Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1605/B/PK/PJK/2016
bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 yang telah be
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 1605/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal YY Nomor 40-42, Jakarta XXXX0, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
- AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
- BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
melawan:
PT DFG, tempat kedudukan sesuai keputusan di Desa IV Koto Kinali Pasaman Barat, alamat Korespondensi di Gedung B&G Tower, Lantai 8, Jalan XY, No. 10, Medan X0XXX;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa sehubungan dengan Keputusan Terbanding Nomor KEP-578/WPJ.27/2014 tanggal 12 Mei 2014, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 26 Mei 2014, yang menolak permohonan keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Nomor 00001/207/11/202/13 tanggal 3 Juni 2013 Masa Pajak Januari 2011, dengan perincian sebagai berikut:
Uraian | Semula (Rp.) | Dikurangi (Rp.) |
Menjadi (Rp.) |
PPN Kurang (Lebih) Dibayar | 132.506.688 | 0 |
132.506.688 |
Sanksi Bunga | 63.603.210 | 0 |
63.603.210 |
Sanksi Kenaikan | 0 |
0 |
0 |
Jumlah PPN yg masih harus (Lebih) Dibayar | 196.109.898 | 0 |
196.109.898 |
maka dengan ini Pemohon Banding mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak atas permohonan keberatan yang ditolak pada keputusan tersebut di atas;
Bahwa adapun alasan-alasan yang mendasari pengajuan banding ini adalah sebagai berikut:
Bahwa Surat Keputusan Terbanding tersebut di atas adalah berdasarkan hasil perhitungan Terbanding atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Banding melalui Surat Nomor 027/PMJ/VII/2013 tanggal 31 Juli 2013;
Bahwa koreksi yang dilakukan oleh Terbanding, dan dipertahankan oleh Terbanding, adalah berupa koreksi Pajak Masukan yang dianggap tidak dapat dikreditkan atas perolehan Barang Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk memproduksi TBS yang merupakan Barang Strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sejumlah Rp132.506.688,00 (seratus tiga puluh dua juta lima ratus enam ribu enam ratus delapan puluh delapan rupiah), dengan mendasarkan pada:
- Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN;
- PP Nomor 12 Tahun 2001 jo. PP No. 31 Tahun 2007;
- PMK No.78/PMK.03/2010;
- Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN),
menyatakan:
Angka 2:
"Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud";
Angka 3:
"Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini";
Angka 4:
"'Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak"; - Pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur
dalam
Undang-Undang PPN, tepatnya pada Pasal 1A ayat (1), dengan jelas
menyatakan:
"Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
- Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
- Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
- Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
- Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
- Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
- Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
- Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi";
"Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli"; - Pada Masa Pajak Januari 2011, Pemohon Banding sama sekali
tidak
pernah melakukan penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) yang dibebaskan
dari pengenaan PPN. Hal ini dapat dibuktikan pada pembukuan (tahun
pajak 2011), laporan SPT Masa PPN (Masa Pajak Januari 2011), dan
laporan SPT Tahunan PPh Badan (Tahun Pajak 2011) dari Pemohon Banding;
Bahwa TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dititip olah/dimaklonkan ke Pihak Pengolah/Prosesor untuk diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK), pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP berupa TBS;
Karena TBS ini:
- Dipergunakan/dipakai dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama (bernama: PT DFG); dan
- Dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam rangka menghasilkan barang jadi berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) di PT DFG;
"Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Paiak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahaan Nllai dan Pajak Penjualan atas Sarong Mewah";
Bahwa sementara itu, pengertian dari “tujuan produktif” secara jelas tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
"Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan";
Bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak tepat apabila Terbanding menganggap bahwa telah terjadi penyerahan TBS oleh Pemohon Banding, dan atas penyerahan ini dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; - Pasal 9 ayat (5) dari Undang-Undang PPN, secara lengkap
menyatakan:
“Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang Pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak";
Bahwa cuplikan Memori Penjelasan Pasal 9 ayat (5) dari Undang-Undang PPN, menyatakan:
"Yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan undang-undang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai";
"Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168"; - Pada Masa Pajak Januari 2011 tersebut, seluruh penyerahan
Barang
Kena Pajak (berupa: Crude Palm Oil, Palm Kernel dan Material) yang
Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai,
yakni:
Terutang PPN dengan tarif 10% (berupa Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri);
Bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dilakukan oleh Pemohon Banding;
Bahwa oleh karena itu, sudah selayaknya apabila Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak tersebut di atas (berupa: Crude Palm Oil, Palm Kernel, Material) yang dikoreksi oleh Terbanding dan menjadi sengketa pajak ini, dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding; - Adanya fakta-fakta hukum baru berupa:
- Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
21/PMK.011/2014 tanggal
30 Januari 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak
dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak, menegaskan dapat
dikreditkannya Pajak Masukan yang dibayarkan yang terkait dengan
perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dalam rangka
kegiatan menghasilkan TBS, yang diolah lebih lanjut (baik di pabrik
sendiri ataupun dititip olah di pabrik PKP lainnya) menjadi CPO dan PK
yang dijual/diserahkan sebagai barang kena pajak yang terutang PPN;
Bahwa pada Pasal 2A ayat (1) dinyatakan:
"Pengusaha Kena Pajak yang:
- Menghasilkan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; dan
- Mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, baik melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan Pengusaha Kena Pajak lainnya sehingga menjadi Barang Kena Pajak yang atas seluruh penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Terutang Pajak;
Bahwa landasan filosofis yang mendasari perlunya ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.011/2014 tanggal 30 Januari 2014 ini, secara jelas dan tegas adalah: "untuk (lebih memberikan kepastian hukum dan mendorong peningkatan nilai tambah komoditas primer"; - Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70
P/HUM/2013
mengenai Perkara Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Pasal 1 ayat (1)
huruf Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2
ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat
Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah;
Bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70 P/HUM/2013 ini, pasal-pasal yang menjadi objek dalam perkara hak uji materiil yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Indonesian Chamber of Commerce and Industry) dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum;
Bahwa Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c dari Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang dipergunakan sebagai dasar hukum oleh Terbanding untuk mengkoreksi sebagian Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sejumlah Rp132.506.688,00 ini, adalah merupakan ketentuan pajak yang tidak sah dan tidak berlaku untuk umum karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
Bahwa berdasarkan poin di atas, Pemohon Banding mohon agar banding Pemohon Banding ini dapat diterima, dan agar Majelis dapat meninjau ulang Keputusan Terbanding Nomor KEP-578/WPJ.27/2014 tanggal 12 Mei 2014 tersebut di atas;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 578/WPJ.27/2014 tanggal 12 Mei 2014, tentang Keberatan Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2011 Nomor 00001/207/11/202/13 tanggal 3 Juni 2013, yang terdaftar dalam berkas perkara Nomor 16-081704-2011 atas nama PT DFG, NPWP 0X.XXX.XXX.X-X0X.00X, alamat di Desa IV Koto Kinali Pasaman Barat, alamat korespondensi: Gedung B & G Tower Lt.8, Jalan XY, No. 10, Medan X0XXX sehingga PPN yang kurang/ (lebih) dibayar dihitung kembali menjadi sebagai berikut:
DPP atas Ekspor
DPP atas Penyerahan yang PPNnya harus dipungut sendiri
Jumlah Seluruh Penyerahan
Pajak Keluaran
Pajak Masukan
1.PPN yang dapat diperhitungkan
2.PPN yang dibayar sendiri
Jumlah Perhitungan PPN Kurang /(Lebih) bayar
-
5,780,373,537
5,780,373,537
578,037,354
578,037,354
156,242,501
421,794,853
-
- Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
21/PMK.011/2014 tanggal
30 Januari 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak
dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak, menegaskan dapat
dikreditkannya Pajak Masukan yang dibayarkan yang terkait dengan
perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dalam rangka
kegiatan menghasilkan TBS, yang diolah lebih lanjut (baik di pabrik
sendiri ataupun dititip olah di pabrik PKP lainnya) menjadi CPO dan PK
yang dijual/diserahkan sebagai barang kena pajak yang terutang PPN;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 3 Juni 2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 19 Juli 2016;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali;
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis formal atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak:
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
- Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali;
- Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015, atas nama PT DFG (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan Surat Pengiriman Putusan Pengadilan Pajak dan telah diterima secara langsung oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 30 September 2015 sesuai dengan Lembar Disposisi Direktorat Keberatan dan Banding Nomor KK : 28752/umum;
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92
ayat (3)
juncto Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka pengajuan
Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 ini masih dalam
tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau
setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan
Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini
belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
- Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
Tentang Koreksi Positif Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan Masa Pajak Juni 2010 sebesar Rp132.506.688,00 yang merupakan Pajak Masukan yang digunakan oleh Pemohon Banding untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit dalam rangka perolehan TBS yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
- Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, meneliti, dan mempelajari lebih lanjut atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan penjelasan dan dalil sebagai berikut:
- Bahwa pertimbangan hukum, pendapat maupun kesimpulan
Majelis Hakim
