Peraturan Lainnya Nomor : 5 TAHUN 2021

Kategori : Lainnya

Pedoman Dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko


PERATURAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2021

TENTANG

PEDOMAN DAN TATA CARA PENGAWASAN PERIZINAN BERUSAHA
BERBASIS RISIKO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf d dan huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha, perlu menetapkan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6618);
  5. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 35);
  6. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 221);
  7. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 61);
  8. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1172);
  9. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 3 Tahun 2021 tentang Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 271);
  10. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 272);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PENGAWASAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:
  1. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
  2. Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan Penanaman Modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang selanjutnya disebut Pelaku Usaha.
  3. Penanaman Modal Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PMDN adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dengan menggunakan modal dalam negeri.
  4. Penanaman Modal Asing yang selanjutnya disingkat PMA adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
  5. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan, badan usaha, kantor perwakilan, dan badan usaha luar negeri yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  6. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  7. Risiko adalah potensi terjadinya cidera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya.
  8. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha.
  9. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha.
  10. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi Pelaku Usaha.
  11. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh lembaga pengelola dan penyelenggara online single submission untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  12. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
  13. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.
  14. Izin adalah persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
  15. Hari adalah hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  16. Fasilitas Penanaman Modal adalah segala bentuk insentif fiskal dan nonfiskal serta kemudahan pelayanan Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  17. Hak Akses adalah hak yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia melalui Lembaga OSS dalam bentuk kode akses.
  18. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur.
  19. Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
  20. Laporan Kegiatan Penanaman Modal yang selanjutnya disingkat LKPM adalah laporan mengenai perkembangan realisasi Penanaman Modal dan permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha yang wajib dibuat dan disampaikan secara berkala.
  21. Berita Acara Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat BAP adalah hasil inspeksi lapangan yang dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal.
  22. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha adalah tindakan administratif yang mengakibatkan dihentikannya kegiatan usaha untuk sementara waktu.
  23. Pembatalan adalah tindakan administratif yang mengakibatkan dibatalkannya Sertifikat Standar atau Izin yang belum memenuhi persyaratan.
  24. Pencabutan adalah tindakan administratif yang mengakibatkan dicabutnya Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berdasarkan permohonan Pelaku Usaha, putusan pengadilan, dan sanksi.
  25. Keadaan Kahar adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
  26. Badan Koordinasi Penanaman Modal yang selanjutnya disingkat BKPM adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
  27. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi Penanaman Modal.
  28. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  29. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  30. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disebut DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang Penanaman Modal.
  31. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
  32. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.


Pasal 2


(1) Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko merupakan panduan bagi:
  1. Lembaga OSS;
  2. kementerian/lembaga;
  3. DPMPTSP provinsi dan Pemerintah Daerah provinsi;
  4. DPMPTSP kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
  5. administrator KEK;
  6. badan pengusahaan KPBPB; dan/atau
  7. Pelaku Usaha serta masyarakat umum lainnya.
(2) Kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kementerian/lembaga terkait dengan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.


Pasal 3


Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko bertujuan untuk mewujudkan standardisasi  dan informasi Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko kepada:
  1. BKPM;
  2. kementerian/lembaga;
  3. DPMPTSP provinsi dan Pemerintah Daerah provinsi;
  4. DPMPTSP kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
  5. administrator KEK; dan/atau
  6. badan pengusahaan KPBPB.


BAB II
HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU
USAHA
 
Pasal 4


Setiap Pelaku Usaha berhak mendapatkan:
  1. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
  2. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
  3. hak pelayanan; dan
  4. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 5


Setiap Pelaku Usaha berkewajiban:
  1. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
  2. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
  3. menyampaikan LKPM;
  4. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha Penanaman Modal;
  5. meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  6. menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing;
  7. mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup bagi perusahaan yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  8. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 6


Setiap Pelaku Usaha bertanggung jawab:
  1. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika Pelaku Usaha menghentikan atau menelantarkan kegiatan usahanya;
  3. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat dan mencegah praktik monopoli;
  4. menjaga kelestarian lingkungan hidup; dan
  5. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja.


BAB III
KOORDINATOR PELAKSANAAN PENGAWASAN PERIZINAN
BERUSAHA BERBASIS RISIKO

Pasal 7


(1) Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi antar kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK dan/atau badan pengusahaan KPBPB melalui subsistem Pengawasan pada Sistem OSS.
(2) Pelaksanaan Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh:
  1. BKPM atas pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS;
  2. DPMPTSP provinsi atas pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi;
  3. DPMPTSP kabupaten/kota atas pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
  4. administrator KEK atas pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang berlokasi di KEK; dan
  5. badan pengusahaan KPBPB atas pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang berlokasi di KPBPB.
(3) Pelaksanaan Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah pelaksanaan atas penerbitan Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.


BAB IV
SUBSISTEM PENGAWASAN

Pasal 8


(1) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan Pengawasan:
  1. standar dan/atau kewajiban pelaksanaan kegiatan usaha; dan
  2. perkembangan realisasi Penanaman Modal serta pemberian fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal, dan/atau kewajiban kemitraan.
(2) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. perencanaan inspeksi lapangan tahunan;
  2. perangkat kerja Pengawasan;
  3. laporan berkala dari Pelaku Usaha;
  4. pembinaan dan sanksi;
  5. penilaian kepatuhan pelaksanaan Perizinan Berusaha;
  6. pengaduan terhadap Pelaku Usaha dan pelaksana Pengawasan serta tindak lanjutnya; dan
  7. tindakan administratif atas dasar permohonan Pelaku Usaha atau putusan pengadilan.
(3) Subsistem Pengawasan dapat diakses dan ditindaklanjuti oleh:
  1. Pelaku Usaha;
  2. Lembaga OSS;
  3. kementerian/lembaga;
  4. Pemerintah Daerah provinsi;
  5. Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
  6. Administrator KEK; dan
  7. Badan Pengusahaan KPBPB.


Bagian Pertama
Perencanaan Inspeksi Lapangan Tahunan

Pasal 9


(1) Inspeksi lapangan rutin dilaksanakan terhadap setiap kegiatan usaha dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan inspeksi berdasarkan tingkat Risiko dan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
(2) Pengaturan frekuensi inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak:
  1. untuk Risiko rendah dan menengah rendah dilaksanakan sekali dalam setahun untuk setiap lokasi usaha; dan
  2. untuk Risiko menengah tinggi dan tinggi dilaksanakan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap lokasi usaha.
(3) Sistem OSS menyediakan daftar Pelaku Usaha yang dapat dilakukan inspeksi lapangan sesuai dengan kewenangan Pengawasan.
(4) Daftar Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu Pelaku Usaha dalam tahap persiapan atau tahap operasional dan/atau tahap komersial kegiatan usaha, yang disusun dengan skala prioritas yang mempertimbangkan:
  1. Perizinan Berusaha;
  2. nilai rencana Penanaman Modal;
  3. pemenuhan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
  4. perkembangan realisasi Penanaman Modal; dan/atau
  5. kriteria prioritas lainnya.
BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB menyusun kompilasi berdasarkan daftar Pelaku Usaha sebagaimana diatur pada ayat (4).
(5) Berdasarkan kompilasi sebagaimana pada ayat (5), BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB menyusun rencana inspeksi lapangan tahunan ke dalam database Pengawasan di Sistem OSS yang memuat:
  1. nama Pelaku Usaha;
  2. lokasi proyek (kabupaten/kota);
  3. realisasi Penanaman Modal; dan
  4. pemanfaatan fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal.
(6) Inspeksi lapangan sebagaimana diatur pada ayat (1) diutamakan terhadap kegiatan usaha yang menjadi prioritas nasional dan/atau masuk dalam skala prioritas sebagaimana diatur pada ayat (4).
(7) Rencana inspeksi lapangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun pada setiap minggu keempat bulan November.
(8) Rencana inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. disusun oleh BKPM dan dinotifikasi kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB;
  2. disusun oleh DPMPTSP provinsi dan dinotifikasi kepada Pemerintah Daerah provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota;
  3. disusun oleh DPMPTSP kabupaten/kota dan dinotifikasi kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
  4. disusun oleh administrator KEK dan dinotifikasi kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota; atau
  5. disusun oleh badan pengusahaan KPBPB dan dinotifikasi kepada Pemerintah Daerah kabupaten /kota.
(9) Berdasarkan rencana inspeksi lapangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyesuaikan lokasi dan Pelaku Usaha yang akan dilakukan inspeksi lapangan melalui Sistem OSS paling lambat minggu kedua bulan Desember.
(10) Dalam hal Pelaku Usaha dan lokasi yang akan dilakukan inspeksi lapangan belum tercantum pada rencana inspeksi lapangan tahunan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menambahkan Pelaku Usaha dan lokasi yang akan diawasi ke dalam rencana inspeksi lapangan melalui Sistem OSS paling lambat minggu kedua bulan Desember.
(11) DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK dan badan pengusahaan KPBPB dapat mengusulkan daftar Pelaku Usaha yang berada di lokasinya pada rencana inspeksi lapangan tahunan melalui Sistem OSS.
(12) Berdasarkan tambahan daftar Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (11), serta usulan daftar Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (12) BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB memperbarui rencana inspeksi lapangan tahunan pada database Pengawasan pada Sistem OSS paling lambat minggu keempat bulan Desember.
(13) Atas rencana inspeksi lapangan yang telah ditetapkan, Lembaga OSS menotifikasi kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB terkait, pada awal tahun berjalan pelaksanaan inspeksi lapangan.
(14) Sistem OSS menotifikasi ulang rencana inspeksi lapangan kepada setiap instansi pelaksana 10 (sepuluh) Hari sebelum jadwal pelaksanaan inspeksi lapangan.
(15) Dalam hal inspeksi lapangan tidak dilaksanakan sesuai rencana inspeksi lapangan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota memberikan informasi kepada koordinator sesuai kewenangannya melalui Sistem OSS.
(16) Dalam melaksanakan inspeksi lapangan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB berpedoman pada rencana inspeksi lapangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (13).
(17) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB dilarang melakukan Pengawasan di luar rencana inspeksi lapangan tahunan.
      

