Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1308/B/PK/PJK/2016

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 yang telah be


 

PUTUSAN
Nomor 1308/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal XY Nomor 40-42, Jakarta XXXX0, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
  1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Semuanya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jalan Jenderal XY, Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-142/PJ./2015, tanggal 13 Januari 2015;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:


PT FGH, tempat kedudukan di Jalan Desa XX, Kecamatan Tanah Tumbuh, Muara Bungo;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Ketentuan Formal Banding;
Bahwa permohonan banding ini Pemohon Banding ajukan berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa: “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)”;
Bahwa lebih lanjut, dalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa: “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut”;
Bahwa sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan bahwa:
  1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
  2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan”;
Bahwa sesuai dengan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan bahwa:
  1. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
  2. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
  3. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding;
  4. Selain dan persyaratan sehagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang yang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)”;
Bahwa sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya”;
Kronologis dan Dasar Dilakukan Koreksi oleh Terbanding;
Bahwa Terbanding menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012, dengan rincian sebagai berikut:

No Uraian Pemohon Banding (Rp) Terbanding
(Rp)
Koreksi
(Rp)
1





2.







3.



4.
5.



6.
Dasar Pengenaan Pajak:
a.   Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri
b.   Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut
c.   Jumlah
d.   Jumlah Seluruh Penyerahan

Perhitungan PPN Kurang Bayar:
a.   Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri
b.   Dikurangi, Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan 
c.   Dibayar dengan NPWP sendiri
d.   Jumlah
e.   Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan
f.   Jumlah Perhitungan PPN Kurang/(Lebih) Bayar

Kelebihan Pajak yang sudah: 
a.   Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya
b.   Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan
c.   Jumlah (a+b)      
PPN yang kurang bayar
Sanksi administrasi:
a.   Bunga Pasal 13(2) KUP
b.   Kenaikan Pasal 13(3) KUP
c.   Jumlah
Jumlah PPN yang masih harus dibayar

23.610.787.176,00
1.395.000.000,00
25.005.787.176,00

23.610.787.176,00
1.395.000.000,00
25.005.787.176,00

0,00
0,00
0,00
25.005.787.176,00 25.005.787.176,00 0,00

2.361.078.717,00
291.947.664,00
2.069.131.053,00
2.361.078.717,00
2.361.078.717,00

2.361.078.717,00
118.534.372,00
2.069.131.053,00
2.187.665.425,00
2.187.665.425,00

0,00
173.413.292,00
0,00
173.413.292,00
173.413.292,00
0,00 173.413.292,00 173.413.292,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00 0,00 0,00

0,00

0,00
0,00

173.413.292,00

83.238.380,00
0,00
83.238.380,00

173.413.292,00

83.238.380,00
0,00
83.238.380,00
0,00 256.651.672,00 256.651.672,00

Bahwa adapun atas jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar sebesar Rp256.651.672,00 berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012 telah Pemohon Banding bayar seluruhnya pada tanggal 26 September 2012 menggunakan Surat Setoran Pajak melalui Bank Persepsi DF dengan NTPN: 0X0XXX0X0X0XXX0X;
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan diterbitkannya Surat Ketetapan  Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Nomor 00023/207/08/332/12 Masa Pajak Februari 2008 tersebut dan telah mengajukan permohonan keberatan kepada Terbanding melalui Surat Nomor 022/XI-12/AB.1/SKU tanggal 12 November 2012 yang diterima oleh Terbanding pada tanggal 22 November 2012;
Bahwa menanggapi permohonan keberatan Pemohon Banding, pada tanggal 31 Juli 2013 Terbanding menerbitkan Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-621/WPJ.27/2013 yang isinya menolak keberatan Pemohon Banding dan mempertahankan jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012 dengan rincian sebagai berikut:

Uraian Semula
(Rp)
Ditambah/(Dikurangi)
(Rp)
Menjadi
(Rp)
PPN Kurang/(Lebih) Bayar 173.413.292,00 0,00 173.413.292,00
Sanksi Bunga 83.238.380,00 0,00 83.238.380,00
Sanksi Kenaikan 0,00 0,00 0,00
Jumlah Pajak yang masih harus/(lebih) dibayar  256.651.672,00 0,00 256.651.672,00

Bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak setuju dengan keputusan yangditerbitkan oleh Terbanding tersebut di atas, maka Pemohon Banding mengajukan Permohonan Banding atas Keputusan Nomor KEP-621/WPJ.27/2013 tanggal 31 Juli 2013 tersebut kepada Pengadilan Pajak;
Alasan Pengajuan Permohonan Banding;
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding atas Pajak Pertambahan Nilai Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp173.413.292,00 dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding bergerak dalam bidang industri minyak kelapa sawit di mana produk yang dijual oleh Pemohon Banding adalah minyak kelapa sawit (CPO) dan PK;
Bahwa dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut, Pemohon Banding mengelola perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan hasil perkebunan  kelapa sawit yaitu Tandan Buah Segar (TBS), adapun hasil perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding ini tidak dimaksudkan untuk dijual, tetapi seluruhnya akan diolah lebih lanjut menjadi produk minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK), CPO dan PK yang dihasilkan inilah yang kemudian dijual kepada pihak lain dan merupakan pendapatan bagi Pemohon Banding;
Bahwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tanggal 8 Januari 2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari penggenaan Pajak Pertambahan Nilai, produk CPO dan PK tidak termasuk sebagai barang atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sehingga atas penyerahan CPO dan PK yang dilakukan oleh Pemohon Banding harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%;
Bahwa kemudian di Pasal 9 ayat (5), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 mengatur bahwa: “Apabila dalam suatu masa pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, maka jumlah pajak masukan  yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak”;
Bahwa lebih lanjut, di Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 juga menyebutkan bahwa: “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan”;
Bahwa lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak menyatakan bahwa: “Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
  1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak  Pertambahan Nilai; atau
  2. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  3. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  4. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”;
Bahwa kemudian pada Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 mengatur tentang:
“Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2, wajib menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan tersebut …”;
Bahwa dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai secara jelas menekankan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan yaitu penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai maka Pajak Masukan berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;
Bahwa dengan demikian jelas karena Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan penjualan TBS (yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai) akan tetapi hanya melakukan kegiatan usaha yang mana atas seluruh penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10% yaitu dalam hal ini melakukan penjualan produk CPO dan PK, maka menurut Pemohon Banding seharusnya seluruh Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Terbanding tersebut dapat Pemohon Banding kreditkan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas maka koreksi Terbanding atas Pajak Pertambahan Nilai Masukan sebesar Rp173.413.292,00 seharusnya dibatalkan dan menjadi Nihil;
Perhitungan Pajak menurut Pemohon Banding;
Bahwa berdasarkan penjelasan dan uraian di atas maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa terutang Masa Pajak Februari 2008 menurut Pemohon Banding seharusnya adalah sebagai berikut:

No. Uraian Pemohon Banding
(Rp)
1
Dasar Pengenaan Pajak:

a.   Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 23.610.787.176,00

b.   Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut 1.395.000.000,00

c.   Jumlah 25.005.787.176,00

d.   Jumlah Seluruh Penyerahan 25.005.787.176,00
2.
Perhitungan PPN Kurang Bayar:

a.   Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri 2.361.078.717,00

b.   Dikurangi, Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan 291.947.664,00

c.   Dibayar dengan NPWP sendiri 2.069.131.053,00

d.   Jumlah 2.361.078.717,00

e.   Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan 2.361.078.717,00

f.   Jumlah Perhitungan PPN Kurang Bayar 0,00
3.
Kelebihan Pajak yang sudah:

a.   Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya 0,00

b.   Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan) 0,00

c.   Jumlah (a+b) 0,00
4. PPN yang kurang bayar 0,00
5.
Sanksi administrasi:

a.   Bunga Pasal 13(2) KUP 0,00

b.   Kenaikan Pasal 13(3) KUP

c.   Jumlah 0,00
6.
Jumlah PPN yang masih harus dibayar Nihil

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-621/WPJ.27/2013 tanggal 31 Juli 2013, tentang  Keberatan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012, yang terdaftar dalam berkas perkara Nomor 16-074515-2008, atas nama PT FGH, NPWP 0X.00X.XXX.X-XXX.001, beralamat di Jalan Desa XX, Kecamatan Tanah Tumbuh, Muara Bungo, sehingga jumlah Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 yang masih harus dibayar menjadi:

