Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1702/B/PK/PJK/2016

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-63147/PP/M.IVB/16/2015, tanggal 13 Agustus 2015 yang telah b


 

PUTUSAN
Nomor 1702/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal AF No. 40-42, Jakarta XXXX0, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:
  1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Keempatnya Para Pegawai Direktorat Jendral Pajak, yang bertindak baik bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU- 3803/PJ./2015, tanggal 19 November 2015;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:


PT. FGH, beralamat di Gedung FG Tower Lt. 9, Jl. GF Nomor 10, Medan Kesawan, Medan Barat-Medan X0XXX;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-63147/PP/M.IVB/16/2015, tanggal 13 Agustus 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:

Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor: 011/MLNACCT/XI/2014 tanggal 7 Nopember 2014, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa koreksi yang dilakukan oleh pemeriksa, dan dipertahankan oleh Peneliti Keberatan berupa koreksi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atas pembelian pupuk dan pembelian lainnya sejumlah Rp.85.732.710,00 Dasar dilakukan koreksi adalah Pasal 16B ayat 3 UU PPN;
Bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, tidak seharusnya Pemeriksa melakukan koreksi atas Pajak Masukan pembelian pupuk dan pembelian lainnya, dan tetap dipertahankan oleh Peneliti Keberatan, dengan dasar argumentasi/alasan sebagai berikut :
a)
Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), menyatakan :
Angka 2
“Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud”;
Angka 3
“Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini”;
Angka 4
“Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3”;
b)
Pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam UU PPN, tepatnya pada Pasal 1A ayat (1), dengan jelas menyatakan:
“Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
  1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
  2. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
  3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
  5. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
  6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
  7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi."
Bahwa sementara itu, Memori Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d dari UU PPN, menjelaskan bahwa :
“Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli”;
c)
TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis berupa TBS;
Bahwa karena TBS ini:
  1. Dipergunakan/dipakai dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama (bernama: Pemohon Banding); dan
  2. Dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam rangka menghasilkan barang jadi berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) di Pemohon Banding;
Bahwa sesuai dengan Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut :
“Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahaan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah”;
Sementara itu, pengertian dari “tujuan produktif” secara jelas tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP 87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan”;
Bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak tepat apabila Terbanding menganggap bahwa telah terjadi penyerahan TBS dari Unit Perkebunan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding kepada Unit Pengolahan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding, dan atas penyerahan ini dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
d)
Pasal 9 Ayat (5) dari UU PPN, secara lengkap menyatakan :
“Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak”;
Bahwa cuplikan Memori Penjelasan Pasal 9 Ayat (5) dari UU PPN, menyatakan :
"Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai";
"Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B";
Bahwa seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa : Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm dan Material) dan Jasa Kena Pajak (berupa : Ongkos Angkut dan Kompensasi atas Pemakaian Fasilitas Bersama ) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni:
  • Terutang PPN dengan tarif 10 % (berupa penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri, dan penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut sesuai dengan SK Menkeu No. 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997);
  • Terutang PPN dengan tarif 0% (berupa penyerahan ekspor);
Bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP / JKP (berupa cangkang) yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dilakukan oleh Pemohon Banding;
Bahwa dengan demikian, Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, telah diterapkan oleh Pemohon Banding sesuai dengan pengaturan yang sebenarnya.
Bahwa Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak tersebut di atas (berupa :
Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm, Material, Ongkos Angkut dan Kompensasi atas Pemakaian Fasilitas Bersama) yang dikoreksi oleh Terbanding dan menjadi sengketa pajak ini, dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemohon Banding mohon agar banding Pemohon Banding ini dapat diterima, dan agar Majelis dapat meninjau ulang Keputusan Terbanding Nomor KEP-1762/WPJ.19/2014 tanggal 3 September 2014 tersebut di atas;
bahwa perhitungan Pajak terutang sebagai berikut:

Uraian (dalam Rupiah)
1
2
3
4
5
6
Dasar Pengenaan Pajak
Pajak Keluaran
Pajak yang dapat diperhitungkan
Pajak Lebih Bayar
Kompensasi
PPN Kurang Bayar
85.076.498.804
333.480.730
334.574.901
(1.094.171)
1.094.171
-