Pengadilan Pajak atas pokok sengketa Peninjauan Kembali ini sebagaimana
tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak a quo antara lain berbunyi
sebagai berikut:
Bahwa Terbanding melakukan koreksi terkait Pajak Masukan dari Pembelian Pupuk dan Pembelian lainnya, yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Bahwa Pemohon Banding menyatakan tidak setuju atas koreksi Terbanding, karena Pajak Masukan yang dibayarkan seluruhnya adalah semata-mata untuk kegiatan usaha menghasilkan CPO/kernel yang atas penyerahannya terutang PPN (tidak ada penyerahan TBS lama sekali), sehingga PM tersebut seharusnya dapat dikreditkan;
Bahwa Pemohon Banding:
- Tidak memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit;
- Untuk menghasilkan barang kena pajak yaitu Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK), Pemohon Banding menitip olahkan Tandan Buah Segar (TBS) ke PT QQ;
Bahwa menurut Terbanding, Pajak Masukan dari pembelian pupuk, bibit, peralatan perkebunan dan semua Pajak Masukan yang digunakan oleh kebun kelapa sawit yang hasilnya berupa TBS, tidak dapat dikreditkan;
Bahwa sengketa antara Terbanding dan Pemohon Banding adalah:
- Menurut Terbanding: Pemohon Banding, PT DFG, melakukan Penyerahan TBS yang merupakan barang strategis kepada Unit Pengolah, yaitu PT QQ;
- Menurut Pemohon Banding: pada saat TBS dikirim dari
Pemohon Banding
ke Unit Pengolah yaitu PT QQ, bukan termasuk Penyerahan
yang dibebaskan, namun dititip olahkan untuk diolah lebih lanjut
menjadi CPO dan Kernel yang kemudian hasilnya dijual;
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon Banding menitip olahkan TBS dari Unit Kebun Pemohon Banding ke Unit Pengolah yaitu PT QQ;
- Bahwa sesuai bukti yang disampaikan Pemohon Banding, bahwa atas transaksi menitip olahkan tersebut, Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas jasa titip olah yang dibayarkan;
- Bahwa sesuai bukti, atas transaksi titip olah tersebut, PT QQ telah menerbitkan Faktur Pajak atas Jasa Titip olah yang diterima;
- Bahwa berdasarkan hasil Pemeriksaan Terbanding, yang kemudian diterbitkan SKPKB dapat diketahui bahwa di dalam SKPKB menurut Terbanding, tidak terdapat Dasar Pengenaan Pajak atas Penyerahan yang dibebaskan terkait Pajak Masukan yang menjadi sengketa ini;
- Bahwa Pasal 1A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menyebutkan:
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
- Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
- Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
- Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
- Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
- Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
- Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
- Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;
- Bahwa Transaksi titip olah, tidak termasuk di dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak sesuai diatur Pasal 1A ayat (1), Undang-Undang PPN;
- Bahwa selama Tahun 2011, Pemohon Banding sama sekali
tidak pemah
melakukan penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) yang dibebaskan dari
pengenaan PPN, hal ini dapat dibuktikan pada pembukuan (Tahun Pajak
2011) laporan SPT Masa PPN dan laporan SPT Tahunan PPh Badan (Tahun
Pajak 2011) dari Pemohon Banding;
- Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan
pokok
sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara
lain sebagai berikut:
2.1.
Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak), antara lain menyebutkan:
Pasal 69 ayat (1):
Alat bukti dapat berupa:
- surat atau tulisan;
- keterangan ahli;
- keterangan para saksi;
- pengakuan para pihak; dan/atau
- pengetahuan Hakim;
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;2.2.
Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan UU PPN), antara lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 9 ayat (5):
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
Penjelasan Pasal 9 ayat (5):
...Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B....
Pasal 16B ayat (1):
“Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
- Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
- Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
- Impor Barang Kena Pajak tertentu;
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
Penjelasan Pasal 16B ayat (1):
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
Pasal 16B ayat (3):
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan";
Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
”Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan”;2.3.
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut dengan PP 31), antara lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 huruf c:
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil pertanian;
Pasal 1 angka 2 huruf a:
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
Lampiran:
Antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Tandan Buah Segar (TBS);
Pasal 2 ayat (2) huruf c:
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Pasal 3:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;2.4
Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tanggal 2 April 2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis (selanjutnya disebut dengan KMK-155) antara lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 7:
Pajak Masukan atas impor dan atau atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang
berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di
Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan
Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September
2015 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang
nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan dengan pendapat Majelis
Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan pada Butir V.1. di atas
dengan alasan sebagai berikut:
3.1.