No. Uraian Jumlah (Rp)
1
Dasar Pengenaan Pajak:

- Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 23.610.787.176,00

- Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut 1.395.000.000,00

- Jumlah Seluruh Penyerahan 25.005.787.176,00
2.
Perhitungan PPN Kurang Bayar:

- Pajak Keluaran yg harus dipungut/dibayar sendiri 2.361.078.717,00

Dikurangi:

- Pajak Masukan yg dapat diperhitungkan 291.944.826,00

- Dibayar dengan NPWP sendiri 2.069.131.053,00

- Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan 2.361.075.879,00

- Jumlah Perhitungan PPN Kurang Bayar 2.838,00
3.
Kelebihan Pajak yang sudah:

- Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya  0,00
4.
PPN yang kurang bayar 2.838,00
5.
Sanksi administrasi Bunga Pasal 13(2) KUP 1.362,00
6.
Jumlah PPN yang masih harus dibayar 4.200,00

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 3 November 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-142/PJ./2015 tanggal 13 Januari 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 27 Januari 2015 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA- 430/4.2/PAN.Wk/2015 yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Pajak, dengan disertai oleh alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 25 November 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 23 Desember 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan peninjauan kembali pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali;
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis formal atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
    1. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  1. Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali;
  1. Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014, atas nama PT FGH (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan cara disampaikan secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 4 November 2014 sesuai Tanda Terima Surat TPST Direktorat Jenderal Pajak Nomor Dokumen X0XXXX0X0X00;
  2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92 ayat (3) juncto Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 ini masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
  1. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah:
Tentang sengketa Koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk sebesar Rp171.497.554,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
  1. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, meneliti, dan mempelajari lebih lanjut atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit)dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
    1. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara lain sebagai berikut:
      1.1.
      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), yang antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 76:
      Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
      Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
      Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan;
      Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
      Pasal 78:
      Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
      Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
      Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
      Pasal 91 huruf e:
      Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
      1. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
      1.2.
      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak  Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN), yang antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 9 ayat (5):
      Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
      Pasal 9 ayat (8):
      Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
      1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
      2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
      3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
      4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
      5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
      6. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
      7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
      8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
      9. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
      Pasal 16B ayat (3):
      "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan";
      Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
      Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
      Contoh:
      Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
      Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
      Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
      1.3.
      Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yang antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 1:
      Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
      1. Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah:
        1. barang hasil pertanian;
      1. Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
        1. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik  langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini”;
          Jenis barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS;
          Pasal 2 ayat (2) huruf c:
          “Atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”;
          Pasal 3:
          "Pajak Masukan atas perolehan barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan";
      1.4.
      Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak, yang antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 2 ayat (1) huruf a:
      “Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari UNIT atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan UNIT atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, maka PM yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk UNIT atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan”;
    1. Bahwa pokok sengketa banding adalah koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan sebesar Rp171.497.554,00 yang digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dimana berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, TBS merupakan barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga atas Pajak Masukan yang dibayarkan untuk membeli BKP dan atau JKP dalam rangka menghasilkan TBS tersebut tidak dapat dibebankan sebagaima diatur dalam Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK04/2000;
