Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › PPh Badan › Perlakuan PPh 23 Jasa Konstruksi yang telah di ubah menjadi PPh Final
Perlakuan PPh 23 Jasa Konstruksi yang telah di ubah menjadi PPh Final
Dear all,
Waktu pelaporan SPT tahunan semakin dekat namun sampe saat ini belum ada juklak untuk perlakuan PPh 23 Jasa Konstruksi yang telah menjadi PPh Final. Padahal kan sebelum dilaporkan sebagai PPh Final, PPh 23 nya mesti di PBK kan dulu toh? Secara yang mesti di PBK kan adalah transaksi mulai 1 Januari 2008 hingga yang transaksi terakhir yang masih make PPh 23 yang tentu saja jumlahnya segambreng (dalam kasus saya : 250an kontraktror x 7 transaksi x 9 bulan). jadi gak mungkin dong dalam waktu semepet gini kita bikin PBK secara normal. 1 bukti potong saja mesti dilengkapi minimal 3 jenis lampiran. jadi menurut hemat saya, ada dong juklak khusus yang mengatur ini. kira2 rekan2 udah ada bocoran belum? kalo ada mohon diinformasikan dong…tanx berat sebelumnya..!Juklak yang sudah ada adalah memang pemindahbukuan dan paling lambat bulan desember 2008
Dear All,
1. Laksanakan sesuai kemampuan personil yang ada;
2. Belum ada Kepastian Hukum antara PER-70/PJ/2007 dan PP No. 51 Tahun 2008 serta UU No. 38 Tahun 2008 PPh Paal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2)
3. Beritanya sbb:AKI: PPH PPh ATAS JASA KONSTRUKSI JANGAN BERLAKU SURUT
JAKARTA, 2 Februari 2009
Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) minta agar pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2008 tentang pajak atas penghasilan dari kegiatan usaha jasa konstruksi jangan berlaku surut.
"Permintaan ini agar kontraktor yang tanda tangan pekerjaan pertengahan 2009 tetap dapat menikmati keuntungan," kata Ketua Umum AKI, Sudarto, di Jakarta, Minggu (1/2).
Lebih jauh diungkapkan, PP No.51 tahun 2008 baru ditetapkan pada 23 Juli 2008, tetapi berlaku surut bagi semua proyek yang ditanda tangani sejak 1 Januari 2008.
Kontraktor sebelumnya tidak memasukkan penghitungan PPh final saat penawaran tender maupun dalam rencana bisnis sehingga ketentuan itu menjadi beban tambahan yang membuat perusahaan kehilangan keuntungan.
Kontraktor yang meneken kontrak sebelum Juli 2008, masih menggunakan acuan PP No.140/2000 yaitu menggunakan pajak progresif berdasarkan profit atau laba usaha.
Sudarto mengemukakan, rata-rata laba kotor kontraktor hanya berkisar 1-4%, sehingga pajak progresifnya berkisar antara 0,5-2%.
"Sekarang, tiba-tiba harus bayar pajak 3%. Bisa-bisa raportnya merah semua. Itu sangat memberatkan karena sebelumnya kami tidak melakukan persiapan," katanya.
Sudarto mengatakan, AKI menolak pemberlakuan PP No.51/2008 tersebut dan sudah berkirim surat kepada Departemen Keuangan dan Komisi XI DPR untuk direvisi.
Ada dua hal yang diusulkan untuk ditinjau kembali. Pertama waktu pemberlakuan. AKI meminta penetapan PPh final tidak berlaku surut pada proyek yang ditandatangani pada 1 Januari 2008.
"Sebab itu tidak adil, pemerintah telah menciptakan ketidakpastian hukum. Aturan itu sebaiknya diberlakukan untuk kontrak yang diteken sejak 1 Agustus 2008, setelah PP ditetapkan," ujarnya
Poin kedua yang diusulkan untuk ditinjau kembali adalah besaran tarif pajak. AKI mengusulkan PPh final untuk jasa konstruksi kelas menengah atas itu sebesar 2% dari laba bersih, sebab keuntungan yang diperoleh kontraktor jarang melebihi di atas 4%.
Sekjen AKI, Victor Sitorus, menambahkan, sepanjang 2008 iklim usaha jasa konstruksi penuh ketidakpastian karena fluktuasi harga bahan bangunan yang tinggi. Pemberlakuan aturan itu secara mendadak menambah beban kontraktor.
