Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums Bahas Berita Frekuensi Bayar Pajak di Indonesia Paling Memberatkan di ASEAN?

  • Frekuensi Bayar Pajak di Indonesia Paling Memberatkan di ASEAN?

     renegade updated 4 years, 5 months ago 10 Members · 12 Posts
  • ivander

    Member
    21 October 2019 at 9:40 am

    tirto.id – Pajak adalah salah satu isu utama yang menjadi pertimbangan investor sebelum menanamkan modalnya di suatu negara. Sayang, Indonesia punya catatan kurang menggembirakan soal itu. Bayar pajak di Indonesia menjadi yang paling memberatkan di Asean.

    Berdasarkan laporan Legatum Institute (LI)—lembaga riset kebijakan global yang berbasis di London—menyebutkan rata-rata pembayaran pajak pelaku usaha di Indonesia selama setahun mencapai 43 kali, atau lebih besar ketimbang negara-negara tetangga.

    Singapura misalnya, rata-rata pembayaran pajak mencapai 5 kali per tahun. Kemudian, Laos 35 kali, Vietnam 10 kali, Filipina 14 kali, Thailand 21 kali, Myanmar 31 kali, Malaysia 8 kali dan Kamboja 40 kali. “Jumlah pajak yang dibayar sebenarnya turun dari 65 ke 43 sejak 2009. Namun tetap lebih buruk dan paling memberatkan di ASEAN," sebut LI dalam laporannya bertajuk Economic Openness: Indonesia Case Study yang terbit 9 Oktober 2019.

    Angka 43 kali itu dihitung dari jumlah total pajak yang dibayar, metode pembayaran, jumlah frekuensi pembayaran, hingga frekuensi pengarsipan. Ini juga termasuk pajak yang dipotong perusahaan seperti pajak penjualan, PPN dan pajak karyawan.

    Dalih Pemerintah

    Laporan LI tersebut tentu menjadi berita kurang menggembirakan. Apalagi, Presiden Jokowi sedang getol-getolnya menggaet investor. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Jokowi sempat kesal dengan kabar adanya 33 perusahaan Cina yang berinvestasi di Vietnam, dan tidak ada satupun yang ke Indonesia.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengakui jumlah pembayaran pajak di Indonesia memang terburuk di antara negara-negara ASEAN.

    Namun, ia berdalih buruknya kinerja Indonesia terkait perpajakan itu lantaran hanya menilai kinerja pada tahun lalu. Dia meyakini isu pembayaran pajak itu sudah mengalami perbaikan yang signifikan sepanjang tahun ini.

    “Berbagai perbaikan dalam setahun ini belum ter-cover dalam pemetaan Bank Dunia. Kami yakin skornya membaik dan menunggu publikasi selanjutnya,” ucap Hestu saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (16/10/2019).

    Hal-hal yang diperbaiki di antaranya proses pelaporan SPT masa dan tahunan secara online atau tanpa membawa dokumen fisik. Ada juga perbaikan dari pelaporan SPT Masa Potongan, di mana tidak lagi perlu dilaporkan apabila tidak ada transaksi.

    Tahun depan, DJP juga melakukan unifikasi penyampaian SPT masa untuk pajak penghasilan (PPh) badan yang memiliki karakteristik sama. PPh Pasal 15, Pasal 23, Pasal 22 dan SPT Pasal 4 ayat 2 akan disatukan dalam satu format pelaporan SPT masa badan.

    PT Pertamina (Persero), Direktur Transformasi Proses Bisnis DJP Hantriono Joko Susilo, nantinya akan menjajal proyek percontohan unifikasi SPT masa badan tersebut.

    Namun untuk kewajiban perusahaan memotong pajak seperti gaji karyawan (PPh pasal 21) dan pajak supplier (PPh pasal 23/26) tidak dihilangkan. Meski dinilai memberikan beban tambahan, Hestu meyakini dampaknya tidak terlalu besar bagi perusahaan.

    Buruk Bagi Dunia Usaha
    Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menilai tingginya jumlah pembayaran pajak perusahaan di Indonesia setiap tahun disebabkan pola pembayaran pajak perusahaan dilakukan secara bulanan atau rigid monthly basis.

    Kondisi itu juga diperparah dengan banyaknya jenis pajak yang harus diurus perusahaan, baik pajak perusahaan maupun di luar perusahaan—di antaranya seperti gaji karyawan—sehingga ongkos membayar pajak menjadi tinggi.

    "Masalahnya akan jadi administrative cost. Jadi enggak efisien. Ini bikin persepsi kemudahan membayar pajak kita buruk atau rendah di mata investor," ucap Yustinus saat dihubungi reporter Tirto.

    Pendapat yang sama juga diutarakan Yusuf Rendy Manilet, peneliti fiskal Center of Reform on Economics (CORE). Menurutnya, temuan itu bisa mementahkan berbagai insentif pajak yang ingin diobral pemerintah.

    Sebut saja, insentif berupa pengurangan tarif PPh badan dari 25 persen ke 20 persen yang akan terealisasi pada 2021. Ada juga fasilitas insentif pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang tengah digodok pemerintah.

    “Saat ini sedang era perang tarif pajak. Banyak negara berlomba-lomba menurunkan tarif dan membuatnya lebih mudah. Kalau tidak didukung instrumen pendukung lainnya, insentif yang digadang-gadang pemerintah bisa sia-sia,” ucap Yusuf kepada reporter Tirto.

