Peraturan Daerah Nomor : 9 TAHUN 1998

Kategori : Lainnya

Pajak Hotel Dan Restoran


PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 9 TAHUN 1998

TENTANG

PAJAK HOTEL DAN RESTORAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,


Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 1996 telah ditetapkan ketentuan tentang Pajak Pembangunan 1 di Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  2. bahwa untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna pemungutan Pajak Pembangunan 1 di Daerah Khusus Ibukota Jakarta ketentuan dalam Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 1996 perlu dilakukan penyesuaian dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan mengubah nomenklatur Pajak Pembangunan 1 menjadi Pajak Hotel dan Restoran;
  3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan b perlu menetapkan ketentuan tentang Pajak Hotel dan Restoran dengan Peraturan Daerah.


Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
  2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Tahun 1990 nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3430);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684);
  5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685);
  6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1997 nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3691);
  8. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 1993 tentang Bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Perubahan;
  9. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah;
  10. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 171 Tahun 1997 tentang Prosedur Pengesahan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 173 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemerikasaan dibidang Pajak Daerah;
  12. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  13. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 9 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  14. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1997 tentang Usaha Pariwisata di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.



Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA



MEMUTUSKAN :


Menetapkan :


PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG PAJAK HOTEL DAN RESTORAN.



BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1

 

Dalam peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

  1. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  2. Gubernur Kepala Daerah adalah Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  6. Kantor kas Daerah adalah Kantor Kas Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  7. Bank adalah Bank Pembangunan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut Bank DKI atau Bank lain yang ditunjuk;
  8. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya;
  9. Pengusaha hotel dan Restoran adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, melakukan usaha dibidang jasa penginapan dan atau rumah makan;
  10. Pajak Hotel dan restoran yang selanjutnya disebut pajak adalah pajak atas pelayanan hotel dan restoran;
  11. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran termasuk bagunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran;
  12. Rumah Penginapan adalah semua penginapan dalam bentuk klasifikasi apapun beserta fasilitasnya yang digunakan untuk menginap dan disewakan untuk umum;
  13. Restoran atau rumah makan adalah tampat menyantap makanan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering;
  14. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang atau pelayanan sebagai pembayaran kepada pemilik hotel dan atau rumah makan;
  15. Bon Penjualan (Bill) adalah bukti pembayaran yang sekaligus sebagai bukti pemungutan pajak, yang dibuat oleh Wajib Pajak pada saat mengajukan pembayaran atas jasa pemakai kamar atau tempat penginapan beserta fasilitas penunjang lainnya, makanan dan atau minuman kepada subjek pajak;
  16. Surat Pemberiahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut peraturan Daerah ini;
  17. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Kas Daerah atau tempat lain yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah;
  18. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang;
  19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
  20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjunya disingkat SKPDKBT adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
  21. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak yang telah diayar lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
  22. Surat Ketetapan pajak Daerah nihil yang yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang, dan tidak ada kredit pajak;
  23. Suarat Tagiahan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat ketetapan untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda dan tidak ada kredit pajak;
  24. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah ini, yang terdapat dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau STPD;
  25. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh Pihak Ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak;
  26. Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh wajib pajak;
  27. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data, dan informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya, serta harga jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitunga rugi laba, pada setiap Tahun Pajak berakhir;
  28. Pemerikasaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah ini;
  29. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan yang terjadi, serta menemukan tersangkanya;



BAB II

NAMA, OBJEK DAN SUBJEK PAJAK


Pasal 2

Dengan nama Pajak Hotel dan Restoran dipungut pajak atas pembayaran pelayanan di Hotel dan Restoran.



Pasal 3

  1. Objek Pajak Hotel dan Restoran adalah pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel dan atau restoran :

    1. fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek;
    2. pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan;
    3. fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum;
    4. jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan dihotel;
    5. penjualan makanan dan atau minuman ditempat yang disertai fasilitas penyantapannya.
  2. Dikecualikan dari objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah :

    1. penyewaan rumah atau kamar, apartemen dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel;
    2. pelayanan tinggal di asrama atau pondok pesantren;
    3. fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan di hotel yang dipergunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran;
    4. pertokoan, perkantoran, perbankan, salon yang dipergunakan oleh umum dihotel;
    5. pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum;
    6. pelayanan usaha jas boga/katering;
    7. pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang peredaran usahanya tidak melebihi Rp 30.000.000.00. (tga puluh juta) pertahun.



