Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 253/PMK.03/2014

Kategori : PBB

Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi Dan Bangunan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 253/PMK.03/2014

TENTANG

TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai keberatan Pajak Bumi dan Bangunan telah diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994;
  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  3. bahwa untuk memberikan pedoman pelaksanaan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, serta memberikan kepastian hukum, perlu diatur ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan Pajak Bumi dan Bangunan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
  4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 25);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  2. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
  3. Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB yang terutang.
  4. Surat Keberatan adalah surat yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan atas SPPT atau SKP PBB.
  5. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak yang mengadministrasikan Pajak Bumi dan Bangunan.
  6. Surat Pemberitahuan Untuk Hadir yang selanjutnya disingkat SPUH adalah surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan dan/atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian Keberatan dari tim peneliti keberatan.


BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2


Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
  1. SPPT; atau
  2. SKP PBB.


Pasal 3


Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya diajukan terhadap materi dalam penetapan besarnya PBB yang terutang pada SPPT atau SKP PBB.


BAB III
PENGAJUAN KEBERATAN

Pasal 4


(1) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diajukan dengan menyampaikan Surat Keberatan.
(2) Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. satu Surat Keberatan untuk satu SPPT atau SKP PBB;
  2. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan melalui KPP;
  4. dilampiri dengan SPPT atau SKP PBB asli yang diajukan keberatan;
  5. dikemukakan jumlah PBB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak dan disertai dengan alasan pengajuan keberatan;
  6. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP PBB, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya dengan disertai bukti pendukung; dan
  7. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf g, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f terlampaui.
(4) Untuk mendukung alasan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, Surat Keberatan dapat dilampiri dengan:
  1. fotokopi identitas Wajib Pajak dan fotokopi identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;
  2. fotokopi izin pemanfaatan atas bumi atau kepemilikan hak atas bumi;
  3. fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau
  4. fotokopi bukti pendukung lainnya.
(5) Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 5


(1) Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f meliputi:
  1. bencana alam;
  2. kebakaran;
  3. huru-hara/kerusuhan massal;
  4. diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT atau SKP PBB berubah; atau
  5. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP PBB, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP PBB tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP PBB hasil pembetulan secara jabatan.


Pasal 6


(1) Surat Keberatan yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, dapat dilakukan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos; atau
  3. melalui jasa pengiriman.
(2) Tanggal Surat Keberatan diterima yaitu:
  1. tanggal tanda terima sebagaimana tercantum pada bukti penerimaan surat, dalam hal Surat Keberatan disampaikan secara langsung; atau
  2. tanggal pengiriman sebagaimana tercantum pada bukti pengiriman surat, dalam hal Surat Keberatan disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman.
(3) Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbaikan Surat Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tanggal Surat Keberatan diterima yaitu:
  1. tanggal tanda diterima sebagaimana tercantum pada bukti penerimaan surat, dalam hal Surat Keberatan yang telah diperbaiki disampaikan secara langsung; atau
  2. tanggal pengiriman Surat Keberatan yang telah diperbaiki sebagaimana tercantum pada bukti pengiriman surat, dalam hal Surat Keberatan yang telah diperbaiki disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman.
(4) Bukti penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, dan bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan.


Pasal 7


(1) Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
(2) Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat pemberitahuan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan Surat Keputusan Keberatan.


Pasal 8


(1) Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan PBB kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP.
(2) Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menambah jangka waktu pengajuan keberatan yang harus dipatuhi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f.


Pasal 9


Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB yang terutang.


