf e


Cukup jelas.

Huruf f


Cukup jelas.

Huruf g


Cukup jelas.

Huruf h


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 53


Dihapus.


Angka 11


Pasal 54


Dihapus.


Angka 12


Pasal 82


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan" adalah orang perseorangan yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki mata pencaharian yang bergantung pada kawasan hutan.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 83


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 84


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 85


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 92


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 93


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 96


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 105


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 110A


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "memiliki Perizinan Berusaha" dalam ayat ini adalah setiap orang yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum Undang-Undang ini berlaku.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Pasal 110B


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "tanpa memiliki Perizinan Berusaha" dalam ayat ini adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha tanpa perizinan di bidang kehutanan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum Undang-Undang ini berlaku.

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Contoh penghitungan pembayaran denda administratif pada usaha perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan, antara lain dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

  a. Luas kawasan hutan yang dikuasai dan digunakan  untuk kegiatan perkebunan.
  b. Jangka waktu penguasaan kegiatan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan, dengan perhitungan jangka waktu pada saat usia tanaman produktif secara ekonomi pertama kali sampai dengan waktu saat terakhir penguasaannya.
  c. Persentase tarif denda dari nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh persatuan luas kegiatan perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya.

Rumus perhitungan denda pada kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai berikut:

Denda sama dengan luas perkebunan kelapa sawit dikalikan dengan jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (tahun) dikalikan dengan tarif denda dari persentase keuntungan pertahun (Rupiah).

  D = L x J x TD

Keterangan:
L = Luas Perkebunan Kelapa Sawit dalam kawasan hutan (Hektar)
J = Jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (Tahun)
TD  = Tarif Denda dari persentase keuntungan per tahun (Rupiah).

Contoh Asumsi Perhitungan Denda (D) yang digunakan adalah:

  a. (L) Luas Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di dalam kawasan hutan (dalam satuan Hektar).
Contoh luas perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan adalah 10.000 (sepuluh ribu) Hektar;
  b. (J) Jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (dalam satuan tahun). Perhitungan waktu dimulai saat usia produktif secara ekonomi sampai dengan terakhir penguasaannya. Perkebunan kelapa sawit akan mulai usia produktif (UP) pada usia tanaman mencapai umur 5 tahun. Sehingga apabila ada kelapa sawit usia tanaman (UT) 15 tahun pada tahun 2020, maka diasumsikan jangka waktu kegiatan perkebunan dihitung sebagai berikut:

Jangka Waktu (J) = Usia Tanaman (UT) - Usia Tanaman Produktif (UP)
J = 15 Tahun - 5 Tahun
J = 10 Tahun;
  c. (TD) Persentase tarif denda nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh persatuan luas per tahun (dalam satuan Rupiah), yaitu tarif denda persentase dari total nilai total keuntungan ekonomi yang didapatkan oleh kegiatan perkebunan kelapa sawit selama 1 (satu) tahun. Contoh Perhitungannya adalah asumsi rata rata pendapatan bersih (PB) per tahun adalah Rp25.000.000,00. Persentase Tarif Denda Nilai Keuntungan (DK) antara 20% - 60% dari total pendapatan bersih.

TD =  Pendapatan Bersih Per Tahun (PB) x % Tarif Denda Nilai Keuntungan (DK)
TD =  Rp25.000.000,00 X 20 % (Jika tarif 20%) = Rp5.000.000,00
  d. Sehingga Perhitungan Total Denda pada Sawit dengan luas Tanaman 10.000 (sepuluh ribu) Hektar, Jangkawaktu penguasaan perkebunan 10 (sepuluh) tahun dan Tarif Denda 20% (dua puluh persen) (Rp5.000.000,-) adalah:

D = L x J X TD
D = 10.000 He x 10 tahun x Rp5.000.000,00
D = Rp500.000.000.000,00

Huruf c


Untuk memberikan efek eksekutorial sanksi administratif pada ayat (1) huruf a dan huruf b, perlu diatur sanksi paksaan oleh Pemerintah Pusat termasuk pemberlakuan paksa badan (gizelling) bagi orang yang tidak melaksanakan sanksi administratif.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 21


Pasal 111


Dihapus.


Angka 22


Pasal 112


Dihapus.


Pasal 38

Cukup jelas.


Pasal 39

Angka 1


Pasal 128A


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 162


Cukup jelas.


Pasal 40

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 4


Ayat (1)


Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 5


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 23


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 23A


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 25


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 52

 

Cukup jelas.


Angka 8

Pasal 53


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 55


Cukup jelas.


Pasal 41

Angka 1


Pasal 4


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 5


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 6


Huruf a


Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa:

  a. pembuatan dan penetapan standardisasi;
  b. penetapan kebijakan pemanfaatan dan konservasi Panas Bumi;
  c. penetapan kebijakan kerja sama dan kemitraan;
  d. penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi; dan
  e. perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi.

Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah produksi kegiatan penyelenggaraan Panas Bumi.


Angka 4


Pasal 7


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 8


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 11


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 12


Dihapus.


Angka 8


Pasal 13


Dihapus.


Angka 9


Pasal 14


Dihapus.


Angka 10


Pasal 15


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 23


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 24


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 25


Dihapus.


Angka 14


Pasal 36


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 37


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 38


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 40


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 42


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 43


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 46


Yang dimaksud dengan "menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi" adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil.


Angka 21


Pasal 47


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 48


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 49


Cukup jelas.


Angka 24


Pasal 50


Cukup jelas.


Angka 25


Pasal 56


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 59


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 60


Dihapus.


Angka 28


Pasal 67


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 68


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 69


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 70


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 71


Cukup jelas.


Angka 33


Pasal 72


Cukup jelas.


Angka 34


Pasal 73


Cukup jelas.


Angka 35


Pasal 74


Dihapus.


Pasal 42

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 3


Ayat (1)


Mengingat tenaga listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 4


Ayat (1)


Badan usaha milik negara dalam ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 5


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 7


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan 'kebijakan energi nasional" adalah kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Energi.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 10


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 11


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan tenaga listrik. Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang semata-mata berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 13


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "kepentingan sendiri" adalah penyediaan tenaga listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan 'lembaga/badan usaha lainnya" adalahperwakilan lembaga asing atau badan usaha asing.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 16


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 18


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 19


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 20


Dihapus.


Angka 13


Pasal 21


Dalam penetapan Perizinan Berusaha, Pemerintah memperhatikan kemampuan dalam penyediaan tenaga listrik pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha setempat.

Perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik memuat, antara lain, nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi.


Angka 14


Pasal 22


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 23


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 24


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 25


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 27


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 28


Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.

Angka 20


Pasal 29


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan 'instalasi tenaga listrik milik konsumen" adalah instalasi tenaga listrik setelah alat pengukur atau alat pembatas penggunaan tenaga listrik.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.

 

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 21


Pasal 30


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Ganti rugi hak atas tanah termasuk untuk sisa tanah yang tidak dapat digunakan oleh pemegang hak sebagai akibat dari penggunaan sebagian tanahnya oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

Yang dimaksud dengan 'secara langsung" adalah penggunaan tanah untuk pembangunan instalasi tenaga listrik, antara lain, pembangkitan, gardu induk, dan tapak menara transmisi.

Ayat (3)


Secara tidak langsung dalam ketentuan ini antara lain penggunaan tanah untuk lintasan jalur transmisi.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Cukup jelas.

Angka 22


Pasal 32


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 33


Ayat (1)


Pengertian harga jual tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penjualan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik.

Pengertian harga sewa jaringan tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau distribusi tenaga listrik.

Ayat (2)


Dalam memberikan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, Pemerintah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha.

Angka 24


Pasal 34


Ayat (1)


Tarif tenaga listrik untuk konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik oleh konsumen, antara lain, biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 25


Pasal 35


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 37


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 44


Cukup jelas.


Angka 28


Pasal 45


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 46


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 48


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 49


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 50


Cukup jelas.


Angka 33


Pasal 51A


Cukup jelas.


Angka 34


Pasal 52


Dihapus.


Angka 35


Pasal 54


Cukup jelas.


Pasal 43

Angka 1


Pasal 2A


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 4


Ayat (1)


Yang di maksud dengan "Badan Pengawas" adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 9


Cukup jelas.

 

Angka 4


Pasal 9A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Kewajiban mengalihkan kepada negara atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi orang perseorangan atau badan usaha yang sudah memiliki izin sebelum Undang-Undang ini berlaku.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 10


Dihapus.


Angka 6


Pasal 14


Ayat (1)


Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa tenaga nuklir itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi.


Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "peraturan" yaitu bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir agar tujuan pengawasan tercapai.

Yang dimaksud dengan "perizinan" yaitu bahwa Pemerintah mengeluarkan instrumen perizinan untuk mengendalikan kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.

Yang dimaksud dengan "inspeksi" adalah kegiatan pemeriksaan baik secara berkala maupun sewaktu-waktu untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan tenaga nuklir dengan peraturan yang ditetapkan.


Angka 7


Pasal 17


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki izin, antara lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan pendeteksi asap.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "pembangunan" adalah termasuk penentuan tapak dan konstruksi instalasi nuklir.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 18


Dihapus.


Angka 9


Pasal 20


Ayat (1)


Inspeksi dilakukan dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 25


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Penentuan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi perlu ditetapkan oleh Pemerintah Pusat karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia.


Angka 11


Pasal 41


Cukup jelas.


Pasal 44

Angka 1


Pasal 15

Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 48A


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 50


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 53


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 57


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 59


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "seluruh rangkaian" adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 84


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah Pusat.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "pembatasan kepemilikan" adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasionalserta ketahanan nasional.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 101


Cukup jelas.

 

Angka 9


Pasal 102


Dihapus.


Angka 10


Pasal 104


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 105


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 105A


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 106


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri" adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 108


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 115


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 117


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Pengawasan dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring).


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Angka 1


Pasal 6


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "label berbahasa Indonesia" adalah setiap keterangan mengenai Barang yang berbentuk tulisan berbahasa Indonesia, kombinasi gambar dan tulisan berbahasa Indonesia, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku Usaha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada Barang, tercetak pada Barang, dan/atau merupakan bagian kemasan Barang.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 11


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 14


Ayat (1)


Pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan dimaksudkan untuk menyederhanakan dan kepastian proses Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha. Penyederhanaan juga mencakup pengintegrasian dengan persyaratan lain yang diperlukan dan dilakukan menggunakan sistem elektronik.

Sebagai contoh Perizinan Berusaha untuk toko swalayan, selain memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) juga memerlukan berbagai perizinan lain antara lain izin prinsip, izin tetangga, Izin Mendirikan Bangunan, izin domisili, Izin Lingkungan, Izin Usaha Toko Modern, Surat Izin Toko Obat, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (khusus toko franchise) serta berbagai rekomendasi yang menyangkut aspek pemadam kebakaran. Persyaratan tersebut dapat berbeda-beda pada setiap daerah dan dengan jangka waktu tertentu.

Hal ini akan menghambat pengembangan usaha oleh pelaku usaha terkait toko swalayan.

Untuk itu melalui Undang-Undang tentang Cipta Kerja dilakukan penyederhanaan Perizinan Berusaha, antara lain Izin Prinsip, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha Toko Modern, Surat Izin Toko Obat, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba, Izin Domisili, Izin Lingkungan serta berbagai rekomendasi yang dilakukan secara terpusat melalui sistem elektronik, sehingga tidak lagi memerlukan perizinan dan persetujuan dari masing-masing daerah.

Dengan penerapan Perizinan Berusaha ini maka proses Perizinan Berusaha untuk toko swalayan lebih sederhana dan terstandar secara nasional. Selanjutnya Pelaku Usaha dapat melakukan proses Perizinan Berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik (online system submission) untuk mendapat Nomor Induk Berusaha (NIB) dan penerapan standar atau izin yang diperlukan berupa standar toko swalayan.

Yang dimaksud dengan "pemasok" adalah Pelaku Usaha yang secara teratur memasok Barang kepada pengecer dengan tujuan untuk dijual kembali melalui kerja sama usaha.

Yang dimaksud dengan "pengecer" adalah perseorangan atau badan usaha yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "tata ruang" adalah wujud struktur ruang dan pola ruang dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 15


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 17


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 24


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 30


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 33


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 37


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 38


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 42


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 43


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 45


Ayat (1)


Permohonan impor barang diajukan langsung kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan persetujuan Pemerintah Pusat diberikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan setelah ada rekomendasi dari kementerian lain jika diperlukan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 46


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 47


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam hal barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha,  investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali.

Selain itu, dalam hal terjadi bencana alam dibutuhkan barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta Barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 49


Dihapus.


Angka 17


Pasal 51


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 52


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 53


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 57


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 60


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 61


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 63


Cukup jelas.


Angka 24


Pasal 65


Cukup jelas.


Angka 25


Pasal 74


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan pemangku kepentingan lainnya.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 77


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 77A


Cukup jelas.


Angka 28


Pasal 81


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 98


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 99


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 100


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 102


Cukup jelas.


Angka 33


Pasal 104


Cukup jelas.


Angka 34


Pasal 106


Cukup jelas.


Angka 35


Pasal 109


Cukup jelas.