Pasal 4

  1. Subjek Pajak Hotel dan Restoran adalah pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel dan atau restoran.

  2. Wajib Pajak Hotel dan Restoran adalah pegusaha hotel dan restoran.



BAB III

DASAR PENGENAAN, TARIF, DAN CARA
PENGHITUNGAN PAJAK


Pasal 5

Dasar pengenaan Pajak Hotel dan Restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel dan atau restoran.



Pasal 6

Tarif Pajak Hotel dan restoran ditetapkan 10% (sepuluh persen).



Pasal 7

Besarnya Pajak Hotel dan Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pejak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.



BAB IV

PENGUKUHAN WAJIB PAJAK


Pasal 8

  1. Wajib Pajak wajib mendaftarkan usahanya kepada Dinas Pendapatan Daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (triga puluh) hari sebelum dimulainya kegiatan usaha untuk dikukuhkan dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah.

  2. Apabila Wajib Pajak tidak mendaftarkan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Kepala Dinas Pendapatan Daerah menetapkan secara jabatan.

  3. Tata cara pendaftaran dan pengkuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



BAB V

MASA PAJAK DAN SAAT TERUTANG PAJAK


Pasal 9

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau ditentukan lain oleh pejabat.



Pasal 10

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran atau pelayanan di Hotel dan Restoran.



BAB V

WILAYAH PEMUNGUTAN


Pasal 11

Wilayah Pemungutan adalah Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.



BAB VII

SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAERAH


Pasal 12

  1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD kecuali ditetapkan lain oleh Gubernur Kepala Daerah.

  2. SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditanda tangani oleh Wajib Pajak atau Kuasanya.

  3. SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah selambat-lambatnya 15 (lima beas) hari setelah berakhirnya masa pajak.

  4. Bentuk isi dan tata cara pengisian SPTPD ditetapkan oleh kepala Daerah.



Pasal 13

Dalam hal pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemakaian jasa hotel, atau pada saat pembelian makanan atau minuman.



Pasal 15

  1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Gubernur kepala Daerah dapat menerbitkan :

    1. SKPDKB apabila :
      1) berdasarkan hasil pemerikasaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang di bayar;
      2) SPTPD tidak disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis;
      3) kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, wajib pajak terutang dihitung secara jabatan.
    2. SKPDKBT apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
    3. SKPDN apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar atau pajak tidak terutang.
  2. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

  3. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

  4. Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, tidak dikenakan apabila Wajib pajak melaporkan diri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

  5. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% dari pokok pajak ditambah sanksi administrsi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.



Pasal 16

  1. Gubernur Kepala Daerah dapat menrbikan STPD apabila :

    1. Pajak Hotel dan Restoran dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
    2. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
    3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
  2. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) sejak saat terutangnya pajak.

  3. Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi adminstrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan ditagih melaui STPD.



Pasal 17

Bentuk, isi, tata cara penerbitan dan penyampaian laporan realisasi SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan STPD ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



BAB XI

TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMBAYARAN
DAN PENAGIHAN


Pasal 18

Pungutan Pajak Hotel dan Restoran tidak dapat diborongkan.



Pasal 19

  1. Pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya dari Masa Pajak yang terutang setelah berakhirnya Masa Pajak.

  2. Pembayaran dilakukan di Kantor Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah.

  3. Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran pada hari libur, maka pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

  4. Gubernur Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.



Pasal 20

  1. SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

  2. Tata cara pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



Pasal 21

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) Peraturan Daerah ini, jumlah pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan putusan banding dapat ditagih seketika dan sekaligus apaila :

  1. Wajib Pajak akan meninggalkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  2. Wajib Pajak akan menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya, atau pekerjaan yang dilakukannya di Daerah Khusus Ibukota Jakarta ataupun memindahtangankan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimikinya atau dikuasainya;
  3. pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya dan pernyatan pailit;
  4. terjadi penyitaan atas barang bergerak oleh Pihak Ketiga.



