Peraturan Pemerintah Nomor : 19 TAHUN 1997

Kategori : Lainnya

Pajak Daerah


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1997

TENTANG

PAJAK DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

 

bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 18 ayat (3), Pasal 22, Pasal 25 ayat (6) dan Pasal 33 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dipandang perlu pengaturan lebih lanjut mengenai Pajak Daerah dalam Peraturan Pemerintah;


Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK DAERAH.



BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

  1. Pajak adalah Pajak Daerah menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  2. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di jalan umum, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, tidak termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar;
  3. Penyerahan kendaraan bermotor adalah penyerahan hak milik, kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha;
  4. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran;
  5. Restoran atau rumah makan adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering;
  6. Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga;
  7. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik hotel, rumah makan, atau penyelenggara hiburan;
  8. Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah;
  9. Penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah;
  10. Bahan Galian Golongan C adalah bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  11. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara ilmiah di atas permukaan tanah;
  12. Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut.



BAB II
PAJAK KENDARAAN BERMOTOR

Pasal 2

 

(1)

Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor, tidak termasuk kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak digunakan sebagai alat angkutan orang dan atau barang di jalan umum.

(2) Dikecualikan sebagai objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor oleh :
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik sebagaimana berlaku untuk pajak negara;
  3. Subjek Pajak lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.



Pasal 3

 

(1)

Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan atau menguasai kendaraan bermotor.

(2)

Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.



Pasal 4

 

(1) Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dihitung sebagai perkalian dan dua unsur pokok :
  1. Nilai Jual Kendaraan Bermotor;
  2. Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
(2)

Nilai Jual Kendaraan Bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor.

(3) Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan faktor-faktor :
  1. isi silinder dan atau satuan daya;
  2. penggunaan kendaraan bermotor;
  3. jenis kendaraan bermotor;
  4. merek kendaraan bermotor;
  5. tahun pembuatan kendaraan bermotor;
  6. berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang diizinkan;
  7. dokumen impor untuk jenis kendaraan tertentu.
(4)

Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor :

  1. tekanan gandar;
  2. jenis bahan bakar kendaraan bermotor;
  3. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin dari kendaraan bermotor.
(5)

Bobot berdasarkan penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c untuk kendaraan umum ditetapkan lebih rendah dari kendaraan pribadi.

(6)

Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan.

(7)

Dalam hal dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor belum tercantum dalam tabel sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menetapkan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dimaksud, dan memberitahukan kepada Menteri Dalam Negeri.

(8)

Tabel sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditinjau kembali setiap tahun.



Pasal 5

 

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar 1,5% (satu setengah persen).



Pasal 6

 

(1)

Besarnya Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7).

(2)

Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.



Pasal 7

 

(1)

Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran kendaraan bermotor.

(2)

Pajak Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka.



BAB III
BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR


Pasal 8

 

(1)

Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kendaraan bermotor.

(2) Termasuk penyerahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali :
  1. untuk dipakai sendiri oleh orang yang bersangkutan;
  2. untuk diperdagangkan;
  3. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia;
  4. digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olah raga bertaraf internasional.
(3) Dikecualikan sebagai objek pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan kendaraan bermotor kepada :
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. Kedutaan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik sebagaimana yang berlaku untuk pajak negara;
  3. Subjek Pajak lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 9

 

(1)

Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor.

(2)

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.



Pasal 10

 

Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, jo ayat (2), atau ayat (3).



Pasal 11

 

(1)

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan pertama ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan kedua dan selanjutnya ditetapkan sebesar 1% (satu persen).

(3)

Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan karena warisan ditetapkan sebesar 0,1% (satu persepuluh persen).



Pasal 12

 

(1)

Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

(2)

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor didaftarkan.

(3)

Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat pendaftaran.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemungutan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri.



Pasal 13

 

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib mendaftarkan penyerahan kendaraan bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak saat penyerahan.



Pasal 14

 

Orang pribadi atau badan yang menyerahkan kendaraan bermotor melaporkan secara tertulis penyerahan tersebut kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak saat penyerahan.