Angka 36


Pasal 116


Cukup jelas.


Pasal 47

Angka 1


Pasal 13


Huruf a


Jenis-jenis alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya antara lain ialah meter air, meter gas, meter listrik, meter taxi, meter pulsa telpon, alat pengukur kelembaban (moisture tester) perlu ditunjuk tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan tera ulang.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 17


Ayat (1)


Karena penggunaan alat ukur takar, timbang, dan perlengkapannya berada di bawah pengawasan instansi Pemerintah Pusat yang bertanggungjawab di bidang metrologi maka seharusnyalah pembuatan alat-alat tersebut dengan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat supaya mudah mengawasi dan membina, sehingga alat-alat itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian. Demikian pula untuk memperbaiki alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya misalnya memperbaiki timbangan perlu mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, yaitu supaya mudah mengawasi dan membimbingnya.

Dengan demikian diharapkan bahwa pekerjaan memperbaiki timbangan dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian dalam bidang itu dan dengan rasa penuh tanggungjawab, sehingga para pemilik timbangan tidak akan terperdaya oleh orang-orang yang mengaku sebagai reparatir timbangan padahal tidak mempunyai keahlian dalam pekerjaan tersebut dan hanya semata-mata mencari keuntungan untuk dirinya saja.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 18


Perizinan Berusaha diperlukan untuk menghindari masuk dan beredarnya alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang tidak memenuhi persyaratan, sebab jika ini terjadi akan menyulitkan dalam melaksanakan Undang-Undang ini.


Angka 4


Pasal 24


Cukup jelas.


Pasal 48

Angka 1


Pasal 4A


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 7


Huruf a


Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan.


Huruf b


LPH bersifat mandiri.


Huruf c


Yang dimaksud dengan MUI termasuk MUI di provinsi dan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh.


Angka 3


Pasal 10


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 13


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "lembaga keagamaan Islam berbadan hukum" diantaranya organisasi bermasa Islam berbadan hukum dan yayasan Islam yang mengelola perguruan tinggi.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 14


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 16


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 22


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 27


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 28


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 29


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 30


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 31


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 32


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 33


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 35


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 35A


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 40


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 41


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 42


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 44


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 48


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 53


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 55


Cukup jelas.


Angka 24


Pasal 56


Cukup jelas.


Pasal 49

Cukup jelas.


Pasal 50

Angka 1


Pasal 26


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 29


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 33


Ayat (1)


Pemberian kemudahan Perizinan Berusaha bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi badan hukum di bidang perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 35


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 36


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 40


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 42


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "perjanjian pendahuluan jual beli" adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "hal yang diperjanjikan" adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk rumah, spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dana utilitas umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "keterbangunan perumahan" adalah persentase telah terbangunnya rumah dari seluruh jumlah unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 53


Ayat (1)


Pengendalian perumahan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai.


Ayat (2)


Huruf a


Perizinan berusaha diberikan kepada pelaku usaha, sedangkan Persetujuan diberikan kepada non Pelaku Usaha.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "penertiban" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui tindakan penegakan hukum bagi perumahan yang dalam pembangunan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "penataan" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui perbaikan dalam penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan penyelenggaraan perumahan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 55


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Pelaksanaan ketentuan ini hanya berlaku dalam kondisi normal, namun tidak berlaku dalam kondisi kahar, antara lain seperti: bencana alam, huru-hara, perang, dan pandemi.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 107


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 109


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 114


Cukup jelas.

Angka 13


BAB IXA


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 134


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 150


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 151


Cukup jelas.

Angka 17


Pasal 153


Cukup jelas.

Pasal 51

Angka 1


Pasal 16


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 24


Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "persyaratan administratif" adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis" adalah persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "persyaratan ekologis" adalah persyaratan yang memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun.

 

Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 26


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 28


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 29


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 30


Dihapus.

Angka 7


Pasal 31


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 32


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 33


Dihapus.

Angka 10


Pasal 39


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "laik fungsi" adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan rumah susun yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan rumah susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

Yang dimaksud dengan "sebagian pembangunan rumah susun" adalah satu bangunan rumah susun atau lebih dari seluruh rencana bangunan rumah susun dalam satuan lingkungan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 40


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "lingkungan rumah susun" adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibangun rumah susun, termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat permukiman.

Yang dimaksud dengan "prasarana" adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian rumah susun yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan tempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman meliputi jaringan jalan, drainase, sanitasi, air bersih, dan tempat sampah.

Yang dimaksud dengan "sarana" adalah fasilitas dalam lingkungan hunian rumah susun yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi meliputi sarana sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, peribadatan dan perniagaan) dan sarana umum (ruang terbuka hijau, tempat rekreasi, sarana olahraga, tempat pemakaman umum, sarana pemerintahan, dan lain-lain).

Yang dimaksud dengan "utilitas umum" adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian rumah susun yang mencakup jaringan listrik, jaringan telepon, dan jaringan gas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 43


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 54


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 56


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pemeliharaan" adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.

Yang dimaksud dengan "perawatan" adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 67


Cukup jelas.

Angka 16


Pasal 72


Dihapus.

Angka 17


Pasal 73


Dihapus.

Angka 18


Pasal 107


Cukup jelas.

Angka 19


Pasal 108


Cukup jelas.

Angka 20


Pasal 110


Dihapus.

Angka 21


Pasal 112


Dihapus.

Angka 22


Pasal 113


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 114


Cukup jelas.

Angka 24


Pasal 117


Cukup jelas.


Pasal 52

Angka 1


Pasal 5


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan "rantai pasok Jasa Konstruksi" adalah alur kegiatan produksi dan distribusi material, peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Huruf l


Cukup jelas.


Huruf m


Cukup jelas.


Huruf n


Cukup jelas.


Huruf o


Cukup jelas.


Huruf p


Cukup jelas.


Huruf q


Cukup jelas.


Huruf r


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan antara lain pemberian pelatihan bagi penerapan teknologi, metode, dan standar kompetensi baru.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Standar remunerasi minimal ditetapkan dengan mempertimbangkan kompleksitas dari jenis layanan profesional, biaya, risiko, dan teknologi dari penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional, dan/atau harga pasar yang berlaku di provinsi tempat diselenggarakannya Jasa Konstruksi.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Ayat (5)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Teknologi prioritas meliputi:

  1. teknologi sederhana tepat guna dan padat karya;
  2. teknologi yang berkaitan dengan posisi geografis Indonesia;
  3. teknologi konstruksi berkelanjutan;
  4. teknologi material baru yang berpotensi tinggi di Indonesia; dan
  5. teknologi dan manajemen pemeliharaan aset infrastruktur.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 6


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 7


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 8


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 9


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 10

 

Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 20


Ayat (1)


Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan suatu usaha Jasa Konstruksi dalam melaksanakan Jasa Konstruksi pada saat yang bersamaan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 26

 

Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 27


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 28


Cukup jelas.


Angka 11


Pasal 29


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 30


Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 31


Dihapus.


Angka 14


Pasal 33


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 34


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 35


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 36


Dihapus.


Angka 18


Pasal 38


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri merupakan kegiatan yang pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai penanggung jawab anggaran, dan/atau kelompok masyarakat.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 42


Dihapus.

Angka 20


Pasal 44


Cukup jelas.

Angka 21


Pasal 57


Dihapus.

Angka 22


Pasal 58


Dihapus.

Angka 23


Pasal 59


Cukup jelas.

Angka 24


Pasal 69


Cukup jelas.

Angka 25


Pasal 72


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "tanda daftar pengalaman profesional" adalah dokumen yang memuat dan menjelaskan pengalaman tenaga kerja konstruksi yang telah didaftarkan secara resmi kepada pemerintah.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 74


Dihapus.

Angka 27


Pasal 84


Ayat (1)


Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat antara lain registrasi badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa Konstruksi dan asosiasi terkait rantai pasok Jasa Konstruksi, registrasi pengalaman badan usaha, registrasi penilai ahli, menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan, akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profesional tenaga kerja serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi, penyetaraan tenaga kerja asing, membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi/lembaga pendidikan dan pelatihan.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "lembaga" adalah pengembangan Jasa Konstruksi.


Ayat (3)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Asosiasi terkait rantai pasok konstruksi antara lain asosiasi terkait material dan peralatan konstruksi.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Pengaturan pembentukan lembaga antara lain tata cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja lembaga.


Angka 28


Pasal 89


Cukup jelas.

Angka 29


Pasal 92


Dihapus.

Angka 30


Pasal 96


Cukup jelas.

Angka 31


Pasal 99


Cukup jelas.

Angka 32


Pasal 101


Dihapus.

Angka 33


Pasal 102


Cukup jelas.

Pasal 53

Angka 1


Pasal 8


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 9


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 12


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 17


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 19


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 40


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 43


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 44


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 45


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 49


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 50


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 51


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 52


Cukup jelas.


Angka 14


Pasal 56


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 70


Cukup jelas.

Angka 16


Pasal 73


Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Angka 1


Pasal 19


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 36


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 38


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "fasilitas utama" adalah jalur keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang, tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan informasi, kantor pengendali terminal, dan loket.

Yang dimaksud dengan "fasilitas penunjang" antara lain adalah fasilitas untuk penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 39


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "lingkungan kerja terminal" adalah lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasilitas terminal dan dibatasi dengan pagar.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.


Angka 5

Pasal 40


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 43


Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Parkir untuk umum" adalah tempat untuk  memarkir kendaraan dengan dipungut biaya.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 50


Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 53


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 60


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "mempunyai kualitas tertentu" adalah bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan sasis dan bodi.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 78


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 99


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur" adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Analisis dampak lalu lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 100


Dihapus.

Angka 13


Pasal 101


Dihapus.

Angka 14


Pasal 126


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 162


Cukup jelas.

Angka 16


Pasal 165


Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "angkutan multimoda" adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari 1 (satu) tempat penerimaan barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


 Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 170


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "lokasi tertentu" adalah tempat pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan efisien.


Ayat (2)


Cukup jelas


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 173


Cukup jelas.

Angka 19


Pasal 174


Dihapus.

Angka 20


Pasal 175


Dihapus.

Angka 21


Pasal 176


Dihapus.

Angka 22


Pasal 177


Dihapus.

Angka 23


Pasal 178


Dihapus.

Angka 24


Pasal 179


Cukup jelas.

Angka 25


Pasal 180


Dihapus.

Angka 26


Pasal 185


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "trayek atau lintas tertentu" adalah trayek  angkutan penumpang umum orang yang secara finansial belum menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 27


Pasal 199


Cukup jelas.


Angka 28


Pasal 220


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "badan hukum" adalah badan (perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan lembaga.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 29


Pasal 222


Cukup jelas.

Angka 30


Pasal 308


Dihapus.

Pasal 56

Angka 1


Pasal 24


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 24A


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 28


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 32


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 32A


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 33


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 33A


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 77


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 80A


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 82


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 107


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 112


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 116A


Cukup jelas.

Pasal 116B


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 135


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 168


Cukup jelas.

Angka 16


Pasal 185A

 

Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 188


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 190


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 191


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 195


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 196


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 203


Cukup jelas.

Angka 23


Pasal 204


Cukup jelas.


Angka 24


Pasal 210


Cukup jelas.


Pasal 57


Angka 1


Pasal 5


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" yaitu bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 9


Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "intramoda" meliputi angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat.

Yang dimaksud dengan "antarmoda" adalah keterpaduan transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara.

Intra dan antarmoda tersebut merupakan satu kesatuan transportasi nasional.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "trayek tetap dan teratur (liner) adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.

Yang dimaksud dengan "trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper)" adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "jaringan trayek" adalah kumpulan dari trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan penumpang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.


Ayat (4)


Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 13


Ayat (1)


Termasuk dalam kegiatan angkutan laut khusus antara lain kegiatan angkutan yang dilakukan oleh usaha bidang industri, pariwisata, pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang umum.

Angkutan laut khusus baik dalam negeri maupun luar negeri dapat diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang karena sifat muatannya belum dapat diselenggarakan oleh penyedia jasa angkutan laut umum.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 14A


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "belum tersedia" adalah jumlah dan jadwal saat diperlukan kapal berbendera Indonesia tersebut tidak tersedia atau belum mencukupi kebutuhan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 27


Kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha dalam melakukan kegiatan angkutan di perairan dimaksudkan sebagai alat pembinaan, pengendalian, dan pengawasan angkutan di perairan untuk memberikan kepastian usaha dan perlindungan hukum bagi penyedia dan pengguna jasa.

Angka 6


Pasal 28


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 30


Dihapus.

Angka 8


Pasal 31


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 32


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 33


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 34


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 51


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 52


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 59


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 90


Cukup jelas.

Angka 16


Pasal 91


Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila ternyata terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang mampu memanfaatkan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya untuk melayani kegiatan yang memberikan manfaat komersial.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 96


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 97


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 98


Cukup jelas.


Angka 20


Pasal 99


Cukup jelas.


Angka 21


Pasal 103


Dihapus.

Angka 22


Pasal 104


Cukup jelas.

Angka 23


Pasal 106


Cukup jelas.

Angka 24


Pasal 107


Dihapus.


Angka 25


Pasal 111


Cukup jelas.