Pasal 22

  1. Pajak terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan putusan banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya, dapat ditagih dengan Surat Paksa.

  2. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Pasal 23

  1. Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan Peraturan Daerah ini, Wajib Pajak dapat diwakili;

    1. Badan oleh Pengurus atau kuasanya;
    2. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan (likuidasi);
    3. suatu warisan yang belum terbagi, oleh salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya;
    4. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dibawah pengampuan oleh wali pengampu.
  2. Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini bertanggung jawab secara pribadi, dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, bahwa merekan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak terutang tersebut.

  3. Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa, dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut Peraturan Daerah ini.



BAB X

KEBERATAN DAN BANDING


Pasal 24

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :

    1. SKPD;
    2. SKPDKB;
    3. SKPDKBT;
    4. SKPDLB;
    5. SKPDN;
  2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

  3. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.

  4. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

  5. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3) dan ayat (4) pasal ini tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.

  6. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Pasal 25

  1. Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi suatu keputusan atas keberatan yang diajukan.

  2. Keputusan Gubernur Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, menambah besarnya pajak yang terutang.

  3. Apabila jangka waktu yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini telah lewat dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberi keputusan, Keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.



Pasal 26

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

  3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.



Pasal 27

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.



BAB XI

PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN
KETETAPAN, DAN PENGHAPUSAN ATAU
PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI


Pasal 28

  1. Gubernur Kepala Daerah karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Daerah ini.

  2. Kepala Dinas Pendapatan Daerah dapat :

    1. mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda,dan kenaikan pajak yang terutang menurut Peraturan Daerah ini, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
    2. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
  3. Tata Cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



BAB XII

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN


Pasal 29

  1. Atas kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur Kepala Daerah secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya :

    1. Nama dan Alamat Wajib Pajak;
    2. Masa Pajak;
    3. Besarnya kelebihan pembayaran pajak;
    4. Alasan yang jelas.
  2. Gubernur Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, harus memberikan keputusan.

  3. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini telah dilampaui dan Gubernur Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

  4. Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak daerah lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak daerah tersebut.

  5. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.

  6. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Gubernur Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.



Pasal 30

  1. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) harus diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah dengan melampirkan :

    1. STPD untuk Masa Pajak yang bersangkutan;
    2. Perhitungan pajak yang seharusnya dibayar;
    3. Bukti pembayaran pajak.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah akhir tahun pajak.

  3. Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk segera mengadakan penelitian atau pemeriksaan terhadap :

    1. kebenaran kelebihan pembayaran pajak yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini;
    2. pemenuhan kewajiban pembayaran pajak Daerah lainnya.



BAB XIII

KEDALUWARSA PENAGIHAN


Pasal 31

  1. Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib pajak melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 Peraturan Daerah ini.

  2. Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tertangguh, apabila :

    1. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa atau :
    2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung.



BAB XIV

PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK


Pasal 32

  1. Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat dilakukan penghapusan.

  2. Penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, berdasarkan permohonan pengahapusan piutang pajak dari Dinas Pendapatan Daerah.

  3. Permohonan penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, sekurang-kurangnya memuat :

    1. nama dan alamat Wajib Pajak;
    2. jumlah piutang pajak;
    3. tahun pajak.
  4. Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, harus dilampirkan :

    1. bukti salinan/tindasan SKPDKB, SKPDKBT;
    2. Surat Keterangan dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah, bahwa piutang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi;
    3. daftar piutang pajak yang tidak tertagih.
  5. Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, Gubernur Kepala Daerah menetapkan penghapusan piutang pajak, dengan terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari tim yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah.

