Putusan Mahkamah Agung Nomor : 187/B/PK/PJK/2016

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 44080/PP/M.VI/16/2013, Tanggal 19 Maret 2013 yang telah ber


 

PUTUSAN
Nomor 187/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal AF Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada :
  1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak.
  2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
  3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
  4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal AF No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-1267/PJ./2013 tanggal 18 Juni 2013.
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:


PT. AFG, beralamat di Desa FG, Kel. FG, Kec. Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, diwakili CCC, selaku Presiden Direktur, dalam hal ini memberikan kuasa kepada : QW, Asst. Accounting Manager PT. AFG, beralamat di Jalan FG GG Makmur No. 258 A, Kelurahan Lalang, Kecamatan Medan Sunggal, Medan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 02 Maret 2015;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 44080/PP/M.VI/16/2013, Tanggal 19 Maret 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa adapun alasan-alasan yang mendasari pengajuan banding ini adalah sebagai berikut:
Bahwa dasar perhitungan Surat Keputusan Terbanding tersebut di atas, adalah hasil penelitian dari Peneliti Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar atas permohonan Keberatan yang diajukan oleh Pemohon Banding melalui Surat Nomor: 006/ACC/AMP/IX/2010 tanggal 01 September 2010;
Bahwa koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa dan dipertahankan oleh Peneliti keberatan adalah berupa koreksi Pajak Masukan yang dianggap tidak dapat dikreditkan sejumlah Rp.467.967.720,00 (empat ratus enam puluh tujuh juta sembilan ratus enam puluh tujuh ribu tujuh ratus dua puluh rupiah) dengan mendasarkan pada:
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, Pasal 16B ayat (1) huruf b UU PPN dan Pasal 2 ayat (2) huruf c, Terbanding menganggap faktur Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pemohon Banding adalah Pajak Masukan yang digunakan untuk Unit Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, yaitu Unit TBS (Tandan Buah Segar) yang atas penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN;
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf d angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 575/KMK.04/2000 Terbanding menganggap Pajak Masukan (misal, atas pupuk, pupuk bukan untuk CPO tapi untuk TBS) yang dibayar atas perolehan TBS (BKP dan atau JKP) yang nyata-nyata digunakan untuk UNIT/DIVISI perkebunan (kelapa sawit) yang atas penyerahan UNIT/DIVISI tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan;
Bahwa Faktur Pajak yang menjadi dasar koreksi oleh Terbanding adalah sebagai berikut:

No Nama NPWP No.Seri FP Tanggal PPN (Rp)
1
PT. QQ 0X.X0X.0XX.X-0XX.000 0X0-000-0X0000XXXX 01/04/2008 67.781.250
2
PT. QQ 0X.X0X.0XX.X-0XX.000 0X0-000-0X0000XXXX 01/04/2008 7.941.685
3
PT. QQ 0X.X0X.0XX.X-0XX.000 0X0-000-0X0000XXXX 02/04/2008 38.288.311
4
PT. QQ 0X.X0X.0XX.X-0XX.000 0X0-000-0X0000XXXX 02/04/2008 77.640.479
5
PT. QQ 0X.X0X.0XX.X-0XX.000 0X0-000-0X0000XXXX 02/04/2008 4.278.005
6
PT. QQ 0X.X0X.0XX.X-0XX.000 0X0-000-0X0000XXXX 31/05/2008 141.953.100
7
PT. QQ 0X.X0X.0XX.X-0XX.000 0X0-000-0X0000XXX0 31/05/2008 130.084.890





