Peraturan Pemerintah Nomor : 58 TAHUN 2020

Kategori : Lainnya

Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 58 TAHUN 2020

TENTANG

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (3), Pasal 24, Pasal 40, Pasal 44, dan Pasal 46 ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
  3. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  4. Pengelolaan PNBP adalah pemanfaatan sumber daya dalam rangka tata kelola yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan untuk meningkatkan pelayanan, akuntabilitas, dan optimalisasi penerimaan negara yang berasal dari PNBP.
  5. Rencana PNBP adalah hasil penghitungan dan/atau penetapan target PNBP atau target dan pagu penggunaan dana PNBP yang diperkirakan dalam satu tahun anggaran.
  6. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
  7. PNBP Terutang adalah kewajiban PNBP dari Wajib Bayar kepada Pemerintah yang wajib dibayar pada waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Surat Tagihan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang digunakan untuk melakukan tagihan PNBP Terutang, baik berupa pokok maupun sanksi administratif berupa denda.
  9. Surat Ketetapan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang menetapkan jumlah PNBP Terutang yang meliputi Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar, Surat Ketetapan PNBP Nihil, dan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar.
  10. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri yang mempunyai kewajiban membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  11. Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
  12. Instansi Pengelola PNBP adalah instansi yang menyelenggarakan Pengelolaan PNBP.
  13. Mitra Instansi Pengelola PNBP adalah badan yang membantu Instansi Pengelola PNBP melaksanakan sebagian kegiatan Pengelolaan PNBP yang menjadi tugas Instansi Pengelola PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  14. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP adalah Bendahara Umum Negara atau Pimpinan Kementerian/Lembaga yang memegang kewenangan sebagai Pengguna Anggaran.
  15. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam Pengelolaan PNBP yang menjadi tanggungjawabnya dan tugas lain terkait PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  16. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah instansi Pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  17. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut dengan Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
  18. Lembaga adalah organisasi non-Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lain.
  19. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
  20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.


BAB II
PENGELOLA PNBP


Pasal 2


Pengelola PNBP terdiri atas:
  1. Menteri selaku pengelola fiskal; dan
  2. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 3


(1) Instansi Pengelola PNBP terdiri atas:
  1. Kementerian/Lembaga; dan
  2. Kementerian yang menjalankan fungsi sebagai Bendahara Umum Negara.
(2) Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipimpin oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang.
(3) Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipimpin oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara.


Pasal 4


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) dapat menunjuk Pejabat Kuasa Pengelola PNBP untuk melaksanakan tugas Pengelolaan PNBP.
(2) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) dapat dibantu oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan sebagian tugas Pengelolaan PNBP.


Pasal 5


Pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:
  1. perencanaan;
  2. pelaksanaan;
  3. pertanggungjawaban; dan
  4. pengawasan.


BAB III
PERENCANAAN

Pasal 6


Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi:
  1. penyusunan dan penyampaian Rencana PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP; dan
  2. penelaahan dan penetapan atas Rencana PNBP oleh Menteri.


Pasal 7


(1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan untuk penyusunan rancangan APBN dan/atau rancangan APBN perubahan dengan mengikuti siklus APBN.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam bentuk Rencana PNBP berupa:
  1. target PNBP; atau
  2. target dan pagu penggunaan dana PNBP.
(3) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun secara realistis, optimal, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 8


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menyusun Rencana PNBP untuk tahun anggaran yang direncanakan dan prakiraan maju Rencana PNBP untuk 3 (tiga) tahun anggaran setelah tahun anggaran yang direncanakan.
(2) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menyampaikan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri paling lambat pada bulan Januari.
(3) Menteri melakukan penelaahan atas Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Menteri menetapkan Rencana PNBP tahun anggaran yang direncanakan untuk menyusun kapasitas fiskal pada bulan Februari berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 9


(1) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) digunakan sebagai bahan pembicaraan pendahuluan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Berdasarkan hasil kesepakatan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau adanya perubahan kebijakan Pemerintah, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melakukan penyesuaian atas Rencana PNBP.
(3) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menyampaikan penyesuaian atas Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri paling lambat pada bulan Juni.
(4) Menteri melakukan penelaahan terhadap penyesuaian atas Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Menteri menetapkan Rencana PNBP untuk menyusun rancangan Undang-Undang APBN pada bulan Juli berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Pasal 10


(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melakukan pemutakhiran atas Rencana PNBP berdasarkan Rencana PNBP yang telah ditetapkan dalam APBN.
(2) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menyampaikan hasil pemutakhiran atas Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri paling lambat 1 (satu) minggu setelah APBN ditetapkan.
(3) Hasil pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai bahan penyusunan rincian pendapatan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.


Pasal 11


(1) Dalam rangka penyusunan rancangan perubahan APBN, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat menyampaikan perubahan Rencana PNBP kepada Menteri.
(2) Menteri melakukan penelaahan atas perubahan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri menetapkan perubahan Rencana PNBP untuk menyusun rancangan perubahan APBN berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 12


(1) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP tidak menyampaikan:
  1. Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
  2. penyesuaian Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
  3. pemutakhiran Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, 
Menteri menyusun Rencana PNBP.
(2) Menteri menetapkan Rencana PNBP untuk menyusun rancangan APBN berdasarkan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 13


Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP tidak menyampaikan perubahan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Menteri menyusun dan menetapkan rencana PNBP untuk menyusun rancangan perubahan APBN.


