Peraturan Pemerintah Nomor : 1 TAHUN 2012

Kategori : PPN

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2012

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);

 


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
  2. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
  3. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  4. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
  5. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  6. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  7. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.


BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

Pasal 2


(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(3) Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.


Pasal 3


(1) Bentuk kerja sama operasi merupakan bagian dari bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.


Pasal 4


(1) Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal:
  1. pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi jasa; atau
  2. pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
(3) Tanggung jawab renteng sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


BAB III
BARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK

Pasal 5


(1) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri untuk:
  1. tujuan produktif; atau
  2. tujuan konsumtif.
(3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang:
  1. tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  2. mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 6


Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean.


Pasal 7


(1) Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 8


(1) Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan dengan penerbitan Faktur Pajak oleh pemilik barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Dalam hal pemilik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menerbitkan Faktur Pajak, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan sendiri oleh pemenang lelang melalui Surat Setoran Pajak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK

Pasal 9


(1) Dasar Pengenaan Pajak meliputi jumlah:
  1. Harga Jual;
  2. Penggantian;
  3. nilai impor;
  4. nilai ekspor; atau
  5. nilai lain,
yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(2) Dalam hal:
  1. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya; dan
  2. atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
Dasar Pengenaan Pajak berupa Harga Jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut.
(3) Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, adalah tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut.
(4) Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain:
  1. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
  2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah,
adalah termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut.


BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Pasal 10


(1) Kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling sedikit memuat:
  1. nilai kontrak;
  2. Dasar Pengenaan Pajak; dan
  3. besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(2) Dalam hal nilai kontrak atau perjanjian tertulis sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam kontrak atau perjanjian tertulis wajib disebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3) Dalam hal kontrak atau perjanjian tertulis tidak menyebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, nilai kontrak yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak.


Pasal 11


(1) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh) dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Pajak Pertambahan Nilai =
 10  X harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak
110 + t
b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah =
 t  X harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak
110 + t
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, Penggantian, atau nilai lain sesuai hasil pemeriksaan.
(4) Besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan.
(5) Dalam hal Pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya, besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).


Pasal 12


(1) Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah:
  1. dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa; dan
  2. dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa.
(2) Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak atau keadaan kahar, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut.


Pasal 13


(1) Dalam hal:
  1. terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut; dan
  2. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada huruf a telah disetorkan dan dilaporkan,
atas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang salah dipungut hanya dapat dimintakan kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan, belum dibebankan sebagai biaya, atau belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.
(2) Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. importir;
  2. pembeli barang;
  3. penerima jasa;
  4. pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; atau
  5. pihak yang memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.


Pasal 14


Dalam hal transaksi atas:
  1. impor Barang Kena Pajak;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean; atau
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, penghitungan besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.


BAB VI
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN

Pasal 15


(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Dalam hal impor Barang Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 16


(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
(2) Barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut.
(3) Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku untuk seluruh kegiatan usaha.


BAB VII
SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Pasal 17


(1) Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
  1. penyerahan Barang Kena Pajak;
  2. impor Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
  6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
  8. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat pembayaran.
(3) Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
a. penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat:
  1. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli;
  2. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antar cabang;
  3. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau
  4. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
b. penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
c. penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada saat:
  1. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau
  2. kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak diketahui.
d. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat:
  1. ditandatanganinya akta pembubaran oleh Notaris;
  2. berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar;
  3. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau
  4. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
e. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau perubahan bentuk usaha, terjadi pada saat:
  1. disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang tertuang dalam perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha; atau
  2. ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh Notaris.
(4) Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(5) Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat:
  1. harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
  2. kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diketahui; atau
  3. mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak.
(6) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e terjadi pada saat:
  1. harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
  2. harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
  3. harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya,
yang terjadi lebih dahulu.
(7) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui.
(8) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(9) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terjadi pada saat Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
(10) Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.