467.967.720

Bahwa dengan demikian Terbanding tetap mempertahankan koreksi atas Pajak Masukan sejumlah Rp 467.967.720,00;
Bahwa menurut Pemohon Banding tidak seharusnya koreksi tersebut dilakukan oleh Pemeriksa dan tetap dipertahankan oleh Peneliti Keberatan dengan dasar alasan sebagai berikut:
Bahwa TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding pada dasarnya bukanlah (belumlah) merupakan penyerahan BKP berupa TBS;
Bahwa karena TBS ini:
Bahwa dipergunakan/dipakai dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama (bernama PT.  AFG) dan
Bahwa dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam rangka menghasilkan barang jadi berupa CPO dan PK di Pemohon Banding;
Bahwa sesuai dengan Pasal 2 dari Keputusan Terbanding Nomor: KEP-87/PJ/2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Peretambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut:
“Bahwa pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah”;
Bahwa sementara itu, pengertian dari tujuan produktif secara jelas tercermin pada Pasal 1 angka 5 dari Keputusan Terbanding Nomor: KEP-87/PJ/2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan”;
Bahwa dengan demikian merupakan hal yang tidak tepat apabila Terbanding menganggap bahwa telah terjadi penyerahan TBS dari Unit Perkebunan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding kepada Unit Pengolahan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding dan atas penyerahan ini dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
Bahwa Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN), secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan”;
Bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 ayat (6) dari UU PPN tersebut di atas, telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak;
Bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 3 dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang tidak Terutang Pajak, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1)
“Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
  1. Bahwa melakukan kegiatan usaha terpadu (intregrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  2. Bahwa melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  3. Bahwa melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  4. Bahwa melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
1)
Bahwa nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
2)
Bahwa digunakan baik untuk unit atas kegiatan yang atas penyerahanan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;
3)
Bahwa nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan”;

Pasal 2 ayat (2)
“Bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2 wajib menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan tersebut dengan rumus sebagai berikut:
  1. untuk Barang Modal:

X  x  PM
Y      T
dengan ketentuan bahwa:

X :
adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai selama satu tahun buku;
Y :
adalah jumlah seluruh peredaran selama setahun buku;
T :
adalah masa manfaat Barang Modal sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) angka 2 yang ditentukan sebagai berikut:
-
untuk bangunan adalah 10 tahun;
-
untuk Barang Modal lainnya adalah 5 tahun;
PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);

  1. Untuk Bukan Barang Modal:

X  x  PM
Y
dengan ketentuan bahwa:

X :
adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai selama satu tahun buku.
Y :
adalah jumlah seluruh peredaran selama satu tahun buku;
T :
adalah masa manfaat barang Modal sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) angka 2 yang ditentukan sebagai berikut:
-
untuk bangunan adalah 10 tahun;
-
untuk Barang Modal lainnya adalah 5 tahun;
PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);”