BAB IV
PAJAK HOTEL DAN RESTORAN


Pasal 15

 

(1) Objek Pajak Hotel dan Restoran adalah pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel dan atau restoran, termasuk :
  1. fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek;
  2. pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan;
  3. fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum;
  4. jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel;
  5. penjualan makanan dan atau minuman di tempat yang disertai dengan fasilitas penyantapannya.
(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
  1. penyewaan rumah atau kamar, apartemen dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel;
  2. pelayanan tinggal di asrama, dan pondok pesantren;
  3. fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan di hotel yang dipergunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran;
  4. pertokoan, perkantoran, perbankan, salon yang dipergunakan oleh umum di hotel;
  5. pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum;
  6. pelayanan usaha jasa boga/katering;
  7. pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang peredarannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 16

 

(1)

Subjek Pajak Hotel dan Restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel dan atau restoran.

(2)

Wajib Pajak Hotel dan Restoran adalah pengusaha hotel dan atau restoran.



Pasal 17

 

Dasar pengenaan Pajak Hotel dan Restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel dan atau restoran.



Pasal 18

 

(1)

Tarif Pajak Hotel dan Restoran paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Tarif Pajak Hotel dan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 19

 

(1)

Besarnya Pajak Hotel dan Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

(2)

Pajak Hotel dan Restoran yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat hotel dan atau restoran berlokasi.



BAB V
PAJAK HIBURAN


Pasal 20

 

Objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan.



Pasal 21

 

(1)

Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menonton dan atau menikmati hiburan.

(2)

Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.



Pasal 22

 

Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan.



Pasal 23

 

(1)

Tarif Pajak Hiburan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).

(2)

Tarif Pajak Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 24

 

(1)

Besarnya Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

(2)

Pajak Hiburan yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat hiburan diselenggarakan.



BAB VI
PAJAK REKLAME


Pasal 25

 

(1)

Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.

(2) Tidak termasuk sebagai objek pajak Reklame adalah :
  1. penyelenggaraan reklame melalui televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya;
  2. penyelenggaraan reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 26

 

(1)

Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau memesan reklame.

(2)

Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.



Pasal 27

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa reklame.

(2)

Pedoman lebih lanjut tentang cara penghitungan nilai sewa reklame ditetapkan Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan.

(3)

Cara perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(4)

Hasil perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.



Pasal 28

 

(1)

Tarif Pajak Reklame paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).

(2)

Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 29

 

(1)

Besarnya Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

(2)

Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat reklame tersebut diselenggarakan.



BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN


Pasal 30

 

(1)

Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, di wilayah daerah yang tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.

(2) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
  1. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik, sebagaimana berlaku untuk pajak negara;
  3. penggunaan tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait;
  4. penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.



Pasal 31

 

(1)

Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik.

(2)

Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menjadi pelanggan listrik dan atau pengguna tenaga listrik.



Pasal 32

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.

(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan :
  1. dalam hal tenaga listrik berasal dari PLN dan bukan PLN dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah besarnya tagihan biaya penggunaan listrik/rekening listrik;
  2. dalam hal tenaga listrik berasal dari bukan PLN dengan tidak dipungut bayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, penggunaan listrik atau taksiran penggunaan listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

 


Pasal 33

 

(1)

Tarif Pajak Penerangan Jalan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Tarif Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 34

 

(1)

Besarnya Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

(2)

Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penggunaan tenaga listrik.



BAB VIII
PAJAK PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C


Pasal 35

 

(1)

Objek Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C.

(2)

Bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. asbes;
  2. batu tulis;
  3. batu setengah permata;
  4. batu kapur;
  5. batu apung;
  6. batu permata;
  7. bentonit;
  8. dolomit;
  9. feldspar;
  10. garam batu (halite);
  11. grafit;
  12. granit;
  13. gips;
  14. kalsit;
  15. kaolin;
  16. leusit;
  17. magnesit;
  18. mika;
  19. marmer;
  20. nitrat;
  21. opsidien;
  22. oker;
  23. pasir dan kerikil;
  24. pasir kuarsa;
  25. perlit;
  26. phospat;
  27. talk;
  28. tanah serap (fullers earth);
  29. tanah diatome;
  30. tanah liat;
  31. tawas (alum);
  32. tras;
  33. yarosif;
  34. zeolit.



