Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.72527/PP/M.XIIIA/04/2016

Kategori : Lainnya

bahwa yang menjadi sengketa dalam perkara banding ini adalah koreksi Pajak Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013 sebesar Rp5.166.038,00;


  Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.72527/PP/M.XIIIA/04/2016

Jenis Pajak : PKB Jenis Alat Berat dan Besar
     
Tahun Pajak : 2013
     
Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi sengketa dalam perkara banding ini adalah koreksi Pajak Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013 sebesar Rp5.166.038,00;
     
     
Menurut Terbanding : bahwa Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 serta Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun Tahun 2013 tentang Pajak Daerah. bahwa kendaraan bermotor jenis alat berat/besar yang dimilik atau dikuasai oleh Pemohon Banding, merupakan objek PKB dan BBNKB dan oleh karenanya wajib dikenakan Pajak Kendaraan Bemiotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
     
Menurut Pemohon Banding : bahwa Pemohon Banding beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986.

Pemohon Banding adalah salah satu perusahaan pertambangan yang tunduk kepada Kontrak Karya (Contract of Work), Kontrak Karya secara khusus mengatur masalah perpajakan, yaitu Pasal 13 dan lampiran H, disamping itu, pengaturan masalah perpajakan di dalam Kontrak Karya tersebut bersifat “lex spesialis”, artinya masalah perpajakan yang secara spesifik diatur di dalam Kontrak Karya berlaku khusus (dipersamakan dengan Undang-Undang), dalam hal tidak diatur secara khusus maka berlaku ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang ada;
     
Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap berkas banding diketahui bahwa secara garis besarnya kronologi timbulnya sengketa banding yang diajukan Pemohon Banding adalah sebagai berikut:

bahwa Terbanding menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013 Nomor 516/X/AB/2012 tanggal 16 Oktober 2013 diterbitkan oleh UPTD Pelayanan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PPDRD) Sumbawa Barat dengan jumlah yang harus dibayar sebesar Rp5.166.038,00;

1. bahwa atas Surat Ketetapan Pajak Daerah a quo, Pemohon Banding mengajukan keberatan dengan Surat Nomor MH-MS/NNT/1213/8170 tanggal 18 Desember 2013 dan dengan Keputusan Terbanding Nomor 973/2490/02/Dipenda tanggal 5 November 2014 permohonan Pemohon Banding tersebut ditolak, sehingga dengan Surat Nomor MH-Ms/NNT/0115/0806 tanggal 29 Januari 2015 mengajukan banding;
2. bahwa dalam Surat Uraian Banding Nomor 373/SUB/PKB&BBNKB-NTB/V/2015 tanggal 28 Mei 2015 dan Kesimpulan Akhir Terbanding Nomor 153/KA-XIII.A/PKB-BBNKB/III/2016 tanggal 04 Maret 2016 antara lain dinyatakan bahwa surat permohonan banding Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak karena tidak disertai dengan alasan-alasan yang jelas terkait dengan dasar hukum yang digunakan oleh Pemohon Banding serta telah terjadi pertentangan antara posita yang digunakan dengan petitumnya. Disatu sisi pemohon banding mengatakan bahwa SKPD PKB dan BBNKB bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sudah benar (posita) sementara disatu sisi memohon agar SKPD PKB dan BBNKB dibatalkan (petitum) padahal dasar penerbitan SKPD tersebut adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, oleh karenanya alasan pengajuan banding Pemohon Banding adalah tidak jelas;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap Surat Pemohon Banding Nomor MHMs/NNT/0115/0650 tanggal 29 Januari 2015 dapat diketahui antara lain:
- bahwa alasan banding Pemohon Banding karena ditolaknya permohonan keberatan Pemohon Banding dengan Surat Nomor MH-MS/NNT/1213/8014 tanggal 18 Desember 2013 oleh Terbanding berdasarkan Keputusan Terbanding Nomor 973/2334/02/Dipenda tanggal 5 November 2014;
- bahwa yang disengketakan adalah pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor yang menurut Terbanding dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah serta Pasal 13 Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding. Pasal 13 Kontrak Karya menyatakan: "Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
Angka (XI) : Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat".
Dengan demikian menurut Terbanding seharusnya Pemohon Banding tunduk kepada undangundang dan yurisdiksi yang berlaku di Indonesia sehingga keberatan Pemohon Banding ditolak;
- bahwa Pemohon Banding beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986. Pemohon Banding adalah salah satu perusahaan pertambangan yang tunduk kepada Kontrak Karya (Contract of Work), Kontrak Karya secara khusus mengatur masalah perpajakan, yaitu Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya berbunyi sebagai berikut: "Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini ditandatangani".
Sehingga menurut Pemohon Banding karena pada saat ditandatanganinya Kontrak Karya (Contract of Work) tersebut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah belum ada, maka seharusnya ketentuan dalam peraturan perundangundanga tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap Pemohon Banding;