Pasal 3:
“Bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (2) diperhitungkan kembali dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak paling lambat pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku”;
Pasal 16B ayat (3) dari UU PPN, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan”;
Bahwa cuplikan memori penjelasan dari Pasal 16B ayat (3) UU PPN tersebut di atas, berbunyi sebagai berikut:
“Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan”;
Bahwa dalam Pasal 9 ayat (2), ayat (9), dan ayat (8) UU PPN, dinyatakan bahwa:
Pasal 9 ayat (2)
“Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama”;
Pasal 9 ayat (9)
“Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan”;
Pasal 9 ayat (8):
“Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
  1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
  2. perolehan Barang Kena Pajak atas Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan combi kecuali merupakan baranga dagangan atau disewakan;
  4. pemanfaan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  5. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
  6. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
  7. pemanfaatan barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
  8. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
  9. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan”;
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan pajak yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa penyerahan TBS untuk tujuan produktif, berupa penyerahan TBS yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan prosuksi selanjutnya (yang terjadi dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama bernama: PT.  AFG), bukanlah (belumlah) merupakan penyerahan BKP berupa TBS yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
Bahwa secara umum, Pengusaha Kena Pajak tidak dapat melakukan pengkreditan terhadap Pajak Masukan bagi pengeluaran yang memenuhi kondisi atau kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) dari UU PPN;
Bahwa selain daripada pengaturan pada Pasal 9 ayat (8) dari UU PPN tersebut, terhadap suatu transaksi tertentu dapat pula ditentukan bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, atau tidak dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, yaitu dengan bertitik tolak pada indikator kunci berupa: realisasi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yang dilaporkannya pada SPT Masa PPN (dan juga tercermin pada SPT Tahunan PPh Badannya);
Bahwa terdapat beberapa kemungkinan dari realisasi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yakni berupa:
  1. penyerahan yang tidak terutang PPN, dan
  2. penyerahan yang terutang PPN, yaitu:
  • ekspor,
  • penyerahan yang PPN nya harus dipungut sendiri;
  • penyerahan yang PPN nya dipungut oleh pemungut PPN;
  • penyerahan yang PPN nya tidak dipungut, serta
  • penyerahan yang PPN nya dibebaskan
Bahwa karenanya merupakan hal yang tidak berdasar apabila Terbanding berkesimpulan bahwa: Pajak Masukan atas pembelian pupuk dan pembelian lainnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tidak dapat dikreditkan;
Bahwa koreksi tersebut baru boleh dilakukan hanya apabila terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sehingga terhadap Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan pada SPT Masa PPN dari Pemohon Banding;
Bahwa pada Masa Pajak Juni 2008 tersebut, seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa: Crude Palm Oil, Crude Palm Kernel Oil, Palm Kernel Meal dan Material) dan Jasa Kena Pajak (berupa: Jasa Maklon) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni: Terutang PPN dengan tarif 10% (berupa penyerahan yang PPN nya harus dipungut sendiri) dan Terutang PPN dengan tarif 0% (berupa penyerahan Ekspor); Bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang Pemohon Banding lakukan;
Bahwa berdasarkan poin-poin di atas, Pemohon Banding mohon agar banding ini dapat diterima dan Majelis dapat meninjau ulang keputusan Terbanding Nomor: KEP-61/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 02 Februari 2011;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 44080/PP/M.VI/16/2013, Tanggal 19 Maret 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-61/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 02 Februari 2011, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Masa Pajak Juni 2008 Nomor: 00286/207/08/092/10 tanggal 22 Juni 2010, atas nama PT.  AFG, NPWP 0X.XXX.XXX.0.0XX.000, beralamat di Desa FG, Kel. FG, Kec. Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan alamat korespondensi di Gedung B&G Tower lantai 8, Jl. GH No.10 Medan 20111 , dengan perhitungan menjadi sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak :
- Ekspor
- Penyerahan yg PPN-nya harus dipungut sendiri
- Penyerahan yg PPN-nya tidak dipungut
- Penyerahan yg tidak terutang PPN
- Dikurangi: Retur Penjualan
Rp
Rp
Rp
12.571.083.000.00
49.768.055.880,00
0,00
0,00
Jumlah Seluruh Penyerahan Rp 62.339.138.880.00
Pajak Keluaran yg harus dipungut/dibayar sendiri Rp 4.976.805.587,00
Pajak yg dapat diperhitungkan Rp 10.162.650.134,00
PPN yang kurang/ (Lebih) dibayar Rp (5.185.844.547,00)
Dikompensasikan ke masa pajak berikutnya Rp (5.185.844.547,00)
Jumlah PPN yang masih harus dibayar Rp 0,00

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 44080/PP/M.VI/16/2013, Tanggal 19 Maret 2013, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 09 April 2013, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1267/PJ./2013, Tanggal 18 Juni 2013, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 03 Juli 2013, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 03 Juli 2013;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 06 Februari 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 13 Maret 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
    Halaman 32 alinea ke-4 dan ke-5:
    “Bahwa oleh karenanya Majelis berpendapat koreksi Terbanding tidak berdasarkan pada bukti melainkan hanya berdasarkan pada persepsi, hal ini tidak sesuai dengan prinsip kebenaran material yang dianut pada perundang-undangan perpajakan yang berlaku sehingga koreksi ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yaitu bagi Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terhutang dengan benar sepanjang tidak ditemukan data fiskal yang telah dilaporkan dalam SPT maka Majelis menilai koreksi Terbanding tidak terbukti;
    “Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas Majelis berkesimpulan Koreksi Terbanding atas Pajak Masukan terkait dengan pembelian Barang Kena Pajak (berupa pupuk, peralatan, dsb) yang digunakan untuk menghasilkan TBS Kelapa Sawit yang diproses produksi lebih lanjut menjadi Crude Palm Oil, Palm Kernel Oil, dan Palm Kernel Meal sebesar Rp. 467.967.720,00 tidak dapat dipertahankan;”
  2. Bahwa Pasal 78 Undang-undang Pengadilan Pajak menyatakan:
    Pasal 78
    “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.”
    Penjelasan pasal 78
    “Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
  3. Bahwa Pasal 1 angka 4, Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPN), menyatakan:
    Pasal 1 angka 4
    “Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.”
    Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6)
    (5)
    Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
    (6)
    Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan;
    Penjelasan
    ...Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B....”
    Pasal 16B ayat (1) dan (3)
    (1)
    Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk :
    1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
    2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
    3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
    4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
    5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
    (3)
    Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
    Penjelasan Pasal 16B ayat (1)
    “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.”