Bagian Kedua
Perangkat Kerja Pengawasan

Pasal 10


Perangkat kerja Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b terdiri atas:
  1. data, profil, dan informasi Pelaku Usaha yang terdapat pada Sistem OSS;
  2. surat tugas pelaksana inspeksi lapangan;
  3. surat pemberitahuan kunjungan;
  4. daftar pertanyaan bagi Pelaku Usaha terkait pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha dan kewajiban;
  5. BAP; dan
  6. perangkat kerja lainnya yang diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan Pengawasan.


Paragraf 1
Data, Profil, dan Informasi Pelaku Usaha

Pasal 11


(1) Dalam melaksanakan inspeksi lapangan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan menggunakan data, profil dan informasi Pelaku Usaha yang dapat diakses pada Sistem OSS.
(2) Data, profil dan informasi Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisikan paling sedikit:
  1. data legalitas Pelaku Usaha;
  2. data rencana umum kegiatan usaha;
  3. NIB;
  4. data prasarana dasar;
  5. Sertifikat Standar/Izin;
  6. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha;
  7. data Fasilitas Penanaman Modal;
  8. data laporan Pelaku Usaha;
  9. penilaian kepatuhan Pelaku Usaha;
  10. BAP;
  11. sanksi;
  12. pengaduan; dan
  13. kolom tanggapan.


Paragraf 2
Surat Tugas dan Surat Pemberitahuan

Pasal 12


(1) Pelaksana inspeksi lapangan wajib dilengkapi perangkat kerja berupa surat tugas dan surat pemberitahuan kunjungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dan huruf c sebelum melaksanakan kegiatan inspeksi lapangan rutin.
(2) Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinput secara daring oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB dengan rician:
  1. nama pelaksana inspeksi lapangan; dan
  2. Pelaku Usaha yang akan diawasi,
sesuai format pada Sistem OSS.
(3) Format surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(4) Dalam hal Pengawasan bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi, keterlibatan Lembaga datau profesi bersertifikat dimasukkan ke dalam surat tugas.
(5) Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diinput paling lambat 4 (empat) Hari sebelum tanggal pelaksanaan inspeksi lapangan rutin.
(6) Surat pemberitahuan kunjungan akan diterbitkan dan disampaikan kepada Pelaku Usaha oleh Sistem OSS paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum tanggal pelaksanaan inspeksi rutin sesuai format pada Sistem OSS.
(7) Format surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Dalam hal terdapat perubahan isi surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan sebelum penyampaian surat pemberitahuan disampaikan kepada Pelaku Usaha.
(9) Lembaga OSS menerbitkan surat tugas dan surat pemberitahuan kunjungan yang dapat diunduh oleh pelaksana inspeksi lapangan pada Sistem OSS.

 

Paragraf 3
Daftar Pertanyaan

Pasal 13


(1) Dalam melaksanakan inspeksi lapangan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan dapat mengakses daftar pertanyaan pada Sistem OSS.
(2) Daftar pertanyaan pada Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi paling sedikit:
  1. standar pelaksanaan pelaksanaan kegiatan usaha;
  2. kewajiban yang diatur dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria; dan
  3. kewajiban atas penyampaian laporan dan/atau pemanfaatan Fasilitas Penanaman Modal.
(3) Format daftar pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Paragraf 4
BAP

Pasal 14


(1) Data dan informasi yang diperoleh pada saat pelaksanaan inspeksi lapangan dituangkan ke dalam BAP serta ditandatangani oleh pelaksana inspeksi lapangan dan Pelaku Usaha di lokasi proyek.
(2) Pengisian dan penandatanganan BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik pada Sistem OSS.
(3) BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat indikator penilaian kepatuhan teknis dan administratif.
(4) BAP diinput ke dalam subsistem Pengawasan pada Sistem OSS dengan mengisi form elektronik yang memuat kesimpulan hasil inspeksi lapangan untuk setiap kegiatan usaha, sesuai indikator penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal Sistem OSS tidak tersedia untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar dan/atau wilayah yang belum memiliki aksesibilitas yang memadai, pengisian dan penandatanganan BAP dapat dilakukan secara manual.
(6) Atas pengisian dan penandatanganan BAP manual sebagimana dimaksud pada ayat (5), pelaksana inspeksi lapangan melaporkan dengan mengisi formulir elektronik yang memuat kesimpulan hasil inspeksi lapangan pada Sistem OSS dan diunggah ke Sistem OSS paling lambat 3 (tiga) Hari setelah inspeksi lapangan dilaksanakan.
(7) Dalam hal pelaksana inspeksi lapangan adalah lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi, maka penginputan BAP pada Sistem OSS dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB terkait.
(8) BAP yang dibuat berdasarkan kunjungan fisik maupun kunjungan virtual memiliki kedudukan dan fungsi yang sama.
(9) Format BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(10) Dalam hal Pelaku Usaha di lokasi Proyek menolak untuk menandatangani BAP, kesimpulan hasil inspeksi lapangan dilengkapi dengan keterangan penolakan dari Pelaku Usaha.
(11) BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dinyatakan sah dan tetap berlaku dengan ditandatangani oleh pelaksana inspeksi lapangan.
      

Bagian Ketiga
Laporan Berkala Pelaku Usaha

Pasal 15


Laporan berkala dari Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. laporan yang disampaikan kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB melalui Sistem OSS yang terintegrasi secara single sign on (SSO) dengan sistem kementerian/lembaga; dan
b. laporan data perkembangan kegiatan usaha dalam bentuk LKPM yang disampaikan kepada BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB.


Bagian Keempat
Pembinaan dan Sanksi

Pasal 16


(1) Dalam hal hasil Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko menunjukan adanya ketidaksesuaian/ketidakpatuhan Pelaku Usaha atas ketentuan peraturan perundang-undangan, ditindaklanjuti dengan memberikan rekomendasi berupa:
  1. pembinaan;
  2. perbaikan; dan/atau
  3. penerapan sanksi,
yang diinput ke dalam Sistem OSS.
(2) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB dengan mengutamakan pembinaan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pendampingan dan penyuluhan meliputi pemberian penjelasan, konsultasi, bimbingan teknis dan/atau kegiatan fasilitasi penyelesaian oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB atas permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha.
(4) Atas pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib menindaklanjuti dengan melakukan perbaikan terhadap hasil evaluasi yang diberikan.
(5) Dalam hal perbaikan tidak dilakukan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB yang berwenang dapat menindaklanjuti dengan penerapan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha diberikan sanksi, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB mencatatkan informasi pemberian sanksi ke dalam Sistem OSS.
(7) Sanksi administratif yang dikenakan oleh Lembaga OSS atas dasar:
  1. penyampaian pemenuhan persyaratan standar atau izin atas dasar notifikasi dari kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB; dan
  2. persiapan kegiatan usaha,
dilakukan melalui subsistem Pengawasan.



Bagian Kelima
Penilaian Kepatuhan Pelaksanaan Perizinan Berusaha

Pasal 17


(1) Hasil inspeksi lapangan dan hasil pemantauan laporan Pelaku Usaha paling sedikit memuat penilaian atas aspek:
  1. kepatuhan teknis yang diperoleh dari indikator pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha; dan
  2. kepatuhan administratif, yang diperoleh dari indikator pemenuhan rasio realisasi Penanaman Modal, pemenuhan penyampaian laporan berkala, penyerapan tenaga kerja Indonesia, kewajiban kemitraan dengan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, pemanfaatan fasilitas dan insentif serta dukungan terhadap pemerataan ekonomi.
(2) Penilaian kepatuhan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas pemenuhan persyaratan dan kewajiban sebagaimana diatur dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria kementerian/lembaga.
(3) Penilaian kepatuhan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB.
(4) Hasil penilaian kepatuhan teknis dan kepatuhan administratif diinput dan diolah pada subsistem Pengawasan pada Sistem OSS untuk menentukan nilai kepatuhan Pelaku Usaha dan mengevaluasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(5) Nilai kepatuhan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
  1. baik sekali;
  2. baik; dan
  3. kurang baik.
(6) Berdasarkan penilaian kepatuhan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sistem OSS melakukan penyesuaian intensitas inspeksi lapangan pada Pengawasan rutin dan memperbarui profil Pelaku Usaha.
(7) Dalam hal Pelaku Usaha patuh dengan kategori baik sekali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a:
  1. inspeksi lapangan untuk Risiko rendah dan menengah rendah, dapat tidak dilakukan; dan
  2. inspeksi lapangan untuk Risiko menengah tinggi dan tinggi, dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk setiap lokasi usaha.
(8) Dalam hal hasil inspeksi lapangan untuk Risiko menengah tinggi dan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, Pelaku usaha dinyatakan patuh, maka Sistem OSS dapat mengeluarkan dari daftar prioritas rencana inspeksi lapangan tahunan berikutnya.
(9) Dalam hal hasil inspeksi lapangan untuk Risiko rendah, menengah rendah, menengah tinggi dan tinggi telah dilakukan selama 2 (dua) tahun berturut-turut dan Pelaku Usaha belum dinilai patuh atau mendapatkan nilai kepatuhan baik/kurang baik, maka kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB menindaklanjuti dengan mengevaluasi Perizinan Berusaha atas kegiatan usaha tersebut.
(10) Terhadap hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB dapat mengusulkan melalui sistem OSS untuk mengeluarkannya dari daftar rencana inspeksi lapangan tahunan berikutnya.
(11) Dalam hal Pelaku Usaha mikro dan Pelaku Usaha kecil yang memiliki kepatuhan terhadap standar dan kewajiban, tidak perlu dilakukan inspeksi lapangan.
(12) Dalam hal inspeksi lapangan ditemukan bukti yang memberikan dampak terhadap kesehatan, keamanan, keselamatan dan/atau lingkungan, Sistem OSS melakukan pengolahan data dan informasi untuk peninjauan atau evaluasi secara berkala terhadap penetapan tingkat Risiko kegiatan usaha.
(13) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB dan Pelaku Usaha dapat mengakses dan memperoleh informasi terkait penyesuaian intensitas inspeksi lapangan pada Pengawasan rutin dan pembaharuan profil Pelaku Usaha pada Sistem OSS.
    