Angka 26


Pasal 124


Yang dimaksud dengan "pengadaan kapal" adalah kegiatan memasukkan kapal dari luar negeri, baik kapal bekas maupun kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia.

Yang dimaksud dengan "pembangunan kapal" adalah pembuatan kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera Indonesia.

Yang dimaksud dengan "pengerjaan kapal" adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan perawatan kapal.

Yang dimaksud dengan "perlengkapan kapal" adalah bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu (smoke detector) dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika kapal, dan peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan pengamatan meteorologi untuk kapal dengan ukuran dan daerah pelayaran tertentu.

Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman antara lain: Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1978 beserta peraturan pelaksanaan.


Angka 27


Pasal 125


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "perombakan" adalah perombakan konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan dimensi kapal.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 28


Pasal 126


Ayat (1)


Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis kapal ukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali:

  a. kapal perang;
  b. kapal negara; dan
  c. kapal yang digunakan untuk keperluan olah raga.


Ayat (2)


Huruf a


Jenis sertifikat kapal penumpang antara lain:

  1) Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang (meliputi keselamatan konstruksi, perlengkapan, dan radio kapal); dan
  2) Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi).

Huruf b


Jenis-jenis sertifikat keselamatan kapal barang sesuai dengan SOLAS 1974 antara lain:

  1) Sertifikat Keselamatan Kapal Barang;
  2) Sertifikat Keselamatan Konstruksi Kapal Barang;
  3) Sertifikat Keselamatan Perlengkapan Kapal Barang;
  4) Sertifikat Keselamatan Radio Kapal Barang; dan
  5) Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi).

Huruf c


Sertifikasi kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.


Angka 29


Pasal 127


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman antara lain: Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1978 beserta peraturan pelaksanaan.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 30

Pasal 129


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 130


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 133


Cukup jelas.


Angka 33


Pasal 154


Dalam rangka percepatan kemudahan berusaha, proses pengukuran, pendaftaran, dan penetapan kebangsaan kapal pada kapal penangkap ikan dilakukan secara terintegrasi melalui pelayanan 1 (satu) atap. Sarana dan Prasarana penyelenggaraan sistem 1 (satu) atap disediakan oleh Pemerintah Pusat.


Angka 34


Pasal 155


Ayat (1)


Pelaksanaan pengukuran kapal dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perhubungan. Khusus untuk kapal perikanan, pelaksanaan pengukuran dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perikanan berdasarkan kompetensi, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perhubungan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 35


Pasal 157


Cukup jelas.


Angka 36


Pasal 158


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "pendaftaran kapal" adalah pendaftaran hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain memenuhi ketentuan pendaftaran kapal, yang merupakan persyaratan untuk menerbitkan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia bagi kapal yang mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pemilik kapal perikanan wajib memenuhi ketentuan atau persyaratan pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pendaftaran kapal perikanan.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "grosse akta pendaftaran" adalah salinan resmi dari minut (asli dari akta pendaftaran).

Bukti hak milik atas kapal merupakan dokumen kepemilikan yang disampaikan oleh pemilik kapal pada saat mendaftarkan kapalnya antara lain berupa:

  1. Bagi kapal bangunan baru
a. kontrak pembangunan kapal;
b. berita acara serah terima kapal; dan
c. surat keterangan galangan.
  2. Bagi kapal yang pernah didaftar di negara lain
a. bill of sale; dan
b. protocol of delivery and acceptance.

Ayat (5)


Yang dimaksud dengan "tanda pendaftaran" merupakan rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori kapal.


Contoh :

   
2008 Pst No.49991L

  2008 : Tahun pendaftaran kapal
  Pst  : Kode pengukuran dari tempat kapal didaftar
  No.  : Nomor
  4999 : Nomor akta pendaftaran kapal
  L   : Kode kategori kapal (L kode kategori untuk kapal laut, N kode kategori untuk kapal nelayan, P kode kategori untuk kapal pedalaman yaitu kapal yang berlayar di sungai dan danau).

Angka 37


Pasal 159


Cukup jelas.


Angka 38


Pasal 163


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimakud dengan "perairan sungai dan danau" meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa.


Angka 39


Pasal 168


Cukup jelas.


Angka 40


Pasal 169


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "kapal untuk jenis dan ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat" adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 41


Pasal 170


Ayat (1)

 

Yang dimaksud dengan "ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Untuk kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai sertifikat ditetapkan tersendiri.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 42


Pasal 171


Cukup jelas.


Angka 43


Pasal 197


Cukup jelas.


Angka 44


Pasal 204


Cukup jelas.


Angka 45


Pasal 213


Cukup jelas.


Angka 46


Pasal 225


Cukup jelas.


Angka 47


Pasal 243


Cukup jelas.


Angka 48


Pasal 273


Cukup jelas.


Angka 49


Pasal 288


Cukup jelas.


Angka 50


Pasal 289


Cukup jelas.


Angka 51


Pasal 290


Cukup jelas.


Angka 52


Cukup jelas.


Angka 53

Pasal 292


Cukup jelas.


Angka 54


Pasal 293


Cukup jelas.


Angka 55


Pasal 294


Cukup jelas.

Angka 56


Pasal 295


Cukup jelas.

Angka 57


Pasal 296


Cukup jelas.


Angka 58


Pasal 297


Cukup jelas.

Angka 59


Pasal 298


Cukup jelas.

Angka 60


Pasal 299


Cukup jelas.


Angka 61

 

Pasal 307


Cukup jelas.

Angka 62


Pasal 308


Cukup jelas.

Angka 63


Pasal 310


Cukup jelas.


Angka 64


Pasal 313


Cukup jelas.

Angka 65


Pasal 314


Cukup jelas.

Angka 66


Pasal 321


Cukup jelas.

Angka 67


Pasal 322


Cukup jelas.

Angka 68


Pasal 336


Cukup jelas.

Pasal 58

Angka 1


Pasal 13


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 14


Dihapus.


Angka 3


Pasal 15


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 16


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 17


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 18


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 19


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 20


Dihapus.

Angka 9


Pasal 21


Dihapus.

Angka 10


Pasal 22


Dihapus.


Angka 11


Pasal 26


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 30


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 31


Dihapus.

Angka 14


Pasal 32


Dihapus.

Angka 15


Pasal 33


Dihapus.

Angka 16


Pasal 37


Cukup jelas.

Angka 17

 

Pasal 40


Cukup jelas.

Angka 18


Pasal 41


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 42


Dihapus.

Angka 20


Pasal 43


Dihapus.

Angka 21


Pasal 45


Cukup jelas.

Angka 22


Pasal 46


Cukup jelas.

 

Angka 23


Pasal 47


Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c

Personel pemegang lisensi ahli perawatan pesawat udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan pesawat udara untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang.


Angka 24


Pasal 48


Dihapus.

Angka 25


Pasal 49


Cukup jelas.

Angka 26


Pasal 50


Cukup jelas.

Angka 27


Pasal 51


Cukup jelas.

Angka 28


Pasal 58


Ayat (1)


Personel pesawat udara meliputi personel operasi pesawat udara, personel penunjang operasi pesawat udara, dan personel perawatan pesawat udara.

Personel operasi pesawat udara meliputi:

  a. penerbang; dan
  b. juru mesin pesawat udara.

Personel penunjang operasi pesawat udara meliputi:

  a. personel penunjang operasi penerbangan; dan
  b. personel kabin. Personel perawatan pesawat udara, yaitu personel yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "sah" adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.

Yang dimaksud dengan "masih berlaku" adalah lisensi yang diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang pekerjaannya.


Angka 29


Pasal 60


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 61


Cukup jelas.

Angka 31


Pasal 63


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah:

  a. tidak tersedianya kapasitas pesawat udara di Indonesia;
  b. tidak tersedianya jenis atau kemampuan pesawat udara Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan udara;
  c. bencana alam; dan/atau
  d. bantuan kemanusiaan.

Yang dimaksud dengan "dalam waktu yang terbatas" adalah waktu pengoperasian pesawat udara asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh pesawat udara Indonesia.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "perjanjian antarnegara" adalah perjanjian pelimpahan kewenangan fungsi kelaikudaraan.


Ayat (4)


Yang dimaksud "persyaratan kelaikudaraan" adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 32


Pasal 64


Dihapus.

Angka 33


Pasal 66


Cukup jelas.

Angka 34


Pasal 67


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "tanda identitas" adalah tanda pendaftaran.


Angka 35


Pasal 84


Cukup jelas.

Angka 36


Pasal 85


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), angkutan udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional.


Yang dimaksud dengan "bersifat sementara" adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 37


Pasal 91


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.

Angka 38


Pasal 93


Cukup jelas.

Angka 39


Pasal 94


Cukup jelas.

Angka 40


Pasal 95


Cukup jelas.

Angka 41


Pasal 96


Cukup jelas.

Angka 42


Pasal 97


Ayat (1)

Huruf a


Yang dimaksud dengan "pelayanan standar maksimum" (full services) antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class).


Huruf b


Yang dimaksud dengan "pelayanan standar menengah" (medium Services) antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi tertentu.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "pelayanan standar minimum" (no frills), antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 43


Pasal 99


Dihapus.

Angka 44


Pasal 100


Cukup jelas.

Angka 45


Pasal 109


Cukup jelas.

Angka 46


Pasal 110


Dihapus.

Angka 47


Pasal 111


Dihapus.

Angka 48


Pasal 112


Cukup jelas.

Angka 49


Pasal 113


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham badan usaha angkutan udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi).


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 50


Pasal 114


Cukup jelas.

Angka 51


Pasal 118


Cukup jelas.

Angka 52


Pasal 119


Cukup jelas.

Angka 53


Pasal 120


Cukup jelas.

Angka 54

Pasal 130


Cukup jelas.

Angka 55

Pasal 131


Dihapus.

Angka 56

Pasal 132


Dihapus.

Angka 57

Pasal 133


Dihapus.

Angka 58

Pasal 137


Cukup jelas.

Angka 59

Pasal 138


Cukup jelas.

Angka 60

Pasal 139


Cukup jelas.

Angka 61

Pasal 205


Cukup jelas.

Angka 62

Pasal 215


Dihapus.

Angka 63

Pasal 218


Cukup jelas.

Angka 64

Pasal 219


Cukup jelas.

Angka 65

Pasal 221


Cukup jelas.

Angka 66

Pasal 222


Cukup jelas.

Angka 67

Pasal 224


Cukup jelas.

Angka 68

Pasal 225


Cukup jelas.

Angka 69

Pasal 233


Cukup jelas.

Angka 70

Pasal 237


Cukup jelas.

Angka 71

Pasal 238


Cukup jelas.

Angka 72

Pasal 242


Cukup jelas.

Angka 73

Pasal 247


Cukup jelas.

Angka 74

Pasal 249


Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu", antara lain, untuk tujuan medical evacuation dan penanganan bencana.

Angka 75

Pasal 250


Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu", dapat berupa:

  1. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara umum; dan/atau
  2. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara umum dan belum ada moda transportasi yang memadai.

Angka 76

Pasal 252


Cukup jelas.

Angka 77

Pasal 253.


Cukup jelas.

Angka 78

Pasal 254


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan", antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport manual).


Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 79

Pasal 255


Cukup jelas.

Angka 80

Pasal 275


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara" terdiri atas pelayanan aerodrome oleh personel pemandu (aerodrome control), pelayanan komunikasi penerbangan (aeronautical flight information services), dan pelayanan aerodrome tanpa personel pemandu (un-attended).


Huruf b


Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi pendekatan" adalah unit pelayanan navigasi penerbangan pada kawasan pendekatan kedatangan (standard arrivai route) dan keberangkatan (standard instrument departure).


Huruf c


Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah" adalah unit pelayanan lalu lintas penerbangan terkendali yang diberikan kepada pesawat udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas penerbangan (air traffic control clearance), pelayanan informasi penerbangan (flight information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting service).


Angka 81

Pasal 277


Cukup jelas.

Angka 82

Pasal 292


Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan" meliputi:

  a. personel pelayanan lalu lintas penerbangan, yang terdiri atas:
  1. pemandu lalu lintas penerbangan; dan
  2. pemandu komunikasi penerbangan.
  b. personel teknik telekomunikasi penerbangan, yang terdiri atas:
  1. teknisi komunikasi penerbangan;
  2. teknisi radio navigasi penerbangan;
  3. teknisi pengamatan penerbangan; dan
  4. teknisi kalibrasi penerbangan.
  c. personel pelayanan informasi aeronautika; dan
  d. personel perancang prosedur penerbangan adalah personel yang bertugas antara lain:
1) merancang suatu prosedur pergerakan pesawat udara untuk:
a) keberangkatan (standard instrument departure). Prosedur pergerakan pesawat udara keberangkatan adalah jalur penerbangan tertentu dari suatu bandara, ditandai oleh fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang.
b) kedatangan (Standard instrument arrival route). Prosedur pergerakan pesawat udara kedatangan adalah jalur penerbangan tertentu menuju suatu bandara, ditandai oleh fasilitas-fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang.
c) ancangan pendaratan (instrument approach procedure). Prosedur pergerakan pesawat udara ancangan pendaratan adalah rangkaian manuver yang ditetapkan bagi penerbang dalam melaksanakan prosedur ancangan pendaratan dengan hanya berpedoman pada instrumen-instrumen yang terdapat dalam cockpit serta fasilitas komunikasi dan navigasi.
d) terbang jelajah (en-route). Prosedur pergerakan pesawat udara terbang jelajah adalah prosedur pergerakan pesawat udara yang dimulai dari fase keberangkatan sampai dengan awal fase kedatangan melalui suatu jalur penerbangan dengan batas ketinggian minimum yang ditentukan (minimum en-route altitude).
2) melakukan kajian aeronautika terhadap objek halangan yang berada dalam area operasi penerbangan.