  1. Bahwa Pasal 1 berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
    Pasal 1
    “Kelompok barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah :
    1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya;
    2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
    3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; dan
    4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.”
  1. Bahwa Pasal 1 angka 1 huruf c, Pasal 1 angka 2, Pasal 2 ayat (2) huruf c serta Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2001 tentang lmpor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2007, menyatakan :
    Pasal 1 angka 1 huruf c
    “Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah :
    1. barang hasil pertanian;
    Pasal 1 Angka 2
    “Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
    1. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
    2. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
    3. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya, yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
    Pasal 2 ayat (2) huruf c
    “Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
    1. barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c,
    dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.”
    Pasal 3
    “Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;”
  1. Bahwa Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KMK-575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, menyatakan:
    “Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
    1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
    2. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
    3. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
    4. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak PertambahanNilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
    maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
    1)
    nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
    2)
    digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;
    3)
    nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan;”
  2. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.44080/PP/M.VI/16/2013 tanggal 19 Maret 2013 dapat diketahui:
    7.1.
    Bahwa sengketa atas Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar Rp467.967.720,00 ini merupakan sengketa yuridis fiskal, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS), yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat dikreditkan atau tidak;
    7.2.
    Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar Rp467.967.720,00 sesuai dengan Pasal 9 ayat (6) dan Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, karena merupakan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis (Tandan Buah Segar) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
    7.3.
    Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat:
    7.3.1.
    Bahwa penyerahan TBS untuk tujuan produktif, berupa penyerahan TBS yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya (yang terjadi dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama bernama: PT.  AFG), bukanlah (belumlah) merupakan penyerahan BKP berupa TBS yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
    7.3.2.
    Bahwa secara umum, Pengusaha Kena Pajak tidak dapat melakukan pengkreditan terhadap Pajak Masukan bagi pengeluaran yang memenuhi kondisi atau kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) dari UU PPN;
    7.3.3.
    Bahwa selain daripada pengaturan pada Pasal 9 ayat (8) dari UU PPN tersebut, terhadap suatu transaksi tertentu dapat pula ditentukan bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, atau tidak dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, yaitu dengan bertitik tolak pada indikator kunci berupa: realisasi penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yang dilaporkannya pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN (dan juga tercermin pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badannya);
    7.3.4.
    Bahwa koreksi tersebut baru boleh dilakukan hanya apabila terdapat penyerahan yang tidak terutang PPN dan/atau yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sehingga terhadap Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan atau perolehan JKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan pada SPT Masa PPN dari Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ;
    7.3.5.
    Bahwa pada Masa Pajak Juni 2008 tersebut, seluruh penyerahan BKP (berupa: Crude Palm Oil, Crude Palm Kernel Oil, Palm Kernel Meal dan Material) dan JKP (berupa: Jasa Maklon) yang Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) lakukan adalah terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni:
    Terutang PPN dengan tarif 10% (berupa penyerahan yang PPNnya harus dipungut sendiri) dan Terutang PPN dengan tarif 0% (berupa penyerahan Ekspor);
    7.3.6.
    Bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) lakukan;
    7.3.7.
    Bahwa oleh karena itu tidak seharusnya dilakukan koreksi positif terhadap seluruh Faktur Pajak Masukan atas pembelian pupuk dan pembelian lainnya yang dikreditkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) pada SPT Masa PPN Masa Pajak Juni 2008;
    7.4.
    Bahwa dengan demikian dalam sengketa a quo terdapat perbedaan pendapat/penafsiran ketentuan perundang-undangan perpajakan mengenai Pajak Masukan atas perolehan BKP (pembelian pupuk dan yang lainnya) yang digunakan untuk UNIT yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (Tandan Buah Segar), yaitu apakah atas Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak dengan kondisi bahwa TBS yang dihasilkan digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya yang terjadi dalam satu entitas perusahaan yang sama (integrated);