Bagian Keenam
Pelaksanaan Pengaduan

Pasal 18


(1) Untuk meningkatkan layanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, BKPM menyediakan layanan pengaduan dari masyarakat dan/atau Pelaku Usaha pada Sistem OSS.
(2) Masyarakat dan Pelaku Usaha dapat melakukan pengaduan terhadap:
  1. Pelaku Usaha;
  2. Lembaga OSS, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB; dan
  3. aparatur sipil negara dan/atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal:
  1. pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  2. pelaksanaan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan standar kegiatan usaha dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. kegiatan Pengawasan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  4. penyalahgunaan penggunaan Sistem OSS yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengaduan kepada Pelaku Usaha dilakukan sebagaimana diatur pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d.
(5) Pengaduan kepada Lembaga OSS, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB dilakukan sebagaimana diatur pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d.
(6) Pengaduan kepada Aparatur sipil negara dan/atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi dilakukan sebagaimana diatur pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d.
(7) Laporan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara daring menggunakan Hak Akses Sistem OSS disertai dengan bukti/dokumen pendukung.
(8) Sistem OSS akan memberikan notifikasi laporan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada:
  1. kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB untuk melakukan verifikasi lebih lanjut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  2. Pelaku Usaha untuk melakukan klarifikasi, dalam hal pengaduan ditujukan kepada Pelaku Usaha.
(9) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB dapat memberikan notifikasi melalui Sistem OSS atas tindak lanjut hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a kepada:
  1. Pelaku Usaha; dan
  2. pelapor.
(10) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a membuktikan adanya pelanggaran, dapat ditindaklanjuti berupa pembinaan atau pemberian sanksi oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(11) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a membuktikan adanya pelanggaran penyalahgunaan penggunaan Sistem OSS yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Lembaga OSS melakukan pemblokiran Hak Akses terhadap Pelaku Usaha atau aparatur kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB.
(12) Dalam hal sanksi atas pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d telah dipenuhi, Pelaku Usaha atau aparatur kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB dapat mengajukan kembali permohonan pembukaan blokir Hak Akses kepada Lembaga OSS.
(13) Permohonan pembukaan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dilakukan dengan mengirimkan surat kepada Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, BKPM.
 

Bagian Ketujuh
Tindakan Administratif atas Dasar
Permohonan Pelaku Usaha atau Putusan Pengadilan

Pasal 19


(1) Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, badan pengusahaan KPBPB, atau administrator KEK sesuai kewenangannya dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan:
  1. permohonan Pelaku Usaha; atau
  2. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
(2) Tindakan administratif atas dasar permohonan Pelaku Usaha dan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dan/atau diproses secara daring melalui Sistem OSS.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(4) Dalam hal tindakan administratif yang dimohonkan Pelaku Usaha atas Perizinan Berusaha yang sudah tidak berlaku, Lembaga OSS akan menerbitkan surat keterangan telah berakhirnya masa berlaku Perizinan Berusaha.
(5) Format surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Paragraf 1
Tindakan Administratif berdasarkan
Permohonan Pelaku Usaha

Pasal 20


(1) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, berupa:
  1. Pembatalan Sertifikat Standar dan/atau Izin yang langsung diterbitkan sesuai kriteria percepatan penerbitan Izin, yang telah terbit dan belum terverifikasi; atau
  2. Pencabutan NIB, Sertifikat Standar, dan/atau Izin yang telah terverifikasi.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
  1. 1 (satu) Perizinan Berusaha yang memiliki 1 (satu) atau lebih kegiatan usaha; atau
  2. lebih dari 1 (satu) Perizinan Berusaha yang memiliki 1 (satu) atau lebih kegiatan usaha.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas Sertifikat Standar atau Izin yang telah terbit dan belum terverifikasi namun Pelaku Usaha tidak lagi berminat dalam melakukan kegiatan usaha.
(4) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dimohonkan oleh Pelaku Usaha dilakukan atas:
  1. Pencabutan karena pembubaran usaha orang perseorangan atau badan usaha (likuidasi); atau
  2. Pencabutan yang tidak termasuk pembubaran usaha orang perseorangan atau badan usaha (non likuidasi).
(5) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf (a) dilakukan terhadap seluruh Perizinan Berusaha yang dimiliki oleh Pelaku Usaha.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha akan melakukan Pencabutan non likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf (b) dan Pelaku Usaha belum memiliki NIB, sebelum melakukan Pencabutan Pelaku Usaha wajib memiliki NIB, dengan melakukan pendaftaran atas Perizinan Berusaha yang masih berlaku dan masih dilaksanakan.
(7) Terhadap Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pelaku Usaha wajib menindaklanjuti penyelesaian fasilitas fiskal dan pajak yang terhutang, serta hal-hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Dalam hal tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha PMA atas seluruh Perizinan Berusaha yang dimilikinya dan Pelaku Usaha masih berminat melakukan usaha di Indonesia, maka Pelaku Usaha harus terlebih dahulu memperoleh Perizinan Berusaha yang baru.
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku bagi Pelaku Usaha dengan bidang usaha yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan:
  1. harus didirikan secara khusus untuk 1 (satu) bidang usaha (single purpose); atau
  2. tidak boleh dilakukan secara bersamaan dengan bidang usaha baru yang akan dilaksanakan.
(10) Dalam hal tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha PMA atas seluruh Perizinan Berusaha yang dimilikinya dan Pelaku Usaha tidak berminat melakukan usaha di Indonesia, maka Pelaku Usaha harus melakukan pembubaran usaha orang perseorangan atau badan usaha (likuidasi).
  

Pasal 21


(1) Permohonan Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pelaku Usaha secara daring dengan validasi data di Sistem OSS yang meliputi:
  1. identitas direksi atau kuasa direksi dari Sistem Administrasi Kependudukan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri;
  2. akta notaris tentang pendirian badan usaha dan perubahan terakhir serta pengesahan dari Sistem Administrasi Badan Hukum (AHU-Online) yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
  3. LKPM periode terakhir yang telah disetujui atas seluruh proyek yang dimiliki Pelaku Usaha; dan
  4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terkait konfirmasi status wajib pajak Pelaku Usaha dari sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(2) Dalam hal Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
  1. Pelaku Usaha orang perseorangan yang tidak memiliki akta; atau
  2. Pelaku Usaha badan usaha nonperseroan yang tidak memiliki akta dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (AHU-Online) yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, 
permohonan disertai dengan pengisian pernyataan Pembatalan dalam Sistem OSS.
(3) Dalam hal Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas kegiatan usaha dengan Risiko menengah tinggi, Sistem OSS secara otomatis:
  1. membatalkan Sertifikat Standar disertai dengan Pencabutan NIB apabila Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha; atau
  2. membatalkan Sertifikat Standar disertai dengan pemutakhiran NIB apabila Pelaku Usaha memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha.
(4) Dalam hal Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas kegiatan usaha dengan Risiko tinggi, Sistem OSS secara otomatis:
  1. membatalkan Izin disertai dengan Pencabutan NIB NIB apabila Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha; atau
  2. membatalkan Izin disertai dengan pemutakhiran NIB apabila Pelaku Usaha memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha.
(5) Terhadap Pembatalan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berdasarkan permohonan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menerbitkan Pembatalan melalui Sistem OSS.
(6) Format Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha.


Pasal 22


(1) Permohonan Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) huruf a dilakukan oleh Pelaku Usaha perseorangan/likuidator/tim penyelesai secara daring dengan validasi data di Sistem OSS yang meliputi:
  1. identitas Pelaku Usaha perseorangan/likuidator/tim penyelesai dari Sistem Administrasi Kependudukan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri;
  2. akta notaris tentang pembubaran badan usaha dan pencatatan pembubaran badan usaha dari Sistem Administrasi Badan Hukum (AHU-Online) yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk pembubaran badan usaha; dan
  3. NPWP terkait konfirmasi status wajib pajak Pelaku Usaha dari sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(2) Dalam hal akta notaris tentang pembubaran badan usaha dan pencatatan pembubaran badan usaha dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b belum dapat divalidasi oleh Sistem OSS, perseorangan/likuidator/tim penyelesai mengunggah persyaratan tersebut ke dalam Sistem OSS.
(3) Atas akta notaris tentang pembubaran badan usaha dan pencatatan pembubaran badan usaha yang diunggah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, badan pengusahaan KPBPB, atau administrator KEK sesuai kewenangannya melakukan verifikasi paling lama 5 (lima) Hari sejak permohonan Pencabutan diajukan.
(4) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
  1. telah sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, memberikan notifikasi kepada Sistem OSS untuk menerbitkan Pencabutan; atau
  2. tidak sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, melalui Sistem OSS memberikan notifikasi penolakan kepada likuidator/kurator untuk memperbaiki permohonan.
(5) Dalam hal BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, sesuai kewenangannya tidak memberikan notifikasi persetujuan/penolakan permohonan Pencabutan ke Sistem OSS atas verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Sistem OSS menerbitkan Pencabutan.
(6) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan sebagaimana format tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha.
(8) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diikuti dengan Pencabutan NIB sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(9) Atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan NIB, Sistem OSS otomatis membatalkan Hak Akses.