  6. Pelaksanaan lebih lanjut penghapusan piutang pajak ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



BAB XV

PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN


Pasal 33

  1. Wajib Pajak dengan peredaran usaha Rp 300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah) pertahun ke atas wajib menyelenggarakan pembukuan, yang menyajikan keterangan yang cukup untuk menghitung harga perolehan, harga jual dan harga penggantian, dari pemakai kamar hotel beserta fasiltas penunjangnya dan penujualan makan dan atau minuman.

  2. Bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan membuat pembukuan, tetap diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai peredaran usaha secara teratur, yang menjadi dasar pengenaan pajak.

  3. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini di selenggarakan dengan sebaik-baiknya yang mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya.

  4. Pembukuan atau pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan usaha atau perusahaan dari Wajib Pajak harus disimpan selama 5 (lima) tahun.

  5. Tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.



Pasal 34

  1. Setiap Wajib Pajak wajib menggunakan bon penjualan (bill), kecuali ditetapkan lain oleh Gubernur Kepala Daerah.

  2. Bon Penjualan atau (Bill) harus diserahkan kepada Subjek Pajak sebagai bukti pemungutan pada saat Wajib Pajak mengajukan jumlah yang harus dibayar oleh Subjek Pajak.

  3. Bagi Wajib Pajak yang wajib menggunakan bon penjualan (bill), tetapi tidak menggunakan bon penjualan (bill) dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) perbulan dari dasar pegenaan pajak.

  4. Dalam bon penjualan (bill) sekurang-kurangnya harus mencantumkan :

    1. catatan tentang pemakaiaan kamar atau tempat penginapan berserta fasilitas penunjangnya dan atau;
    2. penyerahan pesanan makanan dan atau minuman, termasuk pula tambahannya.
  5. Tata cara penggunaan bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



Pasal 35

  1. Wajib Pajak melegalisasi bon penjualan (bill) kepada Dinas Pendapatan Daerah, kecuali ditetapkan lain oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.

  2. Bagi Wajib Pajak yang dikecualikan melegalisasi bon penjualan (bill), wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah.

  3. Bagi Wajib pajak yang wajib melegalisasi Bon Penjualan (Bill) tetapi menggunakan Bon Penjualan (Bill) yang tidak dilegalisasi dikenakan kenaikan sebesar 2% (dua prsen) perbulan dari dasar pengenaan pajak.



Pasal 36

  1. Gubernur Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajak Daerah, dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah ini.

  2. Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan serta harus memperlihatkan kepada wajib Pajak yang diperiksa.

  3. Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya wajib :

    1. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan serta, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan pajak terutang;
    2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu, dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
    3. memberikan keterangan yang diperlukan secara benar lengkap dan jelas;
    4. memenuhi ketentuan lainnya yang ditetapkan Gubernur Kepala Daerah.
  4. Dalam hal wajib pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini, pajak terutang di tetapkan secara jabatan.

  5. Apabila dalam pengungkapan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta memberikan keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan maka kewajiban untuk merahasiakan ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini.



Pasal 37

Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, apabila :

  1. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (3) Peraturan Daerah ini;

  2. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau di palsukan.



Pasal 38

Tata cara pemeriksaan pembukuan, penetapan pajak secara jabatan dan penyegelan dalam rangka pemeriksaan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



BAB XVI
KETENTUAN PIDANA


Pasal 39


  1. Wajib pajak yang Karena Kealpaanya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.

  2. Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana pejara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang.



Pasal 40

Tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 tidak dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak .



BAB XVI
PENYIDIKAN


Pasal 41


  1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintahan Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

  2. Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah :

    1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
    2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana;
    4. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana;
    5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti lainnya tersebut;
    6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
    7. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
    8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
    9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau sanksi;
    10. menghentikan penyidikan;
    11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan;
  3. Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.



BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 42


  1. Terhadap Pajak Pembangunan yang turutang dalam Masa Pajak yang berakhir sebelum berlakunya ketentuan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pajak Pembangunan I.

  2. Selama peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.



BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 43


Hal-hal yang merupakan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.



Pasal 44

  1. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pajak Pembangunan I (lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1996 Nomor 84 Seri A Nomor 1), dinyatakan tidak berlaku lagi.

