Peraturan Lainnya Nomor : 3 TAHUN 2021

Kategori : Lainnya

Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi Secara Elektronik


PERATURAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2021

TENTANG

SISTEM PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, perlu menetapkan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi secara Elektronik;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
  2. Undang-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);
  4. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 35);
  5. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1172);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG SISTEM PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:
  1. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  2. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha.
  3. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha.
  4. Kementerian/Lembaga Terkait adalah kementerian/lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS.
  5. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan, badan usaha, kantor perwakilan, dan badan usaha luar negeri yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  6. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  7. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
  8. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.
  9. Izin adalah persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
  10. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha.
  11. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disingkat KBLI adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah non kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang statistik.
  12. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  13. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
  14. Badan Koordinasi Penanaman Modal yang selanjutnya disebut BKPM adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
  15. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
  16. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang Penanaman Modal.
  17. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
  18. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.
  19. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri.
  20. Laporan Kegiatan Penanaman Modal yang selanjutnya disingkat LKPM adalah laporan mengenai perkembangan realisasi Penanaman Modal dan permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha yang wajib dibuat dan disampaikan secara berkala.
  21. Jejak Audit adalah rekam jejak seluruh tahap proses yang dilakukan baik dalam satu instansi atau lembaga maupun antarlembaga, untuk menjaga keabsahan hasil proses secara hukum, serta melengkapi semua jejak kejadian dan pertanggungjawaban atas setiap penyimpangan yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemberi layanan perizinan.
  22. Hak Akses adalah hak yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia melalui Lembaga OSS dalam bentuk kode akses.
  23. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  24. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  25. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.


Pasal 2


Peraturan Badan ini dimaksudkan untuk mengatur pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko terintegrasi secara elektronik melalui Sistem OSS.


Pasal 3


Peraturan Badan ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel melalui:
  1. penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan informasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko secara elektronik;
  2. penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  3. penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  4. interkoneksi data penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
  5. penggunaan teknologi informasi dalam koordinasi pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Pengawasan antar sektor dan pusat dengan daerah.


BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 4


Ruang lingkup Peraturan Badan ini meliputi:
  1. Sistem OSS;
  2. Hak Akses;
  3. subsistem pelayanan informasi;
  4. subsistem Perizinan Berusaha;
  5. subsistem Pengawasan;
  6. pengaduan;
  7. interkoneksi sistem;
  8. Jejak Audit;
  9. penanggung jawab Sistem OSS;
  10. pengembangan Sistem OSS;
  11. pembiayaan Sistem OSS; dan
  12. keadaan kahar.


BAB III
SISTEM OSS

Pasal 5


(1) Sistem OSS dibangun dan dikelola oleh BKPM sebagai Lembaga OSS.
(2) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan oleh:
  1. Kementerian/Lembaga Terkait;
  2. pemerintah daerah provinsi;
  3. pemerintah daerah kabupaten/kota;
  4. administrator KEK;
  5. badan pengusahaan KPBPB; dan
  6. Pelaku Usaha.
(3) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. subsistem pelayanan informasi;
  2. subsistem Perizinan Berusaha; dan
  3. subsistem Pengawasan.


Pasal 6


(1) Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dilakukan dengan menggunakan perangkat Sistem OSS.
(2) Perangkat Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. perangkat keras;
  2. perangkat lunak;
  3. jaringan; dan
  4. perangkat pendukung.
(3) Perangkat Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) beroperasi secara penuh selama 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Perangkat Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki cadangan perangkat yang beroperasi secara berkesinambungan untuk menjaga kelangsungan operasional Sistem OSS.
(5) Perangkat keras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan peralatan yang berfungsi sebagai alat untuk pemrosesan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(6) Perangkat lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan bahasa program komputer yang digunakan untuk penyelenggaraan Sistem OSS.
(7) Jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan alat yang memungkinkan antarperangkat komputer untuk saling berkomunikasi dengan pertukaran data.
(8) Perangkat pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan peralatan penunjang bagi terselenggaranya komunikasi dan pertukaran data pada Sistem OSS.


Pasal 7


(1) Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB menyiapkan perangkat Sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d.
(2) Lembaga OSS dapat menyediakan perangkat Sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dan huruf c untuk diberikan kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB.
(3) Lembaga OSS menyediakan perangkat lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b untuk dipergunakan oleh Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB.


Pasal 8


(1) Sistem OSS dibangun dalam bentuk:
  1. sistem elektronik;
  2. interkoneksi sistem dalam hal pemenuhan persyaratan dasar dan validasi data Pelaku Usaha dengan Kementerian/Lembaga Terkait;
  3. pertukaran data dalam rangka Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Pengawasan dengan Kementerian/Lembaga Terkait secara elektronik sesuai persyaratan kelayakan transaksi elektronik; dan
  4. fasilitas penyimpanan data atau pengisian dokumen elektronik.
(2) Persyaratan kelayakan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
  1. mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik;
  2. mengikuti ketentuan Pedoman Integrasi Aplikasi (PIA) yang disediakan oleh Lembaga OSS; dan
  3. menyediakan data dan jaringan elektronik yang teramankan.