Pasal 23


(1) Permohonan Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) huruf b dilakukan oleh Pelaku Usaha secara daring dengan validasi data di Sistem OSS yang meliputi:
  1. identitas direksi atau kuasa direksi dari Sistem Administrasi Kependudukan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri;
  2. akta notaris tentang pendirian badan usaha dan perubahan terakhir serta pengesahan dari Sistem Administrasi Badan Hukum (AHU-Online) yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk pencabutan atas dasar perubahan maksud dan tujuan badan usaha;
  3. LKPM periode terakhir yang telah disetujui atas seluruh proyek yang dimiliki Pelaku Usaha; dan
  4. NPWP terkait konfirmasi status wajib pajak Pelaku Usaha dari sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(2) Dalam hal Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
  1. Pelaku Usaha orang perseorangan yang tidak memiliki akta;
  2. Pelaku Usaha badan usaha nonperseroan yang tidak memiliki akta dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (AHU-Online) yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia; atau
  3. Pelaku Usaha yang hanya mencabut salah satu kegiatan usaha yang dimiliki dalam 1 (satu) lokasi proyek,
permohonan disertai dengan pengisian pernyataan Pencabutan dalam Sistem OSS.
(3) Dalam hal Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha PMA yang hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha, maka dilakukan melalui Pencabutan Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(4) Dalam hal Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha yang memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha, Sistem OSS secara otomatis:
  1. menerbitkan pemutakhiran NIB atas Pencabutan kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah;
  2. mencabut Sertifikat Standar disertai dengan pemutakhiran NIB atas Pencabutan kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah; dan/atau
  3. mencabut Izin disertai dengan pemutakhiran NIB atas Pencabutan kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi.
(5) Atas Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pelaku Usaha menindaklanjuti dengan melakukan Pencabutan Sertifikat Standar produk dan Sertifikat Standar usaha.
(6) Terhadap Pencabutan Perizinan Berusaha berdasarkan permohonan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menerbitkan Pencabutan melalui Sistem OSS.
(7) Format Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha.
(9) Dalam hal Pelaku Usaha PMDN mencabut NIB yang hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit dan tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan NIB, Sistem OSS melakukan Pembatalan Hak Akses secara otomatis.
(10) Dalam hal Pelaku Usaha PMDN hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit, atas Pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, NIB akan dicabut apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan Pelaku Usaha belum memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko baru di bidang usaha yang sama atau bidang usaha yang lain.
(11) Atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (10), dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan NIB, Sistem OSS otomatis membatalkan Hak Akses.
    

Pasal 24


Lembaga OSS menerbitkan Pencabutan perizinan kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri, meliputi:
  1. Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A);
  2. Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA);
  3. kantor perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) ;
  4. kantor perwakilan jasa penunjang tenaga listrik asing;
  5. pemberi waralaba dari luar negeri;
  6. pedagang berjangka asing.
  7. penyelenggara sertifikasi elektronik asing; dan
  8. bentuk usaha tetap.


Pasal 25


(1) Permohonan Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diajukan oleh:
  1. kepala kantor perwakilan/penanggung jawab; atau
  2. kepala badan usaha luar negeri lainnya/ penanggung jawab.
(2) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dengan validasi data di Sistem OSS yang meliputi:
  1. identitas kepala kantor, kepala badan usaha luar negeri lainnya, atau penanggung jawab yang telah ditunjuk dari Sistem Administrasi Kependudukan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri untuk warga negara Indonesia atau dari sistem informasi manajemen keimigrasian yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk warga negara asing;
  2. NPWP kantor perwakilan atau NPWP badan usaha luar negeri lainnya dari sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara; dan
  3. laporan kantor perwakilan periode terakhir.
(3) Dalam hal identitas kepala kantor, kepala badan usaha luar negeri lainnya, atau penanggung jawab yang telah ditunjuk berkewarganegaraan asing belum dapat divalidasi oleh sistem, Pelaku Usaha mengisi pernyataan dan mengunggah identitas saat mengajukan permohonan Pencabutan.
(4) Permohonan Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi dan mengunggah:
  1. pernyataan dari kepala kantor perwakilan atau direksi perusahaan di negara asal yang menyatakan tidak mempunyai hutang piutang dengan pihak lain di Indonesia; dan
  2. surat perintah atau pernyataan dari direksi perusahaan di negara asal tentang penutupan kantor perwakilan.
(5) Atas unggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), BKPM melakukan verifikasi paling lama 3 (tiga) Hari sejak permohonan diajukan.
(6) Atas verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
  1. telah sesuai, BKPM memberikan notifikasi kepada Sistem OSS untuk menerbitkan Pencabutan; atau
  2. tidak sesuai, BKPM melalui Sistem OSS memberikan notifikasi penolakan kepada kepala kantor,kepala badan usaha luar negeri lainnya, atau penanggung jawab untuk memperbaiki permohonan.
(7) Dalam hal BKPM tidak memberikan notifikasi persetujuan/penolakan permohonan Pencabutan ke Sistem OSS atas verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sistem OSS menerbitkan Pencabutan.
(8) Format Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(9) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha.


Paragraf 2
Tindakan Administratif berdasarkan
Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap

Pasal 26


(1) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, dilakukan atas tindak lanjut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal pengadilan memutuskan:
  1. pembubaran badan usaha, maka likuidator/kurator/tim penyelesai yang ditunjuk oleh pengadilan menyampaikan permohonan Pencabutan Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS;
  2. Pencabutan Perizinan Berusaha dan/atau kegiatan usaha yang tidak membubarkan badan usaha, maka Pelaku Usaha menyampaikan permohonan Pencabutan Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS; atau
  3. Pencabutan Perizinan Berusaha dan/atau kegiatan usaha, maka kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menindaklanjuti putusan pengadilan.
(3) Permohonan Pencabutan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a, likuidator/kurator/tim penyelesai mengajukan permohonan Pencabutan Perizinan Berusaha dengan validasi data di Sistem OSS yang meliputi:
  1. identitas likuidator/kurator/tim penyelesai dari Sistem Administrasi Kependudukan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri;
  2. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari sistem informasi penelusuran perkara yang dikelola oleh lembaga yudikatif; dan
  3. NPWP terkait konfirmasi status wajib pajak Pelaku Usaha sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(4) Permohonan Pencabutan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, Pelaku Usaha mengajukan permohonan Pencabutan Perizinan Berusaha dengan validasi data di Sistem OSS yang meliputi:
  1. identitas direksi atau kuasa direksi dari Sistem Administrasi Kependudukan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri;
  2. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari sistem informasi penelusuran perkara yang dikelola oleh lembaga yudikatif;
  3. LKPM periode terakhir yang telah disetujui atas seluruh proyek yang dimiliki Pelaku Usaha; dan
  4. NPWP terkait konfirmasi status wajib pajak Pelaku Usaha sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(5) Dalam hal putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b belum dapat divalidasi oleh sistem, putusan pengadilan diunggah ke dalam Sistem OSS saat mengajukan permohonan Pencabutan Perizinan Berusaha.
(6) Atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang diunggah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, badan pengusahaan KPBPB, atau administrator KEK sesuai kewenangannya melakukan verifikasi isi putusan pengadilan paling lama 5 (lima) Hari sejak permohonan diajukan.
(7) Atas verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6):
  1. telah sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, memberikan notifikasi kepada Sistem OSS untuk menerbitkan Pencabutan; atau
  2. tidak sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, melalui Sistem OSS memberikan notifikasi penolakan kepada likuidator/kurator/tim penyelesai untuk memperbaiki permohonan.
(8) Dalam hal BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, sesuai kewenangannya tidak memberikan notifikasi persetujuan/penolakan permohonan Pencabutan ke Sistem OSS atas verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Sistem OSS menerbitkan Pencabutan.
(9) Format Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(10) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha.
(11) Dalam hal Pencabutan dilakukan atas dasar pembubaran badan usaha, Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diikuti dengan Pencabutan NIB sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(12) Atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (11), dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan NIB, Sistem OSS otomatis membatalkan Hak Akses.
(13) Dalam hal Pelaku Usaha PMDN mencabut NIB yang hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit dan tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan NIB, Sistem OSS melakukan Pembatalan Hak Akses secara otomatis.
(14) Dalam hal Pelaku Usaha PMDN hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit, atas Pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, NIB akan dicabut apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan Pelaku Usaha belum memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko baru di bidang usaha yang sama atau bidang usaha yang lain.
(15) Atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (14), dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan NIB, Sistem OSS otomatis membatalkan Hak Akses.
     

BAB V
PENYELENGGARAAN PENGAWASAN PENANAMAN MODAL

Bagian Kesatu
Kewenangan Pengawasan Penanaman Modal

Pasal 27


(1) Pengawasan Penanaman Modal dilakukan terhadap perkembangan realisasi Penanaman Modal serta pemberian fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal, dan/atau kewajiban kemitraan.
(2) Kewenangan kegiatan Pengawasan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
  1. Pemerintah Pusat dilakukan oleh Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal atas kegiatan usaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu:
    1. Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas daerah provinsi;
    2. Penanaman Modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;
    3. Penanaman Modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
    4. Penanaman Modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas daerah provinsi;
    5. Penanaman Modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;
    6. PMA dan penanam modal yang menggunakan modal asing yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
    7. bidang Penanaman Modal lain yang menjadi urusan Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pemerintah Daerah provinsi atas kegiatan usaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi, yaitu:
    1. PMDN yang ruang lingkup kegiatan lintas daerah kabupaten/kota; dan
    2. PMDN yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang ruang lingkup kegiatannya di daerah kabupaten/kota;
  4. badan pengusahaan KPBPB atas kegiatan usaha yang berlokasi di wilayah KPBPB; dan
  5. administrator KEK atas kegiatan usaha yang berlokasi di wilayah KEK.