Angka 83

Pasal 294


Cukup jelas.

Angka 84

Pasal 295


Cukup jelas.

Angka 85

Pasal 317


Cukup jelas.

Angka 86

Pasal 389


Cukup jelas.

Angka 87


Pasal 392


Cukup jelas.

Angka 88


Pasal 418


Cukup jelas.

Angka 89


Pasal 423


Cukup jelas.

Angka 90


Pasal 428


Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Angka 1


Pasal 30


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat pertama" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat kedua" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat ketiga" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 35


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 60


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "alat dan teknologi" dalam ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang dilakukan.


Ayat (2)


Cukup jelas.

 

Angka 4


Pasal 106


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "sediaan farmasi" adalah Obat, Bahan Obat, Obat Tradisional, dan Kosmetik. Termasuk dalam sediaan farmasi adalah suplemen kesehatan dan obat kuasi.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.

 

Angka 5


Pasal 111


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "standar" antara lain terkait dengan pemberian tanda atau label yang berisi: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan;

  1. Berat bersih atau isi bersih;
  2. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman ke dalam wilayah Indonesia; dan
  3. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.

 

Angka 6


Pasal 182


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 183


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 187


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 188


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 197


Cukup jelas.

Pasal 61

Angka 1


Pasal 17


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 24


Ayat (1)


Kemampuan pelayanan antara lain ditentukan oleh sumber daya manusia, bangunan, sarana, dan peralatan.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 25


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 26


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 27


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 28


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 29


Ayat (1)

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "standar pelayanan rumah sakit" adalah semua standar pelayanan yang berlaku di rumah sakit, antara lain Standar Prosedur Operasional, standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan 'pasien tidak mampu/miskin" adalah pasien yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Yang dimaksud dengan "penyelenggaraan rekam medis" dalam ayat ini adalah dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap diupayakan mencapai standar internasional.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Huruf l


Cukup jelas.


Huruf m


Cukup jelas.


Huruf n


Cukup jelas.


Huruf o


Rumah Sakit dibangun serta dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan yang dapat difungsikan serta dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan keamanan, mencegah kebakaran/bencana dengan terjaminnya keamanan, kesehatan dan keselamatan pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan Rumah Sakit.


Huruf p


Cukup jelas.


Huruf r


Yang dimaksud dengan "peraturan internal Rumah Sakit" (hospital by laws) adalah peraturan organisasi Rumah Sakit (corporate by laws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) antara lain diatur kewenangan klinis (Clinical Privilege).

Huruf s


Cukup jelas.


Huruf t


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.

 

Angka 8


Pasal 40


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 54


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis medis" adalah audit medis.


Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis perumahsakitan" adalah audit kinerja rumah sakit.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 62


Cukup jelas.

Pasal 62

Angka 1


Pasal 5


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 9


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 16


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 18

Ayat (1)


Surat persetujuan ekspor dari Pemerintah berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir di negara pengimpor, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan keterangan bahw ekspor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan.

Surat Persetujuan Impor dari Pemerintah berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir di negara pengekspor, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 19


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 20


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 21


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 22


Cukup jelas.

Pasal 63

Angka 1


Pasal 11


Ayat (1)


Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan Perizinan Berusaha kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.

 

Angka 2


Pasal 15


Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 16


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 18


Ayat (1)

 

Perusahaan Pedagang Besar Farmasi dalam ketentuan ini adalah BUMN maupun swasta.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 19


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 22


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 24


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 26


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 36


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 39


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "industri farmasi, dan pedagang besar farmasi" adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.

Ayat (2)


Ketentuan ini menegaskan bahwa Perizinan Berusaha bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Pasal 64

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 14


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 15


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "untuk keperluan lain" adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri dan/atau ekspor.


Angka 4


Pasal 36


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 39


Usaha tani meliputi peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.

Angka 6


Pasal 68


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "rantai Pangan" adalah urutan tahapan dan operasi di dalam produksi, pengolahan, distribusi, penyimpanan, dan penanganan suatu Pangan dan bahan bakunya mulai dari produksi hingga konsumsi, termasuk bahan yang berhubungan dengan Pangan hingga Pangan siap dikonsumsi.

Yang dimaksud dengan "secara terpadu" adalah penyelenggaraan Keamanan Pangan harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh semua pemangku kepentingan pada setiap rantai Pangan.

Ayat (2)


Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan dilakukan antara lain, dengan berbasis analisis risiko. Analisis risiko merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara sistematis dan transparan berdasarkan informasi ilmiah yang meliputi manajemen risiko, kajian risiko, dan komunikasi risiko.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 72


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 74


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 77


Ayat (1)


Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam Perizinan Berusaha adalah dari aspek Keamanan Pangan.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, yang dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi.

Yang dimaksud dengan "bahan lain" adalah bahan yang tidak termasuk bahan baku maupun bahan tambahan Pangan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 81


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 87


Dihapus.

Angka 12


Pasal 88


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 89A


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 91


Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "Pangan Olahan tertentu" adalah pangan olahan yang dibuat oleh industri rumah tangga Pangan, yaitu industri Pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan manual hingga semi otomatis.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 15


Pasal 133


Cukup jelas.

Angka 16


Pasal 134


Cukup jelas.

Angka 17


Pasal 135


Cukup jelas.


Angka 18


Pasal 139


Cukup jelas.

Angka 19


Pasal 140


Cukup jelas.

Angka 20


Pasal 141


Cukup jelas.

Angka 21


Pasal 142


Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan kata "dapat" dalam ketentuan ini pada dasarnya kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha tidak berlaku pada sektor Pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus yang diatur tersendiri.

Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa pengelolaan satuan Pendidikan bersifat nirlaba sehingga tidak dapat disamakan dengan pengelolaan kegiatan usaha. Dengan demikian perlakuan, persyaratan, dan proses izin yang diperlukan oleh satuan Pendidikan untuk kegiatan operasionalnya tidak dapat sama dengan perlakuan, persyaratan, dan proses Perizinan Berusaha untuk kegiatan yang dapat bersifat laba.

Ketentuan izin untuk satuan Pendidikan tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang Pendidikan:

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
  4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran;
  5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Undang-Undang tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi satuan Pendidikan tersebut termasuk satuan Pendidikan nonformal yang dikelola oleh masyarakat melakukan proses izin melalui sistem Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Ketentuan pasal ini memberikan ruang bagi pengelola satuan Pendidikan secara suka rela untuk dapat menggunakan proses sistem Perizinan Berusaha antara lain untuk proses kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan standar bangunan Gedung. Untuk pengelolaan satuan Pendidikan cukup dengan proses yang telah ada sehingga tidak dilakukan melalui sistem Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Sebagai contoh bahwa untuk pendirian pesantren telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang mengatur bahwa pendirian pesantren hanya dengan mendaftarkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sehingga dengan demikian pendirian pesantren tidak berlaku kewajiban untuk menggunakan sistem Perizinan Berusaha dalam Undang-Undang ini.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Pasal 66

Angka 1


Pasal 14


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 17


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 22


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 78


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 79


Dihapus.

Pasal 67


Angka 1


Pasal 14

Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan usaha "daya tarik wisata" adalah usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/ binaan manusia.


Huruf b


Yang dimaksud dengan usaha "kawasan pariwisata" adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.


Huruf c


Yang dimaksud dengan usaha "jasa transportasi wisata" adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler/umum.

Huruf d


Yang dimaksud dengan usaha "jasa perjalanan wisata" adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata.

Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah.

Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.

Huruf e


Yang dimaksud dengan usaha "jasa makanan dan minuman" adalah usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum.

Huruf f


Yang dimaksud dengan usaha "penyediaan akomodasi" adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya.

Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata.

Huruf g


Yang dimaksud dengan usaha "penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi" merupakan usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata.

Huruf h


Yang dimaksud dengan usaha "penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran" adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional.

Huruf i


Yang dimaksud dengan usaha "jasa informasi pariwisata" adalah usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.

Huruf j


Yang dimaksud dengan usaha "jasa konsultan pariwisata" adalah usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan.

Huruf k


Cukup jelas.

Huruf l


Yang dimaksud dengan "usaha wisata tirta" merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk.

Huruf m


Yang dimaksud dengan "usaha spa" adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 15


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 16


Dihapus.

Angka 4


Pasal 26


Ayat (1)

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi" meliputi, antara lain wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Huruf l


Cukup jelas.


Huruf m


Cukup jelas.


Huruf n


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 29


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 30


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 54


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 56


Dihapus.

Angka 9


Pasal 64


Dihapus.

Pasal 68

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 19


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 20


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 58


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "jaminan bank" adalah garansi bank atau deposito atas nama biro perjalanan wisata.


Huruf d


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 59


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 61


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 63


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 83


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 84


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 85


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 89


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 90


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 91


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 92


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 94


Cukup jelas.

Angka 16


Pasal 95


Cukup jelas.

Angka 17


Pasal 99


Cukup jelas.

Angka 18


Pasal 101


Cukup jelas.

Angka 19


Pasal 103


Cukup jelas.

Angka 20


Pasal 104


Cukup jelas.

Angka 21


Pasal 106

Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 118A

Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 119A


Cukup jelas.

Angka 24


Pasal 125


Cukup jelas.

Angka 25


Pasal 126


Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.


Pasal 70

Angka 1


Pasal 10


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 12


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 13


Dihapus.

Angka 4


Pasal 39


Cukup jelas.

Pasal 71

Angka 1


Pasal 11


Ayat (1)

Pemenuhan Perizinan Berusaha dalam penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat.


Pemerintah memublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 28


Ayat (1)


Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 30


Ayat (1)


Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-Undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.

Ayat (2)


Peyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan kepada pengguna. Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 32


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 33


Ayat (1)


Pemberian Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis.

Slot orbit satelit bukan merupakan aset nasional.

Pemberian Perizinan Berusaha penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme seleksi atau evaluasi.

Ayat (2)


Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis. Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme evaluasi.

Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "sesuai dengan peruntukan" adalah penggunaan spektrum frekuensi radio wajib sesuai dengan perencanaan spektrum frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan spektrum frekuensi radio yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.


Yang dimaksud dengan "gangguan yang merugikan" adalah jenis gangguan/inteferensi yang memberikan dampak merugikan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang mendapatkan proteksi dari Pemerintah Pusat.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Cukup jelas.

Ayat (7)


Cukup jelas.

Ayat (8)


Cukup jelas.

Ayat (9)


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 34


Ayat (1)


Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 34A


Cukup jelas.

Pasal 34B


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "infrastruktur pasif" termasuk tetapi tidak terbatas pada gorong-gorong (ducting), tiang telekomunikasi (tower), tiang (pole), dan lain-lain yang dapat digunakan untuk penggelaran jaringan telekomunikasi.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "infrastruktur" dalam ketentuan ini adalah infrastruktur aktif.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 45


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 46


Dihapus.


Angka 10


Pasal 47


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 48


Dihapus.

Pasal 72

Angka 1


Pasal 16


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 25


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 33


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 34


Dihapus.


Angka 5


Pasal 55


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 57


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 58


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 60A


Ayat (1)


Penyelenggaraan penyiaran harus mengikuti perkembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan spektrum elektromagnetik lainnya, kualitas penerimaan dan pilihan program siaran radio dan televisi bagi masyarakat, efisiensi dalam operasional penyelenggaraan jasa penyiaran radio dan televisi dan pertumbuhan industri-industri yang terkait dengan bidang penyiaran.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital" adalah proses yang dimulai dengan penerapan sistem penyiaran berteknologi digital untuk penyiaran televisi yang diselenggarakan melalui media transmisi terestrial dan dilakukan secara bertahap, serta diakhiri dengan penghentian penggunaan teknologi analog dalam lingkup nasional.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.


Pasal 74

Angka 1

Pasal 11


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 21


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 38


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 52


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 55


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 56


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 66

Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 67


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 68


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 69


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 69A


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 72


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 73


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 74


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 75


Cukup jelas.

Pasal 75

Pasal 15


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar. Wewenang yang dimaksud dalam ayat (1) ini dilaksanakan secara terakomodasi dengan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "aliran" adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan "Tindakan kepolisian" adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya.


Huruf j


Yang dimaksud dengan "Pusat Informasi Kriminal Nasional" adalah sistem jaringan dari dokumentasi kriminal yang memuat baik data kejahatan dan pelanggaran maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta registrasi dan identifikasi lalu lintas.


Huruf k


Surat izin dan/atau surat keterangan yang dimaksud dikeluarkan atas dasar permintaan yang berkepentingan.

Huruf l


Wewenang tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat.