Pasal 14


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan penetapan Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB IV
PELAKSANAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 15


Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi:
  1. penentuan PNBP Terutang;
  2. pemungutan PNBP;
  3. pembayaran dan penyetoran PNBP;
  4. pengelolaan piutang PNBP;
  5. penetapan dan penagihan PNBP Terutang; dan
  6. penggunaan dana PNBP.


Bagian Kedua
Penentuan PNBP Terutang

Pasal 16


(1) PNBP Terutang dihitung oleh:
  1. Instansi Pengelola PNBP;
  2. Mitra Instansi Pengelola PNBP; atau
  3. Wajib Bayar.
(2) Dalam hal Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan sebagian tugas Pengelolaan PNBP, PNBP Terutang dihitung oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(3) Dalam hal sebagian atau seluruh formulasi perhitungan belum dapat dipastikan oleh Instansi Pengelola PNBP, PNBP Terutang dapat dihitung oleh Wajib Bayar.


Bagian Ketiga
Pemungutan PNBP

Pasal 17


(1) Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan pemungutan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a berdasarkan jenis dan tarif PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan pemungutan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 18


Dalam hal Instansi Pengelola PNBP dibantu oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melaksanakan sebagian tugas Pengelolaan PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan pemungutan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b berdasarkan jenis dan tarif PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keempat
Pembayaran dan Penyetoran PNBP

Paragraf 1
Mekanisme Pembayaran dan Penyetoran PNBP

Pasal 19


Seluruh PNBP wajib disetor ke Kas Negara.


Pasal 20


(1) Wajib Bayar wajib membayar PNBP Terutang ke Kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Dalam hal tertentu, Wajib Bayar dapat melakukan pembayaran PNBP Terutang melalui Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(3) Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang menerima pembayaran PNBP dari Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetorkan seluruh PNBP pada waktunya ke Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan penyetoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 21


Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan penyetoran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) ke Kas Negara dapat dilakukan melalui bank persepsi, pos persepsi, atau lembaga lain yang ditunjuk oleh Menteri.


Pasal 22


(1) Wajib Bayar wajib membayar PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat pada saat jatuh tempo sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Wajib Bayar yang tidak melakukan pembayaran PNBP Terutang sampai dengan jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah PNBP Terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
(4) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.


Pasal 23


(1) Pembayaran PNBP Terutang dan penyetoran PNBP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan dengan menggunakan dokumen atau sarana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sarana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan/atau Instansi Pengelola PNBP.
(3) Dokumen atau sarana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai bukti penerimaan negara.


Paragraf 2
Penerimaan Tertentu di Luar Mekanisme
Pembayaran dan Penyetoran PNBP

Pasal 24


(1) Selain melalui mekanisme pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, terdapat penerimaan tertentu yang diakui sebagai PNBP.
(2) Penerimaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 25


Dalam hal terdapat PNBP yang terlebih dahulu harus memperhitungkan kewajiban Pemerintah sesuai kontrak dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan, penyetoran PNBP dilakukan dengan mekanisme yang diatur oleh Menteri.


Paragraf 3
Monitoring dan Verifikasi

Pasal 26


Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP melakukan monitoring dan/atau verifikasi terhadap pembayaran dan penyetoran PNBP.


Pasal 27


(1) Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 wajib melakukan monitoring secara periodik atas pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang dalam hal PNBP Terutang dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.
(2) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 wajib melakukan monitoring secara periodik atas pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang dalam hal PNBP Terutang dihitung oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b.
(3) Instansi Pengelola PNBP yang tidak melakukan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 28


(1) Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan verifikasi atas PNBP Terutang yang dihitung oleh Wajib Bayar.
(2) Instansi Pengelola PNBP yang tidak melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 29


Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan verifikasi atas PNBP Terutang yang dihitung oleh Wajib Bayar dalam hal Instansi Pengelola PNBP dibantu oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melakukan sebagian tugas Pengelolaan PNBP.


Bagian Kelima
Pengelolaan Piutang PNBP

Pasal 30


(1) Dalam hal Wajib Bayar belum melakukan pembayaran PNBP Terutang, Instansi Pengelola PNBP mencatat PNBP Terutang sebagai piutang PNBP.
(2) Instansi Pengelola PNBP membuat laporan pencatatan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikannya kepada Menteri secara berkala.
(3) Penyampaian laporan pencatatan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan bersamaan dengan penyampaian laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana PNBP.
(4) Pencatatan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan piutang negara.


Pasal 31


(1) Instansi Pengelola PNBP wajib mengelola piutang PNBP yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara.
(2) Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan pengelolaan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Instansi Pengelola PNBP dapat dibantu oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam hal pengelolaan piutang PNBP.


Bagian Keenam
Penetapan dan Penagihan PNBP Terutang

Paragraf 1
Penetapan PNBP Kurang Bayar

Pasal 32


(1) Dalam hal terjadi kurang bayar terhadap PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang.
(2) Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
  1. hasil verifikasi dan/atau monitoring oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP;
  2. laporan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar;
  3. putusan pengadilan; dan/atau
  4. sumber lainnya.