Pasal 28


(1) Pengawasan Penanaman Modal dilaksanakan terhadap setiap kegiatan usaha dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat Risiko dan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha.
(2) Pengawasan dilaksanakan sejak Pelaku Usaha mendapatkan Perizinan Berusaha bertujuan agar pelaksanaan kegiatan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. Pengawasan rutin; dan
  2. Pengawasan insidental.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha melakukan lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha dengan tingkat Risiko kegiatan usaha yang berbeda di 1 (satu) titik lokasi yang sama, Pengawasan dilakukan untuk setiap tingkat Risiko.
 

Bagian Kedua
Pengawasan Rutin

Pasal 29


(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
  1. laporan Pelaku Usaha; dan
  2. inspeksi lapangan.
(2) Pengawasan rutin melalui Laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas laporan yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB yang memuat perkembangan kegiatan usaha.
(3) Laporan perkembangan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
  1. realisasi Penanaman Modal dan tenaga kerja, pada tahapan pembangunan dan komersial setiap 3 (tiga) bulan; dan
  2. realisasi produksi, tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate social responsibility), pelaksanaan kemitraan usaha pada tahapan komersial, dan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping, pada tahapan komersial setiap 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Pemantauan terhadap laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan terhadap:
  1. LKPM yang mencakup realisasi Penanaman Modal, realisasi tenaga kerja, realisasi produksi termasuk nilai ekspor, kewajiban kemitraan dan kewajiban lainnya terkait pelaksanaan Penanaman Modal yang disampaikan oleh Pelaku Usaha orang perseorangan, dan badan usaha;
  2. laporan kegiatan Pelaku Usaha kantor perwakilan;
  3. laporan kegiatan Pelaku Usaha badan usaha luar negeri; atau
  4. laporan realisasi impor yang disampaikan oleh Pelaku Usaha badan usaha.
(5) Pemantauan dan verifikasi atas laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh:
  1. BKPM atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; dan
  2. DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.
(6) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk memeriksa kesesuaian data dan informasi yang disampaikan pada laporan berkala dengan pelaksanaan fisik kegiatan usaha melalui:
  1. pembinaan dalam bentuk pendampingan dan penyuluhan meliputi fasilitasi penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh Pelaku Usaha, pemberian penjelasan, konsultasi, dan/atau bimbingan teknis mengenai ketentuan pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan/atau
  2. pemeriksaan administratif dan/atau fisik meliputi kegiatan pengecekan lokasi usaha, realisasi nilai Penanaman Modal, tenaga kerja, mesin/peralatan, bangunan/gedung, kewajiban terkait fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal, kewajiban kemitraan, dan/atau kewajiban lainnya terkait pelaksanaan Penanaman Modal.
(7) Dalam hal inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan dengan kunjungan fisik, inspeksi lapangan dilakukan secara virtual.
(8) Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko bagi Pelaku Usaha mikro dan Pelaku Usaha kecil dilakukan melalui pembinaan, pendampingan atau penyuluhan terkait kegiatan usaha.
(9) Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB secara terkoordinasi dan dapat didampingi oleh kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah terkait sesuai kewenangannya.


Bagian Ketiga
Pengawasan Insidental

Pasal 30


(1) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf b dapat dilakukan karena adanya keadaan tertentu, yaitu:
  1. adanya pengaduan masyarakat;
  2. adanya pengaduan dan/atau kebutuhan dari Pelaku Usaha;
  3. adanya indikasi Pelaku Usaha melakukan kegiatan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  4. kebutuhan yang sangat mendesak berupa terjadinya pencemaran lingkungan dan/atau hal-hal lain yang dapat membahayakan keselamatan masyarakat dan/atau mengganggu perekonomian nasional maupun perekonomian daerah.
(2) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sewaktu-waktu dan dapat dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Pelaku Usaha.
(3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan inspeksi lapangan untuk memeriksa kesesuaian data dan informasi dengan pelaksanaan kegiatan usaha, melalui:
  1. pembinaan dalam bentuk pendampingan dan penyuluhan meliputi kegiatan fasilitasi penyelesaian permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha, pemberian penjelasan dan/atau konsultasi; dan/atau
  2. pemeriksaan administratif dan fisik meliputi kegiatan pengecekan lokasi usaha, realisasi nilai Penanaman Modal, tenaga kerja, mesin/peralatan, bangunan/gedung, kewajiban terkait fasilitas, insentif dan kemudahan untuk Penanaman Modal, kewajiban kemitraan, dan/atau kewajiban lainnya terkait pelaksanaan Penanaman Modal.
(4) Dalam hal inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan dengan kunjungan fisik, Pengawasan insidental dapat dilakukan secara virtual.
(5) Inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB, secara terkoordinasi dan dapat didampingi oleh kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah terkait sesuai kewenangannya.
(6) Surat tugas dan BAP hasil Pengawasan insidental diinput ke Sistem OSS setelah pelaksanaan inspeksi lapangan.


Bagian Keempat
Pemantauan Laporan

Pasal 31


(1) Kegiatan Pemantauan atas laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) huruf a dilaksanakan oleh BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB, sesuai kewenangannya sejak Pelaku Usaha mendapatkan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Kegiatan Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengumpulan, verifikasi, dan evaluasi terhadap laporan berkala.
(3) Dalam pelaksanaan kegiatan Pemantauan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, Kepala BKPM dapat memberikan Mandat kepada gubernur.
(4) Mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan melalui dekonsentrasi yang diatur dalam Peraturan BKPM mengenai pelimpahan dan pedoman penyelenggaraan dekonsentrasi bidang pengendalian pelaksanaan Penanaman Modal.


Pasal 32


(1) Pelaku Usaha wajib menyampaikan LKPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) huruf a, untuk setiap bidang usaha dan/atau lokasi.
(2) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring melalui Sistem OSS.
(3) Penyampaian LKPM mengacu pada data Perizinan Berusaha, termasuk perubahan data yang tercantum dalam Sistem OSS sesuai dengan periode berjalan.
(4) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pelaku Usaha untuk setiap tingkat Risiko secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. bagi Pelaku Usaha kecil setiap 6 (enam) bulan dalam 1 (satu) tahun laporan; dan
  2. bagi Pelaku Usaha menengah dan besar setiap 3 (tiga) bulan (triwulan).
(5) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diwajibkan bagi:
  1. Pelaku Usaha mikro; dan
  2. bidang usaha hulu migas, perbankan, lembaga keuangan non bank, dan asuransi.
(6) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan ketentuan:
  1. Periode pelaporan sebagai berikut:
    1. laporan semester I disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan Juli tahun yang bersangkutan; dan
    2. laporan semester II disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun berikutnya.
  2. Format LKPM sebagaimana dimaksud dalam huruf a tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Penyampaian LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dengan ketentuan:
  1. LKPM terdiri atas:
    1. LKPM tahap konstruksi/persiapan bagi kegiatan usaha yang belum berproduksi dan/atau beroperasi komersial; dan
    2. LKPM tahap operasional dan/atau komersial bagi kegiatan usaha yang sudah berproduksi dan/atau beroperasi komersial.
  2. Periode pelaporan sebagai berikut:
    1. laporan triwulan I disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan April tahun yang bersangkutan;
    2. laporan triwulan II disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan Juli tahun yang bersangkutan;
    3. laporan triwulan III disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan Oktober tahun yang bersangkutan; dan
    4. laporan triwulan IV disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun berikutnya.
  3. Format LKPM sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 33


(1) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) huruf a memiliki kewajiban menyampaikan LKPM pertama kali, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diterbitkan pada rentang waktu 6 (enam) bulan pertama periode semester memiliki kewajiban penyampaian LKPM pertama kali pada periode semester yang sesuai dengan tanggal penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; atau
  2. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diterbitkan pada bulan ketujuh periode semester yang sesuai dengan tanggal penerbitan Perizinan Berusaha, memiliki kewajiban penyampaian LKPM pertama kali pada periode semester berikutnya.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) huruf b memiliki kewajiban menyampaikan LKPM pertama kali, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diterbitkan pada rentang waktu 3 (tiga) bulan pertama periode triwulan memiliki kewajiban penyampaian LKPM pertama kali pada periode triwulan yang sesuai dengan tanggal penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; atau
  2. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diterbitkan pada bulan keempat periode triwulan yang sesuai dengan tanggal penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, memiliki kewajiban penyampaian LKPM pertama kali pada periode triwulan berikutnya.


