Putusan Mahkamah Agung Nomor : 448/B/PK/PJK/2017

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang telah berke


 

PUTUSAN
Nomor 448/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada :
  1. ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. DEF, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. GHI, Pj. Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. JKL, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : SKU-2378/PJ./2013 tanggal 22 Oktober 2013;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:


PT XXX, Tbk, beralamat di Jalan RRR Km. Y, Jakarta Selatan 12xxx;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;


Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:

Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor: 014-20/011 tanggal 27 Februari 2012, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Bahwa bersama ini Pemohon Banding mengajukan Banding atas Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1237/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 14 Desember 2011 Tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008 Nomor: 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010, yang Pemohon Banding terima suratnya tanggal 19 Desember 2011;

Sengketa
Kredit Pajak PPN Masukan dari hasil jawaban klarifikasi yang oleh KPP terkait dijawab "Tidak Ada" sebesar Rp.388.728.067,00 dan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar Rp.388.728.067,00 sehingga jumlah yang masih harus dibayar adalah Rp.777.456.134,00;

Bahwa Pemohon Banding menolak dan menyatakan tidak setuju atas:
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008 Nomor : 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010 yang menetapkan Pajak Pertambahan Nilai yang kurang dibayar sebesar Rp.777.456.134,00;
  2. Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1237/WPJ.19/BD.05/011 tanggal 14 Desember 2011 yang menolak keberatan Pemohon Banding dan mempertahankan jumlah PPN Kurang Dibayar sebesar Rp.777.456.134,00;
Bahwa dengan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan yang mengatur antara lain apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya, maka Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Dalam hal ini Pemohon Banding mempunyai bukti-bukti berupa arus uang sesuai transaksi yang terjadi. Maka atas kredit Pajak Masukan sebesar Rp.388.728.067,00 yang dijawab "Tidak Ada" oleh KPP terkait, seharusnya dapat diperhitungkan sebagai jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Dan terkait dengan Jawaban klarifikasi yang dijawab “Tidak Ada”, dalam waktu berjalan oleh KPP terkait ada yang sudah dilakukan ralat jawaban menjadi “Ada”;
Bahwa demikian surat permohonan Banding ini Pemohon Banding sampaikan, dan Pemohon Banding mohon Pengadilan Pajak dapat mengabulkannya, atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya;

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut :

Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1237/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 14 Desember 2011, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008 Nomor: 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00059/WPJ.19/KP.0303/2011 tanggal 07 November 2011, atas nama: PT XXX Tbk. NPWP: 01.XXX, beralamat di: Jalan RRR Km. Y, Jakarta Selatan 12xxx, sehingga perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2008 menjadi sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak:
Jumlah Seluruh Penyerahan Rp. 670.714.104.187,00
Pajak Keluaran yang dipungut sendiri Rp.   43.762.277.048,00
Pajak Masukan Rp.   67.977.375.595,00
PPN Yang Kurang/(Lebih) dibayar (Rp.  24.215.098.547,00)
Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya Rp.   24.215.098.547,00
PPN Yang Kurang/(Lebih) dibayar Rp.                          0,00
Sanksi Administrasi Rp.                          0,00
Jumlah PPN yang masih harus dibayar Rp.                          0,00
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 02 Agustus 2013, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : SKU-2378/PJ./2013 tanggal 22 Oktober 2013, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 30 Oktober 2013, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 30 Oktober 2013;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 23 April 2014, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya tidak mengajukan Jawaban berdasarkan Surat Keterangan Wakil Panitera Pengadilan Pajak Nomor : TKM-594/PAN.Wk/2016 tanggal 31 Oktober 2016;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut :
  1. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali
    Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah :
    Koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp388.728.067,00;
  2. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
    Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    Bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi dasar hukum bagi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) terkait koreksi a quo adalah :
    1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, mengatur :
      Pasal 69 ayat (1) :
      Alat bukti dapat berupa:
      a. surat atau tulisan;
      b. keterangan ahli;
      c. keterangan para saksi;
      d. pengakuan para pihak; dan/atau
      e. pengetahuan Hakim;
      Penjelasan :
      Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain;
      Pasal 76 :
      Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
      Penjelasan :
      Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;
      Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
      Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan, belum diungkapkan;
      Pemohon Banding atau penggugat tidak harus hadir dalam sidang, karena itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan terbanding atau tergugat harus diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat untuk diberikan jawaban;
      Pasal 78 :
      Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
      Penjelasan :
      Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
    2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), mengatur :
      Pasal 1 angka 29:
      Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
      29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut;
      Pasal 28 ayat (3):
      Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
    3. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai), antara lain diatur sebagai berikut:
      Pasal 1 angka 23:
      Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
      Pasal 1 angka 24:
      Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak;
      Pasal 9 ayat (2) :
      Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama;
      Pasal 9 ayat (8) huruf b :
      Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
      a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
      b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
      c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
      d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
      e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
      f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
      g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
      h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
      i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
      Pasal 9 ayat (9) :
      Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan;
      Pasal 13 ayat (5) :
      Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
      a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
      b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
      c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
      d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
      e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
      f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
      g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;
    4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, mengatur :
      Pasal 5 huruf e angka 1:
      Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan;
    5. Bahwa sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan, antara lain diatur sebagai berikut:
      Pasal 1 :
      Konfirmasi Faktur Pajak dengan aplikasi Sistem Informasi Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan tentang keabsahan Faktur Pajak;
      Lampiran 1 :