Pasal 18


(1) Pengusaha Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelenggarakan administrasi penjualan secara terpusat pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha.


BAB VIII
FAKTUR PAJAK

Pasal 19


(1) Faktur Pajak wajib diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10).
(2) Ketentuan mengenai kewajiban penerbitan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5ayat (3).
(3) Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
(4) Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.


Pasal 20


(1) Pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
  1. melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
  2. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
  3. pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
(3) Termasuk dalam pengertian Pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
  1. melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
  2. dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
  3. pada umumnya pembayaran atas penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan secara tunai.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21


Ketentuan mengenai penerbitan Faktur Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 berlaku sejak tanggal 1 April 2010.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22


(1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
  1. Semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau belum diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.
  2. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4199); dan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 260, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4062),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 23


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN

 



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 4


 

 


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2012

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH


I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalarn Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan penegasan dan penjelasan lebih lanjut serta untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, antara lain mengenai tanggung jawab renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, pemakaian sendiri, saat penerbitan Faktur Pajak, rincian barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, pengertian barang modal yang terkait dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, dan pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 16F Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng terhadap pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, pengaturan tanggung jawab secara renteng belum diatur secara jelas sehingga perlu diatur norma umum dan persyaratan mengenai tanggung jawab renteng dalam Peraturan Pemerintah ini.

Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi bagi Pengusaha Kena Pajak, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang terutang Pajak Pertambahan Nilai tidak perlu dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan penerbitan Faktur Pajak. Sebaliknya, untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif, Pengusaha Kena Pajak wajib menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai masih bersifat umum, sehingga perlu diatur lebih lanjut mengenai kriteria dan/atau rincian jenis barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dalam menentukan jenis barang dan jasa yang bukan merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan memperhatikan aspek keadilan, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa barang modal mencakup seluruh harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan berlaku untuk semua jenis kegiatan usaha.

Saat terutangnya pajak merupakan hal yang penting untuk menentukan waktu bagi Pengusaha Kena Pajak untuk menerbitkan Faktur Pajak. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sangat bervariasi sehingga perlu penjelasan dan penegasan untuk menghindari terjadinya multitafsir dan ketidakpastian hukum. Penegasan dimaksud dibuat selaras dengan praktik bisnis yang lazim dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Untuk memberikan keseimbangan dalam pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak penjual dan Pengusaha Kena Pajak pembeli, sudah selayaknya Pengusaha Kena Pajak pembeli tidak diperkenankan untuk mengkreditkan Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya diterbitkan setelah melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat terutangnya pajak. Ketentuan ini dimaksudkan agar Pengusaha Kena Pajak pembeli ikut mengawasi Pengusaha Kena Pajak penjual untuk menerbitkan Faktur Pajak secara tepat waktu.

Pengusaha Kena Pajak yang bukan pedagang eceran tetapi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak secara eceran akan mengalami kesulitan dalam menerbitkan Faktur Pajak apabila diperlakukan sama dengan Pengusaha Kena Pajak pada umumnya yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak secara eceran. Untuk itu, perlu diberikan penegasan dan penjelasan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan dengan karakteristik secara eceran termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. Termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan jasa secara eceran.

Substansi pengaturan atas pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut untuk impor Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari bea masuk sudah tidak diatur lagi dalam Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya fasilitas tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur khusus tentang fasilitas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, dalam rangka memberikan kepastian hukum, pemberian fasilitas tersebut yang selama ini diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 masih tetap berlaku sampai dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian fasilitas dimaksud diterbitkan.

Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai maka ketentuan penerbitan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 1 April 2010, yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terlaksana secara efektif dan lancar, sudah sewajarnya apabila pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 3

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:

 
a. joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c. apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.


Pasal 4

Ayat (1)


Tanggung renteng melekat pada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atas transaksi pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Pasal 5

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak" adalah pemakaian Barang Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak" adalah pemakaian Jasa Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.

Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak ada kaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.

Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak:

 
a. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif:
1) Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para tamu.
2) Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut dan sebagian dibagikan kepada karyawannya.
3) Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para direksinya.
b. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:
1) Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang.
2) Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
3) Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.
c. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:
1) Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
2) Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.
3) Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

 

Ayat (3)


Transaksi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudahan administrasi tersebut diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal pemakaian sendiri digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perlakuan ini diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.


Contoh pemakaian sendiri untuk tujuan produktif:
Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk:

 
a. truk yang digunakan untuk pengangkutan ban produksinya; dan
b. kendaraan angkutan umumnya.

Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada contoh huruf a tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Namun demikian, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada contoh huruf b tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai, karena digunakan untuk penyerahan jasa angkutan umum yang merupakan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai.


Ayat (4)


Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dipakai sendiri tidak termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dibebaskan, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Dengan demikian apabila yang dipakai sendiri adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan .Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Demikian juga apabila barang dan/atau jasa yang dipakai sendiri termasuk dalam jenis bukan Barang Kena Pajak dan/atau bukan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan barang dan/atau jasa tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.


Pasal 6

Sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

 
1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
3) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,

maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak.

Contoh 1:
A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh 2:
Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.


Pasal 7

Cukup jelas.


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya, dan atas perolehannya telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tersebut merupakan bagian dari biaya produksi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya.

Dengan demikian, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang menjadi bagian atau digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah termasuk dalam Dasar Pengenaan Pajak.

Contoh:
PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut PT A telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar Rp350.000,00.
Apabila harga produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan keuntungan yang diinginkan PT A sebesar Rp40.000.000,00 maka Harga Jual mobil tersebut sebesar Rp150.350.000,00. Dengan demikian Dasar Pengenaan Pajak atas mobil tersebut adalah sebesar Rp150.350.000,00. Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut:

 
a. Pajak Pertambahan Nilai
= 10% X Rp150.350.000,00 = Rp15.035.000,00
b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (tarif 20%)
= 20% X Rp150.350.000,00 = Rp30.070.000,00

Ayat (3)

Contoh 1:
PT X yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengan Harga Jual sebesar Rp100.000.000,00. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 20%. Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp100.000.000,00, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 20%) yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar oleh PT A adalah sebagai berikut:

 
Dasar Pengenaan Pajak (Harga Jual) = Rp100.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai = Rp 10.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 20.000.000,00 +
Jumlah yang dibayar oleh PT A = Rp130.000.000,00

Contoh 2:
PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp200.000.000,00. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30%. Dasar Pengenaan Pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp200.000.000,00, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 30%) yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar oleh PT C adalah sebagai berikut:

 
Dasar Pengenaan Pajak (Nilai Impor) = Rp200.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai = Rp 20.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 60.000.000,00 +
Jumlah yang dibayar oleh PT C = Rp280.000.000,00

Ayat (4)


Contoh 1:
Kelanjutan dari contoh 1 sebagaimana dimaksud pada Penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp15.000.000,00. Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT B adalah sebagai berikut:

 
Harga beli PT A = Rp 100.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00
Keuntungan yang diharapkan = Rp 15.000.000,00 +
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 135.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai 10% x Rp135.000.000,00 = Rp 13.500.000,00 +
Jumlah yang dibayar oleh PT B = Rp 148.500.000,00

Contoh 2 :
Kelanjutan dari contoh 2 sebagaimana dimaksud pada Penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00. Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D adalah sebagai berikut:

 
Nilai Impor PT C = Rp 200.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 60.000.000,00
Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.000,00 +
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 300.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai 10% x Rp300.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 +
Jumlah yang dibayar oleh PT D = Rp 330.000.000,00


Pasal 10

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Contoh:
Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis bahwa dalam nilai kontrak sebesar Rp130.000.000,00 secara tegas dinyatakan sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 20%), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menurut ayat ini adalah sebagai berikut:


Pajak Pertambahan Nilai yang terutang =

 
 10  X Rp130.000.000,00 = Rp 10.000.000,00
110 + 20

Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang =

 
 20  X Rp130.000.000,00 = Rp20.000.000,00
110 + 20

Ayat (3)


Sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp130.000.000,00. Sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah sebagai berikut:

 
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 130.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% (10% x Rp130.000.000,00) = Rp 13.000.000,00
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 20% (20% x Rp130.000.000,00) = Rp 26.000.000,00

Pasal 11

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "t" adalah besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah.