Pasal 9


(1) Server Sistem OSS ditempatkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai standar manajemen mutu dan keamanan informasi.
(2) Sistem OSS dapat diakses melalui alamat situs www.oss.go.id.
(3) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa piranti lunak berbasis web yang merupakan gerbang informasi dan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.


Pasal 10


Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dalam menggunakan Sistem OSS wajib:
  1. menggunakan PIA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b; dan
  2. menjaga kerahasiaan data dan informasi Pelaku Usaha dalam Sistem OSS.


BAB IV
HAK AKSES

Pasal 11


(1) Hak Akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diberikan dalam bentuk kode kombinasi angka dan huruf untuk mengakses subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c dalam Sistem OSS.
(2) Lembaga OSS memberikan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
  1. Pelaku Usaha;
  2. Kementerian/Lembaga Terkait;
  3. DPMPTSP provinsi;
  4. DPMPTSP kabupaten/kota;
  5. administrator KEK; dan
  6. badan pengusahaan KPBPB.
(3) Hak Akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan kepada:
  1. penanggung jawab pelaku usaha orang perseorangan;
  2. direksi/pengurus Badan Usaha;
  3. kepala kantor perwakilan; atau
  4. direksi/penanggung jawab badan usaha luar negeri.
(4) Penerima Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f disebut sebagai pengelola Hak Akses.
(5) Lembaga OSS mengirimkan surat permintaan penunjukan pengelola Hak Akses kepada menteri/kepala lembaga, kepala DPMPTSP provinsi, kepala DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau kepala badan pengusahaan KPBPB.
(6) Berdasarkan surat permintaan penunjukan pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menteri/kepala lembaga, kepala DPMPTSP provinsi, kepala DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau kepala badan pengusahaan KPBPB menetapkan pengelola Hak Akses dan menyampaikan kepada Lembaga OSS.


Pasal 12


(1) Penggunaan Hak Akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a diberikan paling sedikit untuk:
  1. mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko kegiatan usaha pertama;
  2. mengajukan permohonan perubahan, perluasan, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  3. menyampaikan laporan kegiatan penanaman modal;
  4. menyampaikan laporan kegiatan atau upaya pengelolaan risiko kegiatan usaha, termasuk namun tidak terbatas pada pelaksanaan dan pemenuhan ketentuan terkait standar dan persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  5. menyampaikan pengaduan; dan/atau
  6. mengajukan permohonan fasilitas berusaha.
(2) Penggunaan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan Kawasan Industri, Hak Akses juga diberikan untuk menyampaikan persetujuan pernyataan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RKL-RPL) rinci.
(4) Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di bidang usaha kawasan industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Untuk mendapatkan Hak Akses Sistem OSS, Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) mengajukan permohonan ke Lembaga OSS secara dalam jaringan (daring) melalui Sistem OSS.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan dengan mengisi data permohonan Hak Akses penggunaan Sistem OSS dengan mengisi paling sedikit:
  1. nama Pelaku Usaha;
  2. data sebagai berikut:
    1. orang perseorangan dengan mengisi data nomor induk kependudukan;
    2. badan usaha dengan mengisi data nomor pengesahan badan usaha;
    3. badan layanan umum, perusahaan umum, perusahaan umum daerah, lembaga penyiaran, badan hukum lainnya, persyarikatan, atau persekutuan dengan mengisi data dasar hukum pembentukan; dan
    4. kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri dengan mengisi data nomor induk kependudukan kepala kantor perwakilan/penanggung jawab yang berkewarganegaraan Indonesia atau nomor paspor kepala kantor perwakilan/penanggung jawab yang berkewarganegaraan asing.
  3. kedudukan dalam Badan Usaha bagi pengisi data sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2, angka 3, dan angka 4;
  4. nomor telepon penanggung jawab; dan/atau
  5. alamat surat elektronik Pelaku Usaha.
(7) Data dasar hukum pembentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b angka 3 meliputi:
  1. badan layanan umum dengan mengisi nomor surat keputusan menteri/pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota;
  2. perusahaan umum dengan mengisi nomor peraturan pemerintah mengenai pendirian perusahaan umum;
  3. perusahaan umum daerah dengan mengisi nomor peraturan daerah mengenai pendirian perusahaan umum daerah;
  4. lembaga penyiaran dengan mengisi nomor izin penyelenggaraan penyiaran;
  5. badan hukum lainnya dengan mengisi nomor pendirian badan hukum; atau
  6. persyarikatan atau persekutuan dengan surat keputusan menteri.
(8) Lembaga OSS menerbitkan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta menyampaikan kepada Pelaku Usaha selaku pemilik Hak Akses melalui surat elektronik paling lambat 1 (satu) Hari setelah permohonan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan lengkap dan benar.
(9) Penggunaan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat digunakan oleh Pelaku Usaha apabila telah memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(10) Dalam hal pemilik Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak melanjutkan pengajuan Perizinan Berusaha bagi kegiatan usaha pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak menerima Hak Akses, Sistem OSS secara otomatis membatalkan Hak Akses dan tidak dapat digunakan lagi.
(11) Pelaku Usaha yang telah dibatalkan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat mengajukan kembali permohonan Hak Akses dalam rangka permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(12) Dalam hal Pelaku Usaha dilikuidasi atau dinyatakan pailit, likuidator atau kurator menggunakan Hak Akses Pelaku Usaha untuk mengajukan permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.