  2. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta.





 

Di tetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Juli 1998
GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,


ttd


SUTIYOSO



DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

DAERAH DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA

KETUA,


ttd


H. EDY WALUYO, S.IP


Disahkan oleh menteri Dalam Negeri dengan
Surat keputusan Nomor 937.31-962 Tanggal
26 Oktober 1998.


Diundangkan dalam Lembaran Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 29 Tahun 1998 Seri A
Nomor 6 Tanggal 9 November 1998.


SEKERTARIS WILAYAH/
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

IR. FAUZI BOWO
NIP. 470044314






PENJELASAN 

ATAS


PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 9 TAHUN 1998


TENTANG


PAJAK HOTEL DAN RESTORAN

I. PENJELASAN UMUM

Peraturan Daerah ini merupakan pengaturan kembali dan sebagai pengganti Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pajak Pembangunan I.


Pengaturan kembali pemungutan Pajak Pembangunan l dalam Peraturan Daerah ini selain dimaksudkan untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Daerah Khususnya Pajak Daerah Pembangunan I yang merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan juga untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan serta mengubah nomunklatur Pajak Pembangunan Pajak Pembangunan I menjadi pajak Hotel dan Restoran.


Dalam peraturan Daerah ini diatur ketentuan tentang kewajiban pembayaran Pajak Hotel dan Restoran untuk rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar 15 (lima belas) atau lebih dan menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan, disamping itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dalam Peraturan Daerah ini tidak diatur lagi pelayanan jasa boga/katering sebagai objek pajak.


Sehubungan dengan hal tersebut diatas dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam pemungutan Pajak Hotel dan Restoran diwilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. maka Peraturan Daerah ini mengatur antara lain dasar pengenaan, penetapan tarif pajak hotel dan restoran serta subjek dan objek Pajak Hotel dan Restoran dengan ketetuan lain yang berlaku dalam penyelenggaraan pemungutan Pajak Daerah sebagaimana diataur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997.

   
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1


huruf a s.d m :


Cukup jelas


huruf n :

 

Pembayaran adalah jumlah uang seharusnya dibayarkan Subjek Pajak kepada Wajib Pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta Wajib Pajak sebagai penukaran atas pembelian makanan dan atau minuman, dan atau pemakaian jas tempat penginapan dan fasilitas penunjang termasuk pula semua tambahan dengan nama apapun juga dilakukan berkaitan dengan usaha hotel dan atau restoran, kecuali pajak yang dipungut menurut Peraturan Daerah ini .


Contoh pembayaran disini adalah :
Seseorang menginap dihotel X

  Untuk pembelian  Makanan dan minuman Rp.    500.000,00
  Untuk jasa sewa kamar Rp. 2.500.000,00
  Untuk jasa binatu Rp.    200.000,00
  Untuk jasa telepon Rp.    100.000,00
  Jumlah Rp. 3.300.000,00
  Servis charge 10%  Rp.    330.000,00
  Jumlah Pembayaran Rp. 3.630.000,00
  Pajak Hotel & Restoran10 % (sepuluh Persen) Rp.    363.000,00
  jumlah yang harus dibayar Rp. 3.993.000,00

 

Pembayaran yang dimaksud adalah pemabayaran sebelum dikenakan Pajak Hotel dan Restoran yaitu sebesar Rp. 3.630.000,00.


huruf o s.d ab :


Cukup jelas.


Pasal 2


Cukup jelas.


Pasal 3


ayat (1)

huruf a :


Fasilitas penginapan/fasilitas tinggal jangka pendek, antara lain, gubug pariwisata, pesanggrahan (hostel), losmen dan rumah penginapan dan sejenisnya. Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar 15 (lima belas) atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan.


huruf b :


Pelayanan penunjang, antara lain telepon, faksimili, teleks, fotokopi, pelayanan cuci setrika, taksi dan pengangkutan lainnya, yang disediakan atau dikelola hotel termasuk makanan dan minuman.


huruf c :


Fasilitas olah raga dan hiburan, antara lain pusat kebugaran (fitnes center, kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotek yang disediakan atau dikelola hotel dan sejenisnya.


