Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › Perpajakan Internasional › Penjelasan Tax Treaty Indonesia – Australia
Penjelasan Tax Treaty Indonesia – Australia
Hari ini kami menerima Invoice atas Tagihan Consulting Fee dari Vendor kami yang ada di Australia. Dalam kontrak perjanjian kerja disebutkan Pembayaran Consulting Fee dibayarkan hanya ke satu orang (Leadernya) Dari Leader tersebut membawahi beberapa Tim dan setiap individu dari Hadir di Indonesia dengan mengerjakan pekerjaan yang berbeda-beda. Pembayaran dilakukan berdasarkan Jam Kerja dan setiap Individu tersebut bekerja 8 Jam sehari (dalam seminggu 5 hari kerja)
Waktu berakhirnya consulting fee ini tidak disebutkan dalam kontrak perjanjian kerja. Hanya disebutkan Bulan bekerjanya saja dari Juli s.d November.Dari invoice yang kami terima tersebut mohon penjelasan dari rekan-rekan sekalian mengenai case kami ini.
1. Mohon Penjelasan atas Article 7 Business Profits dan Article 14 Independent Personal Service dalam Tax Treaty Indonesia – Australia?
2. Atas Invoice Tagihan Consulting Fee dari Vendor ini masuk dalam kategori Article berapa dalam Tax Treaty Indonesia – Australia dengan kondisi yang kami sampaikan diatas?
3. Berapakah Tarif pajak yang harus kami kenakan jika memang harus dilakukan pemotongan pajak di Indonesia?Salam
Rekan Zullyanto,
Case ini menarik, karena jasa konsultasi ini dilakukan oleh vendor perorangan bukan dengan enterprise(perusahaan). Menjadi menarik karena kemudian si vendor perorangan ini kemudian menunjuk orang2 lain (entah bawahannya, partnerntya atau subkonnya) untuk mengerjakan proyek tsb di Indon. Penerapan P3B sangat bisa menjadi multitafsir. untuk sementara jawaban sy seperti ini:
1) karena vendor perorangan, maka diterapkan art 14.
2) art 14 tidak berhubungan dengan art 7. Article 7 hubungannya dengan article 5.
3) bulan bekerja dalam kontrak Juli-Nov. Bila diasumsikan para individu tsb berada di Indo penuh selama bulan Juli s.d Nov maka kehadirannya d Indo adalah 153 hari, ini sudah lebih dari 120 hari yg disyaratkan dalan art 14. Artinya Indo sudah bisa memajak.Sementara itu dulu jawaban sy rekan…
Kalo vendornya sendiri punya pendapat sendiri ga mengenai pajak yg akan dipotong? Atau ngikut2 aja? Jangan2 Vendornya punya pendapat pajaknya tdk diptong dan ia punya alasana sendiri….Salam.
- Originaly posted by adi5877:
Case ini menarik, karena jasa konsultasi ini dilakukan oleh vendor perorangan bukan dengan enterprise(perusahaan). Menjadi menarik karena kemudian si vendor perorangan ini kemudian menunjuk orang2 lain (entah bawahannya, partnerntya atau subkonnya) untuk mengerjakan proyek tsb di Indon. Penerapan P3B sangat bisa menjadi multitafsir. untuk sementara jawaban sy seperti ini:
1) karena vendor perorangan, maka diterapkan art 14.
2) art 14 tidak berhubungan dengan art 7. Article 7 hubungannya dengan article 5.
3) bulan bekerja dalam kontrak Juli-Nov. Bila diasumsikan para individu tsb berada di Indo penuh selama bulan Juli s.d Nov maka kehadirannya d Indo adalah 153 hari, ini sudah lebih dari 120 hari yg disyaratkan dalan art 14. Artinya Indo sudah bisa memajak.Sementara itu dulu jawaban sy rekan…
Kalo vendornya sendiri punya pendapat sendiri ga mengenai pajak yg akan dipotong? Atau ngikut2 aja? Jangan2 Vendornya punya pendapat pajaknya tdk diptong dan ia punya alasana sendiri….Terimakasih atas responnya rekan,
Bisa minta tolong dijelaskan perbedaan antara art 14 dengan art 7?