Pasal 13


(1) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dapat melakukan perubahan data Hak Akses secara mandiri dalam Sistem OSS.
(2) Perubahan data Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) dan perubahan kode akses pada menu profil Pelaku Usaha dalam Sistem OSS.
(3) Atas perubahan data Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS memberikan notifikasi kepada Pelaku Usaha melalui surat elektronik atau nomor telepon yang didaftarkan.


Pasal 14


(1) Hak Akses kepada pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) diberikan untuk:
  1. mendapatkan data Pelaku Usaha;
  2. melakukan verifikasi teknis dan notifikasi pemenuhan standar dan persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  3. penyusunan jadwal Pengawasan;
  4. mengusulkan pencabutan;
  5. penyampaian hasil Pengawasan/berita acara pemeriksaan pelaksanaan kegiatan usaha; dan/atau
  6. mendapatkan informasi dan mengunduh data Perizinan Berusaha,
sesuai dengan kewenangan.
(2) Pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan Hak Akses melalui Sistem OSS dengan mengisi data paling sedikit memuat:
  1. nama Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB;
  2. nama penanggung jawab Hak Akses berdasarkan penunjukan Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB;
  3. nomor induk kependudukan penanggung jawab Hak Akses;
  4. kedudukan dalam Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB;
  5. nomor telepon; dan
  6. alamat surat elektronik instansi milik penanggung jawab.
(3) Lembaga OSS menyampaikan Hak Akses kepada pengelola Hak Akses melalui surat elektronik paling lambat 1 (satu) Hari setelah permohonan Hak Akses diterima.


Pasal 15


(1) Pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat membuat Hak Akses turunan melalui fitur pengelola Hak Akses yang disediakan dalam Sistem OSS.
(2) Pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan Hak Akses turunan dengan ketentuan:
  1. Kementerian/Lembaga Terkait kepada direktorat jenderal/unit eselon I yang membidangi kegiatan usaha dan unit pengolahan data;
  2. DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota kepada organisasi perangkat daerah teknis yang membidangi kegiatan usaha, unit kerja yang membidangi Perizinan Berusaha dan Pengawasan Perizinan Berusaha pada DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota, serta organisasi perangkat daerah teknis yang membidangi pengolahan data;
  3. administrator KEK kepada unit kerja yang membidangi Perizinan Berusaha dan Pengawasan Perizinan Berusaha; dan
  4. badan pengusahaan KPBPB kepada unit kerja yang membidangi Perizinan Berusaha dan Pengawasan Perizinan Berusaha.
(3) Hak Akses turunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan mendaftarkan data penerima Hak Akses turunan yang terdiri atas:
  1. nomor induk kependudukan pejabat yang menerima Hak Akses turunan; dan
  2. jabatan penerima Hak Akses.
(4) Pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membatalkan Hak Akses turunan apabila penerima Hak Akses tersebut sudah tidak berwenang.
(5) Pembatalan Hak Akses turunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui fitur pengelola Hak Akses yang disediakan di dalam Sistem OSS.
(6) Pengelola Hak Akses bertanggung jawab terhadap data dan penggunaan Hak Akses oleh penerima Hak Akses turunan.
(7) Hak Akses kepada penerima Hak Akses turunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk:
  1. mendapatkan data Pelaku Usaha;
  2. melakukan verifikasi teknis dan notifikasi pemenuhan standar dan persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  3. penyusunan jadwal Pengawasan;
  4. mengusulkan pencabutan;
  5. penyampaian hasil Pengawasan/berita acara pemeriksaan pelaksanaan kegiatan usaha; dan/atau
  6. mendapatkan informasi dan mengunduh data Perizinan Berusaha,
sesuai dengan kewenangan.


Pasal 16


(1) Lembaga OSS dapat memberikan Hak Akses terbatas untuk informasi tertentu kepada perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan dan lembaga lainnya yang akan ditetapkan oleh Lembaga OSS sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberian Hak Akses terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan kesepakatan kerja sama antara Lembaga OSS dengan lembaga perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga lainnya.
(3) Berdasarkan kesepakatan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga lainnya mengajukan permohonan untuk mendapatkan Hak Akses terbatas kepada Lembaga OSS melalui Sistem OSS.
(4) Informasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
  1. nama Pelaku Usaha/Badan Usaha;
  2. alamat Pelaku Usaha/Badan Usaha;
  3. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
  4. status NIB;
  5. status akses kepabeanan, ekspor, dan impor;
  6. status tingkat risiko;
  7. klasifikasi usaha;
  8. KBLI;
  9. lokasi usaha; dan/atau
  10. status Perizinan Berusaha.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan dengan mengisi data permohonan Hak Akses terbatas paling sedikit:
  1. nama lembaga perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga lainnya;
  2. nomor kesepakatan kerja sama;
  3. nama penanggung jawab yang terdapat dalam kesepakatan kerja sama;
  4. nomor telepon penanggung jawab; dan
  5. alamat surat elektronik lembaga perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga lainnya milik penanggung jawab.