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-63147/PP/M.IVB/16/2015, tanggal 13 Agustus 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1762/WPJ.19/2014 tanggal 3 September 2014, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Nopember 2007 Nomor 00027/207/07/092/13 tanggal 27 September 2013, atas nama PT FGH, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-0XX.000 beralamat di Gedung FG Tower Lt. 9, Jl. GF Nomor X0, Medan Kesawan, Medan Barat - Medan X0XXX, sehingga Pajak dihitung kembali sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak
- Ekspor
- Penyerahan yang PPN harus dipungut sendiri
- Penyerahan yang PPN-nya dipungut pemungut PPN
- Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut
- Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN
Jumlah
Penyerahan Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN
Jumlah seluruh penyerahan
Penghitungan PPN kurang/lebih bayar
Pajak Keluaran yang harus dipungut sendiri
Dikurangi :
- PPN yang disetor dimuka dalam masa pajak yang sama
- Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan
- Dibayar dengan NPWP sendiri
- Lain-Lain
Jumlah
Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan
Jumlah perhitungan PPN kurang/(lebih) bayar
Kelebihan pajak yang sudah :
- dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya
- dikompensasikan ke Masa Pajak .... (karena pembetulan)
PPN yang kurang/(lebih) dibayar
Sanksi administrasi :
- Bunga Pasal 13 (2) KUP
- Kenaikan Pasal 13 (3) KUP
Jumlah PPN yang masih harus dibayar

Rp   12.474.000.000,00
Rp     3.334.807.304,00
Rp                          0,00
Rp   69.267.691.500,00
Rp                          0,00
Rp   85.076.498.804,00
Rp                                
Rp   85.076.498.804,00

Rp        333.480.730,00

Rp                          0,00
Rp        266.558.000,00
Rp
Rp          68.016.901,00
Rp        334.574.901,00
Rp        334.574.901,00
Rp           (1.094.171,00)

Rp            1.094.170,00
Rp                          0,00
Rp                         (1,00)

Rp                          0,00
Rp                          0,00
Rp                         (1,00)