Pasal 33


(1) Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d wajib dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar.
(2) Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b wajib dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar.
(3) Dalam hal Instansi Pengelola PNBP tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
Penetapan PNBP Lebih Bayar dan PNBP Nihil

Pasal 34


(1) Dalam hal terjadi lebih bayar atas kewajiban PNBP dari laporan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar, Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar dan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Bayar.
(2) Dalam hal tidak terdapat kurang bayar dan lebih bayar dari laporan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar, Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP Nihil dan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Bayar.
(3) Dalam hal kewajiban penerbitan dan penyampaian Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar dan Surat Pemberitahuan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penerbitan dan penyampaian Surat Ketetapan PNBP Nihil dan Surat Pemberitahuan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, Instansi Pengelola PNBP dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
Penetapan PNBP secara jabatan

Pasal 35


(1) Dalam hal penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b ditetapkan secara jabatan, Instansi Pengelola PNBP wajib menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar.
(2) Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan sanksi administratif berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah PNBP Terutang yang tidak dibayar atau kurang bayar.
(3) Mekanisme penetapan PNBP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 36


Dalam hal Wajib Bayar tidak setuju atas penetapan PNBP secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Wajib Bayar dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 4
Koreksi atas Surat Tagihan PNBP

Pasal 37


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak setuju atas Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP secara tertulis kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan/atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. koreksi administratif; dan
  2. koreksi substantif.
(3) Permohonan koreksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disertai dengan penjelasan atas bagian Surat Tagihan PNBP yang dimintakan koreksi.
(4) Permohonan koreksi substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan dokumen dan/atau penjelasan paling sedikit berupa:
  1. bagian Surat Tagihan PNBP yang dimintakan koreksi; dan
  2. metode perhitungan PNBP Terutang.
(5) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan/atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP memberikan jawaban kepada Wajib Bayar atas permohonan koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 38


Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan/atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP memberikan jawaban atas permohonan koreksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan koreksi diterima dan dinyatakan lengkap.


Pasal 39


(1) Dalam hal permohonan koreksi substantif dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b tidak dimintakan pemeriksaan, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP memberikan jawaban atas permohonan koreksi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan koreksi diterima dan dinyatakan lengkap.
(2) Dalam hal permohonan koreksi substantif dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b tidak dimintakan pertimbangan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP, Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP memberikan jawaban atas permohonan koreksi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan koreksi diterima dan dinyatakan lengkap.


Pasal 40


(1) Dalam hal permohonan koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b disampaikan Wajib Bayar kepada Intansi Pengelola PNBP, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan atas Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutang dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP.
(2) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menyampaikan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan koreksi diterima dan dinyatakan lengkap.


Pasal 41


(1) Dalam hal permohonan koreksi substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b disampaikan Wajib Bayar kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP, Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat menyampaikan permohonan pertimbangan kepada Instansi Pengelola PNBP.
(2) Mitra Instansi Pengelola PNBP menyampaikan permohonan pertimbangan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP/Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan koreksi diterima dan dinyatakan lengkap.
(3) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP memberikan jawaban atas permohonan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan pertimbangan diterima dan dinyatakan lengkap.
(4) Terhadap permohonan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan atas Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutang dihitung oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(5) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pejabat Kuasa Pengelola PNBP wajib menyampaikan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan pertimbangan diterima dari Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 42


(1) Instansi Pemeriksa menerbitkan laporan hasil pemeriksaan berdasarkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (5).
(2) Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan/atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP memberikan jawaban atas permohonan koreksi.
(3) Dalam hal permohonan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan/atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP dan Surat Tagihan PNBP atau surat pemberitahuan kepada Wajib Bayar paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.
(4) Dalam hal permohonan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disetujui, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan/atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menyampaikan Surat Ketetapan PNBP dan Surat Tagihan kepada Wajib Bayar paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.


Pasal 43


Wajib Bayar dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal Wajib Bayar tidak setuju atas:
  1. permohonan koreksi substantif tidak dimintakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
  2. jawaban permohonan koreksi substantif berdasarkan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.


Paragraf 5
Mekanisme Penagihan PNBP

Pasal 44


Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) terdiri atas:
  1. Surat Tagihan PNBP Pertama;
  2. Surat Tagihan PNBP Kedua; dan
  3. Surat Tagihan PNBP Ketiga.


Pasal 45


(1) Surat Tagihan PNBP Pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diterbitkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak laporan diterima, kecuali yang berasal dari putusan pengadilan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP Pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Bayar tidak melunasi seluruh PNBP Terutang, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP Kedua kepada Wajib Bayar.
(3) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP Kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Wajib Bayar tidak melunasi seluruh PNBP Terutang, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP Ketiga kepada Wajib Bayar.
(4) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Tagihan PNBP Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wajib Bayar tidak melunasi seluruh PNBP Terutang:
  1. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Penyerahan Tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara; atau
  2. Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Penerusan Tagihan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP.
(5) Berdasarkan Surat Penerusan Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Penyerahan Tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara.
(6) PNBP Terutang yang telah diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (5) tetap dicatat sebagai piutang PNBP pada Instansi Pengelola PNBP berdasarkan besaran PNBP pada saat diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara.
(7) Dalam hal Wajib Bayar tidak melakukan pemenuhan kewajiban atas Surat Tagihan PNBP, dapat menjadi dasar Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk menghentikan layanan PNBP kepada Wajib Bayar.


Pasal 46


Mekanisme Penagihan PNBP Terutang berdasarkan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 47


(1) Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) diterbitkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak laporan hasil pemeriksaan diterima.
(2) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP diterbitkan, Wajib Bayar tidak melunasi PNBP Terutang dan tidak mengajukan keberatan:
  1. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Penyerahan Tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara; atau
  2. Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Penerusan Tagihan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP.
(3) Berdasarkan Surat Penerusan Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menerbitkan Surat Penyerahan Tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara.
(4) Surat Penyerahan Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3), dicantumkan sesuai dengan besaran yang terdapat dalam Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) PNBP Terutang yang telah diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) tetap dicatat sebagai piutang PNBP pada Instansi Pengelola PNBP berdasarkan besaran PNBP pada saat diserahkan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara.
(6) Dalam hal Wajib Bayar tidak melakukan pemenuhan kewajiban atas Surat Tagihan PNBP, dapat menjadi dasar Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk menghentikan layanan PNBP kepada Wajib Bayar.