Saya setuju dengan rekan art 7 hubungannya dengan art 5, Namun dalam Tax Treaty (P3B) Ina-Aus tidak dijelaskan tarif pajak yang akan dikenakan dalam art.14 oleh karena itu atas art.14 saya merefer ke art.5(Bukan art 7).
Dan apakah tarif pajak yang dikenakan di Indo atas jasa ini mengikuti tarif pasal 17 UU PPh?
Mohon penjelasannya kembali,
Salam,
Rekan Zullyanto,
Beda art 7 dan art 14,
Art 7 selalu merujuk kata "Permanent Establishment" (lihat seluruh ayat pada art 7). "Permanent Establishment" yang dimaksud adalah "Permanent Establishment" pada art. 5.
Sedangkan art.14 adalah art yg mempunyai kekuatan untuk berdiri sendiri. Art 14 diterapkan apabila seorang individu melakukan independent service dimana dia sendiri yg melakukannya.
Oleh sebab itu, setelah saya baca2 lagi commentary on art 14 paragraph 9 UN Model 2011 (http://www.un.org/esa/ffd/documents/UN_Model_2011 _Update.pdf) sangat eksplisit menyebutkan kapan menggunakan art 14 dan kapan menggunakan art 5 ayat 3b. Selengkapnya saya kutip :
"The former Group of experts discussed the relationship between
Article 14 and subparagraph 3(b) of Article 5. It was generally agreed that
remuneration paid directly to an individual for the performance of activity
in an independent capacity was subject to the provisions of Article 14.
Payments to an enterprise in respect of the furnishing by that enterprise of
the activities of employees or other personnel are subject to Articles 5 and 7"Kembali ke kasus rekan….
Setelah saya baca lebih seksama, kelihatannya kasus rekan masuk kategori art 5 ayat 2j P3B Indo-Aus (PE services bukan art 14 (independent services). Apakah Indonesia akan mengenakan pajak atau tidak? Lihat apakah sudah lewat time-test di psl 5 ayat 2j tsb (120 hari).
Demikian rekans…
- Originaly posted by adi5877:
Apakah Indonesia akan mengenakan pajak atau tidak? Lihat apakah sudah lewat time-test di psl 5 ayat 2j tsb (120 hari).
Jika saya hitung sudah masuk dalam time test hal itu berarti harus dilakukan pemajakan di Indonesia. Jika memang harus dipajaki di Indonesia bagaimana perhitungan pajaknya? apakah dikenakan dari total tagihan keseluruhan? (dari periode Juli – Nov) karena pembayaran dilakukan setiap bulan
atau hanya dibayarkan dari sisa tagihan saja? misalnya dari tagihan november ini?
Salam,
Rekan Zullyanto,
Sesuai ilustrasi dan penjelasan yg ada pada Commentary on art 5 para.19 OECD Model, demikian juga yang diadopsi oleh US Model (Technical Explanation-nya art.5 para.3): keberadaan PE dihitung sejak pertama kali PE tsb ada. Jadi praktek/konsep ini kelihatannya praktek/konsep yg sudah diterima oleh banyak pihak. Bunyi Technical Explanation-US Model bahkan sangat eksplisit selengkapnya sy kutip :
"If the twelve-month threshold is exceeded, the site or project constitutes a permanent establishment from the first day of activity."
US sangat menyadari hal ini, sehingga P3B Indo-US yg mengatur ttg time test untuk PE-Serivce pengaturannya agak berbeda dengan kebanyakan P3B Indo lainnya. Selengkapnya sy kutip art 5 ayat 2j :
"the furnishing of services, including consultancy services, through employees or other personnel engaged for such purposes, but only where activities of that nature continue (for the same or a connected project) for more than 120 days within any consecutive 12-month period, provided that a permanent establishment shall not exist in any taxable year in which such services are rendered in that State for a period or periods aggregating less than 30 days in that taxable year;
Rekan,
harap perhatikan kata2 yg sy garis bawahi. Kata2 ini yg membedakan dan maknanya sangat krusial.Kembali pada kasus rekan, praktek kantor2 pajak kita sejauh yg sy tau, akan memotong/menghitung seluruh nilai pembayaran mulai dari bulan pertama di bayarkan, bukan dari sisa tagihan. Rekan akan memotong PPh pasal 23(atau 4 ayat 2) dari seluruh nilai kontrak. Kalo aturan tertulis yg mengatakan begitu sy blum ketemu. Mungkin ada rekan ortax lain yg bisa sharing…
Salam
- Originaly posted by adi5877:
Kembali pada kasus rekan, praktek kantor2 pajak kita sejauh yg sy tau, akan memotong/menghitung seluruh nilai pembayaran mulai dari bulan pertama di bayarkan, bukan dari sisa tagihan
Rekan adi5877, saya konfirmasikan hal ini ke AR saya, dan menyatakan bahwa pajak dipotong dari penghasilan setelah melewati timetest? atau sisa tagihan. dan tarif pasal yang dikenakan adalah tarif pasal 17 UU PPh.
adakah dasar aturan dari rekan adi5877 yang mendukung alasan dari AR saya itu?
Salam,
Rekan Zullyanto,
Kalo sy taunya bahwa seluruh kewajiban pajak WPLN tsb dihitung dari seluruh nilai bukan dari sisa. Dalam Techinal Explanation P3B Indo-USA bahkan menyatakan bagaimana posisi Indonesia, selengkapnya sy kutip penjelasan art. 5 khusus menyangkut PE Services:
"Where a resident of one Contracting State furnishes the services of personnel or
employees in the other State, the resident will be considered to have a permanent establishment in the latter State if the services continue at the same or a connected project for more than 120 days in a twelve-month period. If such services are rendered for less than 30 days in any taxable
year, a permanent establishment will not exist for that year, although the 30 days will count toward the threshold of 120 days in twelve months.These 120-day thresholds are shorter than the minimum of 183 days preferred by the United States in Conventions with developing countries. (The U.S. Model provides a 12-month threshold for construction sites and drilling rigs and no special rule for services.) They represent a compromise with the Indonesian position that the threshold for such activities should not exceed 90 days. In the absence of the Convention, the liability to taxation in Indonesia would generally begin on day one."
Dari kalimat diatas dapat disimpulkan bahwa US pun tau bahwa Tax Authority Indonesia akan menghitung kewajiban pajak sejak hari pertama PE. Ini konsisten dengan aturan bahwa WPLN tsb karna punya BUT di Indo akan menjadi WPDN yg akan melaporkan seluruh nilai kontraknya dalam SPT tahunan. PPh 21/23/4(2) yg sudah diptong akan menjadi kredit pajak dalam SPT tahunan WPDN tsb.
Karna kalo PPh diptong/dihitung dari sisa tagihan, ini bisa dipandang oleh kantor pajak sebagai peluang bagi WP untuk tax avoidance…katanya sih gitu 🙂
Jadi kita bayar aja seluruh tagihan sebelum lewat time test…jadi pas udah lewat time test, sama sekali tdk ada lagi pembayaran sehingga tdk ada lg pajak yg dilapor.
Sednagkan tarif PPh pasal 17 akan digunakan, namun nanti pada saat si BUT memasukkan SPT tahunannya.
Demikian rekan…kalo sy menafsirkan kasus rekan bgitu. kalo rekan masih ingin lebih yakin ada baiknya rekan tanya langsung ke kantor pusat pajaknya, kalo ga salah bagian pajak internasional.
Salam….
Rekan Zullyanto,
sy br aja nanya temen yg kerja di kantor pajak. Pendapatnya mirip sy:
1. WPLN tsb berstatus menjadi BUT –> BUT adalah WPDN –> wajib masukkan SPT tahunan badan. Di SPT tahunan badan yg dilaporkan adalah penghasilan dari seluruh nilai kontrak.
2. Sisa pembayaran wajib rekan potong PPh psl 21/23/4(2), yg mana ini nanti akan menjadi kredit pajaknya si BUT tsb. Jadi rekan tidak emmotong dari nilai pembayaran seluruhnya (pembayaran2 sebelumnya) – kalo pendapat sy sebelumnya diatas, rekan potong dari nilai seluruh kontrak, bukan dari sisa.
Sy setuju semua dengan pendapat rekan sy tersebut termasuk point no 2 nya.
Salam,