Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 32/PJ/2011

Kategori : PPh

Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER - 32/PJ/2011

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN
DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA
WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, dipandang perlu melakukan perubahan beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.


Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
  5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
  6. Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
  7. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
  8. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2


(1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
  1. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;
  2. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
  3. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
    

Pasal 3


(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.   
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
  2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
  4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP) mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).    
(4) Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal :
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar.
c. dalam hal Data Pembanding Internal yang tersedia sebagaimana dimaksud pada huruf b bersifat insidental, maka Data Pembanding Internal dimaksud hanya dapat dipergunakan dalam transaksi yang bersifat insidental antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A


(1) Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal harus memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan.
(4) Dalam hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal tidak diperlukan.
(5) Data Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun database lainnya.
6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
  1. struktur organisasi dan posisi perusahaan yang diuji dalam kelompok usaha serta manajemen mata rantai (supply chain management) kelompok usaha;
  2. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen serta karakteristik utama perusahaan seperti jasa maklon (toll manufacturing), manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas (contract manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully fledge manufacturing);
  3. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan Harta Tidak Berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
  4. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.
7. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis.
(2) Dalam hal tidak terdapat dokumen tertulis, hubungan kontrak para pihak dapat ditentukan dari peran/perilaku para pihak atau prinsip ekonomi, yang umumnya mengatur hubungan para pihak tersebut.
8. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
        

Pasal 9


(1) Analisis keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan dalam pasar tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
(2) Keadaan ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat kesebandingan pasar mencakup:
  1. Lokasi geografis;
  2. ukuran pasar;
  3. tingkat persaingan dalam pasar serta posisi persaingan antara penjual dan pembeli;
  4. ketersediaan barang atau jasa pengganti;
  5. tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar baik secara keseluruhan maupun regional;
  6. daya beli konsumen;
  7. sifat dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
  8. biaya produksi termasuk biaya tanah, upah tenaga kerja, dan modal; biaya transportasi; dan tingkatan pasar;
  9. tanggal dan waktu transaksi; dan sebagainya.
9. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
    

Pasal 11


(1) Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (The Most Appropiate Method).
(2) Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diterapkan adalah :
  1. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
  2. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
  3. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
  4. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
  5. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
(3) Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
(4) Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
(5) Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang  dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6) Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).
(7) Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
(8) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. kelebihan dan kekurangan setiap metode;
  2. kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
  3. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
  4. tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
(9) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) antara lain adalah:
  1. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
  2. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa Identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
(10) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) antara lain adalah:
  1. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
  2. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
(11) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) antara lain adalah:
  1. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
  2. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
  3. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
(12) Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
  1. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
  2. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
(13) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
  1. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi yang khusus; atau
  2. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
(14) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10. Pasal 12 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
  1. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
  2. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak untuk keperluannya;
(3) Penyerahan atau perolehan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau komersial yang dapat menambah nilai atas penyerahan atau perolehan jasa dimaksud.
(4) Dalam menentukan nilai transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus diterapkan melalui Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.
(5) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha.
(6) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk biaya atau pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan:
  1. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya pengurus perusahaan induk;
  2. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak;
  3. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib Pajak.
12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Harta Tak Berwujud (Intangibles) adalah suatu aktiva yang pada umumnya memiliki masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta memiliki kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya tidak untuk dijual kembali, seperti paten, hak cipta atau merek dagang.
(3) Harta Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) dan Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles).
(4) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) pada umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan pengembangan yang berisiko dan mahal, sehingga pemiliknya berusaha mengganti pengeluaran tersebut melalui penjualan barang, perjanjian lisensi atau kontrak jasa.
(5) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles) meliputi antara lain merek dagang atau nama dagang yang membantu meningkatkan pemasaran dari barang dan jasa, daftar pelanggan, dan saluran distribusi.
(6) Merek Dagang adalah nama, simbol atau gambar yang unik yang dimiliki sebagai identitas dari suatu barang atau jasa tertentu yang dihasilkan oleh pabrikan atau dealer, dimana penggunaannya oleh pihak lain diatur oleh hukum domestik atau hukum internasional.
(7) Transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
  1. transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
  2. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
  3. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
(8) Transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
  1. transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi; dan
  2. nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding.
(9) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) harus dipertimbangkan antara lain :
  1. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas Harta Tidak Berwujud;
  2. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
  3. keberadaan hak pihak yang memperolah Harta Tak Berwujud untuk turut serta dalam pengembangan harta dimaksud.
13. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A


(1) Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk berbagi risiko dari mengembangkan, menghasilkan atau mendapatkan aset, jasa atau hak, dan untuk menentukan fungsi dan peranan para pihak dalam kesepakatan atas aset, jasa atau hak dimaksud.
(2) Para pihak dalam Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) berhak untuk mendapatkan manfaat pelaksanaan Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) sebagai pemilik efektif (effective owners).
(3) Dalam hal terdapat Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements), maka kontribusi biaya antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dibandingkan dengan kontribusi biaya dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumentasi dalam melaporkan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang terdiri dari satu set dokumen induk dan satu set lampiran dari dokumen induk.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi.
(5) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
  1. gambaran  perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
  2. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
  3. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
  4. pembanding yang terpilih;
  5. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode yang tidak dipilih.
15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20


(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
(3) Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
16. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21


(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment) yang dilakukan oleh :
  1. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya termasuk Bentuk Usaha Tetap yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak; atau
  2. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam negeri termasuk Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian penghitungan pajaknya.
17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.
(2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
(3) Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.
18. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
    

Pasal 23


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.

 

 

Pasal II

 

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.





Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001