Bahwa dalam alasan bandingnya Termohon Peninjauan Kembali pada intinya menyampaikan bahwa koreksi Pajak Masukan senilai Rp132.506.688,00 terkait dengan pengeluaran/pembelian yang berhubungan dengan kebun, seperti pembelian pupuk, bahan kimia, dan biaya langsung kebun lainnya yang nyata-nyata merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dalam memproduksi/menghasilkan Barang Kena Pajak berupa Minyak Sawit ( CPO ) dan Inti Sawit. Oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan; 3.2.
Bahwa dalam Putusannya Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyampaikan dasar pertimbangan dan kesimpulan sebagai berikut:
“ . . . Majelis berpendapat bahwa Pengiriman TBS dari Unit Kebun Pemohon Banding, ke Unit Pengolah yaitu PT QQ, bukan merupakan Penyerahan Barang Strategis yang dibebaskan pengenaan pajaknya, namun pengiriman tersebut untuk dititip olahkan, selanjutnya yang diserahkan/dijual oleh Pemohon Banding adalah CPO dan Kernel yang merupakan barang kena pajak, sehingga Pajak Masukannya dapat dikreditkan, dengan demikian Koreksi Terbanding sebesar Rp132.506.688,00 tidak dapat dipertahankan”;3.3.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali tidak sependapat dengan kesimpulan dan Putusan Majelis yang tidak dapat mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali atas Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan Masa Pajak Januari 2011 sebesar Rp132.506.688,00 di atas dengan penjelasan sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali mempertahankan
koreksi Pajak
Masukan yang Dapat Diperhitungkan Masa Pajak Januari 2011 sebesar
Rp132.506.688,00 karena merupakan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau
JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan Barang
Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis dalam hal ini Tandan Buah
Segar (TBS) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN,
sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
Bahwa sedangkan menurut Termohon Peninjauan Kembali, TBS yang dihasilkan dari kebun sendiri tidak dijual melainkan diolah lebih lanjut melalui Titip Olah menjadi CPO dan Inti Sawit (Kernel). Oleh karena Termohon Peninjauan Kembali tidak melakukan penyerahan/penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan tetapi hanya melakukan penyerahan penjualan BKP berupa CPO dan Kernel yang mana atas seluruh penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% maka seluruh Pajak Masukan yang dikreditkan Termohon Peninjauan Kembali berkaitan dengan kegiatan usaha penyerahan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dapat dikreditkan; - Bahwa dengan demikian sengketa Peninjauan Kembali ini bersifat yuridis fiscal dimana terdapat perbedaan pendapat/penafsiran ketentuan perundang-undangan perpajakan mengenai Pajak Masukan atas perolehan BKP (seperti pembelian pupuk dan yang lainnya) yang digunakan untuk yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (Tandan Buah Segar), yaitu apakah atas Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak dengan kondisi bahwa TBS yang dihasilkan diserahkan kepada pihak ketiga untuk dititip olah;
- Bahwa terkait perbedaan pendapat mengenai
apakah Pajak Masukan atas
perolehan BKP (seperti pembelian pupuk dan yang lainnya) yang digunakan
untuk yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat
strategis (TBS) dapat dikreditkan atau tidak pada perusahaan yang
melakukan kegiatan usaha Non-Terpadu (non-integreted) maupun Usaha
Terpadu (integrated), berikut akan dijelaskan lebih lanjut:
- Bahwa landasan filosofis Pasal 16B
Undang-Undang PPN adalah sebagai berikut:
Bahwa untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus;
Bahwa namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam undang-undang perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku; - Bahwa Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN
menyatakan bahwa "Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan";
Bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 1277, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta 2007, kata “yang” bermakna: kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata yang didepannya. Oleh karena itu, Kalimat: “atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan”, bukan merupakan kalimat utama, melainkan kalimat keterangan atau penjelas dari kalimat “Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak”;
Bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan BKP atau JKP yang bagaimana.Kalimat tersebut bukan kalimat utama, melainkan kalimat penjelas kalimat sebelumnya;
Bahwa dengan demikian, penentuan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP dapat dikreditkan atau tidak, bukan didasarkan pada ada tidaknya penyerahan, melainkan jenis BKP/JKP yang diperolehnya, yang dalam kasus ini adalah TBS;
Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan; - Bahwa PPN merupakan pajak objektif, yaitu
suatu jenis pajak yang
saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif
(taatbestand) atau objek pajak.