Huruf m


Yang dimaksud dengan "barang temuan" adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya yang ditemukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau masyarakat yang diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Barang temuan itu harus dilindungi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak diambil oleh yang berhak akan diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah menerima barang temuan wajib segera mengumumkan melalui media cetak, media elektronik dan/atau media pengumuman lainnya.


ayat (2)


Huruf a


Yang dimaksud "keramaian umum" dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan mengadakan arak-arakan di jalan umum. Kegiatan masyarakat lainnya adalah kegiatan yang dapat membahayakan keamanan umum seperti diatur dalam Pasal 495 ayat (1), 496, 500, 501 ayat (2), dan 502 ayat (1) KUHP.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu), pawai politik, penyebaran pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan kepada umum.

Huruf e


Yang dimaksud dengan "senjata tajam" dalam Undang-Undang ini adalah senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk pertanian, atau untuk pekerjaan rumah tangga, atau untuk kepentingan melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951.

Huruf f


Cukup jelas.

Huruf g


Cukup jelas.

Huruf h


Yang dimaksud dengan "kejahatan internasional" adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk ditanggulangi antarnegara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia.

Huruf i


Cukup jelas.

Huruf j


Dalam pelaksanaan tugas ini Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan hukum internasional, baik perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Dalam hubungan tersebut Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan bantuan untuk melakukan tindakan kepolisian atas permintaan dari negara lain, sebaliknya Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan untuk melakukan tindakan kepolisian dari negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dari kedua negara. Organisasi kepolisian internasional yang dimaksud, antara lain, International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol). Fungsi National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Huruf k


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.


Pasal 77

Angka 1


Pasal 2


Lingkup Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini tidak termasuk Penanaman Modal tidak langsung atau portofolio.

Angka 2


Pasal 12


Ayat (1)


Pelaksanaan kegiatan penanaman modal didasarkan atas kepentingan nasional yang mencakup antara lain pelindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

Kepentingan nasional tersebut dapat mencakup perlindungan atas kegiatan usaha yang dapat membahayakan kesehatan (seperti obat, minuman keras mengandung alkohol), pemberdayaan petani, nelayan, petambak ikan dan garam, usaha mikro dan kecil dengan pengaturan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, namun tetap memperhatikan aspek peningkatan ekosistem penanaman modal.

Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat merupakan kegiatan yang bersifat pelayanan atau dalam rangka pertahanan dan keamanan, mencakup antara lain: alat utama sistem persenjataan, museum pemerintah, peninggalan sejarah dan purbakala, penyelenggaraan navigasi penerbangan, telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran dan vessel.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Persyaratan penanaman modal ditujukan untuk bidang usaha yang diprioritaskan oleh Pemerintah yang dituangkan dalam bentuk daftar prioritas investasi yang diatur dalam Peraturan Presiden yang meliputi antara lain:

  1. Bidang usaha prioritas yang diberikan insentif fiskal;
  2. Bidang usaha yang diberi kemudahan insentif non fiskal, antara lain dalam bentuk kemudahan Perizinan Berusaha, lokasi penanaman modal, penyediaan infrastruktur dan energi, dan lain-lain;
  3. Bidang usaha bagi usaha mikro, kecil, dan menegah dan persyaratan kemitraan antara usaha besar dengan usaha mikro, kecil, dan menegah tidak termasuk kemitraan sebagai pemegang saham; dan
  4. Bidang usaha terbuka dengan persyaratan tertentu.

Angka 3


Pasal 13


Ayat (1)


Dalam rangka perlindungan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:

  1. Penanaman modal asing hanya diperbolehkan pada usaha skala besar dan hanya boleh bermitra dengan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  2. Mengalokasikan bidang usaha untuk Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta bidang usaha untuk usaha besar dengan syarat harus bekerjasama melalui kemitraan dengan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 18


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "industri pionir" adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.

 

Angka 5


Pasal 25


Cukup jelas.

Pasal 78

Pasal 22


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Koperasi, dan badan usaha milik swasta.

Huruf c


Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Pasal 79

Pasal 9


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Persyaratan dan tata cara kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Angka 1


Pasal 13


Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "lembaga pelatihan kerja pemerintah" adalah lembaga pelatihan kerja yang dimiliki oleh pemerintah.

Huruf b


Yang dimaksud dengan "lembaga pelatihan kerja swasta" adalah lembaga yang dimiliki oleh swasta.

Huruf c


Yang dimaksud dengan "lembaga pelatihan kerja perusahaan" adalah unit pelatihan yang terdapat di dalam perusahaan.

 

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 14


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 37


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 42


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 43


Dihapus.

Angka 6


Pasal 44

Dihapus.


Angka 7


Pasal 45


Ayat (1)


Huruf a


Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititiberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya.

Huruf b


Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih ke luar negeri.

Huruf c


Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 46


Dihapus.

Angka 9


Pasal 47


Ayat (1)



Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 48


Dihapus.

Angka 11


Pasal 49


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 56


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 57


Cukup jelas.

Angka 14


Pasal 58


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 59


Ayat (1)


Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.

Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 61


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan.


Angka 17


Pasal 61A


Cukup jelas.

Angka 18


Pasal 64


Dihapus.

Angka 19


Pasal 65


Dihapus.

Angka 20


Pasal 66


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh" yaitu perusahaan alih daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh perusahaan alih daya sebelumnya.

Yang dimaksud "obyek pekerjaannya tetap ada" adalah pekerjaan yang ada pada 1 (satu) perusahaan pemberi pekerjaan yang sama.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Cukup jelas.

Angka 21


Pasal 77


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diberlakukan ketentuan waktu kerja yang kurang atau lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 22


Pasal 78


Ayat (1)


Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 23


Pasal 79


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 24

Pasal 88


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "alasan tertentu" antara lain alasan karena pekerja/buruh sedang berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan hak waktu istirahatnya.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan "hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah" antara lain berupa denda, ganti rugi, pemotongan upah untuk pihak ketiga, uang muka upah, sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, hutang atau cicilan hutang pekerja/buruh kepada pengusaha, atau kelebihan pembayaran upah.

 

Huruf g


Yang dimaksud dengan "upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya" antara lain upah untuk pembayaran pesangon atau upah untuk perhitungan pajak penghasilan.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 25


Pasal 88A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Pengusaha dilarang tidak membayar upah bagi pekerja/buruh.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Pasal 88B


Cukup jelas.


Pasal 88C


Cukup jelas.

Pasal 88D


Cukup jelas.

Pasal 88E


Cukup jelas.

Angka 26


Pasal 89


Dihapus.

Angka 27


Pasal 90


Dihapus.

Angka 28


Pasal 90A


Cukup jelas.

Pasal 90B


Cukup jelas.

Angka 29


Pasal 91


Dihapus.

Angka 30


Pasal 92


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 31


Pasal 92A


Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan.

Angka 32


Pasal 94


Yang dimaksud dengan "tunjangan tetap" adalah pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.

Angka 33


Pasal 95


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud "didahulukan pembayarannya" yaitu pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan dari semua jenis kreditur termasuk kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Angka 34


Pasal 96


Dihapus.

Angka 35


Pasal 97


Dihapus.

Angka 36


Pasal 98


Cukup jelas.

Angka 37


Pasal 151


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan mengupayakan adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 38


Pasal 151A


Cukup jelas.

Angka 39


Pasal 152


Dihapus.

Angka 40


Pasal 153


Cukup jelas.

Angka 41


Pasal 154


Dihapus.

Angka 42


Pasal 154A


Ayat (1)


Cukup jelas.

 

Ayat (2)


Perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau mengatur lebih baik dari peraturan perundang-undangan.


Angka 43


Pasal 155


Dihapus.

Angka 44


Pasal 156


Cukup jelas.

Angka 45


Pasal 157


Cukup jelas.

Angka 46


Pasal 157A


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "hak lainnya" yaitu hak-hak lain yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.

Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur.

Ayat (3)


Yang dimaksud "sesuai tingkatannya" adalah penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/konsiliasi/arbitrase atau pengadilan hubungan industrial.

Angka 47


Pasal 158


Dihapus.

Angka 48


Pasal 159


Dihapus.

Angka 49


Pasal 160


Ayat (1)


Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak atau orang yang sah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Angka 50


Pasal 161


Dihapus.

Angka 51


Pasal 162


Dihapus.

Angka 52


Pasal 163


Dihapus.


Angka 53


Pasal 164


Dihapus.


Angka 54


Pasal 165


Dihapus.

Angka 55


Pasal 166


Dihapus.

Angka 56


Pasal 167


Dihapus.

Angka 57


Pasal 168


Dihapus.


Angka 58


Pasal 169

Dihapus.


Angka 59


Pasal 170


Dihapus.

Angka 60


Pasal 171


Dihapus.

Angka 61


Pasal 172


Dihapus.

Angka 62


Pasal 184


Dihapus.

Angka 63


Pasal 185


Cukup jelas.

Angka 64


Pasal 186


Cukup jelas.

Angka 65


Pasal 187


Cukup jelas.

Angka 66


Pasal 188


Cukup jelas.

Angka 67


Pasal 190


Cukup jelas.


Angka 68


Pasal 191A


Cukup jelas.

Pasal 82

Angka 1


Pasal 18


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 46A


Cukup jelas.

Pasal 46B


Cukup jelas.

Pasal 46C


Cukup jelas.

Pasal 46D


Cukup jelas.

Pasal 46E


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud "rekomposisi iuran" adalah rekomposisi iuran yang tidak berasal dari pekerja/buruh tanpa mengurangi manfaat program jaminan sosial lainnya yang menjadi hak pekerja/buruh.


Huruf c


Cukup jelas.


Pasal 83

Angka 1


Pasal 6


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 9


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 42


Cukup jelas.


Pasal 84

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 51


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 53


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 57


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 89A


Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.


Pasal 86

Angka 1


Pasal 6


Ayat (1)


Persyaratan ini dimaksudkan untuk menjaga kelayakan usaha dan kehidupan Koperasi.


Orang seorang pembentuk Koperasi adalah mereka yang memenuhi persyaratan keanggotaan dan mempunyai kepentingan ekonomi yang sama.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 17


Ayat (1)


Sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun demikian, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan anggota menjadi anggota Koperasi.

Ayat (2)


Buku daftar anggota koperasi dapat berbentuk dokumen tertulis atau dokumen elektronik.

Angka 3


Pasal 21


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 22


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 43


Ayat (1)


Usaha Koperasi terutama diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya. Dalam hubungan ini maka pengelolaan usaha Koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif dan efisien dalam arti pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti tersebut diatas, maka Koperasi dapat berusaha secara luwes baik ke hulu maupun ke hilir serta berbagai jenis usaha lainnya yang terkait. Adapun mengenai pelaksanaan usaha Koperasi, dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan mempertimbangkan kelayakan usahanya.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi" adalah kelebihan kapasitas dana dan daya yang dimiliki oleh Koperasi untuk melayani anggotanya. Kelebihan kapasitas tersebut oleh Koperasi dapat dimanfaatkan untuk berusaha dengan bukan anggota dengan tujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggotanya serta memasyarakatkan Koperasi.

Ayat (4)


Agar Koperasi dapat mewujudkan fungsi dan peran seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 maka Koperasi melaksanakan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Yang dimaksud dengan "kehidupan ekonomi rakyat" adalah semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan menyangkut kepentingan orang banyak.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 44A


Cukup jelas.

Pasal 87

Angka 1


Pasal 6


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 12

Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan" adalah memberikan kemudahan persyaratan dan tata cara perizinan serta informasi yang seluas-luasnya.


Yang dimaksud dengan "sistem pelayanan terpadu satu pintu" adalah proses pengelolaan perizinan usaha yang dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan prinsip pelayanan sebagai berikut:

  1. kesederhanaan dalam proses; b. kejelasan dalam pelayanan;
  2. kepastian waktu penyelesaian;
  3. kepastian biaya;
  4. keamanan tempat pelayanan;
  5. tanggung jawab petugas pelayanan;
  6. kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan;
  7. kemudahan akses pelayanan; dan
  8. kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan pelayanan.

Huruf b


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 21


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 25


Dihapus.

Angka 5


Pasal 26


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk kemitraan lain" seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).


Angka 6


Pasal 30


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 32A


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 35


Ayat (1)


Yang dimaksud "memiliki" adalah adanya peralihan kepemilikan secara yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.


Ayat (2)


Yang dimaksud "menguasai" adalah adanya peralihan penguasaan secara yuridis atas kegiatan usaha yang dijalankan dan/atau aset atau kekayaan dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.


Pasal 88

Cukup jelas.


Pasal 89

Cukup jelas.


Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.


Pasal 92

Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Yang dimaksud dengan insentif kepabeanan antara lain pemberian keringanan atau pembebasan bea masuk.

Ayat (4)


Pelaku usaha mikro perlu diberikan dukungan antara lain melalui pemberian insentif Pajak Penghasilan agar dapat meningkatkan kapasitas dan skala usahanya untuk berkembang.

Pemberian dukungan dukungan insentif Pajak Penghasilan tersebut juga ditujukan sebagai sarana pembelajaran bagi pelaku usaha mikro agar dapat lebih memahami hak dan kewajiban perpajakan.