    2. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)  sependapat dengan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan alasan BKP yang diserahkan adalah Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) yang terutang PPN sehingga Pajak Masukan yang dikoreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) seharusnya tetap dapat dikreditkan karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN. Bahwa terkait dengan pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang menyatakan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghasilkan TBS yang merupakan barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN dengan ini disampaikan bahwa TBS tersebut tidak dijual oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tetapi digunakan sebagai bahan baku dalam rangka pembuatan CPO dan PK di pabrik milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sendiri. Dengan demikian tidak ada penyerahan TBS yang dilakukan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana alasan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding);
    3. Bahwa data dan fakta terkait dengan sengketa adalah sebagai berikut:
      4.1.
      Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) bergerak dalam bidang perkebunan dan industri minyak kelapa sawit di mana BKP yang dijual oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah minyak kelapa sawit  (CPO) dan inti sawit (PK). Bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengelola perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang diolah lebih lanjut menjadi produk minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK).
      CPO dan PK inilah yang kemudian dijual kepada pihak lain dan merupakan pendapatan bagi Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
      4.2.
      Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan sebesar Rp171.497.554,00 berasal dari pembelian pupuk yang digunakan oleh UNIT perkebunan kelapa sawit dalam rangka menghasilkan TBS sedangkan Pajak Masukan yang digunakan oleh UNIT Pengolahan Kelapa Sawit dalam rangka menghasilan CPO dan PK tidak dikoreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding);
      4.3.
      Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000;
    1. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk tidak mempertahankan Koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk sebesar Rp171.497.554,00 dengan pertimbangan, pendapat dan kesimpulan sebagaimana dinyatakan pada Putusan Pengadilan Pajak a quo sebagai berikut:
      Halaman 21-22:
      Bahwa Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian pupuk sebesar Rp171.497.554,00 berdasarkan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM juncto Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010;
      Bahwa Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk a quo dengan alasan bahwa “penyerahan” yang dipergunakan adalah dalam hal apabila atas produk tersebut dilakukan “penyerahan” tidak dalam pengertian penyerahan sesungguhnya dan oleh karena terdapat dua produk yang dihasilkan yaitu, Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO (Crude Palm Oil) beserta turunannya, maka atas biaya terkait produksi TBS yang penyerahannya merupakan produk yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, sedangkan biaya terkait produksi CPO beserta turunannya Pajak Masukannya dapat dikreditkan;
      Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan definisi “penyerahan” sebagaimana didalilkan Terbanding bahwa “penyerahan” menurut Pemohon Banding adalah penyerahan dalam arti sesungguhnya terkait dengan produk akhir yang dihasilkan untuk keseluruhan lini produksi tanpa melihat apakah dalam proses produksi tersebut terdapat produk yang berbeda untuk setiap lini produksi, sehingga karena produk akhir Pemohon Banding adalah CPO yang merupakan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai maka Pajak Masukannya dapat dikreditkan;
      Bahwa dari hasil pemeriksaan, bukti-bukti, data-data dan keterangan dalam persidangan diketahui: bahwa Terbanding terbukti melakukan koreksi Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari Tahun Pajak 2008 sebesar Rp65.775.619,00 bahwa Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai a quo menurut Terbanding merupakan Pajak Masukan atas pembelian pupuk yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang menghasilkan TBS dan tidak berkaitan dengan kegiatan untuk mengolah TBS menjadi CPO dan PK sebagaimana definisi penyerahan yang didalilkan Terbanding;
      Bahwa Terbanding mendalikan bahwa agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai;
      Bahwa Terbanding secara eksplisit menyatakan bahwa Pajak MasukanPajak Pertambahan Nilai yang dikoreksinya berkaitan dengan kegiatan untuk perkebunan kelapa sawit yang produk/outputnya adalah TBS sehingga tidak mempunyai hubungan langsung dengan produk penyerahan/penjualan Pemohon Banding berupa CPO dan PK sehingga Pajak Masukan atas Perolehan Barang Kena Pajak a quo tidak dapat dikreditkan;
      Bahwa Majelis berpendapat, Terbanding telah mengakui bahwa produk akhir Pemohon Banding adalah CPO dan PK yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan demikian Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang digunakan Pemohon Banding untuk menghasilkan produk akhir a quo seharusnya dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding;
      Bahwa Terbanding juga mengakui bahwa Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang dikoreksi Terbanding terkait langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding namun tetap tidak dapat dikreditkan karena tidak terkait dengan penyerahan CPO dan PK yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, Majelis berpendapat bahwa proses produksi untuk menghasilkan CPO dan PK merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan secara parsial;
      Bahwa Majelis berpendapat, produk akhir berupa CPO dan PK yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dijadikan dasar oleh Terbanding apakah Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang dikreditkan berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya bukan memilah-milah bagian dari mata rantai suatu proses produksi;
      Bahwa Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang dikoreksi Terbanding terbukti mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk menghasilkan CPO dan PK yang merupakan produk akhir Pemohon Banding dan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang diperoleh Pemohon Banding dari pihak lain yang selanjutnya digunakan untuk menghasilkan produk akhir a quo bukannya dipisah-pisah apakah Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai a quo digunakan untuk menghasilkan barang mentah, barang setengah jadi maupun barang jadi (finished product);
