Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums PPh Badan PMK RI Nomor 207/PMK.010/2015 tentang perubahan kedua atas PMK RI Nomor 105/PMK.03/2009

  • PMK RI Nomor 207/PMK.010/2015 tentang perubahan kedua atas PMK RI Nomor 105/PMK.03/2009

     ktfd updated 9 years ago 3 Members · 5 Posts
  • nurdian

    Member
    8 December 2015 at 5:39 pm

    Perlakuan Perpajakan Atas Penghapusan Piutang Yang Tidak Dapat Ditagih (Write Off)

    A. Sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pada Pasal 6 disebutkan bahwa Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
    Biaya yang dimaksud tersebut termasuk biaya sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h yaitu piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat sebagai berikut :
    1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial ;
    2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak ; dan
    3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Instansi Pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
    4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

    Atas Pasal 6 UU PPh tahun 2008 ditegaskan dan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasian Bruto.
    1. Pasal pada PMK RI Nomor 105/PMK.03/2009 yang menegaskan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU
    PPh :

    – Pasal 3 ayat (1) :
    “Piutang yang nyata-nyata, tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan” :
    a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan;
    b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
    c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

    2. Beberapa Pasal yang pada PMK RI Nomor 105/PMK.03/2009 yang tidak diatur pada Pasal 6 UU PPh tahun 2008 adalah sebagai berikut :

    – Pasal 3 ayat (2) :
    “persyaratan seperti Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya”.
    – Pasal 3 ayat (4) :
    “piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)”
    – Pasal 4 ayat (1) :
    “Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf b harus mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
    – Pasal 4 ayat (2) :
    “Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara melampirkan’ :
    a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
    b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;atau
    c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
    d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapukan yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.
    – Pasal 5 :
    “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih”

    B. Pada 9 Maret 2010 terbit PMK RI Nomor 57/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas PMK RI Nomor 105/PMK.03/2009, terdapat poin perubahan tentang persyaratan piutang tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto pada pasal 3 ayat (1) huruf a sebagai berikut :

    ‘’Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan”;

    dihapus dan diubah menjadi

    “ telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersil”

    C. Pada 20 November 2015 kembali diterbitkannya perubahan peraturan yaitu melalui PMK RI Nomor 207/PMK.010/2015 tentang perubahan kedua atas PMK RI Nomor 105/PMK.03/2009 dengan beberapa poin perubahan sebagai berikut :

    – Pasal 3 ayat (1) huruf c :
    “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu”
    diuraikan menjadi
    “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:
    1. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
    2. terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut;
    3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
    4. adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu”
    Terdapat penghapusan kata “atau” yang menyambungkan keempat poin diatas sehingga menimbulkan penafsiran bahwa poin 1 dan poin 2 merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi dan ditambah dengan syarat wajib memilih antara poin 3 atau poin 4.
    – Pasal 5

    “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih”.

    diubah menjadi

    1. Dikecualikan dari keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang berasal dari plafon utang sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari satu kreditur.
    2. Ketentuan mengenai pengecualian keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku untuk penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dibebankan sejak Tahun Pajak 2015.

    Jika melihat kembali ke Pasal 6 ayat (1) huruf h poin 3 UU PPh Tahun 2008 terdapat perbedaan kelengkapan persyaratan dengan Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK RI Nomor 207/PMK.010/2015 untuk dapat mengakui beban atas piutang yang tidak dapat ditagih dimana.
    Perbedaan tersebut dilihat dengan tidak terdapatnya kata “atau” yang menyambungkan poin 1, 2 dan 3 sehingga dapat disimpulkan bahwa PMK RI Nomor 207/PMK.010/2015 mewajibkan Wajib Pajak untuk memenuhi persyaratan apa yang disebutkan pada poin 1 dan 2 dan wajib memilih antara yang disebutkan pada 3 atau 4.
    Perbedaan ini menjadikan pemahaman yang multitafsir yang seharusnya Peraturan Menteri Keuangan tidak boleh merubah Undang-Undang Negara dimana Undang-Undang Negara mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi.

  • nurdian

    Member
    8 December 2015 at 5:39 pm
  • destasukara

    Member
    8 December 2015 at 6:03 pm

    Intinya yang tadinya lebih sederhana menjadi lebih rumit (kembali ke awal).

  • ktfd

    Member
    10 December 2015 at 10:20 am
    Originaly posted by nurdian:

    Perbedaan ini menjadikan pemahaman yang multitafsir yang seharusnya Peraturan Menteri Keuangan tidak boleh merubah Undang-Undang Negara dimana Undang-Undang Negara mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi.

    pinter

  • nurdian

    Member
    10 December 2015 at 1:56 pm

    kesimpulannya apakah boleh kita sebagai WP berpegang tetap kepada UU PPh? walau dalam PMK telah terdapat perubahan makna persyaratan wajib.

Viewing 1 - 5 of 5 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now