      Bahwa tujuan dilakukan konfirmasi Faktur Pajak adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa Faktur Pajak tersebut telah dilaporkan Pengusaha Kena Pajak penerbit sebagai Pajak Keluaran pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai;
      Pada butir 1.4.1.3.2
      "tidak ada" dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan oleh PKP Penjual dan KPP domisili PKP Penjual telah menerbitkan SKPKB/SKPKBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan PKP Penjual tersebut maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
      Pada butir 1.4.1.3.3
      "tidak ada" dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena : Pengusaha yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut belum dikukuhkan sebagai PKP; atau PKP Penjual tidak pernah melakukan penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang bersangkutan; maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
      Pada butir 1.4.1.3.4
      Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman permintaan klarifikasi dikirimkan melalui faksimile jawaban klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya maka Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
    6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.52/2006 tentang Perekaman SPT Masa PPN, Konfirmasi Faktur Pajak, Dan Langkahlangkah Penanganan Restitusi Dalam Rangka Pengamanan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai, antara lain diatur:
      Romawi II Angka 5 menyatakan bahwa pelaksanaan konfirmasi Faktur Pajak melalui sistim aplikasi PK-PM harus tetap mengacu pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi dengan Aplikasi Sistim Informasi Perpajakan;
      Romawi V menyatakan bahwa Perlu ditegaskan bahwa pelaksanaan konfirmasi, baik untuk Pajak Masukan, Pajak Keluaran, PIB, maupun PEB merupakan salah satu prosedur pemeriksaan yang wajib dilakukan, namun bukan merupakan satu-satunya alat uji yang dipakai untuk meyakini bahwa transaksi tersebut benar adanya baik secara formal maupun material. Untuk meyakini kebenaran suatu transaksi agar pemeriksa mengajukan pengujian lainnya seperti arus uang, arus barang, arus dokumen, serta meneliti dokumen-dokumen pendukung lainnya yang berkenaan dengan transaksi tersebut;
      Bahwa atas dasar tersebut di atas, bersama ini Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan keberatan-keberatan atas pertimbangan hukum Majelis dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013, sebagai berikut :
      Koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp 388.728.067,00;
      1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) keberatan terhadap putusan Majelis Hakim yang tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp388.728.067,00 sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 16 alinea ke-1 putusan a quo, sebagai berikut :
        bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas selanjutnya Majelis berkesimpulan bahwa Terbanding tidak cukup bukti untuk melakukan koreksi terhadap Pemohon Banding, sehingga koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp.388.728.067,00 tidak dapat dipertahankan;
      2. Bahwa terkait adanya koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp 388.728.067,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim, dapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan hal-hal sebagai berikut:
        1. Bahwa alasan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada saat pemeriksaan atas koreksi Pajak Masukan sebesar Rp388.728.067,00 adalah karena adanya jawaban konfirmasi yang dijawab "tidak ada" dan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) belum dapat membuktikan dengan arus uang dan SPT Lawan Transaksi;
        2. Bahwa terkait dengan koreksi yang diajukan keberatan dan memperhatikan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001, dalam proses penelitian keberatan, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) mengirimkan surat permintaan klarifikasi data pajak keluaran kepada KPP tempat PKP Penjual terdaftar sehubungan dengan telah diterimanya jawaban permintaan klarifikasi Faktur Pajak pada saat pemeriksaan yang menyatakan "Tidak Ada";
        3. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disampaikan sebagai berikut:
          1) Bahwa terdapat 32 faktur pajak dengan jawaban klarifikasi yang menyatakan "ada" atau meralat jawaban klarifikasi sebelumnya;
          2) Bahwa atas 4 Faktur Pajak dengan nilai PPN sebesar Rp.13.229.364,00 KPP tempat PKP Penjual terdaftar kembali menjawab klarifikasi dengan menyatakan "Tidak Ada";
          3) Bahwa atas 18 Faktur Pajak dengan nilai PPN sebesar Rp. 142.074.845,00 Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) belum menerima jawaban dari KPP terkait berupa ralat jawaban terhadap jawaban klarifikasi yang sebelumnya menyatakan "Tidak Ada" sehingga atas faktur pajak tersebut masih dinyatakan "Tidak Ada" oleh KPP dimaksud;
        4. Bahwa berkaitan dengan jawaban klarifikasi yang menyatakan "Tidak Ada" atau "Tidak Sesuai" dan tidak ada ralat dari KPP lawan transaksi, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
          1) Bahwa apabila terjadi transaksi penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN, Undang-undang PPN memberi kuasa kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP/JKP untuk memungut dan menyetor PPN yang terutang, serta melaporkannya dalam SPT Masa PPN-nya;
          2) Jawaban klarifikasi yang menyatakan "Tidak Ada" atau "Tidak Sesuai" membuktikan bahwa Faktur Pajak masukan yang dikreditkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak pernah diakui/dilaporkan oleh PKP yang menyerahkan BKP/JKP dalam SPT Masa PPN-nya. Ini berarti bahwa PKP lawan transaksi tidak pernah mengakui bahwa telah melakukan penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN kepada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
