Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › Bahas Berita › Potensi Kehilangan Pajak Hingga Miliaran Dollar
Potensi Kehilangan Pajak Hingga Miliaran Dollar
TEMPO.CO, Jakarta – Lembaga riset Prakarsa menyebut adanya aliran gelap yang keluar dan masuk ke Indonesia dari enam komoditas unggulan ekspor membuat potensi kehilangan penerimaan pajak mencapai US$ 11,1 miliar. Enam komoditas itu antara lain batubara, minyak sawit, karet, udang-udangan, tembaga, dan kopi.
"Potensi terbesar hilangnya penerimaan berasal dari batubara yaitu 5,32 miliar dolar Amerika Serikat," ujar peneliti Prakarsa Widya Kartika saat memaparkan penelitiannya di Restoran Madame Delima, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019. Potensi itu dihitung berdasarkan data ekspor pada kurun waktu 1989-2017.
Dalam penelitian itu, Prakarsa mengolah data dari United Nations Comtrade Database dengan klasifikasi harmonize system. Untuk mengestimasi aliran keuangan gelap, ia menggunakan pendekatan global financial integrity yang menghitung kesalahan tagihan perdagangan baik berupa over-invoicing maupun under-invoicing.
Selain dari batubara, kerugian lain yang juga cukup besar diakibatkan praktik ekspor under-invoicing pada komoditas minyak sawit dan karet yang jika dijumlahkan mencapai US$ 4 miliar. Sementara, ekspor under-invoicing pada tiga komoditas lain menyebabkan potensi kerugian di bawah US$ 1 miliar. "Angka ini dihitung berdasarkan total ekspor under-invoicing pada tahun tersebut dengan tarif PPh badan pada tahun tersebut," kata Widya.
Dari tahun ke tahun jika dilihat secara lebih detail, Widya mengatakan nominal potensi kehilangan penerimaan pajak akibat ekspor under-invoicing ekspor pada enam komoditas ekspor unggulan semakin besar. Potensi kehilangan terbesar terjadi pada tahun 2001 dan 2017 dengan nilai total mencapai US$ 900 juta.
Meskipun secara nominal potensi kehilangan penerimaan pajak semakin besar, Ia berujar jika membandingkan dengan nilai ekspor pada enam komoditas tersebut, potensi kehilangan penerimaan pajak semakin menurun setelah tahun 2005. Potensi kehilangan penerimaan pajak terbesar relatif terhadap nilai eksporjustru terjadi pada 2004 dimana potensi kehilangan penerimaan pajak mencapai 5,80 persen dari total nilai ekspor akibat praktik ekspor under-invoicing.
"Secara rata-rata potensi kehilangan penerimaan negara karena praktik under-invoicing pada enam komoditas ekspor unggulan Indonesia adalah 3,27 persen per tahun," ujar Widya.
Widya mengatakan semua aktivitas, baik under maupun over invoicing dalam perdagangan masuk dan perdagangan keluar akan menimbulkan kerugian bagi negara yang terlibat. "Global financial integrity menjelaskan bahwa under-invoicing ekspor digunakan untuk mengurangi pajak dan royalti di dalam negeri," ujar dia. Dengan mencatat ekspor lebih rendah dari nilai yang sebenarnya tercatat di negara tujuan, perusahaan akan membayar pajak pendapatan dan royalti lebih rendah dari semestinya.
Sementara, ekspor over-invoicing dilakukan untuk mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak ekspor yang berlaku. Sebabnya, menurut Widya, pemerintah memberikan stimulus ekspor berupa tidak akan dikenal PPN untuk barang-barang ekspor. Di beberapa negara, stimulus yang diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan ekspor adalah dengan memberikan pengurangan bea impor dan PPN pada bahan baku industri yang berorientasi ekspor.
"Dengan melakukan ekspor over-invoicing, perusahaan akan mendapatkan keuntungan dari pengurangan bea impor atas impor bahan baku dan pengurangan PPN untuk barang yang diekspor," kata Widya.
Atas temuan itu, juru bicara Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama belum mau berkomentar banyak. "Kami pelajari dulu hasil riset tersebut," kata dia dalam pesan singkat.
https://bisnis.tempo.co/read/1190226/aliran-duit-g elap-ri-berpotensi-kehilangan-pajak-usd-11-m/full& view=ok
ini namanya tax planning.. hehehe