bahwa dengan demikian menurut pendapat Majelis bahwa permohonan banding Pemohon Banding mempunyai alasan yang jelas sehingga memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak;

bahwa secara substansi yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah pengenaan atau pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraaan Bermotor (PBK dan BBNKB);

bahwa menurut Terbanding kendaraan bermotor yang dimiliki oleh Pemohon Banding dikenakan PKB dan BBN-KB berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam:
  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  • Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
  • Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986;

bahwa Pasal 3 ayat (1) Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding yang berbunyi sebagai berikut:
"Perusahaan adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta tunduk kepada Undang-Undang dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia yang biasanya mempunyai kewenangan hukum atas perusahaanperusahaan, perusahaan harus mendirikan satu kantor pusat di Jakarta untuk menerima setiap pemberitahuan dan komunikasi resmi serta komunikasi hukum lainnya";

bahwa berdasarkan ketentuan tersebut menurut pendapat Terbanding bahwa Pemohon Banding wajib tunduk kepada undang-undang dan yurisdiksi yang berlaku di Indonesia, oleh karena itu pendapat Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Kontrak Karya bersifat khusus atau dipersamakan dengan Undang-Undang terbantahkan oleh ketentuan yang diatur dalam Kontrak Karya itu sendiri, yang berarti juga bahwa dalam pemberlakuannya Kontrak karya tersebut terikat pada Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berlaku. Sehingga dengan demikian jelas bahwa Pemohon Banding sebagai pelaksana Kontrak karya terkait dengan Pajak Daerah, wajib tunduk kepada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya tunduk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;

bahwa Pasal 13 Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding antara lain menyebutkan sebagai berikut:
"Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
Angka (XI) : Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat";

bahwa Terbanding berpendapat berdasarkan ketentuan tidak ada alasan hukum bagi Pemohon Banding untuk menghindar dari kewajibannya membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) karena Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah telah disetujui oleh Pemerintah Pusat dan berlaku universal bagi semua orang yang ada di Provinsi NTB tidak terkecuali Pemohon Banding yang memiliki/menguasai dan telah menerima penyerahan kendaraan bermotor jenis alat berat dan alat besar di wilayah Provinsi NTB;

bahwa menurut pendapat Pemohon Banding kendaraan bermotor yang dimiliki oleh Pemohon Banding tidak dikenakan PKB dan BBN-KB berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam:
  • Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957;
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1959 ;
  • Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959;
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000;
  • Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003;
  • Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986;

bahwa Pemohon Banding beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986.

Pemohon Banding adalah salah satu perusahaan pertambangan yang tunduk kepada Kontrak Karya (Contract of Work), Kontrak Karya secara khusus mengatur masalah perpajakan, yaitu Pasal 13 dan lampiran H, disamping itu, pengaturan masalah perpajakan di dalam Kontrak Karya tersebut bersifat “lex spesialis”, artinya masalah perpajakan yang secara spesifik diatur di dalam Kontrak Karya berlaku khusus (dipersamakan dengan Undang-Undang), dalam hal tidak diatur secara khusus maka berlaku ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang ada;

bahwa argumentasi Pemohon Banding di atas tentang karakteristik Kontrak Karya yang bersifat 'Lex Specialis' didukung dengan fakta-fakta sebagai berikut:
- Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 Desember 1988 yang menyatakan bahwa Kontrak Karya Pertambangan diberlakukan dan dipersamakan dengan Undang-Undang, oleh karena itu ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara khusus (special treatment/Lex Specialis);
- Pasal II dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) (pasal ini tidak mengalami perubahan di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) yang berbunyi:
"Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
b. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-Undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir";
- Pasal 33A ayat 4 dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan (Pasal 33A ini tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 mengenai Pajak Penghasilan, yang mana tidak mengalami perubahan di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), yang berbunyi:
"(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud";
- Bab XXV mengenai Ketentuan Peralihan Pasal 169 huruf (a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut menyatakan bahwa: "Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/ perjanjian";

bahwa dengan demikian sangat jelas bahwa Kontrak Karya memiliki sifat "Lex Specialis" dimana ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Kontrak Karya wajib untuk dihormati dan dilaksanakan baik oleh Perusahaan Pertambangan maupun Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan semua Aparatur Negara) sebagai pihak yang telah menyetujui dan menandatangani Kontrak karya tersebut, sebagaimana diuraikan di atas, sifat "Lex Specialis" dari Kontrak Karya juga diatur dan diakui oleh undang undang yaitu Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, oleh karena itu hal yang menyangkut materi pengenaan/perhitungan pajak bagi perusahaan pertambangan yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya, termasuk Pemohon Banding, harus tunduk terhadap ketentuan-ketentuan terkait yang secara khusus diatur di dalam Kontrak Karya yang bersangkutan; bahwa dalam Kesimpulan Akhir Pemohon Banding Nomor Ms/NNT/0316/2363 tanggal 01 Maret 2016 antara lain disampaikan:

bahwa di dalam proses persidangan – sebelumnya di Majelis Hakim yang lain, Pemohon Banding pernah menghadirkan saksi yaitu Bapak BBB, mantan Direktur Jenderal Pertambangan Umum – Departemen Pertambangan dan Energi (beliau menjabat dalam periode 1989 – 1993). Di dalam kesaksiannya, Pak BBB secara khusus menekankan mengenai proses dari diterbitkannya suatu Kontrak Karya dan juga sifat "Lex Specialis" dari Kontrak Karya yang harus dihormati baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berikut adalah beberapa kutipan dari kesaksian Bapak BBB;

Pokok-Pokok Pikiran Bapak Ir. BBB;
a. selama ini Pemerintah RI sangat konsekwen dengan komitmen-nya terhadap: segala ketentuan Kontrak Karya, dan telah secara konsisten pula menghargai sifat Lex-Specialisnya Kontrak Karya. Contoh yang paling nyata adalah Pasal 169 ayat (a) dari Undang-Undang Pertambangan yang baru, yang dinamakan UU Minerba (UU no. 4 tahun 2009), yang menetapkan bahwa "Kontrak Karya dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UU ini, tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian."
b. Sama sekali tidak sewajarnya bagi Pemerintah RI untuk hanya menghormati ketentuan2 yang pada akhirnya menguntungkan bagi negara saja, tapi tidak menghormati apa yang mengakibatkan kerugian bagi kita, apalagi kalau kerugian itu merupakan akibat dari langkah kebijakan Pemerintah RI sendiri dan jumlahnya relatif kecil dibanding keuntungan2 tersebut di atas;
c. Tindakan tidak menghormati lagi segala ketentuan Kontrak Karya dan atau sifat Lex Specialis dari Kontrak Karya dapat memicu tindakan serupa dari pemegang Kontrak Karya, yang nampaknya justru akan dapat berdampak kepada kerugian Negara yang jauh lebih besar;
d. Akibat yang paling berat yang akan dipikul oleh Negara dari tindakan sepihak tidak menghormati Kontrak Karya adalah nama baik kita sebagai bangsa dan iklim kepastian hukum yang akan sirna kembali setelah selama lebih dan tiga dasawarsa kita pupuk dan telah banyak membuahkan hasil nyata;

bahwa Pemohon Banding juga telah menghadirkan saksi ahli di dalam persidangan oleh Majelis Hakim yang sama, yaitu Bapak Prof. CCC, SH, LL.M, Ph.D, yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang mana pokok-pokok pikirannya atas masalah ini dituangkan sebagai berikut):
Prof. CCC, SH, LL.M, Ph.D
a. Negara Republik Indonesia merupakan suatu Badan Hukum yang memenuhi persyaratan dan memiliki kewenangan untuk melakukan dan menandatangani perjanjian dengan pihakpihak lainnya, termasuk dengan pihak swasta. Status negara adalah sebagai Badan Hukum perdata, dan negara tunduk dan mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan hukum perdata;
b. Kontrak Karya merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilakukan oleh Negara dan pihak swasta. Kontrak Karya sering disebut dengan Kontrak Perdata yang bersegi publik karena salah satu pihaknya adalah badan publik, yaitu Negara;
c. Berbagai hak dan kewajiban hukum masing-masing pihak terdapat pada Kontrak Karya yang merupakan hasil kesepakatan antara pihak negara dan pihak swasta. Penambahan dan pengurangan hak dan kewajiban tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan bersama para pihak dalam Kontrak Karya tersebut;
d. Pada pelaksanaan Kontrak Karya tersebut, Negara dilarang menggunakan kekuasaan/otoritasnya sebagai organ publik dalam perjanjian tersebut, karena pada dasarnya negara merupakan salah satu pihak dalam Kontrak Karya tersebut, yang wajib menghormati dan melaksanakan isi Kontrak Karya tersebut;
e. Negara Indonesia adalah negara kesatuan (Unitary State) yang berbentuk Republik dan merupakan negara dengan kedaulatan tunggal. Dengan sistim negara kesatuan tersebut, Pemerintah Pusat (National Government) mendesentralisasikan urusan pemerintahannya ke pemerintah-pemerintah sub nasional (Sub National Government) yang ada dibawahnya, baik berbentuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan sistem seperti ini, pemerintah bawahan wajib menghormati dan melaksanakan semua pengaturan, kebijakan, dan lain-lain termasuk perjanjian/kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, sampai selesainya perjanjian tersebut. Pemerintah bawahan dilarang dan tidak boleh membebani investor-investor yang bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dengan aturan-aturan kebijakan dan beban-beban lainnya di luar yang telah disepakati dalam perjanjian/Kontrak Karya tersebut;
f. Apabila Pemerintah Bawahan ingin membuat suatu kebijakan/beban/regulasi tambahan kepada investor, maka Pemerintah Bawahan tersebut dapat mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan hanya Pemerintah Pusat yang berwenang untuk menegosiasikannya dengan investor, dan hasilnya tergantung dan kesepakatan antara Pemerintah dan pihak swasta tersebut;
g. Berkaitan dengan surat Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/270/VII/2005, Pemohon Banding berpendapat bahwa surat tersebut adalah dalam rangka korespondensi antara Ketua Mahkamah Agung dan Tim DPRD mengenai hal yang terkait dengan permasalahan hukum yang terjadi di Maluku Utara. Secara kekuatan hukum, yang dapat dieksekusi dan ditindak lanjuti adalah vonis (putusan) Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan Fatwa atau Surat-Surat Mahkamah Agung adalah hanya mengikat pihak-pihak yang meminta fatwa atau penjelasan/perlindungan hukum tersebut. Para hakim di Indonesia sebagai hakim yang merdeka dalam melaksanakan kekuasaannya sesuai Undang-Undang Dasar 1945 dapat berbeda pendapat dan tidak terikat dengan fatwa/surat Mahkamah Agung dalam memberikan putusannya, sesuai dengan situasi dan kondisi kasus/sengketa hukum yang sedan ditanganinya;
h. Untuk menganalisis suatu Kontrak Karya yang dianggap bertentangan dengan ketentuan KUHPerdata pasal 1320 jo 1337, maka Pemohon Banding berpendapat bahwa untuk menganalisis dan menilai Kontrak Karya tersebut wajib dianalisis sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu Kontrak Karya tersebut ditandatangani, dan tidak dapat dinilai dengan situasi dan kondisi terkini karena akan menimbulkan perbedaan penafsiran dan menimbulkan kekacauan hukum yang luar biasa, yang pada akhirnya justru tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam Kontrak Karya tersebut;
i. Sedangkan mengenai ketentuan Pasal 3 ayat 1 Kontrak Karya yang menyebutkan bahwa "Perusahaan adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan undang-undang Republik Indonesia serta tunduk kepada undang-undang dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia yang biasanya mempunyai kewenangan hukum atas perusahaan." Pemohon Banding berpendapat bahwa ketentuan tersebut wajib ditafsirkan sebagai berikut: Perusahaan akan tunduk pada segala kesepakatan-kesepakatan dan undang-undang sektoral yang mengatur pertambangan Indonesia pada saat ditandatanganinya Kontrak Karya tersebut, serta apabila timbul sengketa hukum pada pelaksanaan Kontrak Karya tersebut akan diselesaikan melalui yurisdiksi pengadilan Indonesia;

bahwa terhadap pendapat Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Kontrak karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding tersebut bersifat Lex Specialis, maka Terbanding memberikan tanggapan bahwa pendapat Pemohon Banding tersebut tidak tepat, karena kontrak karya (Contract of Work) berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata, sedangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berada dalam ruang lingkup Hukum Publik, sehingga kontrak karya tidak tunduk pada azas Lex Specialis. Penjelasan tersebut sejalan dengan maksud Surat Mahkamah Agung Republik Indonesia 28 Juli 2005 Nomor KMA/270/VII/2005 yang ditujukan kepada Tim Hukum DPRD Provinsi Maluku Utara yang isinya, bahwa Kontrak Karya (Contract of Work) berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata, sedangkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) berada dalam ruang lingkup Hukum Publik, sehingga Kontrak Karya tidak tunduk pada azas Lex Specialis;

bahwa terkait dengan pendapat bahwa Kontrak Karya tidak tunduk pada azas Lex Specialis lebih lanjut dalam Kesimpulan Akhir Terbanding Nomor 1KA-XIII.A/PKB-BBNKB/III/2016 tanggal 04 Maret 2016 antara lain disampaikan pendapat hukum dari Pakar Hukum mengenai asas lex spesialis yaitu:
a. Pendapat Prof. Dr. DDD, S.H. Guru Besar dalam bidang Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Mataram yang disampaikan saat sebagai saksi ahli untuk kasus yang sama terkait PKB dan BBNKB yang menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Kontrak Karya merupakan bentuk kesepakatan antara Pemohon Banding dengan Pemerintah Indonesia yang berada dalam lapangan hukum perdata (privat law/persoon recht), dan kesepakatan mana tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum.
  2. Pemerintah Indonesia sebagai badan publik, dengan mengadakan kontrak dengan badan swasta (badan private) yakni Pemohon Banding, berarti ia telah melakukan penundukan diri kepada hukum private, dan dengan demikian ia dalam kapasitas sebagai lembaga atau organ perdata.
  3. Kontrak Karya sebagai kesepakatan keperdataan tidak dapat disetarakan dengan Undang-Undang atau sebagai "specialist" dari Undang-Undang, dan oleh karena ia bukan "lex" maka azaz "Lex Specialist" tidak dapat diberlakukan kepadanya.
  4. Pemohon Banding dalam kaitannya dengan pajak daerah harus tunduk kepada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (yang berlaku sekarang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009) dan bukan kepada Kontrak Karya.
b. Pendapat Prof EEE, SH., LLM., Ph.D. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia:
  1. Kontrak Karya tidak dapat diberlakukan sebagai “Lex Specialis Derogate Legi Generali” terhadap peraturan perundang-undangan. Alasannya karena Kontrak Karya dan peraturan perundang-undangan merupakan dua produk hukum yang berbeda.
  2. Doktrin “Lex Specialis Derogate Legi Generali” hanya dapat diberlakukan terhadap produk hukum yang sama dengan substansi masalah yang diatur antara Undang-Undang dengan Undang-Undang dimana satu Undang-Undang mengatur hal secara umum sementara Undang-Undang yang lain mengatur secara khusus. Atau Peraturan Presiden dengan Peraturan Presiden dimana satu Peraturan Presiden mengatur hal secara umum sementara Peraturan Presiden yang lain mengatur secara khusus.
  3. Dalam hal demikian maka Undang-Undang atau Peraturan Presiden yang berlaku adalah Undang-Undang atau Peraturan Presiden yang mengatur secara khusus. Ini karena menurut doktrin “Lex Specialis Derogate Legi Generali” ketentuan yang lebih khusus yang menang (prevail) dan harus diberlakukan.
  4. Namun bila produk hukum berbeda sementara yang satu mengatur secara khusus dan yang lain mengatur secara umum, doktrin “Lex Specialis Derogate Legi Generali” tidak dapat diberlakukan.
  5. Bila suatu Peraturan Presiden mengatur secara khusus atas suatu hal dan pada saat bersamaan ada Undang-Undang yang mengatur suatu hal secara khusus maka Peraturan Presiden akan tidak diberlakukan karena secara hirarki menurut Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 kedudukan Undang-Undang lebih tinggi daripada Peraturan Presiden.

bahwa berdasarkan pendapat Terbanding, Pemohon Banding dan Ahli sebagaimana dimaksud di atas maka Majelis berpendapat sebagai berikut:
1. bahwa yang dipermasalahkan dalam banding ini adalah kedudukan hukum dari Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986. Menurut pendapat Pemohon Banding Kontrak Karya tersebut bersifat “Lex Specialis” sehingga ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diberlakukan kepada Pemohon Banding adalah ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang berlaku pada saat Kontrak Karya tersebut ditandatangani. Sedangkan menurut pendapat Terbanding bahwa Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986 tidak tunduk pada azas “Lex Specialis” karena Kontrak Karya tersebut berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata sedangkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berada dalam lingkup Hukum Publik.
2. bahwa doktrin “Lex Specialis Derogate Legi Generali” hanya dapat diberlakukan terhadap produk hukum yang sama. Karena antara Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di samping bukan produk hukum yang sama juga berbeda lingkup hukumnya, maka doktrin “Lex Specialis Derogate Legi Generali” tidak dapat diberlakukan;
3. bahwa sifat “Lex Specialis” dari Kontrak Karya tersebut lebih disebabkan karena posisi hukum Kontrak Karya yang merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilakukan oleh Negara dan pihak swasta. Kontrak Karya sering disebut dengan Kontrak Perdata yang bersegi publik karena salah satu pihaknya adalah badan publik, yaitu Negara. Sesuai dengan pendapat Ahli Prof. CCC, SH, LL.M, Ph.D: bahwa berbagai hak dan kewajiban hukum masing-masing pihak terdapat pada Kontrak Karya yang merupakan hasil kesepakatan antara pihak negara dan pihak swasta. Penambahan dan pengurangan hak dan kewajiban tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan bersama para pihak dalam Kontrak Karya tersebut. Sehingga pada pelaksanaan Kontrak Karya tersebut, Negara dilarang menggunakan kekuasaan/otoritasnya sebagai organ publik dalam perjanjian tersebut, karena pada dasarnya negara merupakan salah satu pihak dalam Kontrak Karya tersebut, yang wajib menghormati dan melaksanakan isi Kontrak Karya tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”;
           
bahwa apabila merujuk kepada proses pembuatan Kontrak Karya maka nampak jelas bahwa pembuatan Kontrak Karya melibatkan banyak pihak, yang terdiri dari pejabat-pejabat Eselon 2 dan atau staf ahli dan Departemen-Departemen dan instansi-isntansi terkait seperti BKPM, Departemen Keuangan, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Pajak, dll., dan diketuai oleh Dirjen Pertambangan Umum. Kemudian pembuatan Kontrak Karya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR-RI dan BKPM melalui pengajuan naskah Kontrak Karya yang telah diparaf oleh para pihak oleh Menteri Pertambangan dan Energi (Menteri P&E) kepada DPR-RI dan BKPM. Adapun pembahasan segala ketentuan yang tercantum dalam naskah Kontrak Karya, dalam sidang-sidang Komisi DPR-RI yang bersangkutan bersama Tim Perunding Interdepartemen, terbuka bagi umum. Atas dasar hasil pembahasan tersebut, surat rekomendasi/persetujuan DPR-RI yang ditanda tangani oleh Ketua DPRRI, disampaikan kepada Presiden RI, lengkap dengan catatan-catatannya;

bahwa selanjutnya Ketua BKPM juga membuat Surat Rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden RI. Berdasarkan Surat Rekomendasi/persetujuan dan DPR dan BKPM, Presiden RI akan membuat surat pengesahan Kontrak Karya. Setelah surat pengesahan Kontrak Karya diperbaiki sesuai catatan-catatan dari DPR-RI dan/atau Ketua BKPM, Presiden RI akan memberikan Surat Perintah kepada Menteri Pertambangan dan Energi untuk menandatangani Kontrak Karya atas nama Pemerintah RI;

bahwa dalam hal ini pemerintah harus juga diartikan mempunyai fungsi sebagai badan hukum privat yang juga harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang telah disepakatinya di dalam Kontrak Karya, apabila di kemudian hari pemerintah membuat Undang-Undang/peraturan yang bertentangan dengan isi dari Kontrak Karya, maka Kontrak Karya tersebut tetap harus dihormati (Pacta Sunt Servanda);

bahwa Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik);

bahwa Pasal 1338 KUH Perdata berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik;

bahwa terdapat Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang pada intinya menyatakan bahwa kesepakatan para pihak berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata dapat mengenyampingkan ketentuan hukum publik sebagai berikut:
- Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 791 K/Sip/1972 tanggal 26 Februari 1973, menyatakan:
“Pasal 1338 “BW” masih berlaku dalam hukum perjanjian, oleh sebab itu sesuai dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi pihak-pihak harus mentaati apa yang telah mereka setujui, dan yang telah dikukuhkan dalam akte otentik tersebut.”
- Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983, yang diputus oleh Hakim Agung: FFF, S.H.; Ny. GGG, S.H.; dan Soegiri, S.H., menyatakan: “.....walaupun hukum acara perdata adalah merupakan ketentuan-ketentuan hukum publik, dalam beberapa segi masih dapat disimpangi berlakunya oleh sesuatu persetujuan yang diciptakan oleh kedua belah pihak....”;

bahwa dalam ajaran Trias Politica yang pertama kali dikemukakan oleh Montesquieu (1689 – 1755) secara normatif kekuasaan dibagi menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan judikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang atau disebut dengan rule making function. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang atau disebut dengan rule application function, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang atau disebut dengan rule adjudication function.
   
bahwa sesuai dengan fungsinya, kekuasaan judikatif hanya mengurusi tempat dan atau waktu kejadian perkara atau hal yang telah ada atau hal yang mulai terjadinya di masa lalu. Dalam peta pembagian waktu ke dalam kemarin, hari ini, besok, judikatif mengurusi kemarin. Dalam peta dasar aktivitas manajerial bernegara pengawasan, pelaksanaan, perencanaan, judikatif mengurusi pegawasan. Judikatif tidak mengurusi tindak lanjut dari sesuatu atau tindak lanjut dari derivatnya sesuatu yang sedang menjadi objek penghakiman.

bahwa Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding berbunyi sebagai berikut:
"Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan undangundang dan peraturan-peraturan yang berlaku dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini ditandatangani";

bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah RI dan Pemohon Banding adalah produk hukum berupa perjanjian dan oleh karenanya tunduk kepada azas-azas hukum perjanjian dan wajib tunduk pada kaedah memaksa (dwingen recht) yang terdapat dalam KUHPerdata;

bahwa Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian yang dibuat di Indonesia merupakan kaedah memaksa yang tidak boleh diabaikan oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan dinyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
  1. sepakat mereka yang mengikat dirinya
  2. kecakapan untuk membuat perikatan
  3. suatu hal tertentu
  4. suatu sebab yang halal
       
bahwa penjelasan mengenai “suatu sebab yang halal” dijelaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata: "Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum."

bahwa Kontrak Karya ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986 dimana pada saat penandatanganan Kontrak Karya a quo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah belum ada, sehingga menurut Pendapat Majelis Kontrak Karya a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 dan 1337 KUH Perdata;
           
bahwa Majelis berpendapat pada saat menandatangani Kontrak Karya dengan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986, Pemerintah Republik Indonesia berfungsi sebagai badan hukum privat sehingga tunduk kepada ketentuan maupun asas-asas yang berlaku dalam Hukum Perdata;

bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata sebagaimama tersebut di atas, Majelis berpendapat dalam hal Terbanding ingin memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda dengan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding, harus melalui kesepakatan terlebih dahulu dengan Pemohon Banding, atau dengan kata lain bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding terlebih dahulu melakukan adendum atau amandemen terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding tersebut;

bahwa dalam Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding tersebut secara jelas dinyatakan bahwa: "Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebananpembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini ditandatangani;

bahwa peraturan-peraturan yang berlaku di bulan Desember 1986 terkait dengan pengenaan PKB adalah Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 1985 (PD Nomor 5/1985), salah satu rujukan dari Peraturan Daerah Nomor 5/1985 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 8 Tahun 1959, tentang Perubahan Tarip Pajak Kendaraan Bermotor, yang menyatakan bahwa: " ...Pada waktu ini jumlah pajak sudah tidak seimbang lagi dengan harga kendaraan bermotor, maka oleh sebab itu dapat dianggap sudah tiba waktunya untuk mengubah tarip Pajak Kendaraan Bermotor. Disamping itu biaya pemeliharaan jalan-jalan sudah meningkat pula, karena meningkatnya harga bahan-bahan, sehingga sudah sewajarnya bahwa kenaikan itu dibebankan kepada pemakaipemakai jalan-jalan itu, khususnya pemilik kendaraan bermotor. Pula dianggap tidak melampaui batas keadilan jika mobil-mobil penumpang atau barang yang dipergunakan untuk umum, yang semata-mata dijalankan dengan bahan pembayar bensin, yang semula tidak kena Pajak Rumah Tangga dikenakan pajak ini. Dengan ketentuan ini maka kendaraan mobil yang dibebaskan dari Pajak Rumah Tangga dapat dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor jika memenuhi syarat-syaratnya. Dalam hal ini, maka semuanya mobil yang belum mempunyai nomor polisi yang diperdagangkan, dan dengan demikian tidak dapat dipakai dijalan umum, dibebaskan dari pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor....";

bahwa ketentuan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor adalah yang digunakan untuk umum dan dipakai di jalan umum, sedangkan kendaraan bermotor yang tidak dipakai di jalan umum dibebaskan dari pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor;

bahwa yang dimaksud dengan kendaraan bermotor menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah: setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik selain Kendaraan yang berjalan di atas rel;

bahwa ketentuan Pasal 4 Undang-Undang a quo mengatur bahwa: Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancer melalui:
  1. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
  2. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
  3. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan indentifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Majajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
   
bahwa pada umumnya kendaraan bermotor yang digunakan di pertambangan lebih bersifat sebagai alat berat meskipun sama-sama berpenggerak peralatan mekanik berupa mesin, namun alat berat memiliki perbedaan teknis yang sangat mendasar, berbeda dengan kendaraan bermotor lain yang dipegunakan sebagai kendaraan penumpang dan atau barang di jalan sebagai sarana transportasi.

Alat berat secara khusus didesain bukan untuk transportasi melainkan untuk melaksanakan pekerjaan berskala besar dengan mobilitas relatif rendah, sehingga Majelis berpendapat bahwa alat berat tidak tepat kalau dikelompokan dalam kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud di atas;

bahwa berdasarkan data dan fakta yang terungkap dalam persidangan dapat diketahui bahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding tidak melakukan adendum atau amandemen terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding tersebut;

bahwa Majelis berpendapat sifat “Lex Specialis” Kontrak Karya antara Pemohon Banding dan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Pemohon Banding bukan disebabkan karena kedudukan hukum kontrak karya tersebut yang berada dalam lingkup Hukum Perdata dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang berada dalam lingkup Hukum Publik, tetapi lebih dikarenakan telah disepakatinya oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya tersebut;

bahwa di dalam Pasal 1 Kontrak Karya antara Pemohon Banding dan Pemerintah Republik Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Pemerintah" berarti Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah Tingkat I atau Tingkat IInya. Berdasarkan ketentuan Pasal ini, maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah yang dimaksud di sini adalah termasuk juga Pemerintah Daerah, dengan demikian Pemerintah Daerah juga harus menghormati ketentuan-ketentuan yang di atur di dalam Kontrak Karya tersebut;
       
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata serta sejalan dengan asas “Pacta Sunt Servanda” yang berlaku secara universal, Majelis berkesimpulan koreksi Pajak Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013 sebesar Rp5.166.038,00 tidak dapat dipertahankan;
     
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi;
     
menimbang : bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan Keputusan Terbanding Nomor 973/2490/02/Dipenda tanggal 5 November 2014 tidak dapat dipertahankan, sehingga Pajak Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013 dihitung kembali menjadi sebagai berikut:

Jumlah yang harus dibayar menurut Terbanding .........     
Koreksi yang tidak dapat dipertahankan .....................     
Jumlah yang harus dibayar menurut Majelis ................ 
Rp 5.166.038,00
Rp 5.166.038,00
Rp               0,00
     
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundangundangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
     
Memutuskan : Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 973/2490/02/Dipenda tanggal 5 November 2014 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (SKPD PKB dan BBNKB) Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013 Nomor 516/X/AB/2012 tanggal 16 Oktober 2013, atas nama Pemohon Banding sehingga perhitungan pajaknya menjadi Nihil.

Demikian diputus di Surabaya pada hari Jumat tanggal 04 Maret 2016 berdasarkan musyawarah Majelis XIIIA Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

1.
2.
3.
ABC, S.H., M.M. .........
Drs. DEF, S.H., M.PKN. .....
GHI, Ak., M.M., C.A. .....
yang dibantu oleh:
Dra. JKL, M.M.
sebagai Hakim Ketua,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Hakim Anggota,

sebagai Panitera Pengganti,

dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2016 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Terbanding dan tidak dihadiri oleh Pemohon Banding.