      Bahwa sebagaimana didalilkan Terbanding berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM  sehingga Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai, Majelis berpendapat bahwa produk akhir yang dijual Pemohon Banding adalah CPO dan PK yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang berhubungan langsung untuk menghasilkan produk akhir a quo dapat dikreditkan seluruhnya oleh Pemohon Banding;
      Bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Terbanding atas Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari Tahun Pajak 2008 sebesar Rp171.497.554,00 tidak tepat dan harus dibatalkan;
    2. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak a quo serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan dengan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tidak mempertahankan Koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk sebesar Rp171.497.554,00 sebagaimana diuraikan di atas dengan argumentasi sebagai berikut:
      1. Bahwa alasan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar Rp171.497.554,00 adalah karena Pajak Masukan tersebut dibayarkan untuk membeli BKP dan atau JKP dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dimana berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, TBS merupakan barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga atas Pajak Masukan yang dikreditkan tersebut tidak dapat dibebankan sebagaima diatur dalam Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK04/2000;
      2. Bahwa TBS dihasilkan oleh unit perkebunan kelapa sawit milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang selanjutnya TBS tersebut diolah menjadi CPO dan PK di unit pengolahan TBS (pabrik minyak kelapa sawit). Bahwa untuk dapat menghasilkan TBS maka unit perkebunan kelapa sawit harus mengeluarkan biaya untuk menanam dan memelihara kelapa sawit, salah satunya adalah biaya pembelian pupuk. Bahwa mengingat unit perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan TBS yang dibebaskan dari pengenaan PPN maka Pajak Masukan yang berhubungan dengan unit perkebunan kelapa sawit tidak dapat dikreditkan, termasuk salahsatunya adalah Pajak Masukan atas pembelian pupuk;
      3. Bahwa Majelis Hakim tidak sependapat dengan alasan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan menyatakan bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dapat dikreditkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan pertimbangan bahwa proses produksi untuk menghasilkan CPO dan PK merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan secara parsial. bahwa Majelis berpendapat, produk akhir berupa CPO dan PK yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dijadikan dasar oleh Terbanding apakah Pajak Masukan yang dikreditkan berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya bukan memilah-milah bagian dari mata rantai suatu proses produksi. Bahwa Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi Terbanding terbukti mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk menghasilkan CPO dan PK yang merupakan produk akhir Pemohon Banding dan Pajak Masukan Pajak yang diperoleh Pemohon Banding dari pihak lain yang selanjutnya digunakan untuk menghasilkan produk akhir a quo bukannya dipisah-pisah apakah Pajak Masukan a quo digunakan untuk menghasilkan barang mentah, barang setengah jadi maupun barang jadi (finished product);
      4. Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat/penafsiran terkait ketentuan perundang-undangan perpajakan mengenai Pajak Masukan atas perolehan BKP (pembelian pupuk dan yang lainnya) yang digunakan untuk UNIT perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yaitu Tandan Buah Segar (TBS), yaitu apakah atas Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak dengan kondisi bahwa TBS yang dihasilkan digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya dalam satu entitas perusahaan yang sama (integrated);
      5. Bahwa terkait perbedaan pendapat atau penafsiran tersebut maka disampaikan penjelasan sebagai berikut:
      1. Bahwa landasan filosofis Pasal 16B Undang-Undang PPN adalah sebagai berikut:
        Untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undang-Undang Perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
      2. Bahwa Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN menyatakan bahwa "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan";
      3. Penjelasan Pasal 16B ayat (3) menyatakan “Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak  yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
        Contoh:
        Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
        Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut; Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
      4. Bahwa kedudukan Pasal 16B di dalam Undang-Undang PPN berada dalam Bab VA mengenai Ketentuan Khusus, artinya keberadaan norma khusus yang diatur dalam Pasal 16B tersebut akan mengesampingkan norma umumnya, artinya ada pemberlakuan yang khusus terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 16B, tidak seperti pada umumnya yang diatur dalam pasal-pasal lain. Perlakuan yang sama juga diterapkan untuk ketentuan Pasal 16A, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16F Undang-Undang PPN karena sama-sama berada dalam bab VA mengenai Ketentuan Khusus;
      5. Bahwa berdasarkan ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang PPN maka secara garis besarnya PPN akan dikenakan atas penyerahan/pemanfaatan BKP atau JKP (Pasal 4 Undang-Undang PPN). Di dalam penjelasannya bahwa syarat terutangnya PPN yang dilakukan oleh PKP yaitu:
        • Barang/jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP;
        • Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
        • Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
        PPN yang dipungut oleh PKP merupakan pajak keluaran baginya. Selanjutnya bahwa Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, apabila pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan sebaliknya apabila pajak masukan yang lebih besar daripada pajak keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (9) Undang-Undang PPN);
      6. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan khusus akan menyimpang dari ketentuan umumnya. Berikut ini dapat dijabarkan penjelasan penyimpangannya:
        • Pasal 16A mengatur penyerahan kepada Pemungut PPN, umumnya yang memungut PPN adalah PKP penjual namun diatur khusus ketika penyerahan kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah Pemungut PPN;
        • Pasal 16C mengenakan atas kegiatan membangun sendiri, umumnya PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan BKP/JKP namun diatur khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS dan tiada penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan;