Pasal 34


(1) Pelaku Usaha yang siap atau telah berproduksi/beroperasi komersial wajib menyatakan siap atau telah berproduksi/beroperasi komersial secara daring melalui Sistem OSS.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan minimum realisasi Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Format pernyataan siap operasional dan/atau komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(4) Pelaku Usaha PMDN yang telah membuat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menjalankan kegiatan usaha di luar wilayah Indonesia menyampaikan informasi terkait kegiatan usaha tersebut secara daring melalui Sistem OSS.
(5) Informasi terkait kegiatan usaha di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat:
  1. nama perusahaan yang berlokasi di luar wilayah Indonesia;
  2. lokasi/negara;
  3. bidang usaha yang dijalankan; dan
  4. nilai Penanaman Modal di luar negeri.
(6) Format pernyataan Pelaku Usaha PMDN yang menjalankan kegiatan usaha di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 35


(1) Verifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dilakukan terhadap perkembangan realisasi Penanaman Modal yang dicantumkan dalam LKPM atas Perizinan Berusaha Berbasis Risiko oleh BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, badan pengusahaan KPBPB, atau administrator KEK sesuai dengan kewenangannya secara daring melalui Sistem OSS.
(2) Dalam melakukan verifikasi dan evaluasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB dapat meminta penjelasan dari Pelaku Usaha atau meminta perbaikan LKPM.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan atas LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dianggap tidak menyampaikan LKPM.
(4) Hasil verifikasi dan evaluasi data realisasi Penanaman Modal yang dicantumkan dalam LKPM yang telah disetujui, disimpan secara daring dalam subsistem Pengawasan pada Sistem OSS.
(5) BKPM melakukan kompilasi data realisasi Penanaman Modal secara nasional berdasarkan data hasil pencatatan LKPM secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan ke publik paling lambat:
  1. tanggal 30 bulan April tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan I;
  2. tanggal 31 bulan Juli tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan II;
  3. tanggal 31 bulan Oktober tahun yang bersangkutan untuk laporan triwulan III; dan
  4. tanggal 31 bulan Januari tahun berikutnya untuk laporan triwulan IV.


Pasal 36


Pemantauan laporan kegiatan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) huruf b dan huruf c dilakukan terhadap laporan:
  1. KP3A;
  2. KPPA;
  3. kantor perwakilan BUJKA;
  4. kantor perwakilan jasa penunjang tenaga listrik asing; dan
  5. badan usaha luar negeri.


Pasal 37


(1) KP3A dan KPPA wajib menyampaikan laporan kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 setiap 6 (enam) bulan secara daring melalui subsistem Pengawasan pada Sistem OSS.
(2) Format laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(3) Penyampaian laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan periode sebagai berikut:
  1. Laporan semester I disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan Juli tahun yang bersangkutan; dan
  2. Laporan semester II disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan Januari tahun berikutnya.


Pasal 38


(1) Kantor perwakilan BUJKA wajib menyampaikan menyampaikan laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 secara daring melalui subsistem Pengawasan pada Sistem OSS.
(2) Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat disampaikan tanggal 10 bulan Januari tahun berikutnya.
(3) Format laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 39


(1) Kantor perwakilan jasa penunjang tenaga listrik asing wajib menyampaikan laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 secara daring melalui subsistem Pengawasan pada Sistem OSS.
(2) Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat disampaikan tanggal 10 bulan Januari tahun berikutnya.
(3) Format laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 40


(1) Kepala badan usaha luar negeri wajib menyampaikan laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 secara daring melalui subsistem Pengawasan pada Sistem OSS.
(2) Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat disampaikan tanggal 10 bulan Januari tahun berikutnya.
(3) Format laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 41


(1) Pelaku Usaha yang telah mendapat fasilitas pembebasan bea masuk atas importasi mesin dan/atau barang dan bahan, wajib menyampaikan laporan realisasi impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) huruf d secara daring melalui Sistem OSS.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) Hari setelah mendapat Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(3) Format laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 42


(1) BKPM membuat laporan:
  1. kumulatif realisasi Penanaman Modal secara nasional setiap 3 (tiga) bulan dan disampaikan kepada Presiden, kementerian/lembaga; dan
  2. rekapitulasi realisasi impor mesin dan/atau barang dan bahan yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dari BKPM setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri Keuangan melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
(2) Laporan kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan dengan paling sedikit memuat:
  1. periode laporan;
  2. jumlah proyek dan realisasi Penanaman Modal berdasarkan sektor usaha, lokasi proyek, dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk PMDN; dan
  3. jumlah proyek dan realisasi Penanaman Modal berdasarkan sektor usaha, lokasi proyek, negara asal, dan TKI untuk PMA.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disampaikan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(4) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 43


Untuk meningkatkan kepatuhan Pelaku Usaha terhadap kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, badan pengusahaan KPBPB, dan administrator KEK dapat memberikan penghargaan kepada Pelaku Usaha terbaik sesuai dengan kewenangannya.
 

Bagian Kelima
Inspeksi Lapangan

Pasal 44


(1) Kegiatan inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b dilakukan oleh BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya secara terintegrasi dan terkoordinasi.
(2) Dalam melaksanakan inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi.
(3) Dalam hal berdasarkan inspeksi lapangan ditemukan pelanggaran yang dilakukan Pelaku Usaha, lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi melaporkan kepada BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB yang menugaskan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sejak lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha.
(4) BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB melakukan penghentian pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih besar dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari setelah menerima laporan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal melaksanakan implementasi penghentian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB dapat bekerjasama dengan aparatur penegak hukum.
(6) Inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terintegrasi dan terkoordinasi sesuai dengan rencana jadwal tahunan yang tercantum pada subsistem Pengawasan pada Sistem OSS.


Bagian Keenam
Pemantauan terhadap Pelaksana Inspeksi Lapangan

Pasal 45


(1) Pelaksana inspeksi lapangan melaksanakan kegiatan inspeksi lapangan berdasarkan kewenangannya.
(2) Dalam menjalankan inspeksi lapangan, pejabat pelaksana inspeksi lapangan wajib:
  1. memiliki surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang;
  2. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan kepada pihak yang tidak berkepentingan; dan/atau
  3. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
(3) Dalam hal pejabat pelaksana inspeksi lapangan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenai tindakan administratif berupa:
  1. peringatan secara tertulis; dan/atau
  2. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh kepala BKPM, kepala DPMPTSP provinsi, kepala DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau kepala badan pengusahaan KPBPB terhadap pejabat pelaksana inspeksi lapangan sesuai dengan kewenangannya.


Bagian Ketujuh
Sanksi

Pasal 46


(1) BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya mengenakan sanksi administratif kepada Pelaku Usaha yang:
  1. tidak memenuhi salah satu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
  2. tidak memenuhi salah satu tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan/atau
  3. tidak memenuhi kriteria minimum realisasi Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga OSS memberikan sanksi administratif dalam hal Pelaku Usaha dengan tingkat usaha Risiko menengah tinggi tidak melakukan pemenuhan persyaratan standar kegiatan usaha dan tidak melakukan persiapan kegiatan usaha.
(3) Lembaga OSS memberikan sanksi administratif dalam hal Pelaku Usaha dengan tingkat usaha Risiko tinggi tidak melakukan pemenuhan persyaratan Izin.


Pasal 47


(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
  3. Pencabutan Perizinan Berusaha; atau
  4. Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan kepada Pelaku Usaha yang melakukan:
  1. pelanggaran ringan;
  2. pelanggaran sedang; atau
  3. pelanggaran berat.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat dikenakan secara berjenjang.


Pasal 48


(1) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat mengusulkan pemberian sanksi administratif berupa Pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf c terhadap Pelaku Usaha yang bukan kewenangannya dan menyampaikan usulan kepada Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya.
(2) Usulan pemberian Pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem OSS dengan mengisi data antara lain:
  1. nama Pelaku Usaha;
  2. lokasi proyek;
  3. alasan pemberian Pencabutan Perizinan Berusaha;
  4. daftar aksi tindak lanjut sebelum sanksi diberikan Pencabutan; dan
  5. dokumen pendukung yang diunggah ke Sistem OSS.
(3) Atas usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen pendukung paling lama 5 (lima) Hari sejak permohonan diajukan.
(4) Dalam hal pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melalui Sistem OSS:
  1. menerbitkan Pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen telah lengkap dan benar; atau
  2. mengirimkan notifikasi dan penjelasan kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota pengusul untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen apabila dokumen tidak lengkap dan/atau tidak benar.
(5) Dalam hal Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya tidak memberikan persetujuan/penolakan permohonan Pencabutan ke Sistem OSS atas pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sistem OSS menerbitkan Pencabutan.
(6) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah terkait, dan Pelaku Usaha.


Paragraf 1
Sanksi Administratif berdasarkan
Penyampaian Pemenuhan Standar

Pasal 49


(1) Dalam hal Pelaku Usaha dengan kegiatan usaha tingkat Risiko menengah tinggi memiliki Sertifikat Standar yang belum terverifikasi dan atas pemenuhan standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada Peraturan BKPM tentang pedoman dan tata cara pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko dan Fasilitas Penanaman Modal sudah menyampaikan namun belum memenuhi standar kegiatan usaha, berdasarkan notifikasi dari kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, Sistem OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum diverifikasi.
(2) Format Pembatalan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(3) Pembatalan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi melalui Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan/atau Pelaku Usaha.
(4) Dalam hal Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha dapat mengajukan kembali penerbitan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi melalui Sistem OSS dalam waktu 6 (bulan) setelah Pembatalan terbit.
(5) Apabila dalam waktu 6 (bulan) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pelaku Usaha belum memiliki Sertifikat Standar terverifikasi, Sistem OSS:
  1. menerbitkan Pencabutan NIB apabila Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha; atau
  2. menerbitkan pemutakhiran NIB apabila Pelaku Usaha memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha belum memiliki Perizinan Berusaha baru, atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Hak Akses akan dibatalkan secara otomatis 1 (satu) tahun sejak tanggal Pencabutan NIB.
(7) Format Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a tercantum dalam Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dinotifikasi melalui Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan/atau Pelaku Usaha.
 

Pasal 50


(1) Dalam hal Pelaku Usaha dengan kegiatan usaha tingkat Risiko menengah tinggi belum menyampaikan pemenuhan standar kegiatan usaha sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan, BKPM, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan pemantauan kepada Pelaku Usaha dalam 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perkiraan mulai berproduksi/beroperasi.
(2) Atas hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB menginput dan menotifikasi hasil pemantauan ke dalam Sistem OSS.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha telah memenuhi standar kegiatan usaha, Sistem OSS mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah diverifikasi.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha tidak juga memenuhi standar kegiatan usaha sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan:
  1. Sistem OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum diverifikasi; dan
  2. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) berlaku secara mutatis mutandis.