Mengingat dalam hal ini, objeknya adalah Tandan Buah Segar (TBS) yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka:
- Tidak ada Pajak Keluaran baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (Tandan Buah Segar: TBS);
- Dengan tidak ada Pajak Keluaran, maka tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (Tandan Buah Segar: TBS);
- Bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (3)
menyatakan “Berbeda dengan
ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak
Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan
tersebut tidak dapat dikreditkan;
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
Bahwa kata yang digunakan dalam Pasal 16B adalah “Memproduksi” bukan “Menyerahkan. Pemilihan kata “Memproduksi” dalam Penjelasan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN menguatkan karakter objektif PPN, kepada siapapun, dengan cara apapun, dan dalam kondisi apapun, sesuai karakter objektif dari pengenaan PPN, atas produk TBS dibebaskan dari pengenaan PPN;
Bahwa mengenai perihal ketentuan khusus dari Pasal 16B Undang-Undang PPN, bahwa karena kekhususannya tersebut maka Pasal 16B Undang-Undang PPN lebih utama dibandingkan dengan ketentuan yang bersifat umum, jika untuk mengkoreksi Pajak Masukan menurut Pasal 16B Undang-Undang PPN harus memastikan adanya penyerahan kepada pihak ketiga, lalu pertanyaan yang timbul kemudian adalah untuk apa Undang-Undang PPN mengatur dua kali. Bukankah hal tersebut sudah diatur di Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang PPN, inilah kekhususan dari Pasal 16B Undang-Undang PPN tersebut; - Bahwa kedudukan Pasal 16B di dalam
Undang-Undang PPN diatur dalam Bab VA mengenai Ketentuan Khusus;
Bahwa selain Pasal 16B, Bab VA yang mengatur mengenai Ketentuan Khusus juga diatur dalam Pasal 16A, Pasal 16C, Pasal 16D, Pasal 16E , dan Pasal 16F;
Bahwa keberadaan norma khusus akan mengenyampingkan norma umumnya, artinya ada pemberlakuan yang khusus tidak seperti pada umumnya; - Bahwa secara garis besar ketentuan umum
mengatur bahwa PPN dikenakan
atas penyerahan/pemanfaatan BKP atau JKP (Pasal 4 UU PPN);
Bahwa di dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang PPN dinyatakan bahwa syarat terutangnya PPN yang dilakukan oleh PKP adalah:
- Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
- Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
- Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
- Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya;
Bahwa selanjutnya Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, dengan kondisi apabila Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan sebaliknya apabila Pajak Masukan yang lebih besar daripada Pajak Keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang PPN); - Bahwa selanjutnya dapat dijelaskan bahwa
ketentuan khusus akan menyimpang dari ketentuan umumnya;
Bahwa berikut ini dapat dijabarkan penjelasan penyimpangannya:
Pasal 16A mengatur penyerahan kepada Pemungut PPN, umumnya yang memungut PPN adalah PKP penjualnamun diatur khusus ketika penyerahan kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah PemungutPPN;
Pasal 16C mengenakan atas kegiatan membangun sendiri, umumnya PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan BKP/JKP namun diatur khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS dan tiada penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan;
Pasal 16D mengatur penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak diperjualbelikan namun dengan syarat pajak masukannya saat diperoleh dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat dikenakan PPN sebagaimana diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat pajak masukannya dapat dikreditkan atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam Pasal 16D;
Pasal 16E mengenai PPN yang sudah dibayar dapat diminta kembali, umumnya seperti diatur dalam Pasal 9 ayat (4) yang dilakukan oleh PKP namun secara khususdiatur dimana bukan PKP pun dapat minta kembali PPN yang telah dibayar; - Bahwa secara umum bahwa Pajak Masukan tidak
dapatdikreditkan diatur
dalam Pasal 9 ayat (8) namun Pasal 16B ayat (3) juga mengatur adanya
larangan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Artinya ada aturan
khusus mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan;
Bahwa suatu pasal merupakan satuan aturan dalam perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas. Apabila dalam batang tubuh belum memberikan kejelasan bunyi pasalnya maka dapat dilihat dalam penjelasan pasal tersebut;
Bahwa dengan demikian untuk memahami Pasal 16B ayat (3) maka harus dilihat dahulu Pasal 16B ayat (1) dan penjelasannya; - Bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN
menyatakan bahwa Pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
- .......;
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
- .......;
- ......; dan
- ...........