        • Pasal 16D mengatur penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak diperjualbelikan namun dengan syarat Pajak Masukannya saat diperoleh dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat dikenakan PPN sebagaimana diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat pajak masukannya dapat dikreditkan atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam Pasal 16D;
        • Pasal 16E mengenai PPN yang sudah dibayar dapat diminta kembali, umumnya seperti diatur dalam pasal 9 ayat (4) yang dilakukan oleh PKP namun secara khusus diatur dimana bukan PKP pun dapat minta kembali PPN yang telah dibayar;
      7. Secara umum bahwa pajak masukan tidak dapat dikreditkan diatur dalam Pasal 9 ayat (8) namun Pasal 16B ayat (3) juga mengatur adanya larangan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Artinya ada aturan khusus mengenai pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan;
      8. Bahwa suatu pasal merupakan satuan aturan dalam perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas. Apabila dalam batang tubuh belum memberikan kejelasan bunyi pasalnya maka dapat dilihat dalam penjelasan pasal tersebut. Dengan demikian untuk memahami Pasal 16B ayat (3) maka harus dilihat dahulu Pasal 16B ayat (1) dan penjelasannya;
      9. Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN menyatakan bahwa Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
        1. ...;
        2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
        3. ...;
        4. ...; dan
        5. ...
        diatur dengan Peraturan Pemerintah;
        Penjelasan Pasal 16B ayat (1) menyatakan “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan”;
        Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
      10. Dapat dilihat secara tersurat bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN menganut prinsip equal treatment.
        Bahwa prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax). QQ dan WW dalam bukunya Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, FG/GF halaman 22 menulis:
        1. Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah;
        2. Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah maupun bagi rakyat untuk membayar;
        3. Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian negara;
        4. Pajak yang baik seharusnya adil;
        Selanjutnya QQ dan WW, dalam bukunya Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, FG/GF, halaman 32-37 menyebutkan beberapa kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut:
        1. Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib Pajak tersebut;
        2. Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama;
        3. Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka setelah pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap lebih baik daripada Wajib Pajak;
        4. Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi kesejahteraan di dalam suatu masyarakat;
        dengan menerapkan equal treatment ini DJP telah melaksanakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yakni asas persamaan perlakuan;
      11. Sesuai dengan prinsip Pasal 16B menekankan kepada aspek keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam pungutan pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 16B ayat (1) maka penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN dan berdasarkan ketentuan Pasal 16B ayat (3) maka Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan.
        Ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO dan PK maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding). Pendapat demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal 16B;
      12. Menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16B ayat (3), apakah diharuskan adanya syarat penyerahan BKP. Apabila dalam pasal belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya.
        Penjelasan Pasal 16B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        Bahwa frase kalimat “yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Dicontohkan bahwa PKP yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan. Dalam sengketa ini Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghasilkan TBS.
        Kekhususan pasal 16B ada pengertian dalam menghasilkan sebagai penyerahan. Dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya tidak dapat mengkreditkan pajak masukan terkait pemakaian TBS;
      13. Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas pengertiannya daripada undang-undang”;
      14. Negara dalam hal ini Pemerintah (DJP) telah mengeluarkan SE-90/PJ/2011 untuk mengatur pengkreditan pajak masukan pada perusahaan terpadu kelapa sawit. Nyata-nyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa “Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
      15. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B Undang-Undang PPN (atribusi). Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum. Ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
      16. Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas:
        meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama, bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangkan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
      17. Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas PK dan PM, dapat dijelaskan sebagai berikut:
        1. dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
          • tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
          • PM kebun tidak dapat dikreditkan;
          • PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO;
        2. dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
          • atas penyerahan CPO terutang PPN;
          • tidak ada PM atas Pembelian TBS;
          • PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unsur HPP bagi CPO;
        3. dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
          • tidak ada PPN atas TBS;
          • PPN hanya atas CPO;
          • PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;
        Bahwa apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada:
        • Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan PM kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
        • Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat.
          Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah;
        • Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada PK baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk), dan tidak ada PM yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk);
      18. Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan;
        ilustrasi:
        Dasar Pengenaan Pajak Pupuk Rp100,00
        Dasar Pengenaan Pajak TBS Rp400,00
        Dasar Pengenaan Pajak CPO Rp900,00