Pasal 48


(1) Menteri dapat melakukan pemantauan atas penagihan PNBP yang dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP kepada Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) sampai dengan ayat (4) serta Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) dengan menggunakan sistem informasi.
(2) Menteri dapat menindaklanjuti dengan pengawasan PNBP berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 49


(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak setuju atas Surat Ketetapan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 42 ayat (4), Wajib Bayar dapat mengajukan keberatan.
(2) Mekanisme keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 50


(1) Dalam hal Wajib Bayar menyampaikan surat permohonan keringanan, Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP menghentikan penyampaian Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 47 setelah surat permohonan keringanan diterima.
(2) Berdasarkan surat permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanksi administratif berupa denda 2% (dua persen) per bulan dari jumlah PNBP Terutang akan dihentikan sementara sejak surat permohonan keringanan diterima Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP sampai jawaban surat permohonan keringanan diterbitkan.
(3) Mekanisme keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 51


(1) Penetapan PNBP Terutang diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya PNBP.
(2) Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat diterbitkan setelah jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dalam hal Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang PNBP.


Pasal 52


Dalam hal Instansi Pengelola PNBP tidak memenuhi kewajiban Penagihan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 47, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketujuh
Penggunaan Dana PNBP

Pasal 53


(1) Instansi Pengelola PNBP dapat mengusulkan penggunaan dana PNBP yang dikelolanya kepada Menteri.
(2) Terhadap usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri memberikan persetujuan atau penoiakan dengan mempertimbangkan:
  1. kondisi keuangan Negara;
  2. kebijakan fiskal; dan/atau
  3. kebutuhan pendanaan Instansi Pengelola PNBP.
(3) Penggunaan dana PNBP dapat digunakan oleh Instansi Pengelola PNBP untuk unit-unit kerja di lingkungannya dalam rangka:
  1. penyelenggaraan Pengelolaan PNBP dan/atau peningkatan kualitas penyelenggaraan Pengelolaan PNBP dan/atau kegiatan lainnya; dan/atau
  2. optimalisasi PNBP.
(4) Penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan tetap memenuhi ketentuan seluruh PNBP wajib disetor ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem APBN.


Pasal 54


(1) Usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) diajukan oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dituangkan dalam bentuk surat Menteri.
 

Pasal 55


(1) Menteri dapat meninjau kembali persetujuan penggunaan dana PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP dengan mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
(2) Peninjauan kembali terhadap persetujuan penggunaan dana PNBP oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara periodik.


Pasal 56


(1) Persetujuan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) menjadi dasar Instansi Pengelola PNBP untuk mengusulkan pagu penggunaan PNBP dalam rangka penyusunan Rencana PNBP.
(2) Usulan pagu penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditelaah dan ditetapkan oleh Menteri dengan mengikuti siklus APBN.
(3) Dalam melakukan penelaahan usulan pagu penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melibatkan Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 57


Dalam hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan pengaturan tersendiri terhadap persetujuan penggunaan dana PNBP atas jenis PNBP tertentu dengan dasar pertimbangan:
  1. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  2. kebijakan Pemerintah.


Bagian Kedelapan
Monitoring Pelaksanaan PNBP

Pasal 58


(1) Instansi Pengelola PNBP dan Menteri sesuai dengan tugas dan kewenangannya melakukan monitoring secara periodik atas pelaksanaan PNBP tahun anggaran berjalan.
(2) Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditindaklanjuti oleh APIP atau Menteri dengan melakukan pengawasan PNBP.


Pasal 59


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 58 diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB V
PERTANGGUNGJAWABAN

Bagian Kesatu
Penatausahaan

Pasal 60


(1) Instansi Pengelola PNBP dan Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang wajib menatausahakan PNBP.
(2) Penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diselenggarakan di wilayah yurisdiksi Indonesia dan disusun dalam:
  1. bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang Rupiah; dan/atau
  2. bahasa asing dengan menggunakan satuan mata uang asing yang diizinkan oleh Menteri.
(3) Dokumen yang menjadi dasar penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal Instansi Pengelola PNBP tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal Wajib Bayar tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


Pasal 61


(1) Penatausahaan PNBP yang dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dilakukan terhadap Pengelolaan PNBP.
(2) Penatausahaan PNBP yang dilakukan oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) meliputi:
  1. pencatatan transaksi keuangan yang berkaitan dengan pembayaran PNBP; dan
  2. penyimpanan bukti setor dan dokumen pendukung terkait PNBP.


Pasal 62


(1) Dalam hal Instansi Pengelola PNBP menunjuk Mitra Instansi Pengelola PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan penatausahaan PNBP.
(2) Penatausahaan PNBP yang dilakukan oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencatatan:
  1. pemungutan PNBP;
  2. transaksi penyetoran PNBP;
  3. penetapan PNBP Terutang;
  4. penagihan PNBP Terutang; dan/atau
  5. pengelolaan piutang PNBP.
(3) Penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk membantu Instansi Pengelola PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau perjanjian/kontrak dengan Instansi Pengelola PNBP.


Bagian Kedua
Pelaporan dan Pertanggungjawaban

Pasal 63


(1) Dalam melaksanakan pertanggungjawaban PNBP, Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang wajib menyampaikan laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara periodik setiap semester.
(3) Laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan secara periodik paling lama 20 (dua puluh) hari setelah periode laporan berakhir.
(4) Dalam hal Wajib Bayar tidak menyampaikan laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).