Penjelasan Pasal 16B ayat (1) menyatakan “Salah satuprinsip yang harus dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
Bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut; - Bahwa dapat dilihat secara tersurat bahwa
Pasal 16B ayat (1)
menganut prinsip equal treatment. Bahwa prinsip perlakuan yang sama
atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus
dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax);
Bahwa Sally M. Jones dan Shelley C. Rhoades-Catanach dalam bukunya Priciples of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 menulis:
- Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah;
- Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah maupun bagi rakyat untuk membayar;
- Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian Negara;
- Pajak yang baik seharusnya adil;
- Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib Pajak tersebut;
- Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basispajak yang sama seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama;
- Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka setelah pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap lebih baik daripada Wajib Pajak;
- Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi kesejahteraan di dalam suatu masyarakat;
- Bahwa sesuai dengan prinsip Pasal 16B
menekankan kepada aspek
keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam
pungutan pajak;
Bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (1) bahwa penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pasal 16B ayat (3) bahwa Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan;
Bahwa ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO dan PK, maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS, dapat dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan Kembali/ semula Pemohon Banding dan Majelis Hakim);
Bahwa pendapat demikian di atas telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal 16B; - Bahwa menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16B
ayat (3) Undang-Undang
PPN, apakah diharuskan adanya syarat penyerahan BKP. Apabila dalam
pasal belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya. Penjelasan Pasal
16B ayat (3) Undang-Undang PPN mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B
memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Bahwa frase kalimat “yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Dicontohkan bahwa PKP yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan;
Bahwa dalam sengketa ini Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghasilkan TBS.
Kekhususan Pasal 16B Undang-Undang PPN ada pengertian dalam menghasilkan sebagai penyerahan;
Bahwa dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan terkait pemakaian TBS; - Bahwa sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas pengertiannya daripada undang-undang”;
- Bahwa PP 31 Tahun 2007 merupakan aturan
pelaksanaan ketentuan Pasal
16B Undang-Undang PPN (atribusi). Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP 31, merupakan
aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN
yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum;
Bahwa ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
Bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut; - Bahwa penerapan koreksi Pajak Masukan yang
dilakukan Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan
tujuan diberikannya fasilitas:
meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama;
Bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangakan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya terpadu (integrated); - Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan
yang sama atas Pajak Keluaran dan Pajak Masukan, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
- Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah
Kebun Sawit saja:
- Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
- Pajak Masukan kebun tidak dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO dan;
- Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah
Pabrik CPO/PK saja:
- Atas penyerahan CPO, PK terutang PPN;
- Tidak ada Pajak Masukan atas Pembelian TBS;
- Pajak Masukan kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unsur HPP bagi CPO, PK;
- Dalam hal usaha Wajib Pajak
terintegrasi Kebun Sawit dengan Pabrik CPO:
- Tidak ada PPN atas TBS;
- PPN hanya atas CPO, PK;
- Pajak Masukan kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO, PK;
- Pajak Masukan kebun, antara perusahaan sawit saja yang mengkapitalisasi Pajak Masukan kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan Pajak Masukan kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan kebun;
- Harga jual Crude Palm Oil (CPO) dan
Palm Kernel (PK), dan Pajak
Keluaran atas CPO dan PK, yang berpotensi memunculkan persaingan yang
tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO dan PK bagi perusahaan yang hanya
pabrikan CPO dan PK, mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga
cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak
mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih
rendah;
Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada Pajak Keluaran baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS), dan tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS);
- Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah
Kebun Sawit saja:
- Bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis, Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (termasuk di dalamnya adalah para petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena PM menjadi HPP). Hal tersebut bertentangan dengan netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis;
- Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena
Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka
Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang
dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan;
Ilustrasi:
Dasar Pengenaan Pajak Pupuk Rp100,00
Dasar Pengenaan Pajak TBS Rp400,00
Dasar Pengenaan Pajak CPO Rp900,00
Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan mengingat penyerahan DPP TBS oleh PT X (perkebunan kelapa sawit) dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Uraian
PT. X Perkebunan Kelapa Sawit
PT. Y Pengolahan Kelapa Sawit