Insentif Pajak Penghasilan diberikan kepada pelaku usaha mikro tertentu berdasarkan basis data tunggal usaha mikro, kecil, dan menengah agar insentif yang diberikan tepat sasaran.


Pasal 93

Cukup jelas.


Pasal 94

Cukup jelas.


Pasal 95

Cukup jelas.


Pasal 96

Cukup jelas.


Pasal 97

Cukup jelas.


Pasal 98

Cukup jelas.


Pasal 99

Cukup jelas.


Pasal 100

Cukup jelas.


Pasal 101

Cukup jelas.


Pasal 102

Huruf a


Yang dimaksud dengan pembiayaan alternatif untuk UMK-M antara lain meliputi:

  1. urun dana (crowd funding);
  2. modal ventura;
  3. angel capital,
  4. dana padanan (seed Capital); dan
  5. kewajiban pelayanan universal (universal Service obligation).

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Cukup jelas.

Huruf e


Cukup jelas.

Pasal 103

Pasal 53A


Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.


Pasal 105

Cukup jelas.


Pasal 106

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 38


Visa kunjungan dalam penerapannya dapat diberikan untuk melakukan kegiatan, antara lain:

  1. wisata;
  2. keluarga;
  3. sosial;
  4. seni dan budaya;
  5. tugas pemerintahan;
  6. olahraga yang tidak bersifat komersial;
  7. studi banding, kursus singkat, dan pelatihan singkat;
  8. memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan dalam penerapan dan inovasi teknologi industri untuk meningkatkan mutu dan desain produk industri serta kerja sama pemasaran luar negeri bagi Indonesia;
  9. melakukan pekerjaan darurat dan mendesak;
  10. jurnalistik yang telah mendapat izin dari instansi yang berwenang;
  11. pembuatan film yang tidak bersifat komersial dan telah mendapat izin dari instansi yang berwenang;
  12. melakukan pembicaraan bisnis;
  13. melakukan pembelian barang;
  14. memberikan ceramah atau mengikuti seminar;
  15. mengikuti pameran internasional;
  16. mengikuti rapat yang diadakan dengan kantor pusat atau perwakilan di Indonesia;
  17. melakukan audit, kendali mutu produksi, atau inspeksi pada cabang perusahaan di Indonesia;
  18. calon tenaga kerja asing dalam uji coba kemampuan dalam bekerja;
  19. meneruskan perjalanan ke negara lain; dan
  20. bergabung dengan alat angkut yang berada di Wilayah Indonesia.

Angka 3


Pasal 39


Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "Visa tinggal terbatas rumah kedua" adalah Visa yang diberikan kepada Orang Asing beserta keluarganya untuk tinggal menetap di Indonesia selama 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan tertentu.

Huruf b


Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 40

 

Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 46

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di Wilayah Indonesia" adalah dalam rangka tugas penempatan di perwakilan negara setempat atau perwakilan organisasi internasional.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 54


Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "rohaniwan" adalah pemuka agama yang diakui di Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan "keluarga" adalah suami/istri, dan anak.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 63


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 71


Cukup jelas.

Pasal 107

Angka 1


Pasal 3


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Paten sederhana diberikan untuk Invensi yang berupa produk yang bukan sekadar berbeda ciri teknisnya, tetapi harus memiliki fungsi/kegunaan yang lebih praktis daripada Invensi sebelumnya yang disebabkan bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya yang mencakup alat, barang, mesin, komposisi, formula, penggunaan, senyawa, atau sistem. Paten sederhana juga diberikan untuk Invensi yang berupa proses atau metode yang baru.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 20


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 82


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan Paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan Invensi yang lebih dahulu telah dilindung Paten. Oleh karenanya pelaksanaan Paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh Invensi yang telah dilindungi Paten yang dimiliki oleh pihak lain. Jika Pemegang Paten terdahulu memberi Lisensi kepada Pemegang Paten berikutnya, yang memungkinkan terlaksananya Paten berikutnya tersebut, maka dalam hal ini tidak ada masalah pelanggaran Paten. Tetapi kalau Lisensi untuk itu tidak diberikan, semestinya Undang-Undang ini menyediakan jalan keluarnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar Paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan tanpa melanggar Paten yang terdahulu melalui pemberian Lisensi-wajib oleh Menteri.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 122


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "satu Invensi" adalah Paten sederhana hanya diajukan untuk satu klaim mandiri produk atau satu klaim mandiri proses, tetapi dapat terdiri atas beberapa klaim turunan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 123


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 124


Cukup jelas.

Pasal 108

Angka 1


Pasal 20


Huruf a


Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan ketertiban umum" adalah tidak sejalan dengan peraturan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh seperti menyinggung perasaan masyarakat atau golongan, menyinggung kesopanan atau etika umum masyarakat, dan menyinggung ketentraman masyarakat atau golongan.

Huruf b


Merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Huruf c


Yang dimaksud dengan "memuat unsur yang dapat menyesatkan" misalnya Merek "Kecap No.1" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan kualitas barang, Merek "netto 100 gram" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan ukuran barang.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi" adalah mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, khasiat, dan/atau risiko dari produk dimaksud. Contohnya: obat yang dapat menyembuhkan seribu satu penyakit, rokok yang aman bagi kesehatan. Huruf e Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas.

Huruf f


Yang dimaksud dengan "nama umum" antara lain Merek "rumah makan" untuk restoran, Merek "warung kopi" untuk kafe.

Adapun "lambang milik umum" antara lain "lambang tengkorak" untuk barang berbahaya, lambang "tanda racun" untuk bahan kimia, "lambang sendok dan garpu" untuk jasa restoran.

Huruf g


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 23


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 25


Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)



Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan "tanggal pendaftaran" adalah tanggal didaftarnya Merek.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Pasal 109

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 7


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.

Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan undang-undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan yang meleburkan diri masuk menjadi modal Perseroan hasil Peleburan dan pendiri tidak mengambil bagian saham sehingga pendiri dari Perseroan hasil Peleburan adalah Perseroan yang meleburkan diri dan nama pemegang saham dari Perseroan hasil Peleburan adalah nama pemegang saham dari Perseroan yang meleburkan diri.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut.

Yang dimaksud dengan "pihak yang berkepentingan" adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya.

Ayat (7)


Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.


Huruf a


Yang dimaksud dengan "persero" adalah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam undang-undang tentang badan usaha milik negara.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Cukup jelas.

Huruf e


Cukup jelas.

Ayat (8)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 32


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Ketentuan pada ayat ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian.


Angka 4


Pasal 153


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 153A


Cukup jelas.


Pasal 153B


Ayat (1)


Modal dasar perseroan untuk usaha mikro dan kecil berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 153C


Cukup jelas.


Pasal 153D


Cukup jelas.


Pasal 153E


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "orang perseorangan" adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Pasal 153F


Cukup jelas.


Pasal 153G


Cukup jelas.


Pasal 153H


Cukup jelas.


Pasal 153I


Cukup jelas.


Pasal 153J


Cukup jelas.


Pasal 110

Dihapus.


Pasal 111

Angka 1


Pasal 2


Ayat (1)


Huruf a


Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

Huruf b


Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.

Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Huruf c


Cukup jelas.

Ayat (1a)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.


Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

  1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
  2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
  3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.


Ayat (3)


Huruf a


Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.


Ayat (4)


Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.


Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.


Ayat (5)


Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.


Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.


Ayat (6)


Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.

Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.


Angka 2


Pasal 4


Ayat (1)


Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

  1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
  2. penghasilan dari usaha dan kegiatan; iii. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
  3. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.

Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.

Huruf a


Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak.

Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.

Huruf b


Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.

Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.

Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.

Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.

Huruf e


Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.

Huruf f


Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.

Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

Huruf g


Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:


  1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
  2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
  3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
  4) pembagian laba dalam bentuk saham;
  5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
  6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
  7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
  8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
  9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
  10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
  11) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran.

Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

Huruf h


Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:


  1 penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
  2 penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
  3 pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
  4 pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
  5 penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
  6 pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.


Huruf i


Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.


Huruf j


Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.

Huruf k


Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.

Huruf l


Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Huruf m


Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.

Huruf n


Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

Huruf o


Cukup jelas.

Huruf p


Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.

Huruf q


Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.

Huruf r


Cukup jelas.

Huruf s


Cukup jelas.

Ayat (1a)


Cukup jelas.

Ayat (1b)


Cukup jelas.

Ayat (1c)


Cukup jelas.

Ayat (1d)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:


  - perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
  - kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
  - berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
  - pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
  - memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,


atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.

Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.

Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.

Ayat (3)


Huruf a


Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan "zakat" adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.

Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c

 

Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak.

Huruf d


Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.

Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.


Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.

Huruf e


Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Huruf f


Cukup jelas.

Huruf g


Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.

Huruf h


Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Huruf i


Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.

Huruf j


Cukup jelas.

Huruf k


Yang dimaksud dengan "perusahaan modal ventura" adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak.

Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.

Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.

Huruf l


Cukup jelas.

Huruf m


Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.


Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.


Huruf n

 

Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.

Huruf o


Cukup jelas.

Huruf p


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 26


Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

Ayat (1)


Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.


Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:

  1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
  3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  5. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  6. keuntungan karena pembebasan utang.

Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

Ayat (1a)


Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.

Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.

Ayat (1b)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi.

Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.

Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).

Ayat (2a)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).

Contoh:


Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2021:


    Rp 17.500.000.000,00
  Pajak Penghasilan :
22% x Rp 17.500.000.000,00 =
Rp3.850.000.000,00(-)
  Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Rp 13.650.000.000,00
  Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% x Rp13.650.000.000 =
Rp2.730.000.000,00

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp13.650.000.000,00 (tiga belas miliar enam ratus lima puluh juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Ayat (5)


Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Contoh:

A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2021. Pada tanggal 20 April 2021 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2021.

Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2021. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2021 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.

Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2021, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.


Pasal 112

Angka 1


Pasal 1A

Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.

Huruf b


Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).

Yang dimaksud dengan "pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)" adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.

Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).

Huruf c


Yang dimaksud dengan "pedagang perantara" adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.

Yang dimaksud dengan "juru lelang" adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Huruf d


Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Huruf e


Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.

Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal IA ayat (2) huruf e.

Huruf f


Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.

Yang dimaksud dengan "pusat" adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan.

Yang dimaksud dengan "cabang" antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.

Huruf g


Dihapus.

Huruf h


Contoh:

Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.

Ayat (2)


Huruf a


Yang dimaksud dengan 'makelar" adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.

Huruf d


Yang dimaksud dengan "pemecahan usaha" adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.

Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, yang dilakukan oleh:

  1. Pengusaha Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak ada Pajak Pertambahan Nilai yang terutang;
  2. pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam  pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang terutang namun tidak dipungut oleh pengusaha tersebut karena belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
  3. Pengusaha Kena Pajak kepada pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang harus dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam hal Barang Kena Pajak yang dialihkan berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.

Huruf e


Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

 

Angka 2


Pasal 4A


Ayat (1)


Dihapus.


Ayat (2)


Huruf a


Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:

  1. minyak mentah (crude oil);
  2. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
  3. panas bumi;
  4. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit; dan
  5. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

Huruf b


Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:

  1. beras;
  2. gabah;
  3. jagung;
  4. sagu;
  5. kedelai;
  6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, digrading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

Huruf c


Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.


Huruf d


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:

  1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
  2. jasa dokter hewan;
  3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
  4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
  5. jasa paramedis dan perawat;
  6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
  7. jasa psikolog dan psikiater; dan
  8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

Huruf b


Jasa pelayanan sosial meliputi:

  1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
  2. jasa pemadam kebakaran;
  3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
  4. jasa lembaga rehabilitasi;
  5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
  6. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.

Huruf c


Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.

Huruf d


Jasa keuangan meliputi:


  1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
  2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
  3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
  4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
  5. jasa penjaminan.

Huruf e


Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.

Huruf f


Jasa keagamaan meliputi:

  1. jasa pelayanan rumah ibadah;
  2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
  3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
  4. jasa lainnya di bidang keagamaan.

Huruf g


Jasa pendidikan meliputi:

  1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
  2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

Huruf h


Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.

Huruf i


Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

Huruf j


Cukup jelas.

Huruf k


Jasa tenaga kerja meliputi:

  1. jasa tenaga kerja;
  2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
  3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

Huruf l


Jasa perhotelan meliputi:

  1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
  2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

Huruf m


Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.

Huruf n


Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir" adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.

Huruf o


Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.

Huruf p


Cukup jelas.

Huruf q


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 9


Ayat (1)


Dihapus.


Ayat (2)


Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak,pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.


Ayat (2a)


Cukup jelas.


Ayat (2b)


Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Contoh:

Masa Pajak Mei 2021

  Pajak Keluaran  = Rp2.000.000,00
  Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp4.500.000,00
-------------------- (-)
  Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2021.

Masa Pajak Juni 2021

  Pajak Keluaran  =  Rp3.000.000,00
  Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp2.000.000,00
------------------- (-)
  Pajak yang kurang dibayar =  Rp1.000.000,00
     
  Pajak yang lebih dibayar dari
Masa Pajak Mei 2021 yang
dikompensasikan Ke Masa
Pajak Juni 2021  =
Rp2.500.000,00
------------------- (-)
     
  Pajak yang lebih dibayar Masa
Pajak Juni 2021 =
Rp1.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2021.


Ayat (4a)


Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.

Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).

Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).