Paragraf 2
Sanksi Administratif berdasarkan
Penyampaian Pemenuhan Persyaratan Izin

Pasal 51


(1) Dalam hal Pelaku Usaha dengan kegiatan usaha tingkat Risiko tinggi:
  1. sudah menyampaikan namun belum memenuhi kelengkapan persyaratan Izin; atau
  2. belum menyampaikan pemenuhan persyaratan Izin,
pada jangka waktu sebagaimana diatur dalam Peraturan BKPM tentang pedoman dan tata cara pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko dan Fasilitas Penanaman Modal, BKPM, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan pemantauan kepada Pelaku Usaha dalam 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perkiraan mulai berproduksi/beroperasi.
(2) Atas hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB menginput dan menotifikasi hasil pemantauan ke dalam Sistem OSS.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha telah memenuhi persyaratan Izin, Sistem OSS menerbitkan Izin.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha belum memenuhi persyaratan Izin sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan, Sistem OSS menotifikasi Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin dalam waktu 6 (enam) bulan.
(5) Dalam hal dalam waktu 6 (bulan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha tidak melakukan pemenuhan persyaratan Izin, Sistem OSS:
  1. menerbitkan Pencabutan NIB apabila Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha; atau
  2. menerbitkan pemutakhiran NIB apabila Pelaku Usaha memiliki lebih dari1 (satu) kegiatan usaha.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha belum memiliki Perizinan Berusaha baru, atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Hak Akses akan dibatalkan secara otomatis 1 (satu) tahun sejak tanggal Pencabutan NIB.
(7) Format Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dinotifikasi melalui Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan/atau Pelaku Usaha.


Pasal 52


(1) Dalam hal Pelaku Usaha dengan kegiatan usaha tingkat Risiko tinggi yang berlokasi di KEK, KPBPB, dan kawasan industri memiliki Izin yang belum terverifikasi dan atas pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada Peraturan BKPM tentang pedoman dan tata cara pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko dan Fasilitas Penanaman Modal sudah menyampaikan namun belum memenuhi kelengkapan persyaratan Izin, berdasarkan notifikasi dari kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB, Sistem OSS membatalkan Izin yang belum diverifikasi.
(2) Format Pembatalan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(3) Pembatalan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi melalui Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan/atau Pelaku Usaha.
(4) Dalam hal Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha dapat mengajukan kembali penerbitan Izin yang belum terverifikasi melalui Sistem OSS dalam waktu 6 (bulan) setelah Pembatalan terbit.
(5) Apabila dalam waktu 6 (bulan) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pelaku Usaha belum memiliki Izin terverifikasi, Sistem OSS:
  1. menerbitkan Pencabutan NIB apabila Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha; atau
  2. menerbitkan pemutakhiran NIB apabila Pelaku Usaha memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha belum memiliki Perizinan Berusaha baru, atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Hak Akses akan dibatalkan secara otomatis 1 (satu) tahun sejak tanggal Pencabutan NIB.
(7) Format Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a tercantum dalam Lampiran XXVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dinotifikasi melalui Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan/atau Pelaku Usaha.
 

Pasal 53


(1) Dalam hal Pelaku Usaha dengan kegiatan usaha tingkat Risiko tinggi yang berlokasi di KEK, KPBPB, dan kawasan industri yang memperoleh percepatan penerbitan Izin, belum menyampaikan pemenuhan persyaratan Izin sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, BKPM, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan pemantauan kepada Pelaku Usaha dalam 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perkiraan mulai berproduksi/beroperasi.
(2) Atas hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB menginput dan menotifikasi hasil pemantauan ke dalam Sistem OSS.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha telah memenuhi persyaratan Izin, Sistem OSS mencantumkan keterangan bahwa Izin telah diverifikasi.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha tidak juga memenuhi persyaratan Izin sesuai jangka waktu yang ditetapkan:
  1. Sistem OSS membatalkan Izin yang belum diverifikasi; dan
  2. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) berlaku secara mutatis mutandis.


Paragraf 3
Sanksi Administratif berdasarkan
Persiapan Kegiatan Usaha

Pasal 54


(1) Pelaku Usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi diberikan sanksi Pembatalan Sertifikat Standar, dalam hal tidak memperoleh Sertifikat Standar terverifikasi sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur dan kriteria serta berdasarkan hasil Pengawasan tidak melakukan persiapan kegiatan usaha dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak NIB terbit.
(2) Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengadaan tanah;
b. pembangunan bangunan gedung;
c. pengadaan peralatan atau sarana;
d. pengadaan sumber daya manusia;
e. pemenuhan standar usaha; dan/atau
f. kegiatan lain sebelum dilakukannya operasional dan/atau komersial, termasuk:
1) pra studi kelayakan atau studi kelayakan; dan
2) pembiayaan operasional selama masa konstruksi.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha tidak memperoleh Sertifikat Standar sesuai jangka waktu, akan tetapi telah melakukan persiapan kegiatan usaha dalam jangka waktu 1 tahun sejak NIB terbit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha tidak diberikan sanksi Pembatalan Sertifikat Standar.
(4) Persiapan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) divalidasi oleh Sistem OSS terhadap LKPM periode terakhir yang disampaikan Pelaku Usaha.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha belum memperoleh Sertifikat Standar dan belum melaksanakan persiapan kegiatan usaha pada jangka waktu 1 (satu) tahun sejak NIB terbit sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka Lembaga OSS otomatis membatalkan Sertifikat Standar.
(6) Format Pembatalan Sertifikat Standar sebagaimana pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran XXIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinotifikasi melalui Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah dan Pelaku Usaha.
(8) Dalam hal Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha dapat mengajukan kembali penerbitan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi melalui Sistem OSS dalam waktu 6 (bulan) setelah Pembatalan terbit.
(9) Apabila dalam waktu 6 (bulan) sebagaimana dimaksud pada ayat (8) Pelaku Usaha belum memiliki Sertifikat Standar terverifikasi, Sistem OSS:
  1. menerbitkan Pencabutan NIB apabila Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) kegiatan usaha; atau
  2. menerbitkan pemutakhiran NIB apabila Pelaku Usaha memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha.
(10) Dalam hal Pelaku Usaha belum memiliki Perizinan Berusaha baru, atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a, Hak Akses akan dibatalkan secara otomatis 1 (satu) tahun sejak tanggal Pencabutan NIB.
(11) Format Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a tercantum dalam Lampiran XXX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(12) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a dinotifikasi melalui Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan/atau Pelaku Usaha.
    

Paragraf 4
Sanksi Administratif berdasarkan
Pelanggaran Ringan

Pasal 55


(1) Pelanggaran ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a dikenakan dalam hal:
  1. Pelaku Usaha melakukan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1);
  2. Pelaku Usaha tidak menyampaikan LKPM selama 2 (dua) periode berturut-turut;
  3. Pelaku Usaha menyampaikan LKPM pertama kali tanpa ada nilai tambahan realisasi investasi selama 4 (empat) periode berturut-turut dengan nilai realisasi nihil;
  4. Pelaku Usaha tidak merealisasikan kegiatan usaha sesuai dengan jangka waktu perkiraan mulai berproduksi/beroperasi yang tercantum dalam Sistem OSS;
  5. Pelaku Usaha tidak menjalankan kewajiban kemitraan selama menjalankan kegiatan usaha; atau
  6. terjadinya pencemaran lingkungan pada lokasi usaha yang tidak membahayakan keselamatan.
(2) Pelanggaran ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi berupa peringatan tertulis pertama, kedua, dan/atau ketiga.


Pasal 56


(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, kedua, dan ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dikenakan kepada Pelaku Usaha sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.
(2) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. peringatan tertulis pertama diberikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari;
  2. peringatan tertulis kedua diberikan dalam jangka waktu 15 (lima belas) Hari; dan
  3. peringatan tertulis ketiga diberikan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari,
terhitung sejak tanggal terkirimnya surat peringatan melalui Sistem OSS dan dinotifikasi kepada Pelaku Usaha melalui surat elektronik.
(3) Terhadap peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib:
  1. memberikan tanggapan atas surat peringatan melalui Sistem OSS; dan/atau
  2. melakukan pemenuhan kewajiban, tanggung jawab, dan/atau ketentuan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal hasil evaluasi oleh pejabat yang berwenang atas tanggapan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
  1. telah sesuai, maka BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya memberikan notifikasi melalui Sistem OSS bahwa peringatan dinyatakan gugur kepada Pelaku Usaha; atau
  2. tidak sesuai, maka BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif selanjutnya.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha tidak menindaklanjuti peringatan ketiga, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan Pengawasan.
(6) Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat menjadi data dukung bagi BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB untuk memberikan sanksi administratif berikutnya.
(7) Format peringatan tertulis pertama, kedua, ketiga tercantum pada Lampiran XXXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Peringatan tertulis pertama, kedua, ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah terkait, dan Pelaku Usaha.


Paragraf 5
Sanksi Administratif berdasarkan
Pelanggaran Sedang

Pasal 57


(1) Pelanggaran sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b dikenakan dalam hal:
  1. Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan atas sanksi pelanggaran ringan yang telah dikenakan dalam waktu yang ditetapkan;
  2. terbukti terjadinya pencemaran lingkungan yang membahayakan keselamatan masyarakat baik di lokasi usaha maupun di sekitar lokasi usaha; dan /atau
  3. Pelaku Usaha melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) Pelanggaran sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif secara berjenjang, yaitu berupa:
  1. peringatan tertulis pertama dan terakhir; atau
  2. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha.
(3) Dalam hal sanksi administratif atas pelanggaran sedang tidak ditindaklanjuti oleh Pelaku Usaha, maka BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif pelanggaran berat.
  

Pasal 58


(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama dan terakhir dapat dikenakan apabila terjadinya pelanggaran sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b dan huruf c.
(2) Terhadap peringatan tertulis pertama dan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pelaku Usaha dalam waktu 30 (tiga puluh) Hari wajib:
  1. memberikan tanggapan atas surat peringatan tertulis pertama dan terakhir melalui Sistem OSS; dan/atau
  2. melakukan pemenuhan kewajiban, tanggung jawab, dan/atau ketentuan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal evaluasi oleh pejabat yang berwenang atas tanggapan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. telah sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya memberikan notifikasi bahwa peringatan tertulis pertama dan terakhir dinyatakan gugur kepada Pelaku; atau
  2. tidak sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif berikutnya dengan notifikasi kepada Pelaku Usaha.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha tidak menindaklanjuti peringatan pertama dan terakhir, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan Pengawasan.
(5) Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat menjadi data dukung bagi BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB untuk memberikan sanksi administratif berikutnya.
(6) Sanksi administratif berikutnya sebagaimana dimaksud ayat (5):
  1. atas pelanggaran sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b diberikan Penghentian Sementara Kegiatan Usaha; atau
  2. atas pelanggaran sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c diberikan Pencabutan.
(7) Format peringatan pertama dan terakhir tercantum dalam Lampiran XXXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Peringatan pertama dan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah terkait, dan Pelaku Usaha.


Pasal 59


(1) Sanksi administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b dapat dikenakan apabila:
  1. Pelaku Usaha yang tidak memberikan tanggapan tertulis dan tindak lanjut dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan yang ketiga atau 30 (tiga puluh) Hari surat peringatan pertama dan terakhir; atau
  2. hasil inspeksi lapangan membuktikan terjadinya pelanggaran sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b.
(2) Dalam memberikan Penghentian Sementara Kegiatan Usaha atas kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa BAP.
(3) Dalam hal melaksanakan implementasi Penghentian Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerjasama dengan aparatur penegak hukum.
(4) Terhadap Penghentian Sementara Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Usaha dalam waktu 30 (tiga puluh) Hari wajib:
  1. memberikan tanggapan atas Penghentian Sementara Kegiatan Usaha melalui Sistem OSS; dan
  2. melakukan pemenuhan kewajiban, tanggung jawab, dan/atau ketentuan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha telah memberikan tanggapan dan memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan/atau ketentuan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan Pencabutan atas Penghentian Sementara Kegiatan Usaha melalui Sistem OSS.
(6) Berdasarkan permohonan pencabutan atas Penghentian Sementara Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB pemberi sanksi melakukan evaluasi dan/atau inspeksi lapangan yang dituangkan dalam BAP.
(7) Dalam hal evaluasi dan/atau inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6):
  1. telah sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB pemberi sanksi memberikan notifikasi kepada Sistem OSS untuk mencabut Penghentian Sementara Kegiatan Usaha dengan tembusan kepada Pelaku Usaha; atau
  2. tidak sesuai, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB pemberi sanksi memberikan notifikasi kepada Sistem OSS untuk memberikan sanksi administratif berikutnya dengan notifikasi kepada Pelaku Usaha.
(8) Dalam Pelaku Usaha tidak menindaklanjuti Penghentian Sementara Kegiatan Usaha yang diberikan, BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan Pengawasan.
(9) Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat menjadi data dukung bagi BKPM, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB untuk memberikan sanksi administratif berikutnya.
(10) Format Penghentian Sementara Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(11) Penghentian Sementara Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah terkait, dan Pelaku Usaha.


Paragraf 6
Sanksi Administratif berdasarkan
Pelanggaran Berat

Pasal 60


(1) Pelanggaran berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c dikenakan dalam hal:
  1. Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan atas sanksi pelanggaran sedang yang telah dikenakan dalam waktu yang ditetapkan;
  2. Pelaku Usaha melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha;
  3. terbukti terjadinya bahaya atas kesehatan, keselamatan dan lingkungan dan/atau dapat mengganggu perekonomian nasional maupun perekonomian daerah; atau
  4. Pelaku Usaha melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Perizinan Berusaha.
(2) Pelanggaran berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa Pencabutan Perizinan Berusaha.


Pasal 61


(1) Sanksi administratif berupa Pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dikenakan apabila:
  1. Pelaku Usaha tidak memberikan tanggapan tertulis dan/atau tindak lanjut atas peringatan tertulis pertama dan terakhir dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterbitkannya peringatan tertulis pertama dan terakhir;
  2. Pelaku Usaha tidak memberikan tanggapan tertulis dan/atau tindak lanjut atas Penghentian Sementara Kegiatan Usaha dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterbitkannya Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
  3. hasil inspeksi lapangan yang membuktikan terjadinya pelanggaran berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b, huruf c atau huruf d; atau
  4. berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
(2) Pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. Pencabutan NIB;
  2. Pencabutan Sertifikat Standar; dan/atau
  3. Pencabutan Izin.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha masih berminat melakukan kegiatan usahanya, Pelaku Usaha wajib melakukan permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang baru.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha hanya memiliki 1 kegiatan usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit, atas Pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), NIB akan dicabut apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan Pelaku Usaha belum memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko baru di bidang usaha yang sama atau bidang usaha yang lain.
(5) Atas Pencabutan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru, Hak Akses akan dibatalkan secara otomatis 1 (satu) tahun sejak tanggal Pencabutan NIB.
(6) Lembaga OSS memberikan notifikasi dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sebelum dilakukan Pembatalan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Terhadap kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d, kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah mengajukan usulan Pencabutan Perizinan Berusaha melalui Sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dengan disertai dokumen pendukung berupa BAP atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
(8) Dalam hal Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh adanya pencemaran lingkungan, Pelaku Usaha diwajibkan melakukan pemulihan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Format Pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(10) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah terkait, dan Pelaku Usaha.
(11) Notifikasi kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (10) disertai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).


Paragraf 7
Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang
Kegiatan Usaha

Pasal 62


(1) Sanksi administratif berupa Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dikenakan dalam hal hasil inspeksi lapangan membuktikan terjadinya pelanggaran atas Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(2) Dalam hal Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha diterbitkan melalui sistem OSS, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya dapat mengusulkan Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS dilengkapi dokumen pendukung.
(3) Atas usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS menerbitkan Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Format Pencabutan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XXXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(5) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinotifikasi oleh Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB dan Pelaku Usaha.


Bagian Kedelapan
Biaya

Pasal 63


(1) Pelaku Usaha tidak dikenakan biaya dalam kegiatan Pengawasan Berbasis Risiko yang dilaksanakan oleh kementrian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(2) Biaya yang diperlukan kementrian/lembaga untuk kegiatan Pengawasan Berbasis Risiko dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Biaya yang diperlukan Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk kegiatan Pengawasan Berbasis Risiko dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
(4) Biaya yang diperlukan administrator KEK atau badan pengusahaan KPBPB untuk kegiatan Pengawasan Berbasis Risiko dibebankan pada anggaran administrator KEK atau badan pengusahaan KPBPB.


BAB VI
KEADAAN KAHAR

Pasal 64


(1) Dalam hal OSS tidak dapat berfungsi karena Keadaan Kahar (force majeure) pelaksanaan Pengawasan Berbasis Risiko dapat dilakukan secara manual.
(2) Pelaksanaan Pengawasan Berbasis Risiko secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
  1. penyampaian laporan Pelaku Usaha tetap dilaksanakan secara berkala dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Badan ini;
  2. perencanaan inspeksi lapangan tetap dilaksanakan sesuai jadwal oleh setiap koordinator Pelaksanaan Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui media komunikasi yang tersedia;
  3. hasil inspeksi lapangan dituangkan ke dalam BAP dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Badan ini dan pelaksana inspeksi lapangan menginput hasil inspeksi lapangan ke dalam Sistem OSS setelah berakhirnya Keadaan Kahar;
  4. permohonan tindakan administratif dilengkapi dokumen serta diterbitkan menggunakan format sebagaimana tercantum pada lampiran Peraturan Badan ini; dan
  5. pemberian sanksi dilengkapi dokumen serta diterbitkan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Badan ini.
(3) Penetapan dan pengaturan Keadaan Kahar sebagaimana diatur dalam Peraturan BKPM tentang sistem perizinan berusaha berbasis risiko terintegrasi secara elektronik.


BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65


(1) Dalam hal Sistem OSS belum dapat digunakan untuk:
  1. penyampaian laporan kantor perwakilan;
  2. penyampaian laporan realisasi pembebasan bea masuk importasi mesin dan/atau barang dan bahan;
  3. permohonan tindakan administratif oleh Pelaku Usaha; dan
  4. pemberian sanksi administratif kepada Pelaku Usaha,
dapat disampaikan secara luar jaringan (luring) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkan Peraturan Badan ini.
(2) Dalam hal tata cara penyelenggaraan inspeksi lapangan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Badan ini belum dapat dilakukan melalui Sistem OSS, maka pelaksanaan penyelenggaraan inspeksi lapangan dapat dilaksanakan tanpa melalui Sistem OSS.
(3) Hasil, penilaian, dan tindak lanjut inspeksi lapangan atas Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang telah dilaksanakan tanpa melalui Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diinput ke dalam Sistem OSS setelah Sistem OSS siap digunakan.
(4) Tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Badan ini, dilakukan berdasarkan Risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan ini.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66


Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku, Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1330), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 67


Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal 2 Juni 2021.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2021
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAHLIL LAHADALIA


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 273