Ayat (3)


Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui:

 
Harga Jual = Rp 10.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak dalam contoh ini adalah = Rp 10.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang (10% x Rp10.000.000,00) = Rp 1.000.000,00

Apabila atas penyerahan tersebut juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20%, maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang adalah 20% x Rp10.000.000,00 = Rp2.000.000,00.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 12

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "piutang" adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dalam hal piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dihapuskan, penghapusan tersebut tidak mempunyai akibat terhadap konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.

Oleh karena itu, bagi Pengusaha Kena Pajak penjual yang menghapuskan piutangnya tidak perlu melakukan penyesuaian atas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dilaporkan.

Sementara bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli yang menikmati penghapusan piutangnya tidak perlu melakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan "keadaan kahar" atau force majeure adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Yang termasuk kategori keadaan kahar atau force majeure adalah peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.


Pasal 13

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Termasuk dalam pengertian pembeli barang dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dalam hal transaksi penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.


Huruf c


Termasuk dalam pengertian penerima jasa dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dalam hal transaksi penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Ayat (1)


Tempat pengkreditan Pajak Masukan adalah di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak harus sama dengan alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan Pengukuhan.

Dalam hal Pengusaha melakukan impor Barang Kena Pajak dan tempat melakukan impor berbeda dengan tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tempat pengkreditan Pajak Masukan atas impor Barang Kena Pajak adalah di tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak tersebut tidak perlu dikukuhkan lagi sebagai Pengusaha Kena Pajak di tempat Barang Kena Pajak tersebut diimpor.

Contoh:
PT A dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Jakarta, melakukan impor di Surabaya. Pajak Masukan atas impor Barang Kena Pajak dikreditkan di tempat pengusaha dikukuhkan di Jakarta. Atas impor ini PT A tidak perlu lagi dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Surabaya.


Ayat (2)


Pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di lebih dari satu tempat kegiatan usaha dapat memilih salah satu tempat sebagai tempat pengkreditan atas impor Barang Kena Pajak dengan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.

Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Jakarta dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di kota Surakarta dan terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan Impor Barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak kantor pusat di Jakarta. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen impor tersebut.

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 16

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Ketentuan mengenai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun untuk barang modal mengacu pada ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Pajak Penghasilan yang pembebanannya sebagai biaya dalam penghitungan Pajak Penghasilan harus melalui penyusutan. Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Contoh:
Pengusaha Kena Pajak membeli barang modal berupa mesin dari luar Daerah Pabean. Untuk pemasangannya, Pengusaha Kena Pajak memanfaatkan jasa pemasangan dari Pengusaha Kena Pajak lain di dalam Daerah Pabean. Pembayaran atas jasa pemasangan yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan mesin tersebut merupakan pengeluaran yang Pajak Masukannya dapat dikreditkan.


Ayat (3)


Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi berlaku untuk seluruh kegiatan usaha yang meliputi kegiatan industri atau manufaktur, kegiatan usaha perdagangan, kegiatan usaha jasa, dan kegiatan usaha lainnya.


Pasal 17

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mensinkronisasikan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak.

Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka:

 
a. penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Karena itu Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli.
b. Perpindahan hak penguasaan atas barang bisa juga terjadi pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat barang diserahkan kepada juru kirim atau perusahaan angkutan.

Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan sebagai sumber dokumennya.

Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat penerbitan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Termasuk dalam pengertian faktur penjualan adalah dokumen lain yang berfungsi sama dengan faktur penjualan.


Huruf b

Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "persediaan" adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "penggabungan usaha, pengambilalihan usaha, pemecahan usaha, dan peleburan usaha" adalah penggabungan usaha, pengambilalihan usaha, pemisahan usaha, dan peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.

Yang dimaksud dengan "pemekaran usaha" adalah pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" adalah berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak adalah Commanditaire Vennotschap kemudian berubah menjadi Perseroan Terbatas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.

Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat penerbitan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mensinkronisasikan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Ayat (9)


Cukup jelas.


Ayat (10)


Cukup jelas.


Pasal 18

Cukup jelas.


Pasal 19

Ayat (1)


Secara prinsip Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, namun demikian karena suatu hal dapat terjadi keterlambatan penerbitan Faktur Pajak. Atas keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dikenakan sanksi sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, perlu adanya pembatasan jangka waktu penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten.

Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak.


Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:

 
1. Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak.

Contoh 1:
PT Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada Tuan Igna pada tanggal 15 Mei 2011. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut PT Aman menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 15 Mei 2011.

Contoh 2:
PT Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of delivery) loco gudang penjual (fob shipping point). Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang PT Ceria pada tanggal 10 Juni 2011 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi dengan tanggal DO (delivery order) 10 Juni 2011. Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 12 Juni 2011. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Berkah menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 10 Juni 2011.

Dalam hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (invoice) diterbitkan tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan. Penerbitan faktur penjualan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan dilakukan secara konsisten.

Contoh 3:
PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of delivery) franco gudang pembeli (fob destination). Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 12 Agustus 2011 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 Agustus 2011. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (invoice) pada tanggal 16 Agustus 2011. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Cantik wajib menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 13 Agustus 2011 atau paling lama tanggal 16 Agustus 2011.
   
2. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak.

Contoh 1:
Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2011.
Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2011.
Faktur Pajak harus diterbitkan pada tanggal 1 September 2011.
Bila sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus diterbitkan pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh 2:
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan pada tanggal 1 Agustus 2011.
Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh 3:
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan pada tanggal 1 Agustus 2011.
   
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak.

Contoh 1:
PT Semangat menyewakan satu unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak disepakati antara lain:
  • PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2011.
  • Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp 120.000.000,00.
  • Pembayaran sewa adalah tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp10.000.000,00 per tahun.
Pada tanggal 29 September 2011 PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2011 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp10.000.000,00.

Contoh 2:
PT Toryung mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan jasa konsultasi manajemen dan pelatihan kepada staff marketing PT Toryung selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp60.000.000,00. Pembayaran jasa konsultasi akan dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan jasa konsultasi sejak tanggal 1 Juli 2011. Pada tanggal 10 Agustus 2011, Firma Cerah Konsultan mengajukan tagihan untuk pembayaran jasa konsultasi bulan Juli sebesar Rp10.000.000,00. PT Toryung melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Agustus 2011. Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 10 Agustus 2011 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp10.000.000,00 (sesuai dengan nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 20 Agustus 2011.