    (tirto.id – Ekonomi)

    Sumber: https://tirto.id/kok-bisa-pembayaran-pajak-di-indo nesia-paling-berat-di-asean-ejUp

  • ivander

    Member
    21 October 2019 at 9:40 am
  • irenejuni

    Member
    21 October 2019 at 10:27 am

    Ngga cuman bayarnya yang ribet, aturannya juga ribet kok… kebanyakan…

  • faruq

    Member
    21 October 2019 at 1:28 pm
    Originaly posted by ivander:

    Angka 43 kali itu dihitung dari jumlah total pajak yang dibayar, metode pembayaran, jumlah frekuensi pembayaran, hingga frekuensi pengarsipan. Ini juga termasuk pajak yang dipotong perusahaan seperti pajak penjualan, PPN dan pajak karyawan.

    menurut saya ini masih wajar, karena memang belum ditopang dengan infrastruktur teknologi yang ok dan sistem perpajakan yang sederhana

  • mey_mey

    Member
    21 October 2019 at 1:32 pm
    Originaly posted by ivander:

    Tahun depan, DJP juga melakukan unifikasi penyampaian SPT masa untuk pajak penghasilan (PPh) badan yang memiliki karakteristik sama. PPh Pasal 15, Pasal 23, Pasal 22 dan SPT Pasal 4 ayat 2 akan disatukan dalam satu format pelaporan SPT masa badan.

    Karakteristik sama??? Khan ada yang final ada yang tidak final tuh, bagaimana bisa diunifikasi???

  • dharanindra

    Member
    22 October 2019 at 1:42 am
    Originaly posted by ivander:

    “Saat ini sedang era perang tarif pajak. Banyak negara berlomba-lomba menurunkan tarif dan membuatnya lebih mudah.

    Tarif turun pendapatan negara juga turun dong, jangan-jangan nanti bakal ada aspek pajak baru..

  • semarr

    Member
    22 October 2019 at 8:14 am
    Originaly posted by dharanindra:

    dharanindra

    Originaly posted by ivander:

    “Saat ini sedang era perang tarif pajak. Banyak negara berlomba-lomba menurunkan tarif dan membuatnya lebih mudah.

    Tarif turun pendapatan negara juga turun dong, jangan-jangan nanti bakal ada aspek pajak baru..

    inget ada rumor ppn naik jadi 15% ?? hehehe

  • dharanindra

    Member
    22 October 2019 at 8:38 am
    Originaly posted by semarr:

    inget ada rumor ppn naik jadi 15% ?? hehehe

    hehehe saya pura-pura lupa saja rekan

  • ARIF HERMANSYAH

    Member
    23 October 2019 at 3:36 am

    Pajak di Indonesia terlalu banyak dan ribet, Kalau mau di sederhanakan saja pembayarannya. Sudah bayar tetap juga harus lapor belum harus menyiapkan dokumen yang banyak sekali untuk lapor spt Badan

  • glittergreen

    Member
    23 October 2019 at 7:26 am
    Originaly posted by ARIF HERMANSYAH:

    Pajak di Indonesia terlalu banyak dan ribet, Kalau mau di sederhanakan saja pembayarannya. Sudah bayar tetap juga harus lapor belum harus menyiapkan dokumen yang banyak sekali untuk lapor spt Badan

    Benar sekali, mungkin kalau kewajiban kita cuma bayar aja ga terlalu ambil pusing, masalahnya ngelapor juga ngefiskal belum lagi klo ada kesalahan perhitungan, kan mumet

  • ochionly

    Member
    24 October 2019 at 1:29 am

    Menurut saya, mengapa Negara lain sudah mampu dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan intensitas pembayaran yg rendah itu dikarenakan history nya sudahlebih dulu lama dan stabilitas kondisi APBN mereka dalam kondisi yang memungkinkan. dan Indonesia sedang berusaha mencapai dalam posisi seperti itu, jug aharus banyak proses yang dilakukan.

    mengatakan kini proses perpajakan yg begitu rumit, itu mestinya di sisi lain kita bisa melihat sebagaimana intensitas kondisi APBN kita bergerak. kemudian, banyak hal lain yang sedang dalam pengerjaan pembangunan.

    Percayalah, Indonesia akan semakin hari semakin baik nantinya.
    tapi, harus kita sadari dulu, apakah kita sudah taat dan tertib selama ini?

    🙂 salam

  • renegade

    Member
    29 October 2019 at 2:13 am

    Saya sekilas berpikir, jika pa Nadiem Makarim yg menjadi menteri keuangan daripada menteri pendidikan.
    Setiap bayar pajak, dapat cashback. Makin besar pembayaran, semakin besar cashbacknya. Belum pula dapat voucher diskon jika menjadi pembayar pajak terpilih.
    Pembayaran bisa melalui online, jg bs melalui driver gojek (jadi DJP bisa jemput bola).
    Tapi itu hanyalan saya saja…hehehe

    Jika dari saya, mungkin kode pembyrn nya yg di peringkas, TERLALU banyak.
    Lalu jika salah kode atau pembayaran bisa mudah diubah (melalui online sendiri juga bisa, namun tetap harus verifikasi)

Viewing 1 - 12 of 12 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now