Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › PPN dan PPnBM › Ketentuan Baru dalam PP 1/2012 (1)
Ketentuan Baru dalam PP 1/2012 (1)
hehehe, rekan ktfd, menurut saya kita membahas di sini hanya sebatas teori,makanya saya mau kita kesampingkan dulu sikap subjektif kita terhadap oknum fiskus. klo mau bahas ttg oknum fiskus secara teori mungkin bisa di thread lain.
setau saya yang dibahas bahwa dengan adanya pp pengertian mengenai pengenaan tanggung renteng berubah dari pengertan dalam uu. Malah rekan ktfd menyatakan bahwa sebaiknya dalam pp itiu, kata "atau" diubah menjadi " dan".
tapi klo kita masih membahas ini dgn membawa2 adanya oknum, saya membaca sajalah.
salam tanpa oknum.
wah ada yang ngambek nih. begini rekan2 semua, memang saya ga terlibat dlm pembuatan pp tsb. tapi bagi saya, pd psl 4 ayat 2 di pp tersebut, sudah secara gamblang mengatakan pembeli tidak bertanggung jawab secara renteng dalam hal penjual dapat ditagih atau pembeli dapat menunjukkan bukti sudah bayar ppn.
Ini satu kesatuan kalimat. Saya pribadi menerjemahkan psl 4 ayat 2 justru saya harus berpraduga tak bersalah terhadap pembeli, kecuali saya bisa membuktikan bahwa penjual tidak dapat ditagih sekaligus juga ternyata si pembeli tidak ada bukti.
Bila si penjual tidak dapat ditagih, bagi saya belum bisa si pembeli dikenakan tanggung renteng, kita cek dulu ke si pembeli, punya bukti sudah bayar ppn nya ga?
Kalau katanya ada oknum yang bilang walaupun penjual dapat ditagih, tapi masih tanggung renteng, apa dasar hukumnya? Bawa aja ke pengadilan pajak, saya yakin si oknum akan dimaki2 hakim, " ya mbok belajar bahasa indonesia dulu, baru menerbitkan skpkb".Pindah thread sebelah yuuuuk..
- Originaly posted by ktfd:
Originaly posted by hanif:
Tambahan
Makna yang sangat berbeda baru akan terjadi bila PP mengutip aturan yang ada di dalam UU, kemudian mengganti kata "dan" menjadi "atau" sehingga aturannya akan jadi seperti ini :Awalnya
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabilan ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.DIGANTI MENJADI :
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabilan ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa atau pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
kalau ini yang terjadi, baru KACAU….
bung hanif, mohon maaf… lagi telmi… apa ya maksudnya? jika berkenan mohon menjelaskan
dgn lebih jelas kepada saya yg tidak mengerti ini…
salam.rekan ktfd,
ini hanya semacam penegasan dari saya bahwa penggunaan kata "atau" didalam PP "hakekatnya" sudah selaras dengan ketentuan yang ada di UU. Sebab, PP menggunakan kalimat negatif.
Sebaliknya, bila PP mengcopy pasti ketentuan yang ada di UU (kalimat positif), namun mengganti kata hubung "dan" menjadi "atau", maka, PP tersebut jelas sangat menyimpang dari UU.Demikian….
Salam
- Originaly posted by j0hn:
wah ada yang ngambek nih. begini rekan2 semua, memang saya ga terlibat dlm pembuatan pp tsb. tapi bagi saya, pd psl 4 ayat 2 di pp tersebut, sudah secara gamblang mengatakan pembeli tidak bertanggung jawab secara renteng dalam hal penjual dapat ditagih atau pembeli dapat menunjukkan bukti sudah bayar ppn.
Ini satu kesatuan kalimat. Saya pribadi menerjemahkan psl 4 ayat 2 justru saya harus berpraduga tak bersalah terhadap pembeli, kecuali saya bisa membuktikan bahwa penjual tidak dapat ditagih sekaligus juga ternyata si pembeli tidak ada bukti.