huruf d :


Cukup jelas.


huruf e :


Contoh Rumah Makan X menyediakan tempat penyantapan dan memberikan pelayanan ditempat dan dibawa pulang (take away).
Pengertian pasal 3 ayat (1) huruf e ini termasuk pula pelayanan dan pemakaian ruangan untuk kegiatan acara pertemuan atau pesta.


ayat (2)


huruf a :


Apartemen dan atau fasilitas tempat tinggal yang tidak menyatu dengan hotel yang bukan objek Pajak Hotel dan Restoran adalah yang benar-benar digunakan untuk fasilitas tinggal jangka panjang.

Dalam hal Apartemen atau faslitas tempat tinggal tersebut digunakan sebagai fasilitas tinggal jangka pendek seperti layaknya hotel atau tempat penginapan maka Apartemen atau fasilitas tempat tinggal tersebut adalah objek Pajak Hotel dan Restoran.


huruf d s.d e :


Cukup jelas.


huruf f :


Termasuk dalam pengertian ini yaitu pelayanan usaha jasa boga/katering yang dilakukan oleh hotel atau rumah penginapan hanya untuk pelayanan keperluan diluar hotel dengan syarat usaha jasa boga/katering tersebut termasuk dalam izin usaha yang diberikan untuk hotel atau rumah penginapan tersebut.

Pelayanan usaha jasa boga/katering untuk keperluan kegiatan atau acara yang diselenggarakan dilingkungan Hotel adalah Objek Pajak.


huruf g :


Cukup jelas.


Pasal 4 s.d 13


Cukup jelas.


Pasal 14


Contoh hubungan istimewa dalam pasal ini adalah apabila orang pribadi atau badan dengan pengusaha hotel dan atau restoran, baik langsung maupun tidak lansung berada dibawah pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama.


Pasal 15


ayat (1) :


Cukup jelas.


huruf a

angka 1) :


Contoh :
Wajib Pajak " A " menyampikan SPTPD untuk masa Januari s.d Desember 1998. Dalam Janka waktu 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar yang menyebabkan pajak terutang kurang dibayar. Atas pajak terutang yang kurang bayar tersebut, Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.


angka 2) :


Contoh :
Wajib Pajak " B " tidak menyampikan SPTPD untuk masa pajak Januari 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.


angka 3) :


Yang dimaksud dengan perhitungan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.


huruf b :


Terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah pajak terutang ditemukan data yang baru atau data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang maka Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dan menerbitkan SKPDKBT.


huruf c :


SKPDN dapat diterbitkan oleh Gubernur Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Pajak menunjukan bahwa jumlah pajak yang terutang untuk masa pajak atau tahun pajak sama besar dengan jumlah pajak yang disetor.


ayat (2) :


Cukup jelas.


ayat (3) :


Contoh :
Wajib Pajak " C " telah dilakukan pemeriksaan untuk masa Pajak Januari s.d Desember 1998 dan telah ditebitkan SKPDKB dengan pokok pajak terutang diluar sanksi administrasi adalah sebesar Rp 10.000.000,00. Pada bulan April 1999 ditemukan data yang baru yang menunjukan pada pokok pajak yang terutang untuk masa Januari s.d Desember 1998 adalah sebesar Rp 15.000.000,00.


Maka terhadap Wajib Pajak " C " diterbitkan SKPDKBT untuk masa Januari s.d Desember 1998 dengan jumlah sebagai berikut :

  - Pokok pajak terutang  Rp 15.000.000,00
  - Pokok pajak dengan SKPDKB  Rp 10.000.000,00
  - Pokok pajak kurang dihitung  Rp   5.000.000,00
  - Sanksi kenaikan : 100% X Rp 5.000.000,00 =  Rp   5.000.000,00
  - Jumlah pajak yang harus dibayar sesuai dengan SKPDKBT adalah  Rp 10.000.000,00
       

ayat (4) :


Sanksi adminstrasi berupa kenaikan tidak dikenakan, apabila Wajib Pajak dengan kesadaranya sendiri melaporkan data baru atau data yang semula belum terungkap tersebut sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.