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-63147/PP/M.IVB/16/2015, tanggal 13 Agustus 2015, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 07 September 2015 kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU - 3803/PJ./2015 tanggal 19 November 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 30 November 2015 dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 30 November 2015;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 13 Juli 2016 kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 16 Agustus 2016;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pahak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
Sengketa tentang Koreksi Positif Pajak Masukan yang Terkait Dengan Perolehan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis Sebesar Rp85.732.710,00 yang Tidak Dapat Dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
  • Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.63147/PP/M.IVB/16/2015 tanggal 13 Agustus 2015, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
    1. Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa a quo ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo pada halaman 31-32 antara lain berbunyi sebagai berikut:
      Bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyatakan bahwa Pemohon Banding disamping mempunyai usaha perkebunan kelapa sawit juga mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit;
      Bahwa dalam Surat Uraian Bandingnya Terbanding mengemukakan bahwa Pemohon Banding memiliki 2 (dua) unit yaitu unit perkebunan dan unit pengolahan, untuk unit perkebunan yang diserahkan adalah TBS yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sedangkan unit pengolahan yang diserahkan adalah CPO, PK, jasa olah, jasa angkut, dsb yang atas penyerahannya dikenakan PPN;
      Bahwa berdasarkan bukti-bukti dan penjelasan para pihak diketahui bahwa :
      1. Pemohon Banding mempunyai usaha kelapa sawit.
      2. Pemohon Banding mempunyai unit perkebunan dan unit pengolahan;
      3. TBS yang dipanen diolah di pabrik sendiri;
      4. Dalam usahanya penyerahan yang dilakukan hanya atas penyerahan yang terutang pajak (CPO, PK, dsb);
      5. Pemohon Banding tidak pernah melakukan penyerahan barang yang tidak terutang pajak/dibebaskan dari pengenaan PPN;
      6. Terbanding tidak secara nyata membuktikan bahwa Pemohon Banding telah menyerahkan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN;
      Bahwa Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 mengatur sebagai berikut:
      Ayat (1)
      Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
      1. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
      2. Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
      3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
      4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
      5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
      Ayat (2)
      Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan;
      Ayat (3)
      Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan";
      Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, antara lain diatur sebagai berikut:
      Pasal 1 angka 1 huruf c
      Dalam Peraturan Pemerintah iniyang dimaksud dengan:
      Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah:
      1. Barang hasil pertanian.
      Pasal 1 angka 2 huruf a
      Dalam Peraturan Pemerintah iniyang dimaksud dengan:
      Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang :
      1. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
      yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
      Pasal 2 ayat (2) huruf c
      Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
      1. Barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c;
      dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Pasal 3
      Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
      Bahwa berdasarkan bukti-bukti, penjelasan dalam persidangan dan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut diatas, Majelis berkesimpulan bahwa berdasarkan Pasal 36B ayat (3) Undang-Undang PPN, pajak masukan tidak dapat dikreditkan apabila terjadi penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN, karena Pemohon Banding terbukti tidak menyerahkan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN, maka pajak masukannya dapat dikreditkan, sehingga koreksi Terbanding atas pajak masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp 85.732.710,00 tidak dapat dipertahankan;
    2. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara lain sebagai berikut:
      2.1.
      Bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), antara lain menyebutkan:
      Pasal 76:
      Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
      Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
      Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;
      Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
      Pasal 78
      Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim;
      Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
      Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
      2.2.
      Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 (UU PPN), antara lain mengatur sebagai berikut :
      Pasal 16B ayat (1):
      Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
      1. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
      2. Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
      3. Impor Barang Kena Pajak tertentu;
      4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
      5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.;
      Penjelasan Pasal 16B ayat (1):
      Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
      Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
      Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional;
      Pasal 16B ayat (3):
      Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;
      Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
      Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
      Contoh:
      Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
      Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
      Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
      2.3.
      Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 01 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PP 31), antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 1 angka 1 huruf c:
      Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil pertanian;
      Pasal 1 angka 2 huruf a:
      Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
      Lampiran:
      Antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Tandan Buah Segar (TBS);
      Pasal 2 ayat (2) huruf c:
      Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Pasal 3:
      Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
      2.4.
      Bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.03/2010 tanggal 05 April 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak (PMK-78), antara lain mengatur:
      Pasal 2 angka 1:
      Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan :
      1. usaha terpadu (integrated), terdiri dari :
      1. Unit atau kegiatan yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak; dan
      2. Unit atau kegiatan lain yang melakukan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak.
      Lampiran PMK-78:
      Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak antara lain :
      1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), misalnya Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan jagung (jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak), dan juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung merupakan Barang Kena Pajak);
      2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha;
      3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;
      4. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, misalnya pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana tersebut di atas, perlakuan pengkreditan Pajak Masukan adalah sebagai berikut :
      1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :
        1)
        Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung;
        2)
        Pajak Masukan untuk perolehan alat-alat perkantoran yang hanya digunakan untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor;
      1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya:
        1)
        Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
        2)
        Pajak Masukan untuk pembelian truk yang digunakan untuk jasa angkutan umum, karena jasa angkutan umum bukan merupakan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
        3)
        Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      1. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang belum dapat dipastikan penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, pengkreditannya menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini;
        Misalnya :
        1)
        Pajak Masukan untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung;
        2)
        Pajak Masukan untuk perolehan komputer yang digunakan  untuk kegiatan penyerahan jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor;
      2.5.
      Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak (selanjutnya disebut dengan KMK-575), antara lain menyatakan:
      Pasal 2 ayat (1):
      Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
      1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      2. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      3. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      4. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
      1)
      Nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
      2)
      Digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;
      3)
      Nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan;
      Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
      Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya:
      1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung (jagung adalah bukan Barang Kena Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah Barang Kena Pajak).
      2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.
      3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misal Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
      4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perluasan usaha dan menghasilkan bukan Barang Kena Pajak, misal Pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
        (1)
        Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah :
        • Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung adalah bukan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
        • Pajak Masukan untuk pembelian truck yang digunakan untuk jasa angkutan, karena jasa angkutan adalah bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
        • Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        (2)
        Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah :
        • Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk, perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung;
        (3)
        Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepenuhnya adalah :
        • Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung”;
      2.6.
      Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tanggal 23 November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit (SE-90), antara lain menyatakan:
      Butir 6:
      Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
      1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
      2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
      3. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya;