Pasal 64


Laporan realisasi PNBP dan Laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) memuat jenis, periode, dan jumlah PNBP dengan dilengkapi data dukung terkait realisasi PNBP.


Pasal 65


(1) Dalam melaksanakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP wajib menyampaikan laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana PNBP dalam lingkungan Instansi Pengelola PNBP yang bersangkutan kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara periodik setiap semester.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah periode laporan berakhir.


Pasal 66


Laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 paling sedikit memuat jenis, periode, jumlah PNBP, dan jumlah penggunaan dana PNBP beserta data dukung terkait realisasi penerimaan.


Pasal 67


(1) Dalam rangka pertanggungiawaban Pengelolaan PNBP sebagai bagian dalam pelaksanaan APBN, Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib menyampaikan laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara periodik setiap semester.
(3) Laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan secara periodik paling lama 20 (dua puluh) hari setelah periode laporan berakhir.


Pasal 68


(1) Laporan realisasi PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) paling sedikit memuat jenis, periode, dan jumlah PNBP dengan dilengkapi data dukung terkait realisasi PNBP.
(2) Laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) paling sedikit memuat jenis, periode, dan jumlah PNBP dengan dilengkapi data dukung terkait PNBP Terutang.


Pasal 69


Pelaporan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 65, dan Pasal 67 dapat dilaksanakan melalui sistem informasi.


Pasal 70


Ketentuan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 69 diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VI
PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Pengawasan PNBP

Pasal 71


Pengawasan PNBP dilakukan terhadap:
  1. pemenuhan kewajiban PNBP; dan/atau
  2. kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.


Bagian Kedua
Pengawasan PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP

Pasal 72


(1) Setiap Instansi Pengelola PNBP melaksanakan pengawasan intern atas Pengelolaan PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan intern atas Pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh APIP yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.


Pasal 73


Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan pengawasan atas kewajiban Pengelolaan PNBP yang dilakukan oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 74


(1) APIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) wajib membuat laporan hasil pengawasan dan menyampaikannya kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dan Menteri.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan konsolidasi dan penelaahan.


Bagian Ketiga
Pengawasan PNBP oleh Menteri

Pasal 75


(1) Untuk meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban PNBP, Menteri melakukan pengawasan terhadap Instansi Pengelola PNBP.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk verifikasi, penilaian, dan/atau evaluasi.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh unit yang ditunjuk oleh Menteri.


Pasal 76


(1) Dalam melaksanakan pengawasan, unit yang ditunjuk Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dapat meminta dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain kepada Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP Terutang, Mitra Instansi Pengelola PNBP, dan/atau pihak lain.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap berkoordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 77


(1) Unit yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) wajib membuat laporan hasil pengawasan dan menyampaikan kepada Menteri dan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP wajib menindaklanjuti laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan laporan hasil tindak lanjut kepada Menteri.


Pasal 78


(1) Menteri dan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat menindaklanjuti laporan hasil pengawasan untuk dimintakan pemeriksaan kepada Instansi Pemeriksa.
(2) Permintaan pemeriksaan kepada Instansi Pemeriksa berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan PNBP.


Pasal 79


Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Menteri dapat memberikan penghargaan atau sanksi kepada Instansi Pengelola PNBP berdasarkan kinerja Pengelolaan PNBP yang dilaksanakan oleh Instansi Pengelola PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 80


Pelaporan hasil pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dan Pasal 77 dapat dilaksanakan melalui sistem informasi.


Pasal 81


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 80 diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VII
PENGELOLAAN PNBP OLEH BENDAHARA UMUM NEGARA
DAN MITRA INSTANSI PENGELOLA PNBP

Bagian Kesatu
Pengelolaan PNBP oleh Bendahara Umum Negara

Pasal 82


(1) Menteri selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan PNBP tertentu yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara.
(2) Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga tetap menjalankan tugas dan fungsi meliputi perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan urusan teknis, pembinaan, dan pengawasan.
(3) Penetapan PNBP tertentu sebagai PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan:
  1. PNBP yang penghitungan dan/atau penetapannya membutuhkan earning process;
  2. bagian Pemerintah dari hasil pengelolaan kekayaan negara dipisahkan; atau
  3. berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai penerimaan Bendahara Umum Negara.


Pasal 83


PNBP yang selama ini telah dikelola Menteri selaku Bendahara Umum Negara ditetapkan sebagai PNBP tertentu yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara.


Pasal 84


(1) Pengelolaan PNBP tertentu oleh Bendahara Umum Negara dilaksanakan melalui sistem APBN.
(2) Pengawasan PNBP tertentu oleh Bendahara Umum Negara dilaksanakan oleh APIP pada Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan/atau unit yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) Dalam melaksanakan Pengelolaan PNBP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri selaku Bendahara Umum Negara menunjuk Pejabat Kuasa Pengelola PNBP Bendahara Umum Negara pada unit di lingkungan Kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(4) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai tugas:
  1. melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dalam rangka penyusunan Rencana PNBP;
  2. mengusulkan Rencana PNBP dalam bentuk Target PNBP kepada Menteri selaku pengelola fiskal;
  3. memungut dan menyetorkan PNBP ke Kas Negara;
  4. mengelola piutang PNBP;
  5. melaksanakan pertanggungjawaban PNBP kepada Menteri; dan/atau
  6. melaksanakan tugas lain di bidang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 85


Ketentuan lebih lanjut terkait Pengelolaan PNBP tertentu oleh Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 84 diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kedua
Mitra Instansi Pengelola PNBP

Pasal 86


(1) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat ditunjuk berdasarkan:
  1. ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  2. penugasan dari Instansi Pengelola PNBP dalam melaksanakan Pengelolaan PNBP dengan tetap memperhatikan tanggung jawab Instansi Pengelola PNBP.
(2) Penugasan dari Instansi Pengelola PNBP kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat ditetapkan dalam kontrak/perjanjian.


