• Angusran PPh Pasal 25

     Hanif updated 14 years, 7 months ago 8 Members · 10 Posts
  • prasetyoutomo

    Member
    26 April 2010 at 10:11 am

    MOhon sharingnya :

    Jika ada WP OP yang di SPT tahunan PPh OP kurang bayar, apakah diharuskan melakukan angsuran PPh pasal 25 ?

    Mohon jika ada sekalian dengan dasar hukumnya ?

    makasih

  • prasetyoutomo

    Member
    26 April 2010 at 10:11 am
  • aepklaten

    Member
    26 April 2010 at 10:35 am
    Originaly posted by prasetyoutomo:

    Jika ada WP OP yang di SPT tahunan PPh OP kurang bayar, apakah diharuskan melakukan angsuran PPh pasal 25 ?

    benar, ada kewajiban angsuran bulanan.

    Originaly posted by prasetyoutomo:

    Mohon jika ada sekalian dengan dasar hukumnya ?

    UU PPh pasal 25.
    bukankah bagi setiap WP itu semuanya ada kewajiban pelaporan PPh 25 tiap bulan, yang bagi WP yang bekerja hanya dari satu pemberi kerja tidak perlu setor sendiri angsuran bulanannya karena telah dipotong PPh 21 perbulannya oleh pemberi kerja.

  • kevink

    Member
    26 April 2010 at 2:39 pm
    Originaly posted by prasetyoutomo:

    MOhon sharingnya :

    Jika ada WP OP yang di SPT tahunan PPh OP kurang bayar, apakah diharuskan melakukan angsuran PPh pasal 25 ?

    Mohon jika ada sekalian dengan dasar hukumnya ?

    makasih

    Lihat dulu WP OP nya….kalau hanya sebagai karyawan, tidak ada angsuran PPh psl 25, tapi ada potongan PPh21nya, kalau melakukan pekerjaan bebas & ada usaha, tentu ada angsuran PPh25nya. Salam

  • begawan5060

    Member
    26 April 2010 at 2:45 pm
    Originaly posted by prasetyoutomo:

    Jika ada WP OP yang di SPT tahunan PPh OP kurang bayar, apakah diharuskan melakukan angsuran PPh pasal 25 ?

    Ya…, dasar hukum Ps 25 UU PPh

  • Wahyudi

    Member
    26 April 2010 at 2:55 pm

    nach…semua ada benarnya….namun demikian, ada catatan kecil disini soal perlu tidaknya mengangsur PPh. 25….misalnya gini:
    –> A adalah karyawan tetap disebuah perusahaan….krn punya kendaraan, suatu ketika ada yg pinjam dan oleh tentu saja ia minta imbalannya, namun sewa ini tidak selalu ada (krn memang dasarnya A tidak punya niatan untuk menyewakan)…dan krn ke jujurannya A mencantumkan penghasilan ini di SPT Tahunannya sbg tambahan di penghasilan…..yg jadi masalah adalah jika A melakukan pengangsuran PPh.25 sementara tahun2 ke depannya tidak ada lagi yg menyewa mk bisa dikata tahun depan pasti ada lebih bayarnya……kalo kita sambung dengan pertanyaan diatas…Apakah kita mau kelak ada lebih bayarnya (jangan dianggap ini resiko lho!!! )
    sebab boleh jadi kita dalam suatu tahun menerima penghasilan lain diluar penghasilan tetap yg kita terima.

  • dedhe

    Member
    26 April 2010 at 3:24 pm

    Menurut saya tetap mengangsur PPh 25 jika penghasilan lain yang kita terima atau penghasilan dari luar usaha jumlahnya tetap atau lebih setiap tahunnya. Jika kira2 penghasilan tersebut tidak rutin tiap tahun lebih baik lapor 25 nihil, hal ini untuk menghindari LB di kemudian hari…

    Salam

  • Hanif

    Member
    26 April 2010 at 3:35 pm
    Originaly posted by wahyudi:

    nach…semua ada benarnya….namun demikian, ada catatan kecil disini soal perlu tidaknya mengangsur PPh. 25….misalnya gini:
    –> A adalah karyawan tetap disebuah perusahaan….krn punya kendaraan, suatu ketika ada yg pinjam dan oleh tentu saja ia minta imbalannya, namun sewa ini tidak selalu ada (krn memang dasarnya A tidak punya niatan untuk menyewakan)…dan krn ke jujurannya A mencantumkan penghasilan ini di SPT Tahunannya sbg tambahan di penghasilan…..yg jadi masalah adalah jika A melakukan pengangsuran PPh.25 sementara tahun2 ke depannya tidak ada lagi yg menyewa mk bisa dikata tahun depan pasti ada lebih bayarnya……kalo kita sambung dengan pertanyaan diatas…Apakah kita mau kelak ada lebih bayarnya (jangan dianggap ini resiko lho!!! )
    sebab boleh jadi kita dalam suatu tahun menerima penghasilan lain diluar penghasilan tetap yg kita terima.

    kalau seperti ini kasusnya, tidak ada PPh 25 yang harus dibayar
    sebab, dasar penghitungan PPh 25 hanya dari penghasilan teratur saja,

    Salam

  • dius

    Member
    27 April 2010 at 9:46 am

    menyambung pertanyaan dari rekan,

    Jadi kalau ada kewajiban membayar pph pasal 25 , berarti harus dilaporkan setiap bulannya juga ya ? BAgaimana tata cara pelaporannya ?

    terima kasih

  • Hanif

    Member
    28 April 2010 at 12:48 am

    PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR PER – 22/PJ/2008

    TENTANG

    TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN
    PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

    Pasal 1

    (1) Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
    (2) PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
    (3) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
    (4) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.

    Pasal 2

    Pembayaran Pajak dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara on-line.

    Pasal 3

    (1) Pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
    (2) SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.
    (3) SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
    (4) Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara (MPN).
    (5) Modul Penerimaan Negara (MPN) adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.

    Pasal 4

    (1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 pada tempat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan SSP nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.
    (2) Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
    (3) Pembayaran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) yang dilakukan :

    1. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran tetapi belum melewati batas akhir pelaporan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007; atau
    2. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan pelaporan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

    Pasal 5

    Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

    Ditetapkan di Jakarta
    Pada tanggal 21 Mei 2008
    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    ttd.

    DARMIN NASUTION
    NIP 130605098

Viewing 1 - 10 of 10 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now