Pasal 17


(1) Dalam menggunakan Hak Akses, Pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), pemilik Hak Akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (8), penerima Hak Akses turunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), dan penerima Hak Akses terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) wajib:
  1. menjaga keamanan dan penggunaan Hak Akses;
  2. menjaga kerahasiaan kode akses yang dimilikinya; dan
  3. bertanggung jawab terhadap penggunaan dan kerahasiaan data.
(2) Lembaga OSS dapat melakukan evaluasi terhadap penggunaan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal pengelola Hak Akses:
  1. tidak menggunakan Hak Akses selama 6 (enam) bulan berturut-turut;
  2. terjadi penggantian penanggung jawab Hak Akses; dan/atau
  3. terjadi pelanggaran penggunaan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c ditemukan pelanggaran, Lembaga OSS membatalkan Hak Akses.
(5) Dalam hal evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b Lembaga OSS memberikan teguran apabila penanggung jawab Hak Akses yang baru tidak melakukan perubahan data Hak Akses pada Sistem OSS dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak penggantian penanggung jawab Hak Akses.
(6) Lembaga OSS memasukan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ke dalam proses penilaian kinerja Kementerian/Lembaga Terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Lembaga OSS dapat membatalkan Hak Akses pemilik Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila selama 6 (enam) bulan sejak menerima Hak Akses tidak melanjutkan Perizinan Berusaha.
(8) Lembaga OSS memberikan notifikasi kepada Pemilik Hak Akses dan pengelola Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum dilakukan pembatalan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7).
(9) Lembaga OSS menugaskan pengelola Hak Akses untuk melakukan evaluasi terhadap penggunaan Hak Akses turunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
(10) Pengelola Hak Akses, pemilik Hak Akses, penerima Hak Akses turunan, dan penerima Hak Akses terbatas yang melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 18


(1) Lembaga OSS dapat membatalkan Hak Akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dalam hal:
  1. likuidator atau kurator mengajukan permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (12); atau
  2. Pelaku Usaha dijatuhi sanksi administratif pencabutan NIB.
(2) Sistem OSS melakukan pembatalan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara otomatis dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan permohonan Perizinan Berusaha yang baru dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal pencabutan NIB.
(3) Sistem OSS melakukan pembatalan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b secara otomatis dalam hal Pelaku Usaha tidak mengajukan permohonan kembali Perizinan Berusaha setelah melewati tenggang waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan NIB.
(4) Lembaga OSS memberikan notifikasi dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sebelum dilakukan pembatalan Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).


BAB V
SUBSISTEM PELAYANAN INFORMASI

Pasal 19


(1) Informasi yang tersedia pada subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dapat diakses masyarakat di laman muka Sistem OSS tanpa Hak Akses.
(2) Informasi tanpa Hak Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha;
  2. rencana tata ruang;
  3. ketentuan persyaratan penanaman modal;
  4. kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha, durasi pemenuhan kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha, standar pelaksanaan kegiatan usaha dan penunjang kegiatan usaha, dan ketentuan lain di dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) seluruh sektor bidang usaha;
  5. pedoman dan tata cara pengajuan NIB, Sertifikat Standar, dan Izin;
  6. persyaratan dasar meliputi konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi, persetujuan lingkungan serta persetujuan penggunaan/pelepasan kawasan hutan;
  7. ketentuan fasilitas penanaman modal;
  8. Pengawasan Perizinan Berusaha dan kewajiban pelaporan;
  9. simulasi pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, panduan pengguna Sistem OSS, kamus OSS dan hal-hal yang sering ditanya (frequently asked questions/FAQ); dan
  10. pelayanan pengaduan masyarakat.
(3) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berdasarkan peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(4) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melalui integrasi dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang.
(5) Ketentuan persyaratan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha, durasi pemenuhan kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha, standar pelaksanaan kegiatan usaha dan penunjang kegiatan usaha, dan ketentuan lain di dalam NSPK seluruh sektor bidang usaha, pedoman dan tata cara pengajuan NIB, Sertifikat Standar, dan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d berdasarkan NSPK kementerian/lembaga dan proses Perizinan Berusaha berbasis risiko yang terdapat dalam subsistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(7) Pedoman dan tata cara pengajuan NIB, Sertifikat Standar, dan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam peraturan badan mengenai pedoman dan tata cara mengenai pedoman dan tata cara pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan fasilitas penanaman modal.
(8) Ketentuan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f berdasarkan NSPK kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
(9) Ketentuan fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g berdasarkan NSPK kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
(10) Pengawasan Perizinan Berusaha dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h berdasarkan NSPK lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
(11) Simulasi pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i berdasarkan proses Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang tersedia dalam subsistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(12) Panduan pengguna OSS, kamus OSS dan hal-hal yang sering ditanya (frequently asked questions/FAQ) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i disusun oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
(13) Kamus OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i memuat informasi mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(14) Pelayanan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j terkait penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
    