        1. Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan mengingat penyerahan DPP TBS oleh PT X (perkebunan kelapa sawit) dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
          Uraian
          PT. X Perkebunan TBS
          PT. Y Pengolahan CPO
          Beban Pajak

          DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
          Pupuk 100

          Tidak dapat
          dikreditkan



          Tidak dapat
          dikreditkan
          TBS

          400 Dibebaskan
          400

          Tidak dapat
          dikreditkan

          CPO




          900 90 90
          Neto





          90 90

        1. Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
          Uraian
          PT. X Perkebunan TBS
          PT. Y Pengolahan CPO
          Beban Pajak

          DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
          Pupuk 100

          (10)



          (10)
          TBS

          400 Dibebaskan
          400

          Tidak dapat
          dikreditkan

          CPO




          900 90 90
          Neto





          90 90

        Membandingkan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai pada butir 1 dan butir 2 di atas, maka:

        • Pengkreditan Pajak Masukan pupuk atas penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
        • Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan ketidakadilan;
        1. Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
          Uraian
          PT. X Perkebunan TBS
          PT. Y Pengolahan CPO
          Beban Pajak

          DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
          Pupuk 100

          Tidak dapat
          dikreditkan



          Tidak dapat
          dikreditkan
          TBS

          400 Dibebaskan
          400

          Tidak dapat
          dikreditkan

          CPO




          900 90 90
          Neto





          90 90

        Membandingkan perlakuan PPN pada butir 1) dan butir 3) di atas, maka terdapat kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan;
        Bahwa mengingat hal-hal tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok pikiran dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Memori Penjelasan Pasal 16B Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menghendaki keadilan pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama;
      19. Bahwa dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tanggal 23 Januari 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit, ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
        1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
        2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
        3. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya;
        Bahwa PPN atas pupuk yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS), yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
      20. Bahwa pendirian dan kebijakan Direktur Jenderal Pajak dalam pengenaan PPN atas kegiatan terpadu (integrated) tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN, yang didalamnya juga mengatur mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 16B Undang-Undang PPN. Bahwa KMK-575/KMK.04/2000 tidak pernah diuji Mahkamah Agung, namun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 yang muatannya sama dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 secara kaidah dan norma sudah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung dan dalam hal ini keputusan Mahkamah Agung memenangkan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), dengan demikian secara yuridis kebijakan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa pupuk yang dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS yang merupakan BKP yang dibebaskan dari penganaan PPN;
      21. Bahwa berdasarkan uraian di atas, baik TBS yang diserahkan kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan CPO atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
      22. Bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit yang digunakan untuk menghasilkan TBS juga sudah diperkuat dengan pendapat dari Hakim Pengadilan Pajak (Hakim Wishnoe Saleh Thaib, Ak., M.Sc.) yang dalam sengketa sejenis sebagaimana tercantum dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.64888/PP/M.VI/16/2013 yang diucapkan tanggal 30 Agustus 2013, berpendapat bahwa Pajak Masukan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit yang digunakan untuk menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
        Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 menetapkan hasil pertanian sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat stragis (BKP Strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        Bahwa penjelasan Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai antara lain menjelaskan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
        Bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai diatur bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
        Bahwa oleh karena itu, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31Tahun 2007, harus berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi pengusaha kelapa sawit terpadu (integrated) yang mempunyai pabrik CPO maupun bagi pengusaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated) yang tidak mempunyai pabrik CPO, sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
        Bahwa dengan demikian Hakim Anggota YY Ak, M.Sc. berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) sudah tepat dan menolak banding Pemohon Banding”;
      23. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa amar pertimbangan dan amar Putusan Majelis yang tidak mempertahankan Koreksi Positif Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan sebesar Rp171.497.554,00 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahwa faktanya Majelis Hakim membuat penafsiran sendiri atas ketentuan pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan integrated ini;
      24. Bahwa ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan:
        Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
      25. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tidak mempertahankan Koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk sebesar Rp171.497.554,00 nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut melanggar ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, atas Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;
    3. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar Putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 harus dibatalkan;
  1. Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 yang menyatakan:
    Mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-621/WPJ.27/2013 tanggal 31 Juli 2013, tentang Keberatan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012, yang terdaftar dalam berkas perkara Nomor 16-074515-2008, atas nama PT FGH, NPWP 0X.00X.XXX.X-XXX.00X, beralamat di Jalan Desa XX, Kecamatan Tanah Tumbuh, Muara Bungo, sehingga jumlah Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 yang masih harus dibayar menjadi sebagaimana perhitungan di atas (pada halaman 2);
    adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM


Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
  • Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa ini adalah:
    Apakah Pajak Masukan PPN Masa Pajak Februari 2008 atas pembelian pupuk dapat dikreditkan?
  • Bahwa terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata pada Putusan Judex Facti, karena tidak terbukti adanya kegiatan usaha yang terintegrasi yang dilakukan oleh perusahaan Termohon Peninjauan Kembali sehingga untuk menghasilkan CPO perusahaan Termohon Peninjauan Kembali menyerahkan TBS untuk dititip olah kepada PT Tapian Nadenggan untuk menjadi CPO dan Palm Kernel. Oleh karena itu pengeluaran untuk pembelian pupuk tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN jo. Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008;
  • Bahwa dengan demikian, alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK dan membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014, serta Mahkamah Agung mengadili kembali perkara ini dengan amar seperti yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung telah membaca Kontra Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali, namun tidak ada dalil-dalil dalam Kontra Memori Peninjauan Kembali yang melemahkan/menggugurkan dalil-dalil Pemohon Peninjauan Kembali dalam Memori Peninjauan Kembali;
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan peninjauan kembali, maka Termohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait;

MENGADILI,


Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014;

MENGADILI KEMBALI,


Menolak permohonan banding dari Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali;
Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biayaperkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 31 Januari 2017 oleh Dr. XYZ, S.H., C.N., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, FFF, S.H., M.Hum. dan GGG, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH, S.H.,M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.




Anggota Majelis :

        ttd/

FFF, S.H., M.Hum.

        ttd/

GGG, S.H., M.H.,






Biaya – biaya :
1.  M e t e r a i…………….. Rp        6.000,00
2.  R e d a k s i…………….. Rp        5.000,00
3.  Administrasi ………..….   Rp 2.489.000,00
Jumlah ……….                      Rp 2.500.000,00


Ketua Majelis:

ttd/

Dr. XYZ, S.H., C.N.,




Panitera Pengganti

ttd/

HHH, S.H., M.H.,


Untuk Salinan
Mahkamah Agung R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tat Usaha Negara,



H. RTY, S.H.
NIP. XX0000XXX