          3) Karena tidak ada transaksi yang terutang PPN sebagaimana dimaksud pada angka 2, tidak ada PPN yang seharusnya dibayar oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding). Karakteristik Pajak Masukan sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak terpenuhi;
        5. Bahwa terhadap 32 faktur pajak yang dijawab "ada dan sesuai" Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan penelitian formal atas faktur pajak tersebut apakah sudah memenuhi syarat sebagai Faktur Pajak Standar sesuai Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai;
        6. Bahwa selain itu Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah melakukan uji arus barang dan uji arus uang terhadap koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) saat pemeriksaan untuk menguji pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut:
          1) Uji arus barang untuk menguji kebenaran adanya BKP sebagai dasar transaksi dan untuk menguji pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN;
          a) Melakukan penelitian atas kelengkapan data/dokumen sebagai berikut:
          • Purchase order;
          • Surat jalan;
          • SPK;
          • Laporan penerimaan barang;
          • Invoice;
          b) Melakukan penelitian atas kesesuaian/hubungan langsung BKP tersebut dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) PT Adhi Karya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
          c) Penelitian terhadap kelima dokumen di atas, tidak dapat dipenuhi secara lengkap oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak memperoleh keyakinan atas Pajak Masukan tersebut apakah telah sesuai Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
          2) Uji arus uang untuk menguji kebenaran adanya pembayaran PPN dan menguji pemenuhan ketentuan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang PPN;
          a) Melakukan penelitian atas kelengkapan data/dokumen sebagai berikut:
          • Bukti pengeluaran uang atas PPN oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang dapat berupa bukti ekstern penarikan uang (debet) dari rekening koran Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), atau;
          • Bukti ekstern slip transfer bank atas nama Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ke rekening koran penerbit Faktur Pajak atas pembayaran PPN;
          • Bukti ekstern penerimaan uang atas PPN dari penerbit Faktur Pajak, yang dapat berupa sisi kredit rekening koran/kwitansi;
          b) Penelitian terhadap Uji Arus Uang tidak dapat dipenuhi secara lengkap terutama slip transfer bank dan atau bukti ekstern penerimaan uang dari penerbit Faktur Pajak;
          c) Maka (koreksi) PPN tersebut belum dapat dibuktikan telah dibayar sehingga bukan merupakan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
      3. Bahwa terhadap pertimbangan hukum Majelis yang membatalkan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat tidak setuju karena pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta pembuktian yang nyata-nyata terungkap di persidangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, yaitu sebagai berikut:
        1. Bahwa sengketa atas koreksi Pajak Masukan sebesar Rp388.728.067,00 ini merupakan sengketa pembuktian, akan tetapi dalam persidangan untuk memutus sengketa ini Majelis tidak melakukan uji bukti terhadap masing-masing Faktur Pajak Masukan yang dikoreksi;
        2. Bahwa salah satu legal character yang melekat pada PPN adalah “Indirect Tax”, yaitu pemikul beban PPN dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak (PPN) ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Di dalam penerapannya, yang menjadi penanggung pajak (PPN) adalah konsumen selaku pihak yang mengkonsumsi, sedangkan produsen (Pengusaha Kena Pajak) bertugas memungut PPN tersebut dan memperhitungkan dengan PPN yang telah dibayar pada saat perolehan BKP/JKP dalam rangka membuat atau memproduksi BKP/JKP, karena PPN yang telah dibayarkan oleh produsen tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Karakter ini terlihat dengan mekanisme penerbitan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan;
        3. Bahwa metode penerapan sistem PPN di Indonesia yakni metode Indirect Substraction Method, dimana dalam menentukan nilai PPN yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak, PKP tersebut dapat mengkreditkan jumlah pajak yang telah dipungut oleh Supplier atau yang disebut Pajak Masukan dari jumlah pajak yang dipungut dari Konsumen atau yang disebut Pajak Keluaran;
        4. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, kriteria Pajak Masukan yang dapat dikreditkan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
          • syarat formal, yaitu Pajak Masukan tersebut tercantum dalam Faktur Pajak yang memenuhi syarat sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN;
          • syarat material, yaitu Pajak Masukan tersebut dapat dibuktikan kebenaran transaksinya secara materiil;
        5. Bahwa terkait dengan pernyataan Majelis sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan yaitu:
          - Dalam UU KUP pada dasarnya memuat hal-hal sebagai berikut:
          1) Kewajiban Wajib Pajak meliputi:
          a) Mendaftarkan diri untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan NPWP sebagai tanda pengenal bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 2);
          b) Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), baik SPTMasa maupun SPT-Tahunan (pasal 3);