Bila si penjual tidak dapat ditagih, bagi saya belum bisa si pembeli dikenakan tanggung renteng, kita cek dulu ke si pembeli, punya bukti sudah bayar ppn nya ga?bung john, ini sekali lagi membuktikan bahwa memang anda ini termasuk fiskus yg
sangat baik dalam memahami dan melaksanakan aturan pajak… salut…
namun sayangnya, menurut saya, fiskus yg seperti anda ini kok ya cuman "oknum"
fiskus bagus, artinya "cuman beberapa dari sekian banyak"…
sehingga, dengan adanya pp yg memelesetkan "dan" jadi atau serta adanya "oknum"
fiskus bagus yg cuman beberapa (ini menurut saya lho…), maka mau tidak mau saya
harus berpikiran bahwa pp tsb memang akan memberi kesempatan bagi "oknum" fiskus
yg kurang bagus (yg tentunya tidak seperti anda bung john…) utk menerjemahkan
dan melaksanakan tanggung renteng seperti yg saya ajukan/kemukakan (meskipun
hal tsb jelas2 melanggar prinsip yg benar)… ini hemat saya…Originaly posted by j0hn:Kalau katanya ada oknum yang bilang walaupun penjual dapat ditagih, tapi masih tanggung renteng, apa dasar hukumnya? Bawa aja ke pengadilan pajak, saya yakin si oknum akan dimaki2 hakim, " ya mbok belajar bahasa indonesia dulu, baru menerbitkan skpkb".
begitu ya rekan john…
salam. - Originaly posted by wannabewongkpp:
hehehe, rekan ktfd, menurut saya kita membahas di sini hanya sebatas teori,makanya saya mau kita kesampingkan dulu sikap subjektif kita terhadap oknum fiskus. klo mau bahas ttg oknum fiskus secara teori mungkin bisa di thread lain.
setau saya yang dibahas bahwa dengan adanya pp pengertian mengenai pengenaan tanggung renteng berubah dari pengertan dalam uu. Malah rekan ktfd menyatakan bahwa sebaiknya dalam pp itiu, kata "atau" diubah menjadi " dan".
sangat setuju bung wannabe… namun itu cuma keniscayaan atau akibat sampingan
yg memang tidak terhindarkan… dan memang tidak ada maksud utk mempersalahkan
ataupun mengambinghitamkan para "oknum" fiskus tsb… hanya saja, saya menjelaskan
bahwa para "oknum" fiskus tsb bisa memanfaatkan "celah" yg disediakan pp… hanya
itu dan tidak lebih tidak kurang…
salam. - Originaly posted by hanif:
rekan ktfd,
ini hanya semacam penegasan dari saya bahwa penggunaan kata "atau" didalam PP "hakekatnya" sudah selaras dengan ketentuan yang ada di UU. Sebab, PP menggunakan kalimat negatif.
Sebaliknya, bila PP mengcopy pasti ketentuan yang ada di UU (kalimat positif), namun mengganti kata hubung "dan" menjadi "atau", maka, PP tersebut jelas sangat menyimpang dari UU.Demikian….
yo wis rekan hanif, tapi nanti tak cerna dulu yo… biar lebih mudeng… he3…
salam. - Originaly posted by wannabewongkpp:
Originaly posted by ktfd:
2. pp: kena tanggung renteng (sengaja gak pake "tidak", krn nanti diperdebatkan lagi…
dan lebih gak entek2…), jika: penjual "tidak" tertagih (normal), pembeli "tidak" berbukti
(normal), pembeli berbukti tp penjual "tidak" tertagih (abnormal), pembeli "tidak" berbukti
tp penjual tertagih (abnormal).
seharusnya tetap menggunakan kata tidak rekan, jangan diplintir PP-nya. di PP jelas tertulis : "Ketentuan pada ayat 1 tidak diberlakukan dalam hal … atau …. "
usahakan menggunakan kata2 persis dengan yang ada di UU dan di PP.rekan wannabe, baiklah kita pakai kata2 seharusnya yo:
1. uu ppn:
tanggung renteng, jika pembeli "tidak" berbukti sedangkan penjual "tidak" tertagih.
yg berarti:
"tidak" tanggung renteng jika: pembeli berbukti sedangkan penjual tertagih/"tidak" tertagih.2. pp:
"tidak" tanggung renteng jika: penjual tertagih, pembeli berbukti.