Pasal 36

 

(1)

Subjek Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah orang pribadi atau badan yang mengeksploitasi atau mengambil bahan galian golongan C.

(2)

Wajib Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan eksploitasi bahan galian golongan C.



Pasal 37

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C.

(2)

Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil eksploitasi dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis bahan galian golongan C.



Pasal 38

 

(1)

Tarif Pajak, Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2)

Tarif Pajak, Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 39

 

(1)

Besarnya Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.

(2)

Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat eksploitasi bahan galian golongan C.



BAB IX
PAJAK PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DAN AIR PERMUKAAN


Pasal 40

 

(1)

Objek Pajak Pemanfaatan air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah :

  1. pengambilan air bawah tanah;
  2. pengambilan air permukaan.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah :
  1. pengambilan air bawah tanah dan atau air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. pengambilan air permukaan oleh Badan Usaha Milik Negara yang khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air;
  3. pengambilan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat;
  4. pengambilan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga;
  5. pengambilan air bawah tanah dan atau air permukaan lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.



Pasal 41

 

(1)

Subjek Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil dan atau memanfaatkan air bawah tanah dan atau air permukaan.

(2)

Wajib Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil air bawah tanah dan air permukaan.



Pasal 42

 

(1)

Dasar pengenaan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah nilai perolehan air.

(2) Nilai perolehan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung menurut sebagian atau seluruh faktor-faktor :
  1. jenis sumber air;
  2. lokasi sumber air;
  3. volume air yang diambil;
  4. kualitas air;
  5. luas areal tempat pemakaian air;
  6. musim pengambilan air;
  7. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan air.
(3)

Cara penghitungan nilai perolehan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(4)

Hasil perhitungan nilai perolehan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.



Pasal 43

 

(1)

Tarif Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2)

Tarif Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.



Pasal 44

 

(1)

Besarnya Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.

(2)

Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat air diambil.



BAB X
TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK YANG KEDALUWARSA DAN
TATA CARA PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK


Pasal 45

 

(1)

Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.

(2)

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Daerah Tingkat I yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Daerah Tingkat II yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)

Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Daerah.



Pasal 46

 

Tata cara pelaksanaan pemungutan pajak ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan berpedoman kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri.



BAB XI
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK


Pasal 47

 

Peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II tentang Pajak disahkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.



Pasal 48

 

(1)

Peraturan Daerah Tingkat I tentang Pajak disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Keuangan.

(2)

Peraturan Daerah Tingkat II tentang Pajak disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Keuangan dan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

(3)

Menteri Keuangan memberikan pertimbangan secepatnya kepada Menteri Dalam Negeri atas Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4)

Pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan untuk penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dimaksud.

(5)

Jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.

(6)

Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah lewat, Menteri Dalam Negeri tidak mengambil keputusan, Peraturan Daerah tersebut dianggap telah disahkan, berlaku, dan dapat dilaksanakan.



Pasal 49

 

Peraturan Daerah yang telah mendapatkan pengesahan diundangkan dalam Lembaran Daerah yang bersangkutan.



Pasal 50

 

(1)

Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan atau meminta untuk menyempurnakan Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah disahkan apabila Peraturan Daerah tersebut di kemudian hari ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(2)

Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai alasan-alasannya diberitahukan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sesudah tanggal keputusan.

(3)

Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam Lembaran Daerah.



Pasal 51

 

Dalam hal tidak tercapai persesuaian pendapat antara Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Keuangan mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan untuk penyempurnaan Peraturan Daerah tentang Pajak, Menteri Dalam Negeri dan atau Menteri Keuangan dapat menyampaikan hal tersebut kepada Presiden.

Terhadap ketidaksesuaian pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Presiden mengambil keputusan dan memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pajak.



Pasal 52

 

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengesahan Peraturan Daerah tentang Pajak, diatur oleh Menteri Dalam Negeri.



BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 53

 

(1)

Peraturan Daerah tentang Pajak yang telah ada yang terkait dengan pajak daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sebelum dilakukan penyesuaian menurut Peraturan Pemerintah ini.

(2)

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

(3)

Peraturan Daerah tentang pajak selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tetap berlaku selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.



BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 54

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada saat diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




 

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juli 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

S O E H A R T O



Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juli 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd


M O E R D I O N O




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 54






PENJELASAN
ATAS

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1997


TENTANG


PAJAK DAERAH


UMUM


Dalam rangka mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah, khususnya yang berasal dari pajak daerah, pengaturannya perlu lebih ditingkatkan lagi. Sejalan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta usaha peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah, diperlukan penyediaan sumber-sumber pendapatan asli daerah yang hasilnya semakin meningkat pula.

Upaya peningkatan penyediaan dana dari sumber-sumber tersebut antara lain dilakukan dengan peningkatan kinerja pemungutannya serta penyederhanaan, penyempurnaan, dan penambahan jenis pajak, melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Langkah-langkah diharapkan akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak daerah serta meningkatkan mutu dan jenis pelayanan kepada masyarakat.


Peraturan Pemerintah ini ditetapkan untuk mengatur lebih lanjut beberapa hal yang diperlukan, dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sehingga Wajib Pajak dapat dengan mudah memahami dan memenuhi kewajiban perpajakannya.


PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Kendaraan bermotor milik Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah tidak dikecualikan sebagai objek Pajak Kendaraan Bermotor.


Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.


Huruf c

Cukup jelas.


Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Dalam hal Wajib Pajak badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut.


Pasal 4

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Bobot dinyatakan sebagai koefisien tertentu. Koefisien sama dengan 1, berarti kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan oleh kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih besar dari 1, berarti kendaraan bermotor tersebut membawa pengaruh buruk terhadap kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan.


Contoh :

Nilai Jual Kendaraan Bermotor merek X tahun Y adalah sebesar Rp.100.000.000,00. Koefisien bobot ditentukan sama dengan 1,2, maka dasar pengenaan pajak dari kendaraan bermotor tersebut adalah : Rp.100.000.000,00 x 1,2 = Rp. 120.000.000,00.


Ayat (2)

Harga pasaran umum adalah harga yang diperoleh dari sumber data, antara lain, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), asosiasi penjual kendaraan bermotor.

Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya.


Ayat (3)

Faktor-faktor tersebut pada ayat ini tidak harus semuanya dipergunakan dalam menghitung Nilai Jual Kendaraan Bermotor.


Ayat (4)

Huruf a

Tekanan gandar dibedakan atas jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor.


Huruf b

Jenis bahan bakar kendaraan bermotor dibedakan, antara lain, solar, bensin, gas, listrik atau tenaga surya.


Huruf c

Jenis, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor dibedakan, antara lain, jenis mesin yang 2 tak atau 4 tak, dan ciri-ciri mesin yang 1000cc atau 2000cc.


Ayat (5) dan Ayat (6)

Cukup jelas


Ayat (7)

Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat ini didasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dengan bobot kendaraan bermotor ditentukan sama dengan 1.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Pasal 5

Cukup jelas.


Pasal 6

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 7

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 8

Ayat (1)

Penguasaan kendaraan bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan dianggap sebagai penyerahan, kecuali penguasaan kendaraan bermotor karena perjanjian sewa termasuk leasing.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Huruf a

Penyerahan kendaraan bermotor kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah tidak dikecualikan sebagai objek pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.


Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.


Huruf c

Cukup jelas.


Pasal 9

Cukup jelas.


Pasal 10

Nilai jual kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah Nilai jual kendaraan bermotor yang tercantum dalam Ketetapan Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) dan ayat (6).


Pasal 11 s/d Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Laporan tertulis tersebut berisi :

  1. - nama dan alamat orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan;
    - tanggal, bulan dan tahun penyerahan;
    - nomor polisi kendaraan bermotor;
    - lampiran photo copy Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK).

 

Pasal 15

Ayat (1)

Huruf a

Fasilitas penginapan/fasilitas tinggal jangka pendek, antara lain, gubuk pariwisata (cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggrahan (hostell), losmen dan rumah penginapan. Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar 15 (lima belas) atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan.


Huruf b

Pelayanan penunjang, antara lain, telepon, faksimil, teleks, foto copy, pelayanan cuci, setrika, taksi dan pengangkutan lainnya, yang disediakan atau dikelola hotel.