BAB VI
SUBSISTEM PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA

Pasal 20


(1) Subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dapat diakses di laman muka Sistem OSS dengan menggunakan Hak Akses dan Hak Akses turunan.
(2) Subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
  1. pelayanan Perizinan Berusaha;
  2. pertukaran data antara Sistem OSS dengan sistem pada instansi teknis dan/atau instansi terkait dengan penanaman modal; dan
  3.  penelusuran proses penerbitan Perizinan Berusaha.
(3) Subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan:
  1. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko terdiri dari:
    1. NIB;
    2. Sertifikat Standar; dan/atau
    3. Izin.
  2. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(4) Sistem OSS mencantumkan jumlah angka dalam NIB, nomor Sertifkat Standar, nomor Izin, dan nomor Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebanyak:
a. tiga belas digit angka untuk NIB terdiri atas:
1) enam digit pertama merupakan tanggal, bulan, tahun dalam format hh-bb-tt;
2) enam digit kedua merupakan nomor urut; dan
3) satu digit terakhir merupakan angka pengaman.
b. tujuh belas digit angka untuk Sertifikat Standar atau Izin terdiri atas:
1) tiga belas digit pertama untuk NIB; dan
2) empat digit terakhir merupakan nomor urut Sertifikat Standar atau Izin.
c. dua puluh satu digit angka untuk Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha terdiri atas:
1) tujuh belas digit angka pertama untuk nomor Sertifikat Standar atau Izin; dan
2) empat digit terakhir merupakan nomor urut Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.


Pasal 21


(1) Pelaku Usaha menggunakan Hak Akses untuk mendapatkan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a dan melakukan penelusuran proses penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c.
(2) Pelaku Usaha dapat memperoleh fasilitas penanaman modal melalui pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 22


(1) Lembaga OSS, Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB menerima permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS sesuai dengan kewenangan.
(2) Lembaga OSS, Kementerian/Lembaga Terkait, organisasi perangkat daerah teknis, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB melakukan verifikasi atas permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Hasil verifikasi Kementerian/Lembaga Terkait, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinotifikasi ke Sistem OSS.
(4) Hasil verifikasi yang dilakukan oleh organisasi perangkat daerah teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diteruskan ke DPMPTSP Provinsi atau DPMPTSP kabupaten/kota untuk dinotifikasi oleh DPMPTSP Provinsi atau DPMPTSP kabupaten/kota ke Sistem OSS.
(5) Sistem OSS dapat meminta kelengkapan persyaratan, menerbitkan, atau menolak permohonan Perizinan Berusaha berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(6) Dalam hal notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak disampaikan sesuai dengan NSPK Kementerian/Lembaga Terkait, Sistem OSS menerbitkan Perizinan Berusaha.
(7) Sistem OSS akan menyampaikan pemberitahuan Perizinan Berusaha yang telah disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) secara elektronik ke alamat surat elektronik atau melalui pesan singkat ke nomor telepon seluler:
  1. Pelaku Usaha dan dapat diperiksa melalui sistem penelusuran daring (online tracking system); dan
  2. Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP Provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, organisasi perangkat daerah teknis provinsi, organisasi perangkat daerah teknis kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB, yang dapat juga dilihat melalui menu  (dashboard) masing-masing Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP Provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, organisasi perangkat daerah teknis provinsi, organisasi perangkat daerah teknis kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB pada Sistem OSS.
(8) Permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko diatur dalam peraturan badan mengenai pedoman dan tata cara pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan fasilitas penanaman modal.
(9) Sistem penelusuran daring sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a merupakan layanan yang dapat digunakan oleh Pelaku Usaha, Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB untuk memantau proses Perizinan Berusaha mulai dari tahap permohonan sampai dengan penerbitan Perizinan Berusaha di Sistem OSS.


BAB VII
SUBSISTEM PENGAWASAN

Pasal 23


(1) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c dapat diakses di laman muka Sistem OSS dengan menggunakan Hak Akses dan Hak Akses turunan.
(2) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam hal Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan berusaha.
(3) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Lembaga OSS, Kementerian/Lembaga Terkait, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, organisasi perangkat daerah teknis, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan Pelaku Usaha.
(4) Subsistem Pengawasan merupakan sistem elektronik yang paling sedikit memuat:
  1. perencanaan inspeksi lapangan tahunan;
  2. perangkat kerja Pengawasan;
  3. laporan berkala dari Pelaku Usaha;
  4. pembinaan dan sanksi;
  5. penilaian kepatuhan pelaksanaan Perizinan Berusaha;
  6. pengaduan terhadap Pelaku Usaha dan pelaksana Pengawasan serta tindak lanjutnya; dan
  7. tindakan administratif atas dasar permohonan Pelaku Usaha atau putusan pengadilan.