Beban Pajak
DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
Pupuk 100
Tidak dapat
dikreditkan
Tidak dapat
dikreditkanTBS
400 Dibebaskan
400
Tidak dapat
dikreditkan
CPO
900 90 90 Neto
90 90
Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Uraian
PT. X Perkebunan Kelapa Sawit
PT. Y Pengolahan Kelapa Sawit
Beban Pajak
DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
Pupuk 100
100
-10
TBS
400 Dibebaskan
400
Tidak dapat
dikreditkan
CPO
900 90 90 Neto
90 90
Membandingkan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai pada butir 1) dan butir 2) di atas, maka:
- Pengkreditan Pajak Masukan pupuk atas penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN;
- Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan ketidakadilan;
Uraian
PT. X Perkebunan Kelapa Sawit
PT. Y Pengolahan Kelapa Sawit
Beban Pajak
DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
Pupuk 100
Tidak dapat
dikreditkan
Tidak dapat
dikreditkanTBS
400 Dibebaskan
400
Tidak dapat
dikreditkan
CPO
900 90 90 Neto
90 90
Membandingkan perlakuan PPN pada butir 1) dan butir 3) di atas, maka terdapat kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan;
Bahwa mengingat hal-hal tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok pikiran dalam Undang-Undang PPN dan Memori Penjelasan Pasal 16B Undang-Undang PPN menghendaki keadilan pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama;
Dengan demikian dapat disampaikan:
- Bahwa mengingat TBS merupakan Barang
Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, maka Pasal 16B ayat
(3) Undang-Undang PPN dapat dipahami:
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan; - Bahwa PPN atas pupuk dan pembelian lainnya yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan TBS yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa berdasarkan uraian di atas, baik TBS yang diserahkan kepada pihak lain untuk dititip olah maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
- Dengan demikian, Pemohon Peninjauan Kembali menegaskan kembali bahwa tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan TBS adalah mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis, dimana fokus seharusnya terletak pada TBS sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis, dengan demikian baik TBS tersebut diserahkan kepada pihak lain untuk dititipolahkan maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) maka atas keseluruhan Pajak Masukannya tetap tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum dan amar Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terhadap koreksi Pajak Masukan berupa pupuk, dan lain-lain yang digunakan untuk menghasilkan TBS sebesar Rp132.506.688,00 bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dan PP Nomor 31 Tahun 2007;
- Bahwa landasan filosofis Pasal 16B
Undang-Undang PPN adalah sebagai berikut:
3.4.
Bahwa kemudian, terdapat Putusan Mahkamah Agung No. 70P/HUM/2014 Perkara Permohonan Hak Uji Materiil antara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) melawan Presiden Republik Indonesia, yang mana dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menerima uji materi yang disampaikan oleh KADIN;
Sebagaimana diketahui bahwa Permohonan Hak Uji Materi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, berkaitan dengan materi:
- Pasal 1 ayat (1) huruf c:
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah:
barang hasil pertanian; - Pasal 1 ayat (2) huruf a:
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: pertanian, perkebunan, dan kehutanan; - Pasal 2 ayat (1) huruf f:
Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa: barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c,dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; - Pasal 2 ayat (2) huruf c:
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa: barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Bahwa apabila suatu putusan telah dibuat maka ada jangka waktu pelaksanaannya sampai dengan dinyatakan tidak berlaku atau dicabut;
Bahwa dalam ketentuan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dikenal asas vermoeden van rechmatigheid yang berarti bahwa “keputusan organ pemerintahan yang digugat hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum”. Bahwa istilah dibatalkan atau vernietigbar, berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh Hakim atau badan pemerintah lain yang berwenang. Badan pemerintah lain yang berwenang di sini dapat dikatakan adalah Presiden selaku yang berwenang dalam penetapan PP tersebut;
Bahwa dalam vernietigbaar, salah satu unsurnya adalah ex nunc, yang secara harfiah diterjemahkan “sejak saat sekarang”.
Dalam konteks ini, ex nunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya;
Bahwa sesuai dengan penjelasan di atas berarti bahwa sebelum ada terbit putusan yang memperbarui atau membatalkan peraturan yang lama, maka peraturan tersebut, dalam hal ini PP 31 Tahun 2007, masih tetap berlaku dan dipakai sebagai pedoman sampai dengan dinyatakan Tidak Berlaku lagi atau dicabut;
Dengan demikian, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berkesimpulan bahwa Putusan perkara Permohonan Hak Uji Materi mulai berlaku ke depan sejak tanggal ditetapkan. Bahwa sejak tanggal ditetapkan tersebut dan ke depannya, perlakuan perpajakan Bahwa sesuai dengan asas vermoeden van rechmatigheid, Mahkamah Agung dalam putusannya membatalkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c, PP Nomor 31 Tahun 2007. Putusan Perkara Permohonan Hak Uji Materi No. 70P/HUM/2014 tersebut ditetapkan pada tanggal 25 Februari 2014. Dan sesuai dengan kaidah ex nunc maka perlakuan atas kasus-kasus yang terjadi sebelum keluarnya Putusan Uji Materi ini masih tetap menggunakan ketentuan yang berlaku pada saat itu sebelum Putusan Mahkamah Agung tersebut ditetapkan, dalam hal ini PP Nomor 31 Tahun 2007 atau ketentuan-ketentuan sebelumnya;
Dengan demikian, Putusan Mahkamah Agung atas Uji Materiil PP Nomor 31 Tahun 2007 tersebut tidak berpengaruh terhadap sengketa antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk Tahun Pajak 2010 karena dalam kurun waktu tersebut, PP tersebut masih berlaku dan belum dibatalkan, dan dengan demikian masih sangat relevan dijadikan pedoman oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam melaksanakan tugas di bidang perpajakan;3.5.