Pasal 87


(1) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dapat membantu Instansi Pengelola PNBP untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau penagihan PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan pemungutan, penyetoran, dan/atau penagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. penentuan PNBP Terutang;
  2. pemungutan;
  3. monitoring dan/atau verifikasi atas PNBP Terutang;
  4. penyetoran;
  5. pencatatan piutang PNBP;
  6. penagihan; dan/atau
  7. pelaksanaan koreksi atas Surat Tagihan PNBP.
(3) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan penatausahaan dan menyampaikan laporan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 88


(1) Mitra Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan:
  1. pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
  2. penyetoran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20;
  3. monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27;
  4. verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
  5. penerbitan dan penyampaian Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;
  6. penerbitan dan penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34;
  7. penagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 47; dan/atau
  8. penatausahaan dan penyampaian laporan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 87,
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administrasi;
  3. pemotongan imbal jasa dan bonus;
  4. penghapusan imbal jasa dan bonus; dan
  5. pencabutan status sebagai Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan secara berjenjang.
(4) Instansi Pengelola PNBP memberikan sanksi administratif kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 89


Ketentuan mengenai mekanisme Pengelolaan PNBP pada Mitra Instansi Pengelola PNBP dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 88 diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VIII
PENUTUP

Pasal 90


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 136 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3871);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4353); dan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4995),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 91


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 136 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3871);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4353); dan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4995),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 92


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Oktober 2020
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Oktober 2020
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 230


 

 


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 58 TAHUN 2020

TENTANG

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK


I. UMUM

Penyempurnaan pengaturan atas pengelolaan PNBP berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan negara, meningkatkan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, pelindungan masyarakat, kepastian hukum, dan pengelolaan kekayaan negara, termasuk pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan, dalam rangka lebih profesional, terbuka, serta bertanggung jawab dan berkeadilan.

Pengaturan pengelolaan PNBP dalam Peraturan Pemerintah ini diharapkan akan menjadi pedoman bagi Instansi Pengelola PNBP dalam melaksanakan pengelolaan PNBP termasuk memberikan jawaban atas permasalahan dan tantangan dalam pengelolaan PNBP antara lain adanya pungutan tanpa dasar hukum, terlambat/tidak disetor ke Kas Negara, penggunaan langsung PNBP, dan PNBP dikelola di luar mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta penagihan dan pengelolaan piutang PNBP yang kurang optimal.

Untuk menjawab permasalahan dan tantangan dalam pengelolaan PNBP tersebut, Peraturan Pemerintah ini telah memberikan pengaturan lebih lanjut terkait verifikasi dan pengawasan PNBP, penyetoran PNBP yang menggunakan sistem informasi, penggunaan PNBP yang lebih fleksibel, dan pengaturan yang lebih jelas terhadap penagihan dan piutang PNBP.

Selain sebagai pedoman bagi Instansi Pengelola PNBP dalam pengelolaan PNBP, Peraturan Pemerintah ini juga memberikan pengaturan terkait hak dan kewajiban Wajib Bayar dalam menjalankan kewajibannya kepada negara, misalnya hak Wajib Bayar yang dapat mengajukan koreksi surat tagihan, dan kewajiban Wajib Bayar dalam membayar PNBP sesuai waktu yang ditetapkan dan menyampaikan laporan PNBP.

Pengaturan pengelolaan PNBP yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah ini terdiri atas:
  1. perencanaan PNBP yang mengikuti siklus penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. pelaksanaan PNBP yang mempertimbangkan manajemen pengelolaan PNBP yang profesional, transparan, dan akuntabel, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban Instansi Pengelola PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP, dan Wajib Bayar.
  3. pertanggungjawaban PNBP yang memberikan gambaran atas proses perencanaan dan pelaksanaan PNBP;
  4. pengawasan PNBP yang mengatur kewenangan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dan Unit yang ditunjuk oleh Menteri dalam rangka meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungj awaban.

Sehubungan dengan hal tersebut, guna meningkatkan kelancaran dan tertib administrasi dalam Pengelolaan PNBP yang sesuai dengan tujuan Undang-Undang 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu mengatur Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang pada hakikatnya merupakan Chief Operational Officer, termasuk di dalamnya Menteri selaku pengguna anggaran/pengguna barang.


Ayat (3)


Selain menjalankan fungsi sebagai pengguna anggaran/pengguna barang (Chief Operational Officer), Menteri juga menjalankan fungsi Bendahara Umum Negara (Chief Financial Officer).


Pasal 4

Cukup jelas.


Pasal 5

Cukup jelas.


Pasal 6

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan “penelaahan” antara lain proses evaluasi perhitungan dan penilaian Rencana PNBP berdasarkan data antara lain perkiraan asumsi makro, pokok kebijakan Kementerian/Lembaga, dan data historis.


Pasal 7

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Rencana PNBP berupa target PNBP disusun oleh seluruh Instansi Pengelola PNBP.


Huruf b


Rencana PNBP berupa target dan pagu penggunaan dana PNBP disusun oleh Instansi Pengelola PNBP yang telah memperoleh persetujuan penggunaan dana PNBP.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan “realistis” dalam Rencana PNBP antara lain mempertimbangkan data historis, potensi, asumsi, dan informasi terkait yang dapat dipertanggungiawabkan.