    7.5.
    Bahwa terkait perbedaan pendapat mengenai apakah Pajak Masukan atas perolehan BKP (pembelian pupuk dan yang lainnya) yang digunakan untuk UNIT yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (TBS) dapat dikreditkan atau tidak pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), Majelis telah memberikan pertimbangan sebagaimana telah dimuat pada halaman 31 dan halaman 32 putusan a quo antara lain berbunyi :
    Bahwa menurut pendapat Majelis Pasal 16B ayat (3) UU PPN mengatur bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk memperoleh Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas perolehannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan. Pada Penjelasan atas Pasal tersebut dinyatakan bahwa adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan. Secara substansi, berlakunya ketentuan ini didasarkan pada ada tidaknya penyerahan barang kena pajak yang mendapatkan pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
    Bahwa menurut pendapat Majelis, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, mengatur bahwa Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakanuntuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
    Bahwa menurut pendapat Majelis, pengertian penyerahan barang kena pajak sebagaimana diatur Pasal 1A UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah s.t.d.d UU Nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 18 Tahun 2000 adalah:
    1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
    2. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli atau perjanjian leasing;
    3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
    4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
    5. persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
    6. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
    7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
    Bahwa menurut pendapat Majelis, sesuai dengan ketentuan tersebut diatas, pemanfaatan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit yang berasal dari Unit Perkebunan untuk diproses lebih lanjut pada Unit Pabrik Kelapa Sawit tidak termasuk sebagai penyerahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1A UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah s.t.d.d UU Nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 18 Tahun 2000;
    Bahwa menurut pendapat Majelis, terkait dengan "pemakaian sendiri" sebagaimana diatur pada Pasal 1A huruf d undang-undang tersebut di atas, karena Tandan Buah Segar Kelapa Sawit tersebut digunakan untuk tujuan produktif maka sesuai dengan Pasal 1 angka 5 jo. 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 87/PJ/2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak;
    7.6.
    Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut di atas tidak tepat dan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan keberatan dengan alasan sebagai berikut:
    7.6.1.
    Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak cermat dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN dengan menyatakan bahwa “Secara substansi, berlakunya ketentuan ini didasarkan pada ada tidaknya penyerahan barang kena pajak yang mendapatkan pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” karena:
    1. Bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN adalah sebagai berikut:
      Untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undang-undang perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
    2. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
      Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
    3. Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas:
      meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama, bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangkan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
    4. Bahwa secara teoritis prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax), PPQ dan QR dalam bukunya Priciples of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, HJ/KL halaman 22 menulis:
      antara lain Pajak yang baik seharusnya adil, selanjutnya dalam halaman 32-37 menyebutkan kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut antara lain: keadilan horizontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapatkan perlakuan pajak yang sama;
    5. Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas Pajak Keluaran dan Pajak Masukan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
      1. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
        -
        Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
        -
        Pajak Masukan kebun tidak dapat dikreditkan;
        -
        Pajak Masukan kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO;
      1. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
        -
        Atas penyerahan CPO terutang PPN;
        -
        Tidak ada Pajak Masukan atas Pembelian TBS;
        -
        Pajak Masukan kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unsur HPP bagi CPO;
      1. Dalam hal usaha Wajib Pajak terintegrasi Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
        -
        Tidak ada PPN atas TBS;
        -
        PPN hanya atas CPO;
        -
        Pajak Masukan kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;

    Bahwa apabila pada perusahaan yang terintegrasi antara kebun sawit dan pabrik CPO, Pajak Masukan kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada :

    • Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi Pajak Masukan kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan Pajak Masukan kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan kebun;
    • Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat.
    • Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah.
    • Oleh kar