Huruf c

Fasilitas olah raga dan hiburan, antara lain, pusat kebugaran (fitness center), kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik, yang disediakan atau dikelola hotel.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Contoh :
Rumah makan "X" menyediakan tempat penyantapan dan memberikan pelayanan di tempat dan dibawa pulang (take away).


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 16

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 17

Cukup jelas.


Pasal 18

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 19

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 20

Hiburan, antara lain, berupa tontonan film, kesenian, pagelaran musik dan tari, diskotik, karaoke, klab malam, permainan bilyar, permainan ketangkasan, panti pijat, mandi uap, dan pertandingan olah raga.


Pasal 21

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 22

Yang dimaksud dengan yang seharusnya dibayar adalah termasuk pemberian potongan harga dan tiket cuma-cuma.

 

Pasal 23

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 24

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 25

Ayat (1)
Penyelenggaraan reklame, antara lain :

  1. - kain;
    - reklame melekat (stiker);
    - reklame selebaran;
    - reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
    - reklame udara;
    - reklame suara;
    - reklame film/slide;
    - reklame peragaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Dalam hal reklame diselenggarakan langsung oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan reklame untuk kepentingan sendiri, maka Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut. Apabila penyelenggaraan reklame dilaksanakan melalui pihak ketiga, misalnya Perusahaan Jasa Periklanan, maka pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.


Pasal 27

Ayat (1)

Dalam hal reklame diselenggarakan oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan reklame untuk kepentingan sendiri, maka nilai sewa reklame dihitung berdasarkan, biaya pemasangan reklame, pemeliharaan reklame, lama pemasangan, nilai strategis lokasi, dan jenis reklame.

Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, maka nilai sewa reklame ditentukan berdasarkan jumlah pembayaran untuk suatu masa pajak/masa penyelenggaraan reklame dengan memperhatikan biaya pemasangan reklame, pemeliharaan reklame, lama pemasangan, nilai strategis lokasi, dan jenis reklame.


Ayat (2) s/d Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 28

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 29

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 30

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penggunaan tenaga listrik adalah penggunaan tenaga listrik baik yang disalurkan dari PLN maupun bukan PLN. 

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Penerangan Jalan bagi perwakilan lembaga-lembaga internasional berpedoman kepada Keputusan Menteri Keuangan.

 

Huruf c dan Huruf d.

Cukup jelas.

 

Pasal 31

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 32

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 33

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 34

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 35

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C adalah pengambilan bahan galian golongan C dari sumber alam di dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.


Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 36

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 37

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan. Apabila nilai pasar dari hasil produksi bahan galian golongan C sulit diperoleh, maka digunakan harga standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang penambangan bahan galian golongan C.

 

Pasal 38

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 39

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Tidak termasuk yang dikecualikan sebagai objek Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pengambilan air yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

 

Huruf  b

Contohnya adalah Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta dan Perusahaan Umum (PERUM) Otorita Jati Luhur


Huruf c

Pengecualian objek pajak atas pengambilan air untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Huruf d

Pengecualian objek pajak atas pengambilan air untuk keperluan dasar rumah tangga ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Huruf e

Cukup jelas.

 

Pasal 41

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Penggunaan faktor-faktor tersebut disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.

 

Yang dimaksud dengan musim pengambilan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e adalah musim kemarau atau musim hujan.

 

Ayat (3) dan Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 43 s/d Pasal 47

Cukup jelas.


Pasal 48

Ayat (1) s/d Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 49

Cukup jelas.

 

Pasal 50

Ayat (1) s/d Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 51

Ayat (1) dan Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 52

Cukup jelas.


Pasal 52

Ayat (1)

Pengertian terkait menurut ayat ini, misalnya yang selama ini dipungut di daerah sebagai Pajak Pembangunan I (PPb 1), menurut Peraturan Pemerintah ini menjadi Pajak Hotel dan Restoran.

Demikian pula Pajak Rumah Bola, Pajak Tontonan, Pajak Pertunjukan dan Keramaian Umum yang selama dipungut di beberapa Daerah, dalam Peraturan Pemerintah ini menjadi Pajak Hiburan.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Contoh :
Peraturan Daerah tentang Pajak Radio, Pajak Bangsa Asing.

 

Pasal 54

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3691