Bahwa perlu Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan bahwa atas sengketa yang sama, yaitu koreksi positif Pajak Masukan terkait perolehan Barang Kena Pajak yang bersifat stategis, terdapat beberapa Putusan Mahkamah Agung yang tetap mempertahankan koreksi Pajak Masukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut antara lain:
No Putusan Mahkamah Agung No. Putusan Pengadilan Pajak
Nomor Reg. Tanggal 1
738/B/PK/PJK/2014 22 Desember 2014 PUT.46895/PP/M.IV/16/2013 2
739/B/PK/PJK/2014 22 Desember 2014 PUT.46897/PP/M.IV/16/2013 3
741/B/PK/PJK/2014 22 Desember 2014 PUT.46893/PP/M.IV/16/2013 4
742/B/PK/PJK/2014 22 Desember 2014 PUT.46898/PP/M.IV/16/2013
Bahwa dalam pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan-putusan tersebut di atas menyatakan antara lain adalah karena dalam perkara a quo pengkreditan atas Pajak Masukan haruslah dikaitkan dengan bidang usaha dan penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) sebagai PKP sesuai dengan norma atau kaidah serta kebijakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;3.6.
Bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, Norma Hukum dalam hal ini adalah undang-undang merupakan hukum konkret sebagai peraturan yang riil berlaku sebagai hukum positif, yang mengikat untuk dilaksanakan;
Bahwa demi menjamin kepastian hukum, maka ketentuan tersebut sebagai Norma Hukum tidak dapat dikesampingkan oleh Majelis Hakim;
Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali mempertahankan
koreksi Pajak
Masukan yang Dapat Diperhitungkan Masa Pajak Januari 2011 sebesar
Rp132.506.688,00 karena merupakan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau
JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang menghasilkan Barang
Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis dalam hal ini Tandan Buah
Segar (TBS) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN,
sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amar
pertimbangan dan
amar Putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi atas Pajak
Masukan yang Dapat Dikreditkan sebesar Rp132.506.688,00 bertentangan
dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dan Pasal 3 PP
Nomor 31 Tahun 2007, sehingga melanggar ketentuan Pasal 78
Undang-Undang Pengadilan Pajak dan oleh karenanya diajukan Peninjauan
Kembali ke Mahkamah Agung;
- Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp132.506.688,00 atas perolehan BKP tertentu yang atas penyerahan dari hasil kegiatan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN, telah dibuat tanpa pertimbangan yang cukup dan bertentangan dengan fakta yang nyata-nyata terungkap dalam persidangan, serta aturan perpajakan yang berlaku, khususnya Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN juncto Pasal 3 PP Nomor 31 Tahun 2007 sehingga melanggar ketentuan dalam Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 atas sengketa a quo tersebut harus dibatalkan;
- Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak Nomor
Put.63539/PP/M.IVA/16/2015 tanggal 3 September 2015 yang menyatakan:
Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 578/WPJ.27/2014 tanggal 12 Mei 2014, tentang Keberatan Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2011 Nomor 00001/207/11/202/13 tanggal 3 Juni 2013, yang terdaftar dalam berkas perkara Nomor 16-081704-2011 atas nama PT DFG, NPWP 0X.XXX.XXX.X-X0X.00X, alamat di Desa IV Koto Kinali, Pesaman Barat, alamat korespondensi: Gedung B & G Tower Lt. 8, Jalan XY, No. 10, Medan X0XXX sehingga PPN yang kurang/(lebih) dibayar dihitung kembali menjadi sebagaimana tersebut di atas (pada halaman 2);
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
- Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa ini
adalah:
Apakah pembayaran Faktur Pajak atas jasa titip olah kepada PT QQ dapat dikreditkan? - Bahwa Judex Facti sudah benar, karena Pemohon Banding sudah membayar PPh Pasal 23 atas jasa titip olah;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 12 Januari 2017 oleh Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, FFF, S.H., M.Hum. dan XYZ, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim- Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH, S.H., M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis : ttd/ FFF, S.H., M.H., ttd/ Dr. GGG, S.H., C.N., Biaya – biaya : 1. M e t e r a i…………….. Rp 6.000,00 2. R e d a k s i…………….. Rp 5.000,00 3. Administrasi ………..…. Rp 2.489.000,00 Jumlah ………. Rp 2.500.000,00 |
Ketua Majelis: ttd/ XYZ, S.H., M.H., Panitera Pengganti ttd/ HHH, S.H.,M.H., |
Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,
H. RTY, S.H.
NIP. XX0000XXX
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.