    3. Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara Peninjauan Kembali ini adalah dengan tidak dipertahankannya koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Koreksi Positif Pajak Masukan yang Terkait Dengan Perolehan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis Sebesar Rp85.732.710,00;
    4. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan Koreksi atas Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar Rp85.732.710,00 dengan alasan karena Pajak Masukan tersebut merupakan Pajak Masukan yang timbul dari perolehan BKP/JKP yang berhubungan dengan kebun/kegiatan usaha yang menghasilkan barang strategis dalam hal ini Tandan Buah Segar (TBS), sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pajak Masukan terkait dengan kebun yang berhubungan dengan perolehan TBS tersebut tidak dapat dikreditkan;
    5. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak setuju dengan Koreksi atas Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar Rp85.732.710,00 karena penyerahan produk akhir yang Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) lakukan adalah penyerahan Crude Palm Oil (CPO) dan Kernel yang merupakan BKP yang penyerahannya diwajibkan memungut PPN atau terutang PPN, sehingga pengkreditan Pajak Masukan atas pembelian pupuk dan bahan kimia tidak bertentangan dengan Pasal 16B ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU PPN;
    6. Bahwa dengan demikian, sengketa atas Koreksi Positif Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar Rp85.732.710,00 ini merupakan sengketa yuridis, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan BKP Strategis, dalam hal ini TBS, yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), dapat dikreditkan atau tidak;
    7. Bahwa dalam amar pertimbangannya diketahui bahwa Majelis tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan pertimbangan sebagaimana yang telah diuraikan pada point V.1. tersebut diatas.
    8. Bahwa pendapat Majelis yang menyatakan :… Majelis berkesimpulan bahwa Pemohon Banding telah benar dalam menghitung pajaknya yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga koreksi Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp85.732.710,00 tidak dapat dipertahankan, menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah tidak tepat karena:
      8.1.
      Bahwa UU PPN, antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 16B ayat (3):
      Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.;
      Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
      Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.;
      Contoh:
      Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.;
      Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
      Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.;
      8.2.
      Bahwa PP 31, antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 1 angka 1 huruf c:
      Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil pertanian;
      Pasal 1 angka 2 huruf a:
      Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
      Lampiran:
      Antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Tandan Buah Segar (TBS);
      Pasal 2 ayat (2) huruf c:
      Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Pasal 3:
      Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
      8.3.
      Bahwa PMK-78 antara lain mengatur sebagai berikut
      Pasal 8:
      Tata cara penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini;
      Lampiran PMK-78:
      Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya:
      1)
      Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai
      8.4.
      Bahwa berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Majelis tidak cermat dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN dengan menyatakan bahwa karena Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan TBS, Majelis berpendapat sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6)
      serta Pasal 16 B ayat (3) Undang-undang PPN, maka tidak ada Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pemohon Banding yang tidak dapat dikreditkan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN karena:
      8.4.1.
      Bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN adalah sebagai berikut:
      Bahwa untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus;
      Bahwa namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undang-undang perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
      Bahwa oleh karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.;
      8.4.2.
      Bahwa PP 31 yang merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan.;
      Bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
      8.4.3.
      Bahwa Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama;
      Bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan prinsip equal karena tidak mempertimbangakan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
      8.4.4.
      Bahwa secara teoritis prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax), Sally M. Jones dan Shelley C. Rhoades-Catanach dalam bukunya Priciples of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 menulis:
      antara lain Pajak yang baik seharusnya adil;
      Bahwa selanjutnya dalam halaman 32-37 menyebutkan kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut antara lain: keadilan horizontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapatkan perlakuan pajak yang sama.;
      8.4.5.
      Bahwa konsep keadilan horisontal sebagaimana telah diuraikan di atas sudah sejalan dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana juga diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 : Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
      8.4.6.
      Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU PPN (atribusi);
      Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum;
      Ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
      8.4.7.
      Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Terbanding telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama, bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangakan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
      Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas PK dan PM, dapat dijelaskan sebagai berikut:
      1. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
      • Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
      • PM kebun tidak dapat dikreditkan;
      • PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO;
      1. b. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
      • Atas penyerahan CPO terutang PPN;
      • Tidak ada PM atas Pembelian TBS;
      • PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unrus HPP bagi CPO;