Ayat (4b)


Cukup jelas.

Ayat (4c)


Cukup jelas.

Ayat (4d)


Cukup jelas.

Ayat (4e)


Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

Ayat (4f)


Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.

Ayat (5)


Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak" adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.

Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:

  1. penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00 Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
  2. penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
  3. Pajak Keluaran = nihil
  4. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak  Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00

Pajak Keluaran = nihil


Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:

  1. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp 1.500.000,00
  2. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai= Rp300.000,00
  3. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00

Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan denganPajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.


Ayat (6)


Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:

  1. penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00 Pajak Keluaran= Rp3.500.000,00
  2. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00 Pajak Keluaran = nihil

Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00.

Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Ayat (6a)


Cukup jelas.


Ayat (6b)


Dihapus.


Ayat (6c)


Cukup jelas.


Ayat (6d)


Cukup jelas.


Ayat (6e)


Cukup jelas.


Ayat (6f)


Cukup jelas.


Ayat (6g)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

Ayat (7a)


Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

Ayat (7b)


Cukup jelas.

Ayat (8)


Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

Huruf a


Dihapus.


Huruf b


Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.

Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Dihapus.


Huruf e


Dihapus.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Dihapus.


Huruf i


Dihapus.


Huruf j


Dihapus.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Ayat (9a)


Cukup jelas.


Ayat (9b)


Cukup jelas.


Ayat (9c)


Cukup jelas.


Ayat (10)


Dihapus.


Ayat (11)


Dihapus.


Ayat (12)


Dihapus.


Ayat (13)


Cukup jelas.


Ayat (14)


Cukup jelas.


Angka 4

 

Pasal 13


Ayat (1)


Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.


Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib dibuatkan Faktur Pajak.

Ayat (1a)



Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada instansi pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.

Ayat (2)


Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli Barang Kena Pajak yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.

Ayat (2a)


Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.

Contoh 1:

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2021, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2021 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli 2021, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2021.

Contoh 2:

Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2021. Pada tanggal 28 September 2021 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan pada tanggal 2 September 2021. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2021 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September 2021.

Contoh 3:

Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 8, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2021. Pada tanggal 28 September 2021 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2021 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2021 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2021 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September 2021.

Ayat (3)


Dihapus.


Ayat (4)


Dihapus.


Ayat (5)


Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.


Ayat (5a)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.


Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:

  1. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
  2. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
  3. terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Ayat (7)


Dihapus.

Ayat (8)


Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.

Ayat (9)


Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.


Pasal 113

Angka 1


Pasal 8


Ayat (1)


Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.


Ayat (1a)


Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (2a)


Cukup jelas.


Ayat (2b)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (3a)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (5a)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.


Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.


Untuk jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:

Contoh 1:

PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2021 yang menyatakan:


  Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00
  Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun 2020
sebesar
Rp 150.000.000,00 (-)
  Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp   50.000.000,00


Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2023 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar                    Rp70.000.000,00.

Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2021 menjadi sebagai berikut:


Penghasilan Neto Rp200.000.000,00   
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2020 Rp  70.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp130.000.000,00


Dengan demikian Penghasilan Kena Pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)

Contoh 2:

PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2021 yang menyatakan:


  Penghasilan Neto sebesar  Rp300.000.000,00
  Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun 2020 sebesar  
Rp200.000.000,00 (-)
  Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp100.000.000,00


Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2023 diterbitkan surat ketetapan paiak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250.000.000,00.

Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2021 menjadi sebagai berikut:


  Penghasilan Neto

Rp300.000.000,00
  Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2020  Rp250.000.000,00 (-)
  Penghasilan Kena Pajak  Rp  50.000.000,00

Dengan demikian Penghasilan Kena Pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp 100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp250.000.000,00).


Angka 2


Pasal 9


Ayat (1)


Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (2a)


Cukup jelas.

Ayat (2b)


Cukup jelas.

Ayat (2c)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (3a)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 11


Ayat (1)


Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.

Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.


Ayat (1a)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:

  1. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
  2. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
  3. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
  4. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
  5. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan;
  6. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
  7. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan, sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (3a)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 13


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (2a)


Cukup jelas.


Ayat (2b)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.

Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).


Ayat (3a)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Dihapus.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 13A


Dihapus.

Angka 6


Pasal 14


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Dihapus.


Ayat (5a)


Cukup jelas.


Ayat (5b)


Cukup jelas.


Ayat (5c)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 15


Ayat (1)


Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.

Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.


Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
   
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:

  1. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
  2. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.

Contoh:

  1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
  2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
  3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak.

Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.

Ayat (2)


Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang
dibayar.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Dihapus.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 17B


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Ayat (1a)


Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Ayat (2)


Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Cukup jelas.

Ayat (7)


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 19


Cukup jelas.

Angka 10


Pasal 27A


Dihapus.

Angka 11


Pasal 27B


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 38

Cukup jelas.


Angka 13


Pasal 44B


Ayat (1)


Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Pasal 114

Angka 1


Pasal 141


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 144


Dihapus.


Angka 3


BAB VIIA


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 156A


Cukup jelas.

Pasal 156B


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 157


Ayat (1)


Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses koordinasi.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Dihapus.


Ayat (4)


Dihapus.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (5a)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Dihapus.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Ayat (10)


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 158


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 159


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 159A


Cukup jelas.

Pasal 115

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 37


Cukup jelas.

Angka 3


Pasal 38


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "standar mutu wajib" adalah standar nasional Indonesia (SNI) yang diberlakukan secara wajib pada Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 38A


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 74


Cukup jelas.

Pasal 116

Dihapus.


Pasal 117

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 87


Ayat (1)


BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Dalam rangka keterpaduan pembangunan daerah, BUM Desa dan unit usaha dibawahnya dalam menjalankan kegiatan usaha harus sesuai dengan rencana induk pembangunan daerah.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 118

Angka 1


Pasal 44


Ayat (1)


30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh pelaku usaha atau kuasa hukumnya.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 45


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 47


Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya.


Huruf c


Yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.


Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e


Cukup jelas.

Huruf f


Ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan.


Huruf g


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 48


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 49


Dihapus.


Pasal 119

Cukup jelas.


Pasal 120

Angka 1


BAB V


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 66


Cukup jelas.


Pasal 121

Pasal 48


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 122

Cukup jelas.


Pasal 123

Angka 1


Pasal 8


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Cukup jelas

Huruf b


Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan digunakan khusus untuk proyek-proyek yang sifatnya tidak permanen.


Angka 2


Pasal 10


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "bendungan" adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air juga untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing) atau lumpur sehingga terbentuk waduk.

Yang dimaksud dengan "bendung" adalah tanggul untuk menahan air di sungai, tepi laut, dan sebagainya.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e

 

Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Yang dimaksud dengan "sampah" adalah sampah sesuai dengan undang-undang yang mengatur pengelolaan sampah.


Huruf i


Cukup jelas.


Huruf j


Yang dimaksud "fasilitas keselamatan umum" adalah semua fasilitas yang diperlukan untuk menanggulangi akibat suatu bencana, antara lain rumah sakit darurat, rumah penampungan darurat, serta tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan longsor.


Huruf k


Cukup jelas.


Huruf l


Yang dimaksud dengan "fasilitas sosial" digunakan antara lain untuk kepentingan keagamaan atau beribadah.

Yang dimaksud dengan "ruang terbuka hijau publik" adalah ruang terbuka hijau sesuai dengan undang-undang yang mengatur penataan ruang.


Huruf m


Cukup jelas.


Huruf n


Yang dimaksud dengan "kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa" adalah sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, termasuk lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan unit pelaksana teknis lembaga pemasyarakatan lain.


Huruf o


Yang dimaksud dengan "perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah" adalah perumahan masyarakat yang dibangun di atas tanah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan kepada penghuninya diberikan status rumah sewa.


Huruf p


Cukup jelas.


Huruf q


Cukup jelas.


Huruf r


Yang dimaksud dengan "pasar umum dan lapangan parkir umum" adalah pasar dan lapangan parkir yang direncanakan, dilaksanakan, dikelola, dan dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dan pengelolaannya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta.


Huruf s


Cukup jelas.


Huruf t


Cukup jelas.


Huruf u


Cukup jelas.


Huruf v


Cukup jelas.


Huruf w


Cukup jelas.


Huruf x


Cukup jelas.

 

Angka 3


Pasal 14


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 19


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pengelola dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah.

Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "surat kuasa" adalah surat kuasa untuk mewakili Konsultasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "dari dan oleh Pihak yang Berhak" adalah penerima kuasa dan pemberi kuasa sama-sama berasal dari Pihak yang Berhak.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Cukup jelas

Ayat (7)


Cukup jelas.

Ayat (8)


Cukup jelas

Angka 5


Pasal 19A


Cukup jelas.


Pasal 19B


Cukup jelas.

Pasal 19C


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 24


Cukup jelas.


Angka 7


Pasal 28


Ayat (1)


Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan untuk mengetahui Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi tersebut memuat daftar nominasi Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Pihak yang Berhak meliputi nama, alamat, dan pekerjaan pihak yang menguasai/memiliki tanah. Objek Pengadaan Tanah meliputi letak, luas, status, serta jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Ayat (2)


Cukup jelas

Ayat (3)


Cukup jelas

Angka 8


Pasal 34


Cukup jelas.

Angka 9


Pasal 36


Ayat (1)

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "pemukiman kembali" adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam proses Pengadaan Tanah.


Huruf d


Yang dimaksud dengan 'Ganti Kerugian dalam bentuk kepemilikan saham" adalah penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan untuk Kepentingan Umum terkait dan/atau pengelolaannya yang didasari kesepakatan antarpihak.


Huruf e


Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan  huruf d.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 40


Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian.


Yang berhak antara lain:

  1. pemegang hak atas tanah;
  2. pemegang hak pengelolaan;
  3. nadzir, untuk tanah wakaf;
  4. pemilik tanah bekas milik adat;
  5. masyarakat hukum adat;
  6. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik antara lain tanah terlantar, tanah bekas hak barat.
  7. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
  8. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Yang dimaksud dengan "pihak yang menguasai tanah negara dengan iktikad baik" adalah:

  1. penguasaan tanah yang diakui oleh peraturan perundang-undangan;
  2. tidak ada keberatan dari Masyarakat Hukum Adat, kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain, atau pihak lain atas penguasaan Tanah baik sebelum maupun selama pengumuman berlangsung; dan
  3. penguasaan dibuktikan dengan kesaksian dari 2 (dua) orang saksi yang dapat dipercaya;

Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin menghuni.

Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, ganti rugi diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Angka 11


Pasal 42


Cukup jelas.

Angka 12


Pasal 46


Cukup jelas.

Pasal 124

Angka 1


Pasal 44


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik.


Ayat (3)


Cukup jelas.

 

Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 73


Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.


Pasal 126

Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Cukup jelas.

Huruf c


Cukup jelas.

Huruf d


Cukup jelas.

Huruf e


Cukup jelas.

Huruf f


Reforma agraria dalam kerangka bank tanah tidak termasuk tanah dalam kawasan hutan.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Pasal 127

Cukup jelas.


Pasal 128

Cukup jelas.


Pasal 129

Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya" adalah pemegang hak atas tanah sudah memiliki sertifikat laik fungsi.

Ayat (4)


Cukup jelas.

 

Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 130

Cukup jelas.


Pasal 131

Cukup jelas.


Pasal 132

Cukup jelas.


Pasal 133

Cukup jelas.


Pasal 134

Cukup jelas.


Pasal 135

Cukup jelas.


Pasal 136

Cukup jelas.


Pasal 137

Cukup jelas.


Pasal 138

Cukup jelas.


Pasal 139

Cukup jelas.


Pasal 140

Cukup jelas.


Pasal 141

Cukup jelas.

Pasal 142


Cukup jelas.

Pasal 143


Cukup jelas.

Pasal 144


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Kepemilikan satuan rumah susun oleh warga negara asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya.


Huruf d


Kepemilikan satuan rumah susun oleh badan hukum asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya.


Huruf e


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 145


Cukup jelas.

Pasal 146


Cukup jelas.

Pasal 147


Cukup jelas.

Pasal 148


Cukup jelas.

Pasal 149


Cukup jelas.

Pasal 150


Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 3


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "logistik dan distribusi" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan dan perekondisian permesinan dari dalam negeri dan dari luar negeri.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "pengembangan teknologi" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan riset dan teknologi, rancangan bangunan dan rekayasa, teknologi terapan, pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang teknologi informasi.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "pariwisata" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain: kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan yang terkait.


Huruf e


Cukup jelas


Huruf f


Cukup jelas


Huruf g


Cukup jelas


Huruf h


Cukup jelas


Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Yang dimaksud dengan "perumahan bagi pekerja" adalah pembangunan perumahan terpisah dari kegiatan usaha yang ada di KEK.

Ayat (6)


Cukup jelas.

Ayat (7)


Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 4


Huruf a


Yang dimaksud dengan "kawasan lindung" adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "mempunyai batas yang jelas" adalah batas alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok).


Huruf c


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 5


Cukup jelas.

Angka 5


Pasal 6


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Lokasi pengembangan yang diusulkan dapat merupakan area baru atau perluasan KEK yang sudah ada.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang KEK" adalah rencana peruntukan ruang pada lokasi KEK.