ayat (5) :


Contoh :

  1. Wajib Pajak " XYZ " tidak melaksanakan kewajiban mengisi dan menyampaikan SPTPD untuk satu masa pajak yaitu Januari 1998, dan berdasarkan data yang ada Wajib Pajak tidak melakukan penyetoran untuk masa pajak tersebut. Kondisi tersebut baru diketahui pada awal Desember 1998, dan berdasarkan data yang ada pada Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau pejabat yang ditunjuk diketahui bahwa rata-rata peredaran usaha untuk satu masa pajak adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Jumlah peredaran usaha tersebut dapat dijadikan dasar yang wajar untuk menetapkan pajak yang terutang untuk masa Januari 1998 yaitu sebesar Rp 10.000.000,00

Jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak " XYZ " untuk masa Januari 1998 adalah sebesar :

  - Pokok pajak terutang Rp 10.000.000,00.
  - Pokok pajak disetor            nihil           
  - Pokok pajak kurang bayar Rp 10.000.000,00
  - Sanksi kenaika 25% x Rp 10.000.000,00 = Rp   2.500.000,00
  - Sanksi bunga untuk masa Januari s.d Desember : 2% x 12 bulan x Rp 10.000.000,00 = Rp   2.400.000,00
  - Jumlah pajak yang disetor = Rp 14.900.000,00

 

  1. Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban mengisi dan melaporkan SPTPD seperti contoh Nomor 1 tersebut diatas, tetapi Wajib Pajak Wajib Pajak melakukan penyetoran pajak untuk masa Januari 1998 tersebut misalnya sebesar Rp 8.500.000,00 maka jumlah pajak yang harus dibayar untuk masa Januari 1998 adalah sebagai berikut :

  - Pokok Pajak terutang Rp 10.000.000,00
  - Pokok Pajak telah disetor Rp   8.500.000,00
  - Pokok pajak kurang bayar Rp   1.500.000,00
  - Sanksi kenaikan 25% x Rp 10.000.000,00 = Rp   2.500.000,00
  - Sanksi bunga untuk masa Januari s.d Desember 2% x 12 x Rp 1.500.000,00 = Rp      360.000,00
  - Jumlah pajak yang harus disetor Rp   4.360.000,00


Pasal 16


ayat (1) :


Cukup jelas.


ayat (2) :


Contoh :
Wajib Pajak " P " telah menyampikan SPTPD untuk masa Januari 1998, oleh Dinas Pendapatan Daerah dilakukan penelitian pada awal Desember 1999, ternyata terdapat kesalahan hitung sehingga misalnya terdapat kekurangan bayar atas pokok pajak sebesar Rp 100.000,00 maka STPD diterbitkan dengan jumlah kekurangan bayar yang harus disetor Wajib Pajak sebesar :

  - Pokok Pajak kurang bayar Rp 100.000,00
  - Sanksi bunga untuk masa Januari 1998 s.d Desember 1999 (selama 24 bulan) dihitung : 2% x 15 bulan x Rp 100.000,00 Rp   30.000,00
  - Jumlah yang harus disetor Rp 130.000.00


ayat (3) :


Contoh :
Wajib Pajak " Q " diwajibkan melunasi pajak terutang sebesar Rp 2.000.000,00 paling lambat pada tanggal 1 April 1998 sebagaimana tertera dalam SKPDKB yang diterimanya, akan tetapi Wajib Pajak baru melakukan pelunasan pada tanggal 5 April 1998, maka kepada Wajib Pajak " Q " diterbitkan STPD sebesar: 2% x 1 bulan x Rp 2.000.000,00 = Rp 40.000,00.


Pasal 17


Cukup jelas.


Pasal 18


Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan Pajak, antara lain, pencetakan, formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpun data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan


Pasal 19


ayat (1) s.d (3) :


Cukup Jelas.


ayat (4) :


Dalam hal Wajib Pajak diberikan persetujuan untuk mengangsur maka perhitungan sanksi bunga dikenakan hanya terhadap sisa angsuran.