          c) Pembayaran pajak, baik berupa pembayaran pajak masa (PPh pasal 21, 22, 23, 25 dan 26) maupun pembayaran pajak tahunan (PPh pasal 29 dan kekurangan PPh pasal 21);
          d) Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan (pasal 28).
          e) Memberikan keterangan dan penjelasan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan oleh aparat perpajakan (pasal 29);
          2) Hak Wajib Pajak, meliputi:
          a) Menunda penyampain SPT (pasal 3);
          b) Membetulkan SPT (pasal 8);
          c) Menunda pembayaran pajak (pasal 10);
          d) Restitusi/kompensasi kelebihan pembayaran (pasal 11);
          e) Mengajukan keberatan atas surat-surat ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan atas pemotongan oleh pihak ketiga serta mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak (pasal 25);
          3) Wewenang pemerintah sebagai pemungutan pajak yang dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, meliputi:
          a) Melakukan penelitian terhadap SPT secara normal;
          b) Melakukan pemeriksaan terhadap usaha Wajib Pajak sesuai dengan data dan informasi perusahaan;
          c) Melakukan penyidikan terhadap usaha Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
          d) Melakukan penetapan pajak;
          e) Melakukan penagihan pajak dengan surat paksa;
          f) Melakukan pengenaan saksi administrasi dan sanksi pidana;
          4) Kewajiban pemerintah sebagai pemungut pajak;
          5) Ketentuan sanksi administrasi dan sanksi pidana terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perpajakan;
          - Bahwa suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah beban pembuktian. Pembagian beban pembuktian harus dilakukan dengan adil, tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan;
          Menurut Malikul Adil dalam bukunya: “Pembaharuan Hukum Perdata kita” mengatakan bahwa “Hakim yang insaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada satu pihak untuk membuktikan hak yang tidak dapat dibuktikan”. Dan penetapan beban pembuktian itu akhirnya banyak bergantung pada keadaan in concreta;
          Membuktikan itu tidak selalu mudah. Kita tidak selalu dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Terutama untuk membuktikan suatu negatif, sesuatu hal yang negatif itu pada umumnya tidak mungkin (negative non sunt probanda);
          membuktikan bahwa tidak berhutang, tidak menerima uang, pada pokoknya membuktikan yang serba tidak itu pada umumnya tidak mungkin atau sukar. Oleh karena itu maka pembuktian suatu negatie should not be forced on a person without very strong reasons, kata Paton. Dalam hubungan ini Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 no. 547 K/Sip/1971 memutuskan, bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan;
          Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim:
          1) Teori pembuktian
          Menurut teori ini maka siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hukum dari pada teori ini ialah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan. Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori bloot affirmantief ini sekarang telah ditinggalkan;
          2) Teori hukum subyektif
          Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan dibedakan antara peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus. Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut menjadi peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende tatsachen), peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbulnya hak (rechshindernde tatschen) dan peritiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende tatschen). Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalanghalangi dan yang bersifat membatalkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, bahwa kalau penggugat mengajukan tuntutan pembayaran harga penjualan, maka tergugat harus membuktikan adanya persesuaian kehendak, harga serta penyerahan, sedangkan kalau tergugat menyangkal gugatan penggugat dengan menyatakan misalnya bahwa terdapat cacat pada persesuaian kehendak atau bahwa hak menggugat itu batal karena telah dilakukan pembayaran maka tergugatlah yang harus membuktikannya;
          Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan penggugat didasarkan atas hukum subyektif. Ini tidak selalu demikian, misalnya pada gugat cerai. Keberatan-keberatan lainnya ialah, bahwa teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil;
          Di dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan. Hal ini diatasi dengan memberi kelonggaran kepada hakim untuk mengadakan pengalihan beban pembuktian;
          3) Teori hukum obyektif
          Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap persitiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum obyektif) apa syarat-syarat sahnya persetujuan (pasal 1320 BW) dan kemudian memberi pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam pasal 1320 BW. Tentang adanya cacat ini harus dibuktikan oleh pihak lawan;
          Hakim yang tugasnya menerapkan hukum obyektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada. Jadi atas dasar ini hukum obyektif yang diterapkan dapat ditentukan pembagian beban pembuktian;
          Teori ini sudah tentu tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat formalistis;
          4) Teori hukum public
          Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana;
          5) Teori hukum acara