yg berarti:
tanggung renteng jika: penjual "tidak" tertagih, pembeli "tidak" berbukti,
penjual tertagih sedangkan pembeli "tidak" berbukti, pembeli berbukti sedangkan
penjual "tidak" tertagih.jadi sekali lagi, tampaklah perbedaan antara uu dan pp…
salam. rekan ktfd, menurut pp : tidak tanggung renteng jika : penjual tertagih atau pembeli berbukti. (kata atau nya jgn dihilangkan). bukankah itu satu kesatuan yg harus diuji keduanya. bila penjual tak tertagih, tidak serta merta menjadi tanggung renteng, kita harus uji yang kedua, pembeli berbukti atau tidak, kalau tidak, maka pembeli menjadi tanggung renteng. Kalau pembeli berbukti, maka pembeli tidak tanggung renteng. bagitu sebaliknya.
- Originaly posted by wannabewongkpp:
rekan ktfd, menurut pp : tidak tanggung renteng jika : penjual tertagih atau pembeli berbukti. (kata atau nya jgn dihilangkan).
he3… rekan wannabe… saya ini jadi bingung sendiri, bukankah kita di sini ini terus berdebat/
berdiskusi ttg perubahan "dan" jadi "atau" yg terus berkepanjangan tak ada ujung pangkalnya…oleh sebab itu, dalam pernyataan saya sebelumnya itu, saya sengaja tidak memakai kata2
baik "dan" maupun "atau", lagi pula saya juga menafsirkan aturan2 tsb "tidak hanya"
berdasarkan "tata/ilmu/cara berbahasa" an sich… melainkan berdasarkan logika,
jadi sudah tidak memperdebatkan penggantian "dan" jadi "atau"…sehingga, saya khawatir jika kita cuma berputar2 sekitar arti penggunaan "dan" maupun "atau", maka kita nanti akan melenceng jauh dr inti persoalan…
saya lihat sekilas di thread yg barupun, kelihatannya perdebatan arti "dan" dan "atau"
masih berlangsung terus, maka saya cuman mau bilang:
"everyone has their own perspective on tax issues" seperti semboyannya ortax…salam.
so, thread ini di close saja ?
- Originaly posted by wannabewongkpp:
so, thread ini di close saja ?
he3… ndak usahalah rekan wannabe… biarkan saja berlangsung alamiah… jk ndak ada
yg mau dan/atau mampu menanggapi dan/atau berpendapat, maka bukankah akan mati
dgn sendirinya gak perlu disuruh2 dan/atau diminta2… he3…
salam. UU:
Anda akan mendapatkan pengetahuan pajak bila ortax tidak sedang down dan anda tidak malas membaca komentar.
Struktur kalimat di UU= +,- ,dan –PP:
Pengetahuan pajak tdk akan bertambah dalam hal:
a.Website Ortax.org sedang down; atau
b.Anda malas membaca komentar
Struktur kalimat di PP= -, + atau +Kalau dibandingkan dg UU / PP sepertinya tdk ada yg beda.
Mohon koreksinya..- Originaly posted by simonalim:
UU:
Anda akan mendapatkan pengetahuan pajak bila ortax tidak sedang down dan anda tidak malas membaca komentar.
Struktur kalimat di UU= +,- ,dan –PP:
Pengetahuan pajak tdk akan bertambah dalam hal:
a.Website Ortax.org sedang down; atau
b.Anda malas membaca komentar
Struktur kalimat di PP= -, + atau +Kalau dibandingkan dg UU / PP sepertinya tdk ada yg beda.
Mohon koreksinya..sependapat bgt..
Menurut saya Pasal 16F UU PPN merupakan acuan utama tanggung renteng sedangkan Pasal 4 PP Nomor 1/2012 menjelaskan lebih lanjut mengenai uu tersebut. jadi pp tidak boleh berdiri sendiri karena pp tersebut merupakan peraturan pelaksana (penjelasan) uu.
Originaly posted by simonalim:UU:
Anda akan mendapatkan pengetahuan pajak bila ortax tidak sedang down dan anda tidak malas membaca komentar.
Struktur kalimat di UU= +,- ,dan –PP:
Pengetahuan pajak tdk akan bertambah dalam hal:
a.Website Ortax.org sedang down; atau
b.Anda malas membaca komentar
Struktur kalimat di PP= -, + atau +Kalau dibandingkan dg UU / PP sepertinya tdk ada yg beda.
Mohon koreksinya..sependapat.