Media Komunitas Perpajakan Indonesia › Forums › PPh Pemotongan/Pemungutan › gross up pph pasal 26
gross up pph pasal 26
apakah bisa pph pasal 26 atas bunga pinjaman dari luar negeri dilakukan gross up dalam perhitunganya.. karena banyak perusahaan di luar negeri yang tidak mau dipotong pph pasal 26.
mohon penjelasannya.bisa.
- Originaly posted by albert:
bisa.
sangat sependapat.
bisaPenjelasan Pasal 4 PP No. 138 Tahun 2000
Huruf d
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan/pemberi kerja. Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan/kerja, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (gross-up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.Contoh:
PT. ABC membayar bunga pinjaman kepada Bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000,00 yang sesuai dengan perjanjian Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar pengenaan PPh Pasal 26 =100
—–x Rp 100.000.000,00 = Rp 125.000.000,00
80PPh Pasal 26 yang terutang =
20% x Rp 125.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT. ABC adalah sebesar Rp 125.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 25.000.000,00).Salam
betul sekali..
karena biasanya pihak luar negeri tidak mau dipotong pajak dan mau terima bersih..
oleh karena itu kebanyakan kasus pemotongan PPh 26 biasanya di gross up..Nah kalau pengurusan Kitas dan pembayaran DPKK nya, apa termasuk ke dalam pengahsilan juga ?
maaf bang ngga ngerti. Kenapa harus dibuat jadi Rp 125.000.000 dulu, baru dikali 20%!!
- Originaly posted by supertian:
maaf bang ngga ngerti. Kenapa harus dibuat jadi Rp 125.000.000 dulu, baru dikali 20%!!
ya seperti itu teknisnya…
Salam
maaf angkat thread lama berhubung kasusnya sama..
@rekan hanif apakah Penjelasan Pasal 4 PP No. 138 Tahun 2000 masih berlaku (tahun buku 2010) karena kebetulan perusahaan di tempat saya bekerja sedang diperiksa pajak dan menurut pemeriksa harus dikoreksi..
mohon penjelasan nya, terima kasih banyak sebelumnya
- Originaly posted by supertian:
maaf bang ngga ngerti. Kenapa harus dibuat jadi Rp 125.000.000 dulu, baru dikali 20%!!
memangnya kalo menurut rekan seperti apa??
dan sependapat dengan yang rekan hanif katakan, teknis gross up ialah seperti itu.. bukan DPPxtariff=xxx kemudian xxx ditambahkan ke DPP,
salam
- Originaly posted by tukangjahit:
maaf angkat thread lama berhubung kasusnya sama..
@rekan hanif apakah Penjelasan Pasal 4 PP No. 138 Tahun 2000 masih berlaku (tahun buku 2010) karena kebetulan perusahaan di tempat saya bekerja sedang diperiksa pajak dan menurut pemeriksa harus dikoreksi..
mohon penjelasan nya, terima kasih banyak sebelumnya
Dengan terbitnya PP No. 94 Tahun 2010, PP No. 138 tahun 2000 tidak berlaku lagi.
Namun demikian, praktek gross up seperti itu tidak otomatis tidak berlaku lagi.
Sebab, cara gross up tersebut merupakan salah satu jenis tax planning yang bisa diterapkan oleh WP.
Coba tanya sama pemeriksanya, apa dasar hukum yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dan harus dikoreksi?. Bukankah yang tidak bleh jadi biaya itu adalah pajak yang dibayarkan atau ditanggung oleh pengguna jasa atau pihak yang membayarkan penghasilan. Gross up bukanlah menanggung pajak atau membayarkan pajak penerima penghasilan, tapi, memberikan tunjangan pajak sebesar pajak yang terutang dan harus dipotong.Kalau pemeriksa tetap memaksa harus dikoreksi, tidak hanya biayanya saja dong yang dikoreksi. Pajak yang sudah disetor juga harus dikoreksi. Bukankah dengan dilakukannya gross up, PPh yang disetor ke kas negara jadi lebih besar dibanding bila gross up tidak dilakukan?.
Salam
- Originaly posted by hanif:
Kalau pemeriksa tetap memaksa harus dikoreksi, tidak hanya biayanya saja dong yang dikoreksi. Pajak yang sudah disetor juga harus dikoreksi
Koreksi menjadi kurang setor… Pancen Oje.
Koreksi menjadi lebih bayar… Eiiiit nanti dulu… Hahaha…Salam
- Originaly posted by hanif:
Kalau pemeriksa tetap memaksa harus dikoreksi, tidak hanya biayanya saja dong yang dikoreksi. Pajak yang sudah disetor juga harus dikoreksi. Bukankah dengan dilakukannya gross up, PPh yang disetor ke kas negara jadi lebih besar dibanding bila gross up tidak dilakukan?.
konsep gross up menguntungkan perush tk asing dan dirjen pajak krn juml pajak yg lebih besar .yg rugi peg lokal yg tak dpt tunjangan pajak
- Originaly posted by hanif:
Coba tanya sama pemeriksanya, apa dasar hukum yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dan harus dikoreksi?. Bukankah yang tidak bleh jadi biaya itu adalah pajak yang dibayarkan atau ditanggung oleh pengguna jasa atau pihak yang membayarkan penghasilan. Gross up bukanlah menanggung pajak atau membayarkan pajak penerima penghasilan, tapi, memberikan tunjangan pajak sebesar pajak yang terutang dan harus dipotong.
mantab sekali rekan hanif.. akhirnya saya nemu jg kata2 yang pas buat ngmg ke pemeriksa..
trims,salam
- Originaly posted by dharmaput:
Originaly posted by hanif:
Kalau pemeriksa tetap memaksa harus dikoreksi, tidak hanya biayanya saja dong yang dikoreksi. Pajak yang sudah disetor juga harus dikoreksiKoreksi menjadi kurang setor… Pancen Oje.
Koreksi menjadi lebih bayar… Eiiiit nanti dulu… Hahaha…Salam
berarti bisa dong dia nanti disalahkan, negara suruh bayar kelebihan setoran kita.. pakai alasan "menurut pemeriksa, blablabla" … hihihhihi