Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums Lain-lain BPHTB dan PBB pada rumah sakit…

  • BPHTB dan PBB pada rumah sakit…

     wiranda updated 14 years, 10 months ago 5 Members · 9 Posts
  • wiranda

    Member
    23 January 2010 at 11:43 am
  • wiranda

    Member
    23 January 2010 at 11:43 am

    Dear rekan-rekan ortax….,
    Saya ingin menanyakan bagaimana perlakuan BPHTB dan PBB atas Rumah sakit??
    Mohon bantuannya, Terima Kasih…

  • vickyfitrah

    Member
    23 January 2010 at 11:52 am

    menurut pendapat saya BPHTB atas rumah sakit digolongkan sebagai BPHTB yang pengenaan BPHTB nya karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:

    -0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas)

    terima kasih,,,
    mohon dikoreksi kembali…

  • wiranda

    Member
    23 January 2010 at 1:36 pm

    Terima Kasih rekan vickyfitrah. apakah BPHTB tersebut ada peraturannya??
    Bagaimana dengan PBB rumahsakit?

    Mohon koreksinya…. Terima kasih…

  • Marcowaplau

    Member
    23 January 2010 at 8:36 pm

    perlu bantuan:
    ada kasus mengenai BPHTB gag ya ? kasus apa saja yang pernah terjadi di indonesi.
    thx.

  • Hanif

    Member
    24 January 2010 at 12:53 am
    Originaly posted by wiranda:

    Saya ingin menanyakan bagaimana perlakuan BPHTB dan PBB atas Rumah sakit??

    rekan wiranda, mungkin bisa dirinci lagi pertanyaannya mengenai BPHTB ini. Yang dimaksud kasusnya seperti apa?

    Kalau untuk PBB rumah sakit pemerintah, aturannya tersendiri. sedang untuk rumah sakit swasta ni dia aturannya :
    KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 796/KMK.04/1993

    TENTANG

    PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN ATAS RUMAH SAKIT SWASTA

    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    1. bahwa sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi, rumah sakit swasta dalam melakukan fungsi sosialnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan jasa-jasa kesehatan, telah berkembang sebagai institusi yang juga bersifat ekonomis dengan menitikberatkan pada upaya mencari keuntungan;
    2. bahwa walaupun terdapat pergeseran status dan fungsi rumah sakit swasta dimaksud, fungsi sosial rumah sakit swasta tetap melekat sebagai institusi yang memberikan jasa pelayanan kesehatan, sehingga turut menunjang program kesehatan nasional;
    3. bahwa sehubungan dengan butir a dan b, atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki/dikuasai/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta tersebut dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada jumlah tertentu atas pajak terutang dengan memperhatikan fungsi sosial rumah sakit tersebut;
    4. bahwa pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan dimaksud atas Rumah Sakit Swasta tersebut perlu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia;

    Mengingat :

    1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
    2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312);
    3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100);
    4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 158/KMK.04/1991 tanggal 13 Pebruari 1991 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan :

    KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN ATAS RUMAH SAKIT.

    Pasal 1
    (1) Yang dimaksud dengan Rumah Sakit Swasta dalam keputusan ini adalah Rumah Sakit Swasta IPSM (Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat) yang:

    1. 25% dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien yang tidak mampu;
    2. Sisa Hasil Usaha (SHU) digunakan untuk reinvestasi Rumah Sakit dalam rangka pengembangan Rumah Sakit dan tidak digunakan untuk investasi di luar Rumah Sakit;

    (2) Atas bumi dan/atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta IPSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 50% dari jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang seharusnya terhutang.

    Pasal 2

    Rumah Sakit Swasta Pemodal yang bukan merupakan Rumah Sakit Swasta IPSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan didirikan oleh suatu badan yang berbentuk Perseroan Terbatas, dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Pasal 3

    Atas bumi dan/atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta tetapi secara nyata tidak dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan secara langsung yang terletak di luar lingkungan Rumah Sakit, tetap dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Pasal 4

    Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 158/KMK.04/1991 tanggal 13 Februari 1991 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

    Pasal 5

    Pelaksanaan teknis keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.

    Pasal 6

    Keputusan ini mulai berlaku untuk tahun pajak 1993.

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman keputusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 20 Agustus 1993
    MENTERI KEUANGAN

    ttd

    MAR'IE MUHAMMAD

  • Robby2009

    Member
    24 January 2010 at 12:56 am

    Wouw, mantap rekan hanif.

  • Hanif

    Member
    24 January 2010 at 12:59 am

    untuk BPHTB rumah sakit ni dia :
    KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR KEP – 221/PJ./2002

    TENTANG

    TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    Menimbang :

    Bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

    Mengingat :

    1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);
    2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan :

    KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.

    Pasal 1

    Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam hal :

    1. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Obyek Pajak yaitu :
    1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
    2. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
    3. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembang dan dibayar secara angsuran; atau
    4. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.

    2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu yaitu :
    1. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Obyek Pajak;
    2. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
    3. Wajib Pajak badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
    4. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
    5. Wajib Pajak badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak.
    6. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor , gempa bumi, gunung meletus, huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta; dan
    7. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/dudanya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah.

    3. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.

    Pasal 2
    (1) Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut :

    1. sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3;
    2. sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2, angka 4, huruf b angka 1, angka 2, angka 5, dan angka 6 serta huruf c;
    3. sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1, huruf b angka 3 dan angka 7; atau
    4. sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 4.

    (2) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

    Pasal 3
    (1) Wajib Pajak dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebelum melakukan pembayaran dan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang sebesar perhitungan setelah pengurangan.

    (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas wajib mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6).

    (3) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan surat permohonan pengurangan BPHTB dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang tidak melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6) kecuali terjadi keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak.

    (4) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan surat permohonan pengurangan BPHTB yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak tanggal SSB sebelum pembetulan sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan.

    (5) Apabila setelah dilakukan pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang seharusnya dibayar lebih besar dari jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak dalam SSB, maka terhadap jumlah yang kurang dibayar tersebut diterbitkan SKBKB ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lambat 24 (dua puluh empat ) bulan , dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

    (6) Terhadap pajak yang kurang dibayar dalam SKBKB sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), tidak dapat diajukan pengurangan kembali.

    Pasal 4
    (1) Apabila Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan berdasarkan keterangan lain diketahui bahwa pajak terutang tidak atau kurang dibayar maka atas kekurangan pajak terutang tersebut diterbitkan SKBKB.

    (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan permohonan pengurangan kecuali masih memenuhi jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan (6).

    Pasal 5
    (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b angka 1, angka 2, angka 6 dan angka 7 serta huruf c dalam hal pajak yang terutang paling banyak Rp 2.500.000.000,00 ( dua milyar lima ratus juta rupiah ).

    (2) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1huruf a dan huruf b angka 1,angka 2, angka 6 dan angka 7 serta huruf c dalam hal pajak yang terutang lebih dari Rp 2.500.000.000,00 ( dua milyar lima ratus juta rupiah ) sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

    (3) Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hal atas Tanah dan Bangunan selain dimaksud dalam ayat (1) dan (2).

    Pasal 6
    (1) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a, dan huruf b angka 1, angka 2, angka 6 dan angka 7 serta huruf c.

    (2) Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 3, angka 4 dan angka 5.

    (3) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berada pada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas ) hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.

    (4) Dalam hal kewenangan memberikan Keputusan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berada pada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan meneruskan permohonan pengurangan

  • wiranda

    Member
    24 January 2010 at 10:17 am

    Terimakasih kepada rekan-rekan semua…

Viewing 1 - 9 of 9 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now