Yang dimaksud dengan "pengaturan zonasi" adalah rencana pengembangan KEK yang ditetapkan oleh Badan Usaha, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat atau Badan Usaha Pengelola KEK;


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Angka 6


Pasal 8A


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 10


Cukup jelas.


Angka 8


Pasal 11


Dihapus.

Angka 9


Pasal 13


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta, serta hak kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir.


Angka 10


Pasal 16


Cukup jelas.

Angka 11


Pasal 17


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Standar pengelolaan di KEK mengatur antara lain standar infrastruktur dan pelayanan


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Yang dimaksud dengan "permasalahan strategis" antara lain permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Dewan Kawasan atau menyangkut kebijakan nasional dan/atau daerah yang memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK.


Huruf h


Cukup jelas.


Angka 12


Pasal 19


Cukup jelas.

Angka 13


Pasal 20


Dihapus.

Angka 14


Pasal 21


Cukup jelas.

Angka 15


Pasal 22


Cukup jelas.


Angka 16


Pasal 23


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "pelayanan non perizinan" adalah segala bentuk kemudahan pelayanan fasilitas fiskal, fasilitas non-fiskal dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Contoh pelayanan non perizinan antara lain: pajak, kepabeanan, cukai, lalu lintas barang dan keimigrasian.


Huruf c


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 17


Pasal 24


Cukup jelas.

Angka 18


Pasal 24A


Cukup jelas.

Pasal 24B


Cukup jelas.

Pasal 24C


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum", adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 19


Pasal 25


Cukup jelas.

Angka 20


Pasal 26


Cukup jelas.

Angka 21


Pasal 27


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Pada wilayah yang tidak ditetapkan sebagai KEK, terdapat ketentuan mengenai pembatasan impor. Namun, ketentuan mengenai pembatasan impor tersebut tidak dapat diberlakukan bagi barang yang dimasukkan ke dalam KEK mengingat barang yang dimasukkan ke dalam KEK digunakan untuk pembangunan dan pengoperasian KEK. Apabila pembatasan impor diberlakukan di KEK maka dapat mengurangi daya saing KEK.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional" adalah integrasi sistem secara nasional yang memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, dan penyampaian keputusan secara tunggal untuk pemberian perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (5)


Cukup jelas.

 

Angka 22


Pasal 30


Cukup jelas.

Angka 23


Pasal 31


Dihapus.

Angka 24


Pasal 32


Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan "pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak di KEK" adalah pemanfaatan baik yang berasal dari dalam KEK sendiri ataupun yang berasal dari KEK lainnya, Luar Daerah Pabean, Tempat Lain Dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas, dan Tempat Penimbunan Berikat


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Angka 25


Pasal 32A


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "barang konsumsi" mencakup antara lain:

  1. barang konsumsi yang diperlukan oleh Pelaku Usaha di KEK yang kegiatan utamanya bukan produksi dan pengolahan dalam menjalankan usahanya;
  2. waktu penggunaannya relatif singkat; dan
  3. tidak ditujukan untuk penggunaan di luar KEK.

Jenis dan jumlahnya diusulkan oleh Administror dan disetujui oleh Dewan Nasional.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 26


Pasal 33A


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pelayanan kepabeanan mandiri" meliputi antara lain pelekatan dan/atau pelepasan tanda pengaman, pelayanan pemasukan barang, pelayanan pembongkaran barang, pelayanan penimbunan barang, pelayanan pemuatan barang, pelayanan pengeluaran barang; dan/atau pelayanan lainnya.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Angka 27


Pasal 35


Cukup jelas.

Angka 28


Pasal 36


Cukup jelas.

Angka 29


Pasal 38


Cukup jelas.


Angka 30


Pasal 38A


Cukup jelas.

Angka 31


Pasal 40


Cukup jelas.

Angka 32


Pasal 41


Yang dimaksud dengan "jabatan direksi atau komisaris" adalah jabatan direksi atau komisaris yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan atau perubahannya.

Ketentuan ini diperlukan dalam rangka meningkatkan daya saing KEK.

 

Angka 33


Pasal 43


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus" adalah Lembaga Kerja Sama Tripartit yang berada di KEK.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Angka 34


Pasal 44


Dihapus.

Angka 35


Pasal 45


Dihapus.

Angka 36


Pasal 47


Yang dimaksud dengan "perjanjian kerja bersama" adalah perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha.

Angka 37


Pasal 48


Cukup jelas.

Pasal 151

Cukup jelas.


Pasal 152

Angka 1


Pasal 6


Cukup jelas.

Angka 2


Pasal 7

Cukup jelas.


Angka 3


Pasal 10


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 11


Cukup jelas.

Pasal 153

Pasal 9


Cukup jelas.


Pasal 154

Ayat (1)


Dalam melakukan investasi, pemerintah melakukan pengelolaan dan penempatan sejumlah dana dan/atau aset untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Yang dimaksud dengan "kegiatan pengelolaan aset" adalah antara lain kegiatan akuisisi, pengelolaan, restrukturisasi perusahaan (saham) maupun aset tetap, divestasi, dan lain-lain yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung baik dilakukan sendiri atau melalui kerja sama dengan pihak ketiga atau melalui pembentukan entitas khusus baik berbentuk badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.

Huruf c


Dalam melakukan kerja sama dengan entitas dana perwalian (trust fund), penyedia dana (settlor) harus memberikan kuasa kepada entitas dana perwalian (trust fund) dalam rangka melakukan pengelolaan investasi dengan Lembaga.

Huruf d


Yang dimaksud dengan "berwenang menentukan calon mitra investasi" adalah menunjuk mitra secara langsung dengan pertimbangan antara lain mengikuti praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dalam rangka percepatan proses penentuan calon mitra, dengan tetap menjaga tata kelola yang baik. Kriteria bagi calon mitra yang dapat dipertimbangkan antara lain memiliki reputasi baik, memiliki kemampuan keuangan untuk dapat menunjang komitmen investasinya, dan/atau memiliki keahlian di bidang investasi yang akan dikerjasamakan.

Huruf e


Cukup jelas

Huruf f


Cukup jelas

Pasal 155

Cukup jelas.


Pasal 156

Cukup jelas.


Pasal 157

Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Aset negara yang berasal dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan tidak dapat dipindahtangankan kepada orang lain termasuk Lembaga.

Aset negara yang berisikan atau mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tetap dikuasai oleh negara dan tidak dipindahtangankan menjadi aset Lembaga.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Yang dimaksud dengan "ketentuan perundang-undangan", misalnya: peralihan Hak Milik Atas Saham dilakukan dengan Akta Jual Beli atau Akta Hibah atas saham pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Ayat (6)


Cukup jelas.

Ayat (7)


Dalam putusan Rapat Umum Pemegang Saham untuk Persero dengan tetap mengacu ketentuan dan pengaturan dalam anggaran dasar badan usaha milik negara dimaksud atau memuat antara lain proses administrasi pengalihan aset termasuk cara pemindahtanganan.

Ayat (8)


Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai mekanisme pembukuan aset yang dipindah tangankan, penentuan aset yang dipindahtangankan dan nilai pasar wajar aset tersebut, dan prosedur pemindahtanganan.

Mekanisme yang diatur tersebut memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan memperhatikan prinsip independensi dan transparansi dari Lembaga.

Pasal 158

Ayat (1)


Cukup jelas.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Kerja sama dengan pihak ketiga dimaksud antara lain dilakukan dengan mitra investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah atau melalui penunjukan manajer investasi berbadan hukum Indonesia atau asing.

Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Ayat (4)


Modal dan kekayaan Lembaga merupakan milik Lembaga dan setiap kerugian yang dialami oleh Lembaga bukan merupakan kerugian negara.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.

Ayat (7)


Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain pertimbangan untuk melakukan pencadangan dan penggunaan akumulasi modal untuk investasi kembali.

Pasal 159

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" mencakup mitra investasi, manajer investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah, dan/atau entitas lainnya baik di dalam maupun luar negeri.

Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "bentuk kerja sama lainnya" dapat mencakup pendirian dana kelolaan investasi (fund) bersama pihak lain.

Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha dengan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Ayat (3)

Pemindah tanganan aset Lembaga untuk dijadikan penyertaan modal dengan memperhatikan tujuan pemindah tanganan, penilaian atas aset dan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dilakukan dengan prinsip usaha yang sehat.


Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Peraturan Pemerintah dalam ayat ini sekurang-kurangnya mengatur:

  1. kerja sama dengan pihak ketiga yang mencakup antara lain tata kelola aset yang dikerjasamakan, pembagian keuntungan hasil kerja sama, mekanisme partisipasi, audit dari aset yang bersangkutan;
  2. pembentukan dana kelolaan investasi (fund) yang mencakup permodalan, ruang lingkup tujuan investasi, bentuk, jenis dana kelolaan investasi dan tata kelola dana investasi; dan
  3. penilaian aset.

Pengaturan di dalam Peraturan Pemerintah didasarkan pada praktik internasional yang baik.


Pasal 160

Ayat (1)

Huruf a


Cukup jelas.

Huruf b


Hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga dapat berupa keuntungan atau aset tetap yang dibeli Lembaga selama masa operasional.

Huruf c


Aset badan usaha milik negara dapat menjadi aset Lembaga antara lain melalui mekanisme transaksi jual beli.

Huruf d


Cukup jelas.

Huruf e


Sumber lain yang sah antara lain aset yang dibeli dari pinjaman atau aset yang berasal dari barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang barang milik negara/daerah.

Ayat (2)


Cukup jelas.

Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 161

Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga oleh akuntan publik dilakukan dengan mengikuti standar akuntasi yang diakui secara internasional sebagai standar akuntansi yang berlaku untuk badan hukum pengelola investasi sejenisnya.

Pasal 162


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan kondisi insolven adalah kondisi di mana Lembaga kekurangan modal yang berdampak pada kesulitan untuk melakukan kegiatan usaha dalam jangka panjang.


Pasal 163


Cukup jelas.

Pasal 164


Ayat (1)


Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain kebijakan investasi, keterbukaan informasi, benturan kepentingan, kerahasiaan informasi, pengadministrasian dari data dan informasi yang berkaitan dengan aset yang dikelola, audit internal, tanggung jawab sosial dan lingkungan serta manajemen risiko dengan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional.


Ayat (2)


Ketidakberlakuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara bagi Lembaga, karena kegiatan pengelolaan aset dan investasi telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.


Pasal 165


Ayat (1)


Lembaga Pengelola Investasi dapat disebut dengan nama lain seperti: Indonesian Sovereign Wealth Fund atau Indonesia Investment Authority.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 166


Cukup jelas.

Pasal 167


Cukup jelas.

Pasal 168


Cukup jelas.

Pasal 169


Cukup jelas.

Pasal 170


Cukup jelas.

Pasal 171


Cukup jelas.

Pasal 172


Cukup jelas.

Pasal 173


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah.

Ayat (3)


Cukup jelas.

Ayat (4)


Cukup jelas.

Ayat (5)


Cukup jelas.

Pasal 174

Cukup jelas.


Pasal 175

Angka 1


Pasal 1


Cukup jelas.


Angka 2


Pasal 24


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "alasan-alasan objektif" adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "iktikad baik" adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.


Angka 3


Pasal 38


Ayat (1)


Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Angka 4


Pasal 39


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "memerlukan perhatian khusus" adalah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat, dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu memberikan perhatian dan pengawasan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "swasta" meliputi perorangan, korporasi yang berbadan hukum di Indonesia, dan asing.


Huruf c


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Angka 5


Pasal 39A


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 53


Cukup jelas.

Pasal 176

Angka 1


Pasal 16


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "praktik yang baik (good practices)" adalah sesuai standar atau ketentuan yang berlaku secara internasional".


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


 Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.

 

Angka 2


Pasal 250


Yang dimaksud dengan "putusan pengadilan" adalah putusan pengadilan yang telah diikuti oleh putusan hakim berikutnya.

Angka 3


Pasal 251


Cukup jelas.

Angka 4


Pasal 252


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.

 

Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)

Pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan sebesar uang yang sudah dipungut oleh Daerah.


Angka 5


Pasal 260


Cukup jelas.

Angka 6


Pasal 292A


Cukup jelas.

Angka 7


Pasal 300


Cukup jelas.

Angka 8


Pasal 349


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "penyederhanaan jenis pelayanan publik" adalah menggabungkan beberapa jenis pelayanan publik yang diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi 1 (satu) jenis pelayanan yang di dalamnya menampung/memuat substansi pelayanan yang digabungkan tersebut.


Yang dimaksud dengan "penyederhanaan prosedur pelayanan publik" adalah mengurangi dan/atau mengintegrasikan persyaratan atau langkah-langkah pemberian layanan, sehingga mempermudah proses pemberian layanan kepada masyarakat.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Angka 9


Pasal 350


Cukup jelas.


Angka 10


Pasal 402A


Cukup jelas.


Pasal 177

Cukup jelas.


Pasal 178

Cukup jelas.


Pasal 179

Cukup jelas.


Pasal 180

Cukup jelas.


Pasal 181

Cukup jelas.


Pasal 182

Cukup jelas.


Pasal 183

Cukup jelas.


Pasal 184

Cukup jelas.


Pasal 185

Cukup jelas.


Pasal 186

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6573