Pasal 24


(1) Pelaku Usaha menyampaikan:
  1. permohonan pembatalan dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha;
  2. laporan berkala dari Pelaku Usaha dan data perkembangan kegiatan usaha; dan/atau
  3. pengaduan,
melalui Sistem OSS kepada Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan/atau badan pengusahaan KPBPB dengan mengacu kepada peraturan badan mengenai pedoman dan tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Pelaku Usaha dapat mencetak tanda terima penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di alamat surat elektronik Pelaku Usaha.


BAB VIII
PENGADUAN

Pasal 25


(1) Pelayanan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (14) terdiri atas:
  1. pengaduan kepada Pelaku Usaha, Lembaga OSS, Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, KEK, dan/atau KPBPB dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  2. pengaduan atas pelaksanaan Pengawasan serta tindak lanjutnya; dan
  3. pengaduan terhadap hambatan dan permasalahan dalam penggunaan Sistem OSS.
(2) Pelayanan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi oleh unit kerja pengawasan internal BKPM.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diatur lebih lanjut dalam peraturan badan mengenai pedoman dan tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(4) Atas hasil evaluasi pelayanan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditindaklanjuti:
  1. Lembaga OSS untuk pengaduan kepada Pelaku Usaha dan/atau Lembaga OSS; dan
  2. meneruskan pengaduan ke Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, KEK, dan/atau KPBPB sesuai dengan kewenangan.
(5) Dalam hal pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal memberikan tanggapan berupa notifikasi melalui Sistem OSS.
(6) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama diberikan 2 (dua) Hari sejak pengaduan diterima.


BAB IX
INTERKONEKSI SISTEM

Pasal 26


(1) Sistem OSS melakukan validasi secara otomatis berdasarkan persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, serta melakukan pengiriman dan penerimaan data dengan cara interkoneksi sistem Kementerian/Lembaga Terkait dalam rangka pemrosesan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pengecekan nomor induk kependudukan dengan sistem yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
  2. pengecekan nomor paspor dengan sistem yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Imigrasi;
  3. pengecekan NPWP atas status konfirmasi status wajib pajak dengan sistem yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak;
  4. penarikan data akta dan pengesahan dengan sistem yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum;
  5. konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan tata ruang dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan;
  6. pengecekan persetujuan penggunaan/pelepasan kawasan hutan dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
  7. pengecekan permohonan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat asing dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik; dan
  8. pengecekan permohonan perdagangan berjangka asing dengan sistem yang dikelola oleh lembaga pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pembinaan, pengaturan, pengembangan, dan pengawasan perdagangan berjangka.
(3) Pengiriman dan penerimaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemrosesan persyaratan dasar meliputi:
  1. pengiriman data NIB sebagai akses kepabeanan kepada sistem yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  2. pengiriman data NIB sebagai angka pengenal importir kepada sistem kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan;
  3. pengiriman data NIB sebagai pendaftaran kepesertaaan Pelaku Usaha untuk jaminan sosial kesehatan kepada sistem badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan;
  4. pengiriman data NIB sebagai pendaftaran kepesertaaan Pelaku Usaha untuk jaminan sosial ketenagakerjaan kepada sistem badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan;
  5. pengiriman data NIB sebagai pendaftaran wajib lapor ketenagakerjaan perusahaan periode pertama kepada sistem kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;
  6. pengiriman data NIB dan penerimaan data persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) kepada sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
  7. pengiriman data NIB dan formulir isian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL) persetujuan lingkungan kepada sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
  8. pengiriman data NIB dan penerimaan pertimbangan teknis analisis dampak lalu lintas (Andalalin) dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan;
  9. pengiriman data NIB dan data bangunan kepada sistem yang dikelola kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
  10. pengiriman data NIB dan penerimaan data standar nasional Indonesia kepada sistem yang dikelola oleh Badan Standardisasi Nasional; dan
  11. pengiriman data NIB dan penerimaan data sertifikat halal kepada sistem yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal.
(4) Pengiriman dan penerimaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemrosesan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin/barang modal serta barang dan bahan meliputi:
  1. pengiriman data berupa nomor dan tanggal persetujuan, serta daftar mesin/barang modal, atau barang dan bahan kepada sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
  2. penerimaan data realisasi daftar mesin dan barang dan bahan dari sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
  3. penerimaan data mesin dengan nilai tingkat komponen dalam negeri dari sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian; dan
  4. penerimaan data penandasahan rencana impor barang (RIB) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha belum memiliki NPWP, Sistem OSS memfasilitasi pembuatan NPWP dengan mengirimkan data Pelaku Usaha kepada sistem yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Dalam hal pelaksanaan interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga OSS menyusun PIA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b sebagai panduan bagi Kementerian/Lembaga Terkait dan mensosialisasikan kepada Kementerian/Lembaga Terkait.
(7) PIA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mencakup paling sedikit:
  1. standar otentikasi dan pengaturan Hak Akses dari dan ke Sistem OSS;
  2. standar elemen data perizinan antar sistem Perizinan Berusaha dengan Sistem OSS;
  3. standar keamanan bersama dan tanda tangan elektronik antar sistem Perizinan Berusaha dengan Sistem OSS; dan
  4. standar perjanjian tingkat layanan (service level agreement) antar sistem Perizinan Berusaha dengan Sistem OSS.
(8) Dalam hal terjadi perubahan atau penyesuaian terhadap kebijakan dan/atau peraturan yang berdampak pada dokumen PIA sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Lembaga OSS akan melakukan pemutakhiran PIA dan mensosialisasikan kepada Kementerian/Lembaga Terkait.
(9) Pelaksanaan interkoneksi sistem dengan sistem Kementerian/Lembaga Terkait juga dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kesepakatan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga Terkait dan pemerintah daerah.
(10) Pelaksanaan interkoneksi sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus mengacu pada PIA sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(11) Dalam hal pelaksanaan interkoneksi sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak mengacu sebagian atau keseluruhan kepada PIA sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Lembaga OSS dapat membatalkan interkoneksi.
(12) Dalam hal dilakukan interkoneksi Sistem OSS selain dengan sistem Kementerian/Lembaga Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pertukaran data dilakukan dengan mengikuti dokumen PIA sebagaimana dimaksud pada ayat (6).