          Azas audi et alteram partem atau juga azas kedudukan prosesuil yang sama dari pada pihak dimuka hakim merupakan azas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Oleh karena itu hakim harus membebani pada pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut. Kalau penggugat menggugat tergugat mengenai perjanjian jual beli, maka sepatutnyalah kalau penggugat membuktikan tentang adanya jual beli itu dan bukannya tergugat. Demikian pula siapa yang menguasai barang tidak perlu membuktikan bahwa ia berhak atas barang tersebut.
          sebaliknya siapa yang hendak menuntut suatu barang dari orang lain ia harus membuktikan bahwa ia berhak atas barang tersebut;
          - ”Membuktikan” menurut Prof. Dr. SSS, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:
          1) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan;
          2) Membuktikan dalam arti konvensionil
          Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
          - kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime);
          - kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee);
          3) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan;
          Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak;
          Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau suratsurat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan;
          Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar;
          Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan;
        6. Bahwa sesuai dengan pertimbangan di atas menurut Pasal 28 UU KUP, Wajib Pajak/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Wajib menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak/Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sesuai dengan UU KUP untuk melakukan pemeriksaan dan penetapan pajak yang dalam hal ini memerlukan klarifikasi berupa dokumen yang dibuat oleh Wajib Pajak/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
          Dalam perkara pembuktian sesuai dengan pertimbangan di atas dokumen-dokumen yang ada berada dan dibuat oleh Wajib Pajak/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang hal ini tidak mungkin pembuktian dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) karena hal ini merupakan kategori pembuktian suatu yang negatif. Sesuatu hal yang negatif itu pada umumnya tidak mungkin (negative non sunt probanda) untuk dibuktikan;
        7. Bahwa terkait dengan prosedur pengujian arus uang dan arus barang yang telah dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berdasarkan KEP-754/PJ./2001 dan SE-10/PJ.52/2006 untuk pemenuhan syarat formal dan syarat material faktur pajak masukan yang dapat dikreditkan, Majelis telah mengabaikan hal ini dan tidak mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan, padahal hal inilah yang menjadi titik berat sengketa ini. Menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berdasarkan fakta kronologis pada saat pengajuan keberatan dan persidangan dokumen yang telah disampaikan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) bukan merupakan bukti yang kompeten yaitu bukti yang valid dan relevan sebagaimana diatur dalam PER-9/PJ/2010 dan menyalahi ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU KUP;
      4. Bahwa meskipun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan beban pembuktian dan alat bukti yang digunakan, namun Majelis Hakim telah bersikap tidak berimbang dalam pembuktian di persidangan, karena meletakkan beban pembuktian yang sulit untuk dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan mengabaikan dalil-dalil Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding);
        Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka nyata-nyata pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta persidangan sehingga melanggar ketentuan dalam Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak;.
  3. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor : Put. 46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang :
    Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP-1237/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 14 Desember 2011, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008 Nomor : 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-00059/WPJ.19/ KP.0303/2011 tanggal 07 November 2011, atas nama: PT XXX Tbk. NPWP: 01.001.610.3-051.000, beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu Km. 18, Jakarta Selatan 12510, sehingga perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2008 menjadi sebagaimana perhitungan di atas, adalah tidak benar serta nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM


Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP-1237/WPJ.19/ BD.05/2011 tanggal 14 Desember 2011, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008 Nomor : 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Terbanding Nomor : KEP-00059/WPJ.19/KP.0303/2011 tanggal 07 November 2011, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.001.610.3-051.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan :
  1. Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp388.728.067,00; tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo berupa klarifikasi atas jawaban konfirmasi dijawab "Tidak Ada” maka apabila mungkin akan terjadi kerugian yang akan timbul tidak dapat dilimpahkan kepada Pemohon Banding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali), sehingga Faktur Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dan olehkarenanya koreksi Terbanding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal Pasal 1 angka 23 jo Pasal 13 ayat (5) jo Pasal 16F Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ./2001;
  2. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,


Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan da