Putusan Mahkamah Agung Nomor : 215/B/PK/PJK/2016

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-55884/PP/M.IIB/16/2014, Tanggal 3 Oktober 2014 yang tel


 

PUTUSAN
Nomor 215/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
PT. AFG, beralamat di FG Strategic Square South Tower Lantai 22, Jalan Jenderal QQ Kav. 45-46, Jakarta Selatan 12930;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

melawan:


DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal AF Nomo. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
  1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak.
  2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
  3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
  4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal AF No. 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-1479/PJ./2015 tanggal 15 April 2015.
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-55884/PP/M.IIB/16/2014, Tanggal 3 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding menyampaikan permohonan banding atas Surat Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1979/WPJ.07/2011 tertanggal 10 Agustus 2011 yang Pemohon Banding terima tanggal 12 Agustus 2011 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Nomor 00069/407/09/052/10 tertanggal 7 Juli 2010 Masa Pajak Juni 2009 yang pada intinya menerima sebagian permohonan keberatan Pemohon Banding, SKPLB PPN Masa Pajak Juni 2009 tersebut merupakan hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing I;
Pemenuhan Ketentuan Formal Pengajuan Banding.
Bahwa permohonan banding ini Pemohon Banding ajukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang sebagai berikut:
  1. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan sebagai berikut:
    "Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)”;
    Bahwa selanjutnya Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut "UU Pengadilan Pajak") menyatakan sebagai berikut:
    "Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak";
    Bahwa Surat Banding dalam bahasa Indonesia, Pemohon Banding ajukan terhadap Keputusan Keberatan kepada Pengadilan Pajak, dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP dan Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan Pajak;
  1. Pasal 27 ayat (3) UU KUP menyatakan sebagai berikut:
    "Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut";
    Bahwa Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
    "Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan";
    Bahwa Pasal 36 ayat (2) dan (3) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
    (2)
    "Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding";
    (3)
    "Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding";

Bahwa Surat Banding disusun secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan diajukan sebelum lewat tiga bulan sejak diterimanya Keputusan Keberatan, adapun keputusan keberatan tersebut Pemohon Banding terima pada tanggal 12 Agustus 2011 dan salinannya Pemohon Banding lampirkan dalam surat banding ini, dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU KUP dan Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (2) dan (3) UU Pengadilan Pajak;

  1. Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
    "Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)";
    Bahwa berkaitan dengan pasal di atas, jumlah yang telah disetujui berdasarkan Pembahasan Akhir Pemeriksaan menunjukkan jumlah lebih bayar sehingga Pemohon Banding tidak memiliki jumlah pajak yang masih harus dibayar, dengan demikian, surat banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding yaitu Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak;
    Bahwa dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka pengajuan Surat Banding atas Keputusan Keberatan yang diterbitkan Terbanding tersebut untuk PPN Masa Pajak Juni 2009, telah dilakukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara yang telah disyaratkan oleh undang-undang, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU KUP, Pasal 35 ayat (1) dan (2), serta pasal 36 ayat (2), (3) dan (4) UU Pengadilan Pajak, oleh karena itu sudah sepatutnya Surat Banding ini dapat diterima dan dapat dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
    Pokok Permohonan Banding
    Perhitungan Pajak Menurut Keputusan Keberatan PPN Masa Pajak Juni 2009 Bahwa berdasarkan hasil penelitian keberatan, perhitungan PPN Lebih Bayar menurut Terbanding sesuai dengan Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-1979/WPJ.07/2011 tertanggal 10 Agustus 2011, adalah sebagai berikut:
    Uraian Semula
    (Rp)
    Ditambah /
    (Dikurangi)
    (Rp)
    Menjadi
    (Rp)
    PPN Kurang/(Lebih) Bayar (3.960.766.641) 261.059.535 (4.221.826.176)
    Sanksi Bunga -


    Sanksi Kenaikan -

    -
    Jumlah PPN ymh/(lebih) dibayar (3.960.766.641) 261.059.535 (4.221.826.176)

Koreksi Terbanding
Bahwa berdasarkan SKPLB PPN Nomor 00069/407/09/052/10 tertanggal 7 Juli 2010 Masa Pajak Juni 2009 yang telah dikabulkan sebagian oleh Terbanding/Peneliti Keberatan melalui KEP-1979/WPJ.07/2011 tertanggal 10 Agustus 2011, rincian koreksi adalah sebagai berikut:

Deskripsi Cfm Pemohon
Banding
Rp
Cfm
Terbanding
Rp
Koreksi
Rp
Dasar Pengenaan Pajak:

-
Ekspor 120.330.080.690 120.330.080.690 -
Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 90.413.543.700 90.413.543.700 -
Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut 45.652.059.270 45.652.059.270 -
Jumlah seluruh penyerahan 256.395.683.660 256.395.683.660 -
2. Perhitungan PPN Lebih Bayar


PPN yang harus dipungut/dibayar sendiri 9.041.354.370 9.041.354.370 -
Pajak masukan yang dapat diperhitungkan 13.298.593.976 13.002.121.011 296.472.965
Jumlah PPN yang lebih dibayar/seharusnya tidak terutang (4.257.239.606)  (3.960.766.641)  296.472.965

Bahwa koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Terbanding adalah sebagai berikut:
No Keterangan Koreksi Pajak
Masukan
Jumlah
(Rp)
Proses
Pemeriksaan
Jumlah
(Rp)
Proses Keberatan Jumlah (Rp) Proses Banding
1
Pajak Masukan Dalam Negeri 11.059.535 Diajukan Keberatan 11.059.535 Keberatan yangditerima 11.059.535 Tidak Diajukan Banding
2
Pajak Masukan dari PT XY 250.000.000 Diajukan Keberatan 250.000.000 Keberatan yang diterima 250.000.000 Tidak Diajukan Banding
3
Pajak Masukan Impor Jasa Luar Negeri 35.413.430 Diajukan Keberatan 35.413.430 Keberatan yang ditolak 35.413.430 Sengketa Banding

Jumlah 296.472.965
296.472.965
296.472.965


Alasan Banding.
Koreksi Pajak Masukan atas Jasa Luar Negeri sebesar Rp.35.413.430,00

Menurut Terbanding
Bahwa Terbanding tidak memperhitungkan SSP PPN JLN sebesar Rp.35.413.430,00 yang merupakan pembayaran ke Lenzing India;
Bahwa dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN disebutkan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
Bahwa dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan managemen, ketentuan ini untuk semua bidang usaha;
Bahwa jenis usaha Pemohon Banding adalah industri serat/benang filament yang memiliki Agency agreement dengan OPQ, India untuk penjualan produk-produk Pemohon Banding berupa staple fiber (agreement point 1), dalam perjanjian ZX India akan menjadi agen penjualan (sale, marketing dan promotion) di India;
Bahwa namun demikian dalam proses keberatan, dalam agreement antara Pemohon Banding dengan ZX India tidak ada dasar perhitungan berapa jasa yang dibayarkan oleh Pemohon Banding, selain itu tidak ada bukti pembayaran atas jasa tersebut, tidak adanya hasil nyata dari pemberian jasa berupa laporan hasil penyelesaian pekerjaan lapangan, tidak terdapat dokumentasi atas kegiatan agen penjualan tersebut yang dibuat oleh Pemohon Banding yang meyakinkan bahwa pembiayaan atas aktivitas tersebut memang benar-benar ada;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas mengusulkan untuk menolak keberatan Pemohon Banding atas koreksi Pajak Masukan sebesar Rp35.413.430,00;
Menurut Pemohon Banding
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan Terbanding dengan alasan sebagai berikut:
"Pembayaran jasa komisi penjualan kepada agen pemasaran di luar negeri tidak berhubungan dengan kegiatan usaha (Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN) karena Pemohon Banding sudah mempunyai tenaga marketing sendiri sehingga tidak perlu adanya agen pemasaran di luar negeri" adalah tidak benar;
Bahwa pilihan untuk menggunakan agen penjualan pada hakikatnya merupakan pilihan bisnis yang didasarkan atas pertimbangan kelaziman praktek bisnis pada umumnya dan seharusnya Terbanding tidak dapat mengatur apakah pihak Pemohon Banding boleh atau tidak menggunakaan agen penjualan, sepanjang kewajiban perpajakan atas transaksi tersebut telah dijalankan;
Bahwa penggunaan agen-agen penjualan memberikan manfaat bagi Pemohon Banding dimana Pemohon Banding dapat memanfaatkan jaringan, pengalaman dan hubungan baik yang dimiliki oleh agen penjualan dengan customer-customer Pemohon Banding untuk mempertahankan dan memperluas pasar bagi Pemohon Banding, khususnya untuk pasar luar negeri;
Bahwa dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan agen penjualan di luar negeri adalah berhubungan dengan kegiatan usaha Pemohon Banding yang bertujuan memperluas pasar ekspor bagi Pemohon Banding di luar negeri, sehingga seharusnya koreksi Terbanding dapat dibatalkan dan pajak masukan atas transaksi tersebut sebesar Rp35.413.430,00 seharusnya dapat dikreditkan;
Perhitungan Pajak Menurut Pemohon Banding Bahwa berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku dan penjelasan Pemohon Banding di atas, maka koreksi PPN Masukan sebagaimana tersebut di atas seharusnya dibatalkan, dengan demikian, perhitungan SKPLB PPN Nomor 00069/407/09/052/10 tertanggal 7 Juli 2010 Masa Pajak Juni 2009 seharusnya adalah sebagai berikut:

URAIAN Jumlah Menurut Pemohon
Banding
1.   Dasar Pengenaan Pajak:
a.   Atas Penyerahan Barang dan jasa yang terutang PPN:
      a.1.  Ekspor
              Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri
      a.2.  Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut oleh Pemungut PPN Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut
      a.3.  Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN Jumlah (a.1 + a.2 + a.3 + a.4 + a.5)
b.   Atas Penyerahan Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN
c.   Jumlah Seluruh Penyerahan (a.6 + b)
              Atas impor BKP / Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean / Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean /
              Pemungutan pajak oleh Pemungut Pajak / Kegiatan membangun sendiri / Penyerahan alas aktiva tetap
d.   yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan :
      d.1   Impor BKP
      d.2   Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean
      d.3   Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean
      d.4   Pemungutan pajak oleh Pemungut PPN
      d.5   Kegiatan membangun sendiri
              Penyerahan atas aktiva tetap yang menurut tujuan semula tidak untuk
      d.6   dipedualbelikan
      d.7   Jumlah (d.1 atau d.2 atau d.3 atau d.4 atau d.5 atau d.6)
2.   Penghitungan PPN Lebih Bayar
a.   Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri (tarif x 1.a.2 atau 1.d.7)
b.   Dikurangi:
      b.1.   PPN yang disetor di muka dalam Masa Pajak yang sama -
      b.2. Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan
      b.3. STP (pokok kurang bayar) -
      b.4. Dibayar dengan NPWP sendiri -
      b.5. Lain-lain -
      b.6. Jumlah (b.1 + b.2 + b.3 + b.4 + b.5)
c.   Diperhitungkan:
      c.1. SKPLB -
      c.2 SKPPKP -
d.   Jumlah yang seharusnya tidak terutang
e.   Jumlah perhitungan PPN Lebih Bayar/seharusnya tidak terutang
3.   Kelebihan Pajak yang sudah:
a.   Dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya
b.   Dikompensasikan ke Masa Pajak (karena pembetulan)
c.   Jumlah (a+b) -
4.   Jumlah PPN yang lebih dibayar/seharusnya tidak terutang (2e-3c)


120.330.080.690
90.413.543.700
45.652.059.270
256.395.683.660
                          -
256.395.683.660



-
-
-
-
-

-
-

9.041.354.370

-
13.298.593.976
-
-
                        -
13.298.593.976

-
                         -

4.257.239.606



-
4.257.239.606

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-55884/PP/M.IIB/16/2014, tanggal 3 Oktober 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan menolak banding Pemohon Banding terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1979/WPJ.07/2011 tanggal 10 Agustus 2011, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar PPN Masa Pajak Juni 2009 Nomor 00069/407/09/052/10 tanggal 7 Juli 2010, atas nama: PT AFG, NPWP 0X.000.XXX.X-0XX.000, beralamat di FG Strategic Square South Tower Lantai 22, Jalan Jenderal AG Kav. 45-46, Jakarta Selatan XXXX0.
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-55884/PP/M.IIB/16/2014, Tanggal 3 Oktober 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 07 November 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 23 Januari 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 23 Januari 2015;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 24 Maret 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 24 April 2015;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 55884/PP/M.IIB/16/2014 yang diucapkan tanggal 3 Oktober 2014 (Bukti PK-1), terhadap mana oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) diajukan Permohonan Peninjauan Kembali, amar (dictum) putusannya adalah sebagai berikut:

M E N G A D I L I


Menyatakan menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1979/WPJ.07/2011 tanggal 10 Agustus 2011, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar PPN Masa Pajak Juni 2009 Nomor 00069/407/09/052/10 tanggal 7 Juli 2010 atas nama: PT AFG, NPWP: 0X.000.XXX.X-0XX.000, beralamat di FG Strategic Square South Tower Lantai 22, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 45-46, Jakarta Selatan XXXX0.”
  1. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak yang menolak permohonan banding dari Pemohon Banding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) tersebut sangat tidak adil dan merugikan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) serta, sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini, merupakan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, Putusan Pengadilan Pajak tersebut dapat melunturkan jaminan kepastian hukum dan dapat pula merusak iklim investasi yang baik dan kondusif di Indonesia;
    Pemenuhan Formalitas Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
  2. Bahwa Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut pula “Undang-Undang Pengadilan Pajak”) menyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan, antara lain, sebagai berikut:
    “e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
  3. Bahwa Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
    “Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.”
  4. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 55884/PP/M.IIB/16/2014 tanggal 3 Oktober 2014 dikirim oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), melalui pos pada tanggal 3 November 2014 (lihat Amplop Surat Sekretariat Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk pengiriman Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 55884/PP/M.IIB/16/2014 yang memperlihatkan cap pos pengiriman tanggal 3 November 2014; Bukti PK-4), dengan pengiriman tertanggal 23 Oktober 2014 sebagaimana yang tercantum pada salinan Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 55884/PP/M.IIB/16/2014 (Bukti PK-1). Kemudian pada tanggal xx Januari 2015, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah menyatakan mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Pengadilan Pajak, dan selanjutnya pada tanggal yang sama Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah pula mengajukan Memori Peninjauan Kembali ini.
Dengan demikian, pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 55884/PP/M.IIB/16/2014 tanggal 3 Oktober 2014 dan dikirim pada tanggal 3 November 2014 ini dilakukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara yang telah disyaratkan oleh undang-undang, khususnya Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Permohonan Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;

PERNYATAAN PEMBUKAAN (OPENING STATEMENTS)


  1. Bahwa sengketa pajak mengenai Pajak Penghasilan (“PPh”) Badan Masa Pajak Juni 2009 antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan Termohon Peninjauan Kembali (“Termohon Peninjauan Kembali”) (semula Terbanding) yang diajukan peninjauan kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada Mahkamah Agung didasari karena putusan Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak.
    Adapan sengketa yang diajukan peninjauan kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada Mahkamah Agung adalah terkait koreksi Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan PPN Jasa luar Negeri–ZX India.
  2. Terkait sengketa atas Pajak Masukan PPN Jasa luar Negeri–ZX India, semula Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan Banding atas koreksi Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) senilai Rp35.413.430,00. Koreksi Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) disebabkan karena mereka tidak dapat meyakini bukti yang disampaikan. Kemudian, pada tahap Banding pihak Majelis Hakim memeriksa dokumen terkait sengketa yang Pemohon Peninjauan Kembali sampaikan dalam proses persidangan. Atas dasar dokumentasi tersebut, pihak Majelis Hakim mempertahankan seluruh koreksi Termohon Peninjauan Kembali senilai Rp35.413.430,00.
  3. Di bawah ini Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) akan menguraikan alasan-alasan permohonan peninjauan kembali bahwa sudah semestinya Putusan Pengadilan Pajak tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim pada Mahkamah Agung yang mulia dan selanjutnya Majelis Hakim Agung yang mulia mengabulkan permohonan peninjauan kembali Permohon Peninjauan Kembali untuk seluruhnya.
    PUTUSAN PENGADILAN PAJAK DALAM PERKARA A QUO NYATA-NYATA TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU
  4. Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) akan mengutip pertimbangan-pertimbangan hukum Pengadilan Pajak dan memberikan uraian-uraian mengenai alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 55884/PP/M.IIB/16/2014 tanggal 3 Oktober 2014;
  5. Bahwa sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini pertimbangan-pertimbangan hukum dan kesimpulan-kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    SENGKETA ATAS KOREKSI PAJAK MASUKAN PPN JASA LUAR NEGERI–ZX INDIA
  6. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak dalam perkara a quo didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum dan kesimpulan-kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana tercantum pada halaman 24 Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan (Bukti PK-1):
    “Bahwa berkaitan dengan pembuktian kebenaran substansial, Majelis telah memberikan kesempatan yang layak dan memadai kepada para pihak, termasuk Pemohon Banding, untuk menyampaikan bukti-bukti termasuk dokumen yang mendukung adanya realisasi kegiatan jasa pemasaran yang telah diberikan rekanan bisnis (ZX India) kepada Pemohon Banding, terutama terkait sengketa banding ini, namun dalam persidangan, Pemohon Banding tidak menyampaikan bukti-bukti realisasi kegiatan jasa pemasaran yang diberikan ZX India;
    Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut, berdasarkan pemeriksaan dokumen dan keterangan para pihak dalam persidangan, maka Majelis berpendapat bahwa pengeluaran biaya yang oleh Pemohon Banding disebut sebagai Jasa Pemasaran a quo tidak dapat dibuktikan benar-benar terjadi (eksis) sehingga Majelis juga tidak menemukan bukti keterkaitan pengeluaran yang oleh Pemohon Banding disebut sebagai Jasa Pemasaran a quo dengan kegiatan usaha Pemohon Banding sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) huruf (b) UU PPN.
    Bahwa dengan demikian, sehingga Majelis berpendapat bahwa koreksi Terbanding atas Pajak Masukan Impor JLN ZX India sebesar Rp35.413.430,00 a quo tetap dipertahankan.”
  7. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sangat keberatan dan tidak setuju terhadap pertimbangan-pertimbangan hukum dan kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak pada halaman 24 Putusan Pengadilan Pajak (Bukti PK-1), yang menyatakan sebagai berikut:
    “Bahwa dengan demikian, sehingga Majelis berpendapat bahwa koreksi Terbanding atas Pajak Masukan Impor JLN ZX India sebesar Rp35.413.430,00 a quo tetap dipertahankan.”
    Pilihan untuk menggunakan agen penjualan pada hakikatnya merupakan pilihan bisnis yang didasarkan atas pertimbangan kelaziman praktek bisnis pada umumnya dan seharusnya pemeriksa tidak dapat mengatur apakah pihak Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) boleh atau tidak menggunakaan agen penjualan, sepanjang kewajiban perpajakan atas transaksi tersebut telah dijalankan.
    Penggunaan agen-agen penjualan memberikan manfaat bagi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dimana Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dapat memanfaatkan jaringan, pengalaman dan hubungan baik yang dimiliki oleh agen penjualan dengan customer-customer Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk mempertahankan dan memperluas pasar bagi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), khususnya untuk pasar luar negeri. Untuk detail tugas agen penjualan, cara perhitungan dan pembayaran komisi dapat dilihat di Agency Agreement antara PT SPV dengan ZX India (Bukti PK-6) sebagaimana telah diserahkan dalam proses banding.
    Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), bukti-bukti yang telah diserahkan selama proses pemeriksaan sampai dengan banding, seperti SSP, SPT PPN, Agreement, dan contoh aktivitas ZX India beserta foto sudah membuktikan eksistensi pemberian jasa dari ZX India ke Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan keterkaitannya dengan usaha Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
    Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan agen penjualan di luar negeri adalah berhubungan dengan kegiatan usaha PT SPV yang bertujuan memperluas pasar ekspor bagi PT SPV di luar negeri, sehingga seharusnya koreksi pemeriksa dapat dibatalkan dan pajak masukan atas transaksi tersebut sebesar Rp35.413.430 seharusnya dapat dikreditkan.
    Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), Jasa Pemasaran yang diberikan oleh ZX India adalah berkaitan dengan kegiatan usaha. Oleh karena itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh, biaya ini dapat dibebankan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.
  8. Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali terdapat inkonsistensi dalam pengambilan keputusan untuk sengeketa yang sama. Dalam putusan pengadilan PPN Masa Pajak Februari 2009 No.Put. 55882/PP/M.IIB/16/2014 tanggal 3 Oktober 2014 (Bukti PK-5), koreksi Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) untuk Pajak Masukan atas PPN Jasa Luar Negeri terkait pembayaran jasa komisi penjualan dibatalkan seluruhnya.
    Inkonsistensi ini tentunya merugikan Pemohon Peninjauan Kembali.
  9. Bahwa seandainya sikap dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo dapat dibenarkan menurut hukum (quod non) bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang harus menanggung beban pembuktian bahwa koreksi Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat dibenarkan, dan mengingat bahwa dalam rangka menentukan kebenaran materiil yang dianut dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak (Penjelasan Pasal 76 Undang-Undang Pengadilan Pajak) tidak ada alat bukti yang dapat mengikat (memaksa) hakim menjadi yakin bahwa bukti-bukti tersebut cukup, maka dapat terjadi semua permohonan banding yang diajukan oleh Wajib Pajak dapat ditolak dengan sangat mudah oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan alasan Hakim tidak yakin akan kebenarannya meskipun bukti-bukti yang diajukan telah mencukupi, atau bahkan melimpah seperti yang terjadi dalam perkara a quo. Hal yang demikian dapat mengakibatkan lembaga permohonan peninjauan kembali dalam sengketa pajak kepada Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Pajak hanya menjadi harapan yang kosong (hampa) bagi Wajib Pajak karena (quod non) semua putusan Pengadilan Pajak akan menjadi selalu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sepatutnya Majelis Hakim pada Mahkamah Agung yang mulia kiranya dapat meluruskan kekeliruan nyata dalam Putusan Pengadilan Pajak dalam perkara a quo dan membatalkannya demi penegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan seluruslurusnya dan berkeadilan;
  10. Bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum dan kesimpulan-kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang dikutip di atas nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan dasar bahwa perkara a quo jelas sekali ada jasa yang telah diterima oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dari ZX India sehingga sesuai dengan Management and Advisory Fee dan Agency Agreement Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mempunyai kewajiban hukum untuk membayar jasa tersebut kepada ZX India;
  11. Bahwa perlu Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kemukakan pula bahwa konsep transaksi tidak wajar bukanlah suatu bidang ilmu yang eksak karena membutuhkan berbagai faktor dan berbagai analisis fungsi dalam melakukan analisis dan evaluasi untuk menentukan apakah ada sesuatu yang tidak wajar dalam suatu transaksi. Sebagai contoh, salah satu faktor yang perlu untuk bahan analisis adalah contractual arrangements atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan. Selain itu, diperlukan juga data pembanding untuk menentukan apakah transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa lazim dan jumlah pembayarannya wajar, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Penjelasannya dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (Bukti PK-7).
    Akan tetapi, sebagaimana fakta yang telah terungkap dan terbukti secara nyata dalam persidangan di Pengadilan Pajak, Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sama sekali tidak pernah menyampaikan data pembanding yang memenuhi kriteria dalam peraturan yang dibuatnya sendiri;
  12. Bahwa sesuai dengan Pasal 76 dan Penjelasan Pasal 76 Undang-undang Pengadilan Pajak, Hakim mempunyai kewajiban untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian.
    Berdasarkan uraian hukum di atas, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa dalam menunaikan kewajibannya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian yang merupakan suatu kebenaran materiil, Hakim harus melakukan cara-cara yang sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan. Menurut Prof. R. KL, S.H. dalam bukunya “Hukum Pembuktian” halaman 15 (Bukti PK-8), masalah pembagian beban pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam Hukum Pembuktian dan merupakan suatu persoalan hukum atau persoalan yuridis.
    Prof. R. KL, S.H. menyatakan, melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan yang bersangkutan.
    Selengkapnya, dalam bukunya tersebut Prof. R. KL, S.H. menyatakan (Bukti PK-8; halaman 15):
    “Suatu masalah yang sangat penting dalam Hukum Pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian. Sebagaimana sudah diterangkan pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka Pengadilan Kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Hakim atau Pengadilan yang bersangkutan.”
  13. Bahwa beban pembuktian atas ketidakbenaran penghitungan pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak yang dibuat oleh Wajib Pajak adalah berada pada Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), selaku pihak yang melakukan koreksi. Hal-hal mengenai beban pembuktian dalam Undang-Undang Perpajakan, dapat dilihat dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”) pada Pasal 12 ayat (3), Penjelasan Pasal 13 ayat (1), Pasal 26 ayat (4) yang menyatakan bahwa:
    Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
    “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang."
    Penjelasan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
    “…Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak… Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.”
    Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
    “Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.”
  14. Bahwa berdasarkan penjelasan UU KUP mengenai ketentuan penerbitan Surat Ketetapan Pajak di atas, wajib pajak merupakan pihak yang harus menanggung beban pembuktian atas ketidakbenaran surat ketetapan pajak yang diterbitkan secara jabatan. Penerbitan surat ketetapan pajak secara jabatan itu sendiri disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
  • Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
  • Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
  1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa beban pembuktian pada wajib pajak hanya terbatas atas ketetapan pajak yang ditetapkan secara jabatan. Dengan demikian, secara argumentum a contrario, beban pembuktian atas Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan tidak secara jabatan berada di pihak Direktorat Jenderal Pajak (Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)).
  2. Bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (“SKPKB”) Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juni 2009 yang menjadi awal sengketa perkara a quo diterbitkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak secara jabatan. Dengan demikian, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, beban pembuktian surat ketetapan pajak SKPLB Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juni 2009 yang menjadi awal sengketa perkara a quo yang diterbitkan tidak secara jabatan berada pada Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding). Lihat pula uraian-uraian Dr. Hadi Buana, S.E.,M.Si. (Kepala Bagian Persidangan dan Rapat di Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, sebelumnya bekerja di Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, yang kemudian menjadi Pengadilan Pajak, dan pernah ditugaskan Pimpinan Sekretariat Pengadilan Pajak untuk mengajar mata kuliah Peradilan Pajak di Sekolah Tinggi Administrasi Negara), dalam bukunya “Peradilan Pajak Sebagai Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak”, IH Co, Jakarta, 2012, halaman 201 dan 202 yang menyatakan (Bukti PK-9):
    “Dari penjelasan Pasal 26 ayat (4) UU KUP tersebut di atas, diketahui bahwa beban pembuktian pada wajib pajak terbatas atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak tertentu saja (spesifik), yakni karena jabatan, artinya pada umumnya (general) dalam hal keberatan terhadap suatu surat ketetapan pajak beban pembuktian ada pada pihak administrasi pajak. Dengan demikian dikaitkan dengan Pasal 12 ayat (3) UU KUP, kebenaran bukti yang didapat dari pemeriksaan harus dibuktikan sendiri oleh pemeriksa saat surat ketetapan pajak yang penerbitannya didasarkan bukti tersebut diajukan keberatan oleh wajib pajak.
    Jika di tingkat keberatan pemeriksa harus membuktikan kebenaran bukti yang didapat saat pemeriksaan maka seharusnya di tingkat banding pun untuk keduakalinya kebenaran bukti yang didapat saat pemeriksaan tersebut diuji atau harus dapat dibuktikan kebenarannya di muka hakim. Sehingga yang pertama dan utama yang harus dilakukan oleh hakim pengadilan pajak adalah meminta pihak administrasi pajak membuktikan kebenaran bukti yang didapatkan, sementara kepada pihak wajib pajak hakim hanya meminta bantahannya bila dirasakan keterangan yang disampaikan pihak administrasi pajak tidak benar, sehingga tidak akan terjadi di dalam sidang justru hakim meminta wajib pajak yang mengajukan bandingnya terlebih dahulu membuktikan kebenaran dari surat pemberitahuannya padahal ini tidak sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) UU KUP.
    Tidak berlaku secara umum asas praesumptio iustae causa ini sekiranya dapat dijadikan indikator lain bahwa hukum pajak sebagai hukum administrasi memiliki kekhususan dan sejalan hal ini Pengadilan Pajak sebagai pengadilan administrasi memiliki kekhususan, yakni dengan tidak berlakunya asas praesumptio iustae causa maka pihak yang paling diminta membuktikan adalah pihak yang mengklaim mendapatkan bukti bahwa surat pemberitahuan wajib pajak tidak benar.”
  3. Bahwa menurut Prof. R. KL, S.H. dalam bukunya “Hukum Pembuktian”, Cetakan ke-11, PT FX, Jakarta, 1995, halaman 2 (Bukti PK-8), ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan akan timbul apabila Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan murni. Prof. R. KL, S.H. menyatakan keyakinan Hakim harus didasarkan pada alat bukti. Selengkapnya, pendapat Prof. R. KL, S.H. adalah sebagai berikut (Bukti PK-8):
    “Tugas Hakim atau Pengadilan sebagaimana dilukiskan di atas adalah menetapkan hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-undang, menetapkan apakah yang ‘hukum’ antara dua pihak yang bersangkutan itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masing-masing pihak memajukan dalil-dalil (bahasa Latin ‘posita’) yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan duduknya perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, Hakim dalam amar atau ‘dictum’ putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemeriksaan tadi, Hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan Hukum Pembuktian yang akan menjadi bahan pembicaraan dalam buku ini. Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenangan-wenangan (willekeur) akan timbul apabila Hakim, dalam melaksanakan tugasnya itu, diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni.
    Keyakinan Hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Dengan alat bukti ini masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi perkara mereka itu.
    Dalam pada itu harus juga diindahkan aturan-aturan yang menjamin keseimbangan dalam pembebanan kewajiban untuk membuktikan hal-hal yang menjadi perselisihan itu. Pembebanan yang berat sebelah dapat a priori menjerumuskan suatu pihak dalam kekalahan dan akan menimbulkan perasaan ‘teraniaya’ pada yang dikalahkan itu.
    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian dimaksud sebagai suatu rangkaian peraturan peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan pertarungan di muka Hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan.”
  4. Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas dalam beberapa putusannya, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah membatalkan putusan-putusan Judex Facti dengan alasan-alasan putusan-putusan Judex Facti tersebut telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian atau keliru dalam menerapkan beban pembuktian. Putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut antara lain:
    (i)
    No. 79B/PK/PJK/2005 tanggal 15 Agustus 2008 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan (Bukti PK-10a, halaman 23-24):
    “Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena Pengadilan Pajak telah melakukan kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan:
    -
    Bahwa beban pembuktian yang dibebankan kepada Pembanding untuk membuktikan sangkalannya mengenai penghasilan Pembanding yang tertulis dalam Koran Tempo, adalah tidak benar;
    -
    Bahwa seharusnya Terbanding (Direktur Jenderal Pajak) yang harus membuktikannya penetapan besarnya Pajak Penghasilan telah didasarkan pada data-data yang benar dan akurat dan tidak atas dasar angka-angka yang ada dalam Harian Tempo;
    -
    Bahwa Pemohon Banding telah berhasil membuktikan besarnya penghasilannya adalah sebesar Rp 1.990.670.932,00 sesuai data-data dan dokumen bukti-bukti yang telah diserahkan di persidangan;”
    (ii)
    No. 50 K/Sip/1962 tanggal 7 Juli 1962 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan (dikutip dari website Pengadilan Negeri Sleman, terlampir sebagai Bukti PK-10b, halaman 3):
    “Dengan tidak menggunakan alat pembuktian berupa saling tidak disangkalnya isi surat-surat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak, Judex Facti tidak melakukan peradilan menurut cara yang diharuskan oleh undang-undang, maka putusannya harus dibatalkan.”(iii) No. 1363.K/Pdt/1996 tanggal 30 Juni 1998 yang dalam pertimbangan
    hukumnya menyatakan (dikutip dari “Varia Peradilan”, No. 174, Maret 2000, terlampir sebagai Bukti PK-10c, halaman 35-36):
    “Menimbang, bahwa menurut pertimbangan dan pendapat Judex Facti, surat bukti P.1 dan P.2 telah dikonstruksi dan disimpulkan sebagai akta di bawah tangan yang bersifat partai sebagaimana yang diatur dalam pasal 1874 KUH Perdata,... Oleh karena secara faktual P.1 dan P.2 berbentuk akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk kepada ketentuan pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian agar P.1 dan P.2 sah sebagai surat bukti:
    -
    Harus seluruhnya akta itu ditulis dengan tulis tangan oleh Tergugat I sebagai penandatangan P.1 dan P.2.
    -
    Atau paling tidak pengakuan tentang jumlah dan objek barang yang disebut di dalamnya ditulis tangan oleh si penandatangan, dalam hal ini Tergugat I.
    Menimbang bahwa dari fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan, Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa tulis tangan yang tertuang pada P.1 dan P.2 merupakan tulis tangan Tergugat I (Ny. UM).
    Malahan Tergugat I maupun Tergugat II membantah isi dan tulis tangan yang tercantum dalam kedua surat bukti dimaksud. Dalam keadaan yang seperti itu, ditinjau dari segi ketentuan hukum pembuktian, surat bukti P.1 dan P.2 tidak sah sebagai alat bukti, dengan demikian kedua alat bukti ini tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
    Bahwa pendapat Judex Facti yang menegaskan oleh karena pembuatan P.1 dan P.2 diketahui oleh Kepala Desa (yang nota bene adalah suami Penggugat I dan ayah Penggugat II) telah menjadikan transaksi jual beli bersifat terang, tidak dapat dibenarkan. Sebab yang menjadi masalah pokok penilaian atas kedua alat bukti dalam perkara ini, adalah mengenai bentuk akta tersebut sebagai akta pengakuan sepihak yang keabsahannya tunduk kepada ketentuan pasal 1878 KUH Perdata.
    Karena ternyata pembuatannya tidak sesuai dengan ketentuan yang dirumuskan dalam pasal tersebut, mengakibatkan P.1 dan P.2 tidak sah sebagai alat bukti meskipun ada tertera di dalamnya pengetahuan Kepala Desa.
    Menimbang, bahwa oleh karena P.1 dan P.2 tidak sah sebagai alat bukti, sedang alat bukti lain baik berupa keterangan saksi maupun surat tidak dapat membuktikan dalil gugat tentang adanya transaksi jual beli tanah terperkara maka putusan Judex Facti tidak bisa dipertahankan, dan harus dibatalkan.”
    (iv)
    No. 1828.K/Pdt/2006 tanggal 14 Desember 2006 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan (Bukti PK-10d, halaman 8-9):
    “Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena telah ternyata Judex Facti salah menerapkan hukum pembuktian, Judex Facti telah tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang saling bersesuaian antara bukti tertulis berupa Petoek Padjeg Nomor 17 dan Buku C Desa atas nama AH dengan keterangan para saksi, baik yang diajukan oleh Pemohon Kasasi maupun Termohon Kasasi. Dari bukti berupa Petoek Padjeg Nomor 17 dan Buku C Desa atas nama AH dan keterangan saksi yang diajukan Termohon Kasasi, yang bernama H. BA telah menerangkan bahwa H. SL, yaitu orangtua AH dan orangtua Hj. SL Sapura (ibu Termohon Kasasi) telah mengadakan pembagian warisan setelah orangtuanya meninggal pada tahun 1939, maka telah terbukti obyek sengketa merupakan warisan bagian AH yang untuk selanjutnya merupakan warisan bagian Pemohon Kasasi/Penggugat.
    Sedangkan perubahan nama dari AH kepada SP SL dalam Buku C Desa tidak jelas dasar hukumnya dan tidak ada bukti yang mendukung perubahan tersebut;
    …......
    Menimbang, bahwa alasan ini dapat dibenarkan, oleh karena telah terbukti Judex Facti salah menerapkan hukum acara. Judex Facti telah bersikap tidak adil dengan mengabaikan keterangan saksi Pemohon Kasasi yang dianggap bukan berdasarkan pendengaran sendiri ataupun pengalaman sendiri, sementara keterangan saksi Termohon Kasasi yang bukan didengar sendiri ataupun pengalaman sendiri diterima sebagai alat bukti;
    Menimbang, bahwa oleh karena itu putusan Judex Facti harus dibatalkan…”
  1. Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan di atas dengan sistem self assessment, SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak harus dianggap benar sampai kemudian dibuktikan salah oleh Pihak Direktorat Jenderal Pajak (“DJP“), yang biasanya dilakukan melalui suatu proses pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 13 ayat (4) UU KUP yang menyatakan bahwa “Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.” Kemudian di dalam UU KUP pasal 29 ayat (2) beserta penjelasannya diatur bahwa pendapat dan kesimpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Di dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-01/PJ.7/1993 pada Bab III mengenai Teknik dan Metode Pemeriksaan (Bukti PK-7), diatur antara lain, Pemeriksa di dalam menentukan harga pasar wajar dalam hubungan istimewa harus dilakukan dengan menguji angka-angka dalam SPT melalui suatu pendekatan tertentu mengenai penghasilan dan biaya. Metode tersebut termasuk metode harga pasar sebanding (Comparable Uncontrolled Price Method), metode harga jual minus (Sales Minus/Resale Price Method), metode harga pokok plus (Cost Plus Method), dan metode lainnya yang dapat diterima;
  2. Bahwa uraian-uraian Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) di atas menunjukkan secara nyata bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta hukum pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 76 dan Penjelasan Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-undang Pengadilan Pajak dan UU KUP.
  3. Bahwa dengan demikian, secara nyata Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo adalah putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena didasarkan pada koreksi pajak yang tidak berdasar serta tanpa didukung oleh alat bukti apapun. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Majelis Hakim pada Mahkamah Agung yang mulia membatalkan Putusan Pengadilan Pajak dalam perkara a quo;
    Mengenai Perhitungan Pajak
  4. Bahwa karena menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas koreksi Pajak Masukan atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean (ZX India) sebesar Rp35.413.430, yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat dibenarkan, maka seharusnya perhitungan pajak Pajak Pertambahan Nilai Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Masa Pajak Juni 2009 adalah sebagai berikut:
    Ekspor
    Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri
    Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut
    Jumlah Penyerahan
    Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri
    Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
    PPN Kurang (Lebih) Dibayar
    Bunga Pasal 13(2)
    Rp
    Rp
    Rp
    Rp
    Rp
    Rp
    Rp
    120.330.080.690
    90.413.543.700