Pasal 27


(1) Dalam melakukan interkoneksi sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (12), Lembaga OSS dapat bekerja sama dengan pihak lain yang berkomitmen dalam rangka implementasi interkoneksi sistem dan menjaga kerahasiaan data serta dituangkan dalam suatu kesepakatan kerja sama.
(2) Lembaga OSS berhak membatalkan kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal terjadi pelanggaran atas kesepatan kerja sama.


BAB X
JEJAK AUDIT

Pasal 28


(1) Sistem OSS menyediakan jejak audit atas seluruh kegiatan dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
  1. mengetahui dan menguji kebenaran proses transaksi elektronik melalui Sistem OSS;
  2. dasar penelusuran kebenaran dalam hal terjadi perbedaan data dan informasi antar pemangku kepentingan Sistem OSS; dan
  3. dasar penelusuran kebenaran dalam hal terjadi perbedaan antara dokumen cetak dan data yang tersimpan dalam Sistem OSS.
(4) Dalam hal terjadi perbedaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c, data dan informasi yang tersimpan dalam Sistem OSS merupakan data dan informasi yang dianggap benar.


BAB XI
PENANGGUNG JAWAB SISTEM OSS

Pasal 29


(1) Dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS, Kepala BKPM dibantu oleh:
  1. Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal;
  2. Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal; dan
  3. Sekretaris Utama.
(2) Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertanggung jawab atas:
  1. subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a;
  2. subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b;
  3. perangkat lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b; dan
  4. koordinasi antar Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi dan pemeritah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB dalam rangka penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS.
(3) Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bertanggung jawab terhadap subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf c.
(4) Sekretaris Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bertanggung jawab terhadap perangkat keras, jaringan, dan perangkat pendukung Sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d.


Pasal 30


Tanggung jawab Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal atas subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a terdiri atas:
  1. pemutakhiran data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2);
  2. menyelenggarakan konsultasi pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui call center, surat elektronik, dan tatap muka secara luar jaringan maupun daring; dan
  3. aplikasi layanan berbantuan dalam Sistem OSS.


Pasal 31


Tanggung jawab Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal atas subsistem Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b terdiri atas:
  1. pengelolaan proses bisnis Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS;
  2. pengelolaan proses pemberian/penerbitan fasilitas penanaman modal;
  3. pengelolaan data masukan Perizinan Berusaha dari Pelaku Usaha;
  4. pengelolaan data masukan hasil verifikasi Perizinan Berusaha dari Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan pengelola Kawasan Industri; dan
  5. evaluasi penggunaan Hak Akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).


Pasal 32


Tanggung jawab Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal atas perangkat lunak Sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c terdiri dari:
  1. menjamin keamanan lalu-lintas interkoneksi data dalam Sistem OSS;
  2. pengelolaan dan pemutakhiran Sistem OSS;
  3. pemetaan proses bisnis Sistem OSS secara keseluruhan; dan
  4. interkoneksi Sistem OSS dengan sistem Kementerian/Lembaga Terkait.


Pasal 33


Tanggung jawab Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) terdiri dari:
  1. koordinasi Pengawasan Perizinan Berusaha dengan Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB;
  2. pengelolaan profil Pelaku Usaha;
  3. proses bisnis Pengawasan berbasis risiko melalui Sistem OSS;
  4. pengelolaan data masukan laporan Pelaku Usaha;
  5. pengelolaan tindakan administratif dan sanksi atas pelaksanaan Perizinan Berusaha; dan
  6. pengaduan Pelaku Usaha dan pelaksanaan Pengawasan serta tindak lanjutnya.


