Peraturan Pemerintah Nomor : 25 TAHUN 2009

Kategori : PPh

Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31D Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah;

Mengingat :


  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH.


Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya.


Pasal 2


(1) Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi :
  1. penghasilan;
  2. biaya; dan
  3. pemotongan pajak atau pemungutan pajak.
(2) Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk :
  1. hak pihak ketiga atas bagi hasil;
  2. margin; dan
  3. kerugian dari transaksi bagi hasil.
(3) Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan juga terhadap :
  1. hak pihak ketiga atas bagi hasil;
  2. bonus;
  3. margin; dan
  4. hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.
 

Pasal 3


Ketentuan mengenai penghasilan, biaya,dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Pasal 4


Ketentuan mengenai tata cara pengenaan Pajak Penghasilan untuk Usaha Berbasis Syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 5


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

ANDI MATTALATTA



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 48



                       



PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH

 

 

I.

UMUM

 

Transaksi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah semakin mengalami perkembangan yang antara lain meliputi kegiatan perbankan syariah, asuransi syariah, obligasi atau surat utang syariah (sukuk), instrumen pasar modal syariah, reksadana syariah, serta kegiatan transaksi lain yang pelaksanaannya  berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perekonomian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Dibandingkan dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional yang telah dikenal, terdapat perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi yang dilakukan berdasarkan sistem konvensional tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu : kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari spekulasi, dan riba. Terkait dengan prinsip menghindari riba, kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkat bunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain:

  1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
  2. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna;
  3. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan
  4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh;

Berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bertransaksi, dana akan dikembalikan setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional tersebut akan mengakibatkan beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha tersebut.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 31D memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama.

   
II.

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Cukup jelas.



Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Hak pihak ketiga atas bagi hasil yang dibayarkan merupakan biaya yang dapat dikurangkan. Bagi hasil ini berbeda dengan dividen yang dibagikan, terkait dengan status dana yang digunakan. Dividen diberikan atas modal yang ditanamkan pada usaha yang menunjukkan kepemilikan usaha.
Sedangkan bagi hasil dibayarkan atas dana pihak ketiga yang digunakan untuk jangka waktu tertentu yang tidak menunjukkan kepemilikan usaha.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Kerugian yang timbul dari transaksi bagi hasil merupakan biaya yang dapat dikurangkan. Kerugian yang timbul harus diteliti lebih lanjut, apabila kerugian tersebut timbul akibat kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pengelola dana.

Sedangkan apabila setelah diteliti diketahui bahwa kerugian tersebut timbul dan terjadi bukan karena kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut dibebankan kepada pemilik modal sesuai dengan akad/perjanjian.


Ayat (3)

Hak pihak ketiga atas bagi hasil, bonus, margin, dan hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis merupakan penghasilan yang dibayarkan berkenaan dengan penggunaan dana pihak ketiga yang terkait dengan kepemilikan usaha, contoh :

  1. deposito mudharabah menggunakan akad mudharabah. Terhadap para deposan diberikan bagi hasil atas pemanfaatan dana yang disimpan pada bank syariah;
  2. giro pada bank syariah menggunakan akad wadiah (titipan), karena dana yang disimpan dapat ditarik setiap saat. Terhadap pemegang giro, bank syariah tidak menjanjikan hasil yang diberikan, tetapi dapat memberikan bonus yang tidak ditentukan besarnya; dan
  3. pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan.



Pasal 3

Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan.
Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar.
Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.
Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus yang timbul dari penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.



Pasal 4

Cukup jelas.



Pasal 5

Cukup jelas.

 

 


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4988