Yang dimaksud dengan “optimal” dalam Rencana PNBP adalah jumlah PNBP yang paling baik yang bisa dicapai dalam suatu kondisi pada saat menyusun Rencana PNBP.

Rencana PNBP disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk memperhatikan rencana jangka pendek dan jangka menengah.


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Penyesuaian meliputi Rencana PNBP tahun anggaran yang direncanakan dan perkiraan maju Rencana PNBP 3 (tiga) tahun anggaran setelah tahun anggaran yang direncanakan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Cukup jelas.


Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Cukup jelas.


Pasal 16

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Untuk meyakini kebenaran formulasi perhitungan yang digunakan oleh Wajib Bayar, Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan verifikasi atas transaksi pembayaran.

Yang dimaksud dengan “formulasi” antara lain volume, harga, dan kadar.

Yang dimaksud dengan “belum dapat dipastikan oleh Instansi Pengelola PNBP” antara lain pada saat Wajib Bayar melakukan pembayaran kewajiban PNBP, Instansi Pengelola PNBP belum dapat memastikan kebenaran volume, harga, dan kadar.


Pasal 17

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Pasal 18

Cukup jelas.


Pasal 19

Cukup jelas.


Pasal 20

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “membayar” adalah melunasi kewajiban PNBP Terutang oleh Wajib Bayar.

Yang dimaksud dengan “tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri” adalah bank/pos persepsi atau lembaga lain yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima pembayaran PNBP.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “hal tertentu” untuk pembayaran PNBP antara lain kondisi geografis, jumlah PNBP yang disetorkan tidak signifikan, kurangnya sarana dan prasarana, dan/atau PNBP yang terlebih dahulu harus memperhitungkan kewajiban Pemerintah sesuai dengan kontrak dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Pasal 21

Yang dimaksud dengan “lembaga lain” adalah suatu badan usaha yang ditetapkan menjadi lembaga persepsi lainnya di luar bank persepsi dan pos persepsi, antara lain e-commerce, fintech, dan gerai retail.


Pasal 22

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Contoh perhitungan sanksi administratif berupa denda:

  Pokok PNBP yang Terutang =    Rp 100.000.000,00
  Jatuh tempo tanggal =    2 Januari 2020
  Keterlambatan =    1 hari, dihitung 1 bulan

Apabila pembayaran dilakukan pada tanggal 3 Januari 2020 jumlah PNBP yang Terutang = (2% x Rpl00.000.000,00) + Rp 100.000.000,00 = Rp 102.000.000,00.

Apabila pembayaran dilakukan pada tanggal 3 Februari 2020 maka:

jumlah PNBP yang Terutang =    (2 bulan X 2% X Rp 100.000.000,00) + Rp 100.000.000,00 = Rp 104.000.000,00.

Apabila pembayaran dilakukan pada tanggal 3 November 2020, maka:
jumlah PNBP yang Terutang =  (11 bulan X 2% X Rp100.000.000,00) + Rp 100.000.000,00 = Rp 122.000.000,00.


Ayat (4)


Selama Wajib Bayar tidak melunasi jumlah PNBP yang Terutang, sanksi administratif berupa denda diperhitungkan sebagai PNBP yang Terutang. Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar 2% (dua persen) hanya untuk selama 24 (dua puluh empat) bulan sejak jatuh tempo, setelah itu tidak dikenakan denda lagi.

Contoh:

Pokok PNBP yang Terutang = Rp 100.000.000,00 Jatuh tempo tanggal = 2 Januari 2020.

Pada tanggal 3 April 2022 diketahui PNBP tersebut belum dilakukan pembayaran, sehingga jumlah bulan dari 2 Januari 2020 s.d. 3 April 2022 adalah 26 bulan.

Mengingat sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan 1 hari dihitung 1 bulan dan batas maksimal adalah 24 bulan jumlah PNBP yang Terutang = (24 bulan x 2% x Rp 100.000.000,00) + Rp 100.000.000,00 = Rp 148.000.000,00.


Pasal 23

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dokumen yang dihasilkan oleh sistem informasi antara lain Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI).


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 24

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “penerimaan tertentu” antara lain premium obligasi dan selisih kurs.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan mengenai standar akuntasi Pemerintah.


Pasal 25

PNBP yang terlebih dahulu harus memperhitungkan kewajiban Pemerintah merupakan penerimaan negara yang masih membutuhkan earning process, antara lain penerimaan minyak dan gas bumi, dan panas bumi yang diatur berdasarkan kontrak.

Penerimaan yang masih memerlukan earning process oleh Kementerian/Lembaga, pembayaran dapat dilakukan pada rekening Pemerintah lainnya.


Pasal 26

Cukup jelas.


Pasal 27

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “monitoring” antara lain terkait pemenuhan pembayaran PNBP oleh Wajib Bayar.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Pasal 28

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Pasal 29

Cukup jelas.


Pasal 30

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)

 

Yang dimaksud dengan “pengelolaan piutang negara” antara lain pengakuan, pencatatan, dan klasifikasi piutang negara.


Pasal 31

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 32

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “kurang bayar” dapat berupa jumlah pokok PNBP Terutang dan/atau denda.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang dimaksud dengan “sumber lainnya” antara lain hasil temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan, hasil pengawasan Menteri, dan hasil pengawasan Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang bertanggung jawab kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.


Pasal 33

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Pasal 34

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Pasal 35

Cukup jelas.


Pasal 36

Cukup jelas.