"Perusahaan konstruksi semakin sulit meningkatkan labanya pada 2008. Daya saingnya semakin melemah dan menghambat kemampuan kontraktor untuk
kspansi.Dia mengemukakan, penetapan PPh final sebenarnya sudah ditunggu-tunggu kontraktor karena dapat menyederhanakan perhitungan pajak. Tetapi, waktu pemberlakuan secara surut akan merugikan para kontraktor yang
enandatangani proyek sebelum aturan ditetapkan.MERASA KEBERATAN PARA KONTRAKTOR
MENGADU KE DPRKontan Online, 2 Februari 2009
JAKARTA.Sepertinya kekesalan para kontraktor semakin memuncak. Hal ini terkait dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 51/2008 tentang pungutan pajak penghasilan (PPh) final sebesar 3 % yang bersifat final. Peraturan ini memang mulai diberlakukan secara efektif pada Januari 2008 sejak disosialisasikan pada Juli 2008.
Peraturan ini membuat para kontraktor menjadi kesal. Pasalnya, aturan pajak tersebut berlaku surut. Artinya, kontrak kerja yang sudah diteken pada Januari 2008 pun harus menyetor PPh sebesar 3%.
Padahal mereka sudah menyetor pajak sebesar 2% yang sifatnya progresif sesuai dengan UU PPh nomor 36/2008. "Jadi kami harus menyetor sisanya kepada negara," tandas Ketua Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) Sudarto, Minggu (1/2) di Jakarta.
Makanya, pada pekan ini, kontraktor akan mengadukan nasib mereka ke komisi XI DPR agar pemberlakuan PPh baru tersebut bisa ditunda. Mereka menginginkan supaya PPh yang baru itu diberlakukan pada Agustus 2008. "Jadi tidak berlaku surut," tandasnya.
Direktur PT Waskita Karya, Bambang E Marsono, bilang sejak pemberlakuan PPh tersebut keuntungan kontraktor menjadi minus. Pasalnya saat ini omzet mereka langsung kena potongan 3%. Dan ini juga berlaku untuk pekerjaan yang sifatnya subkontraktor. "Dulu kan dipotong berdasarkan laba yang diperoleh. Dan kalau tidak ada laba maka tidak kena PPh," tandasnya.
Saat ini kontraktor terpaksa melakukan penyesuaian besaran pajak sesuai dengan PPh yang baru terutama untuk kontrak Januari 2008. Mereka pun membayar kekurangannya itu kepada negara. Tapi ada juga memilih untuk menahan diri terlebih dulu sampai ada kepastian.
Sebenarnya sejak pemberlakuan pajak tersebut, kontraktor mulai mengalami penurunan laba secara signifikan. Jika tadinya kontraktor rata-rata bisa mendapatkan laba sebelum pajak sebesar 3,22 % dari nilai omzet, maka sejak terkena PPh final 3% nilai labanya menjadi minus.
Keinginan para kontraktor untuk bertemu dengan DPR dinilai terlalu berlebihan. Pihak Dirjen Pajak mengatakan, pemberlakuan PPh hanya dikenakan untuk kontrak setelah 1 Agustus 2008. Mereka berdalih sedang merevisi kembali waktu pemberlakuan tersebut. "Saat ini proses revisinya sedang berlangsung," tandas Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan masyarakat Ditjen Pajak, Djoko Slamet Surjoputro.
Kendati demikian, besaran tarif yang diberlakukan tidak berubah. Ada empat tarif yang diberlakukan. Pertama PPh 2% untuk penyedia jasa konstruksi golongan usaha kecil. Kedua, PPh 3% untuk usaha skala menengah dan besar yang sudah bersertifikat. Dan ketiga, adalah Pph 4% untuk usaha skala menengah dan besar yang belum mengantongi sertifikasi usaha. Serta keempat adalah tarif 6% untuk penyedia jasa perencanaan dan pengawasan yang tidak bersertifikat.
Demikian
Regard's
RITZKY FIRDAUS.
Undang-Undang adalah kepastian hukumnya Pak, Hierarki-nya pun paling tinggi dalam peraturan perundangan. Mohon diperiksa lagi. Sejak 1 Januari 2009 sudah tidak final koq.
Salam,
Winarto Sugondo