Pasal 34


Tanggung jawab Sekretaris Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) terdiri dari:
  1. pengelolaan perangkat jaringan, server, storage, dan memory;
  2. pengelolaan keamanan Sistem OSS;
  3. pengelolaan pusat data (data center);
  4. Penyediaan perangkat Sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); dan
  5. pengaduan terhadap Pelaku Usaha, Lembaga OSS, Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, KEK, dan/atau KPBPB dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.


Pasal 35


(1) Sekretaris Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) menyediakan mekanisme pembuatan salinan data dari database (backup data) dan Sistem OSS berupa Disaster Recovery Center (DRC).
(2) DRC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi penting sistem elektronik yang terganggu atau rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia.


BAB XII
PENGEMBANGAN SISTEM OSS

Pasal 36


(1) Pengembangan Sistem OSS dapat dilakukan dalam hal terjadi:
  1. terbitnya peraturan perundang-undangan yang baru terkait dengan penanaman modal;
  2. peningkatan dan penyempurnaan fungsi atau proses bisnis Sistem OSS;
  3. penambahan atau penyederhanaan jenis Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  4. penambahan atau penyederhanaan sistem mekanisme Pengawasan; dan/atau
  5. perkembangan teknologi sistem informasi baik perangkat lunak maupun perangkat keras.
(2) Dalam melakukan pengembangan Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga OSS dapat:
  1. berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB; dan
  2. bekerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan Sistem OSS.


BAB XIII
PEMBIAYAAN SISTEM OSS

Pasal 37


(1) Pembiayaan Sistem OSS dan sistem pendukung yang digunakan oleh Lembaga OSS dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara BKPM.
(2) Pembiayaan Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan Sistem OSS yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, jaringan, dan perangkat pendukung.
(3) Lembaga OSS menyediakan anggaran diseminasi informasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko secara elektronik.


BAB XIV
KEADAAN KAHAR

Pasal 38


(1) Dalam hal Sistem OSS tidak dapat berfungsi karena keadaan kahar (force majeure), penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilaksanakan secara manual.
(2) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
  1. Kepala BKPM, dalam hal Sistem OSS tidak dapat beroperasi dalam skala nasional;
  2. gubernur, dalam hal Sistem OSS tidak dapat digunakan dalam skala provinsi; dan
  3. bupati/wali kota, dalam hal Sistem OSS tidak dapat digunakan dalam skala kabupaten/kota.
(3) Penetapan keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dilaporkan kepada Kepala BKPM.
(4) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam hal Sistem OSS tidak dapat digunakan disebabkan oleh, antara lain:
  1. bencana alam;
  2. bencana non alam;
  3. bencana sosial;
  4. pemogokan;
  5. kebakaran;
  6. gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan/atau menteri teknis terkait; dan/atau
  7. keadaan kahar lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diterbitkan secara manual memiliki kekuatan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, verifikasi atas pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang dilakukan secara manual oleh pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, dan pengelola Kawasan Industri memiliki kekuatan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Atas verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Sistem OSS menerbitkan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(8) Dalam hal keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), verifikasi atas pelaksanaan Pengawasan Berbasis Risiko yang dilakukan secara manual oleh Kementerian/Lembaga Terkait, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB memiliki kekuatan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Setelah berakhirnya keadaan kahar, atas data dan informasi penanaman modal yang diproses secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (8), Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB, atau pengelola Kawasan Industri bertanggung jawab memasukkan ke dalam Sistem OSS sesuai kewenangan.
(10) Pengaturan dalam hal Sistem OSS tidak dapat diakses untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar dan/atau wilayah yang belum memiliki aksesibilitas yang memadai diatur dalam peraturan badan mengenai pedoman dan tata cara pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan fasilitas penanaman modal dan peraturan badan mengenai pedoman dan tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  

BAB XV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 39


Pemanfaatan data dan informasi pada Sistem OSS oleh pemangku kepentingan (stakeholder) dan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan terkait informasi publik, meliputi:
  1. informasi yang tercantum dalam subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2); dan
  2. data realisasi penanaman modal yang telah diumumkan ke publik.


BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 40


(1) Pelaku Usaha yang telah memperoleh Hak Akses sebelum berlakunya Peraturan Badan ini harus melakukan penggantian Hak Akses pada Sistem OSS pada saat:
  1. mengajukan permohonan perubahan, perluasan, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  2. menyampaikan laporan kegiatan penanaman modal;
  3. menyampaikan laporan kegiatan atau upaya pengelolaan risiko kegiatan usaha, termasuk namun tidak terbatas pada pelaksanaan dan pemenuhan ketentuan terkait persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  4. menyampaikan pengaduan; dan/atau
  5. mengajukan permohonan fasilitas berusaha.
(2) Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku dan Sistem OSS Perizinan Berusaha Berbasis Risiko belum tersedia, Sistem OSS sebelum berlakunya Peraturan Badan ini tetap digunakan.


BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41


Sistem OSS Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sudah harus digunakan tanggal 2 Juni 2021.


Pasal 42


Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2014 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 43


Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal 2 Juni 2021.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2021
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAHLIL LAHADALIA


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJHAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 271