Pasal 37

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “Wajib Bayar tidak setuju” antara lain disebabkan kesalahan tulis dan kesalahan hitung.

Permohonan koreksi disampaikan dengan surat tertulis kepada pejabat yang menetapkan Surat Tagihan PNBP, yaitu Pimpinan Instansi Pengelola PNBP, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP, atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.


Ayat (2)


Huruf a


Yang dimaksud dengan “koreksi administratif’ adalah koreksi disebabkan kesalahan tulis.


Huruf b


Yang dimaksud dengan “koreksi substantif” adalah koreksi disebabkan kesalahan perhitungan.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Jawaban kepada Wajib Bayar dapat berupa penetapan kembali jumlah PNBP Terutang yang sama atau jumlah PNBP Terutang baru, disertai dengan penjelasan atas disetujui atau ditolaknya permohonan koreksi oleh Instansi Pengelola PNBP.


Pasal 38

Cukup jelas.


Pasal 39

Cukup jelas.


Pasal 40

Cukup jelas.


Pasal 41

Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Cukup jelas.


Pasal 44

Cukup jelas.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas.


Pasal 47

Cukup jelas.


Pasal 48

Cukup jelas.


Pasal 49

Cukup jelas.


Pasal 50

Cukup jelas.


Pasal 51

Ayat (1)


Hak untuk mengeluarkan penetapan PNBP Terutang diberikan kepada Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan batas waktu tertentu guna memberikan kepastian hukum.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Pasal 52

Sanksi dikenakan kepada Pejabat Pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.


Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana.


Pasal 53

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Yang dimaksud dengan “kondisi keuangan negara” adalah mempertimbangkan kemampuan negara untuk membiayai belanja negara. Pemberian izin penggunaan dana PNBP harus dilakukan secara selektif, baik dari besaran penggunaan maupun jenis kegiatan.


Huruf b


Yang dimaksud dengan “kebijakan fiskal” antara lain kebijakan untuk meningkatkan kapasitas pendapatan negara dan kebijakan prioritas pengalokasian belanja pada bidang atau sektor tertentu.


Huruf c


Kebutuhan pendanaan Instansi Pengelola PNBP untuk pelayanan PNBP menjadi prioritas utama untuk dibiayai.


Ayat (3)


Huruf a

Yang dimaksud dengan “kegiatan lainnya” adalah kegiatan di luar tugas dan fungsi unit yang menghasilkan PNBP, terutama untuk peningkatan pelayanan.


Huruf b


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Cukup jelas.


Pasal 56

Cukup jelas.


Pasal 57

Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” antara lain mencakup kebijakan Pemerimah dalam rangka penanganan bencana termasuk penggunaan PNBP dari penerimaan klaim atas asuransi Barang Milik Negara, penggunaan dana PNBP yang berasal dari dana kapitasi jaminan kesehatan nasional, dan penggunaan dana yang berasal dari hak kekayaan intelektual.


Pasal 58

Cukup jelas.


Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Penatausahaan PNBP yang disusun dalam bahasa asing disertai dengan terjemahan bahasa Indonesia.


Ayat (3)


Cukup jelas.

 

Ayat (4)


Sanksi dikenakan kepada pejabat pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP.


Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk aparatur sipil negara.

 

Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.


Pasal 62

Cukup jelas.


Pasal 63

Cukup jelas.


Pasal 64

Yang dimaksud dengan “data dukung terkait realisasi PNBP” antara lain volume, kurs, harga komoditi, dan tarif PNBP.

Data dukung Laporan PNBP Terutang antara lain tagihan PNBP dan piutang PNBP.


Pasal 65

Cukup jelas.


Pasal 66

Yang dimaksud dengan “data dukung terkait” antara lain volume dan tarif PNBP, program, unit eselon I penghasil PNBP, dan unit eselon I non-penghasil PNBP.


Pasal 67

Cukup jelas.


Pasal 68

Cukup jelas.


Pasal 69

Cukup jelas.


Pasal 70

Cukup jelas.


Pasal 71

Cukup jelas.


Pasal 72

Cukup jelas.


Pasal 73

Cukup jelas.


Pasal 74

Cukup jelas.


Pasal 75

Ayat (1)


Untuk pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat berkoordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 76

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain penyelenggara jasa survei dan Bank Sentral.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Pasal 77

Cukup jelas.


Pasal 78

Cukup jelas.


Pasal 79

Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain pengaturan mengenai tata cara pemberian penghargaan dan pengenaan sanksi atas pelaksanaan anggaran Kementerian/Lembaga.


Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Cukup jelas.


Pasal 82

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Yang dimaksud dengan “PNBP yang penghitungan dan/atau penetapannya membutuhkan earning process” antara lain PNBP yang dikelola melalui rekening khusus yang dibentuk oleh Menteri.

Yang dimaksud dengan “rekening khusus” antara lain PNBP dari bagian Pemerintah atas kerja sama sektor minyak dan gas bumi serta pengusahaan panas bumi.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Pasal 83

Cukup jelas.


Pasal 84

 

Cukup jelas.


Pasal 85

Ketentuan yang diatur dengan Peraturan Menteri antara lain proses bisnis PNBP BUN secara umum, end-to-end proses bisnis secara khusus PNBP BUN sesuai karakteristik masing-masing (antara lain PNBP minyak dan gas bumi, panas bumi, dan kekayaan negara dipisahkan) mulai dari perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban.


Pasal 86

Cukup jelas.


Pasal 87

Cukup jelas.


Pasal 88

Cukup jelas.


Pasal 89

Cukup jelas.


Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.


Pasal 92

Cukup jelas.



 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6563