BAB IV
PENCABUTAN SURAT KEBERATAN

Pasal 10


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan Surat Keberatan sebelum tanggal diterimanya SPUH oleh Wajib Pajak.
(2) Permohonan pencabutan Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan mencantumkan alasan pencabutan;
  2. ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan melalui KPP; dan
  3. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal ditandatangani oleh bukan oleh Wajib Pajak harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Permohonan pencabutan Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Surat jawaban atas permohonan pencabutan Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa persetujuan atau penolakan permohonan pencabutan Surat Keberatan.
(5) Surat jawaban atas permohonan pencabutan Surat Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB V
PENYELESAIAN KEBERATAN

Pasal 11


(1) Proses penyelesaian keberatan dilakukan melalui penelitian keberatan.
(2) Dalam proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
  1. meminjam buku, catatan, data, dan/atau informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang diajukan keberatan melalui penyampaian surat peminjaman buku, catatan, data, dan/atau informasi;
  2. meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang diajukan keberatan melalui penyampaian surat permintaan keterangan;
  3. meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang diajukan keberatan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan objek pajak dan/atau Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  4. melaksanakan peninjauan di lokasi objek pajak, tempat kedudukan Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu, yang meliputi kegiatan identifikasi, pengukuran, pemetaan, dan/atau penghimpunan data, keterangan, dan/atau bukti, mengenai objek pajak yang diajukan keberatan;
  5. melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
  6. melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif untuk dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
(3) Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan/atau permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim.
(4) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data, dan/atau informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan:
  1. surat peminjaman yang kedua; dan/atau
  2. surat permintaan keterangan yang kedua.
(5) Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan keterangan yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan yang kedua dikirim.
(6) Dalam hal masih diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminjam buku, catatan, data, dan/atau informasi tambahan dan/atau meminta keterangan tambahan dengan menyampaikan:
  1. surat peminjaman tambahan; dan/atau
  2. surat permintaan keterangan tambahan.
(7) Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan keterangan tambahan dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan dalam surat peminjaman tambahan dan/atau surat permintaan keterangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Surat peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, surat permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, surat peminjaman yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan/atau surat permintaan keterangan yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, surat peminjaman tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dan/atau surat permintaan keterangan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(9) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh peminjaman dan/atau permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), atau ayat (7), keberatan tetap diproses sesuai dengan data yang dimiliki dan/atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dan dibuat berita acara dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10) Dalam hal dilaksanakan peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan menggunakan surat pemberitahuan peninjauan dalam rangka penelitian keberatan PBB dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(11) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas pengajuan keberatan.
(12) Pembahasan dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi atas pengajuan keberatan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(13) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 12


Sebelum Surat Keputusan Keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk melengkapi dan/atau memperjelas Surat Keberatan yang telah disampaikan.


Pasal 13


(1) Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan dan/atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian SPUH yang dilampiri dengan:
  1. daftar hasil penelitian keberatan; dan
  2. formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan.
(2) SPUH, daftar hasil penelitian keberatan, dan formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Pemberian keterangan dari Wajib Pajak dan/atau pemberian penjelasan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) dituangkan dalam berita acara kehadiran yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak menggunakan hak untuk hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat berita acara ketidakhadiran dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini dan proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.
(5) Daftar hasil penelitian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak bersifat final dan bukan merupakan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.


Pasal 14


(1) Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 6 ayat (3).
(2) Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan laporan penelitian keberatan.
(3) Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah PBB terutang yang dituangkan dalam Surat Keputusan Keberatan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan keputusan atas keberatan belum diterbitkan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap diterima dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.
(5) Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak:
  1. secara langsung dengan bukti tanda terima; atau
  2. melalui pos atau jasa pengiriman dengan bukti pengiriman surat.
(6) Dalam hal keputusan keberatan menyebabkan perubahan data dan/atau PBB yang terutang dalam SPPT atau SKP PBB, KPP menerbitkan kembali SPPT atau SKP PBB berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, tanpa mengubah tanggal jatuh tempo pembayaran.
(7) SPPT atau SKP PBB yang diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat diajukan keberatan.
(8) Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 15


Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Surat Keberatan yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, diselesaikan berdasarkan ketentuan yang berlaku pada saat Surat Keberatan diajukan.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16


Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 2008