Contoh 3:
PT Setiyakom adalah suatu perusahaan jasa telekomunikasi.
PT Setiyakom melakukan penagihan kepada pelanggan sesuai dengan periode pemakaian selama 1 (satu) bulan.
Pengumpulan data-data pemakaian dari pelanggan memerlukan waktu beberapa hari, sehingga faktur penjualan baru dapat diterbitkan beberapa hari setelahnya.
Misalnya untuk pemakaian oleh pelanggan pada tanggal 1 - 30 Juni 2011, PT Setiyakom menerbitkan faktur penjualan (melakukan penagihan) pada tanggal 5 Juli 2011.
Untuk kasus ini, Faktur Pajak diterbitkan pada saat penyerahan jasa tersebut dinyatakan/dicatat sebagai piutang/penghasilan, yaitu pada akhir periode pemakaian (30 Juni 2011) atau paling lama pada saat diterbitkannya faktur penjualan (5 Juli 2011).
Matriks saat penerbitan Faktur Pajak untuk beberapa contoh penyerahan di bidang jasa telekomunikasi adalah sebagai berikut:
No Periode
Pemakaian/
penyerahan
Jasa Kena
Pajak
Periode
pengakuan
penghasilan
Saat diakui
penghasilan
Penerbitan
faktur
penjualan
Faktur Pajak
diterbitkan
paling lama:
Ia 1 - 30 Juni 2011 1 - 30 Juni 2011 Juni 2011 30 Juni 2011 30 Juni 2011
Ib 1 - 30 Juni 2011 1 - 30 Juni 2011 Juni 2011 5 Juli 2011 5 Juli 2011
Ic 1 - 30 Juni 2011 1 - 30 Juni 2011 Juni 2011 31 Juli 2011 31 Juli 2011
           
2 26 Mei - 25 Juni 2011 26 Mei - 25 Juni 2011 Juni 2011 6 Juli 2011 6 Juli 2011
           
3 16 Mei - 15 Juni 2011 16 Mei - 15 Juni 2011 Mei 2011 20 Juni 2011 20 Juni 2011
           
4 16 Mei - 15 Juni 2011 16 Mei - 15 Juni 2011 Juni 2011 20 Juni 2011 20 Juni 2011
           
5 16 Mei - 15 Juni 2011 16 -31 Mei 2011 Mei 2011 31 Mei 2011 31 Mei 2011
1-15 Juni 2011 Juni 2011 15 Juni 2011 15 Juni 2011
   
4. Penyerahan sebagian tahap pekerjaan (pembayaran termin)

Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat penerbitan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum jasa pemborong itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.

Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.

Contoh:
  1. Tanggal 1 April 2011, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20%.
  2. Tanggal 1 Mei 2011, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1.
  3. Tanggal 1 Juni 2011, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2.
  4. Tanggal 20 Juni 2011, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3.
  5. Tanggal 25 Agustus 2011, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
  6. Tanggal 1 September 2011, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan.
  7. Tanggal 1 Maret 2012, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.
Pada angka 1 sampai dengan angka 4 Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5 sampai dengan angka 7 Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Agustus 2011 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Cara penghitungan sebagaimana tersebut di atas juga berlaku dalam hal penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Pada dasarnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, namun demikian karena suatu hal dapat terjadi keterlambatan penerbitan Faktur Pajak. Atas keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai.
Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Ayat (4)


Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah.


Ayat (5)


Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dengan menegaskan bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan lebih dari 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah, sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.


Pasal 20

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, yang pada umumnya dilakukan kepada/untuk konsumen akhir, pada dasarnya merupakan kegiatan penyerahan secara eceran. Oleh karena itu, Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran kepada konsumen akhir yang dibuat tanpa mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan Pengusaha Kena Pajak penjual tidak akan dikenakan sanksi atau diterbitkan Surat Tagihan Pajak, karena termasuk dalam pengertian Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Contoh tempat penjualan eceran yaitu toko dan kios.

Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" adalah pembeli yang mengkonsumsi secara langsung barang tersebut, dan tidak digunakan atau dimanfaatkan untuk kegiatan produksi atau perdagangan.

Namun demikian Pengusaha Kena Pajak tetap diperkenankan untuk menerbitkan Faktur Pajak secara lengkap meskipun penyerahan Barang Kena Pajak dilakukan kepada konsumen akhir, misalnya dalam hal pembeli sebagai konsumen akhir adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya tidak melakukan usaha perdagangan secara eceran (pabrikan atau distributor) tetapi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran tersebut Pengusaha Kena Pajak dapat menerbitkan Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.


Ayat (3)


Contoh tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir yaitu gerai dan kios.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 22

Cukup jelas.


Pasal 23

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5271