Contoh :

  1. Untuk pembayaran angsuran pajak Wajib Pajak " E " telah diberikan persetujuan untuk mengangsur pajak yang terutang menurut SKPDKB sebesar RP 10.000.000,00 sebanyak 5 (lima) kali angsuran. Pengenaan bunga dengan jumlah angsuran yang seharusnya ditetapkan adalah sebagai berikut:

 

Angsuran

Utang Pajak

Pokok Angsuran

Bunga 2%

Jumlah Angsuran

  Ke - 1 10.000.000 2.000.000 200.000 2.200.000
  Ke - 2 8.000.000 2.000.000 160.000 2.160.000
  Ke - 3 6.000.000 2.000.000 120.000 2.120.000
  Ke - 4 4.000.000 2.000.000 80.000 2.080.000
  Ke - 5 2.000.000 2.000.000 40.000 2.040.000
  1. Untuk pembayaran penundaan Pajak Wajib Pajak " S " mempunyai utang pajak Rp 10.000.000,00. Penudaan pemabayaran disetujui sampai dengan 5 (lima) bulan setelah jatuh tempo pemabayaran. Jumlah bunga dihitung sebesar :

    2% x 5 bulan x Rp 10.000.000,00 = Rp 1.000.000,00.

    Sehingga jumlah yang harus dibayar adalah sebesar :
    Rp 10.000.000,00 + Rp 1.000.000,00 = Rp 11.000.000,00.


Pasal 20


Cukup Jelas.


Pasal 21


huruf a dan b :


Cukup Jelas.


huruf c :


Pembubaran Badan dalam hal ini dapat dilakukan oleh Negara berdasarkan keinginan yang bersangkutan.


huruf d :


Cukup Jelas.


Pasal 22


Cukup Jelas.


Pasal 23 s.d 26


Cukup Jelas.


Pasal 27


Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampi dengan diterbitkan SKPDLB.

Contoh :

  - Pajak terutang dilunasi pada tanggal 12 Agustus 1997 sebesar Rp 15.000.000,00. (lima belas juta rupiah)
  - DKPDLB diterbitkan pada tanggal 20 Desember 1997 sebesar Rp 5.000.000,00.
  - Bunga dihitung sebesar 4 x 2% x Rp 5.000.000,00 = Rp 40.000,00.


Pasal 28


Cukup Jelas.


Pasal 29


ayat (1) :


Cukup Jelas.


ayat (2) :


Gubernur Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal pengambilan kelebihan pembayaran pajak harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.


ayat (3) :


Cukup Jelas.


ayat (4) :


Atas kelebihan pembayaran pajak Hotel dan Restoran apabila masih mempunyai hutang pajak Daerah lainnya, kelebihan pembayaran pajak arus diperhitungkan untuk melunasi hutang pajak Daerah lainnya.


ayat (5) dan (6) :


Cukup Jelas.


Pasal 30 s.d 33


Cukup Jelas


Pasal 34


ayat (1) :


Termasuk pengertian penggunaan Bon (Bill) adalah Wajib Pajak yang menggunkan mesin Cash Register sebagai bukti pembayaran.


ayat (2) :


Kewajiban Pajak untuk menerbitkan dan menyerahkan bon penjualan (Bill) kepada Subjek Pajak, selain untuk kepentingan pengawasan terhadap peredaran usaha Wajib Pajak juga dimaksud sebagai bagian untuk memasyarakatkan kesadaran tentang Pajak Hotel dan Restoran kepada masyarakat selaku subyek pajak.


ayat (3) :


Contoh :
Restoran " X " telah menerima pembayaran dengan tidak menggunakan atau menyerahkan bon penjualan (bill) kepada Subyek Pajak sebesar Rp 1.000.000,00 maka terhadap Wajib Pajak tersebut ditagih Pajak Hotel dan Restoran berupa :

  - Pokok pajak = 10% X Rp 1.000.000,00 = Rp 100.000,00.
  - Sanksi kenaikan = 2% x Rp 1.000.000,00 = Rp 20.000,00
  - Jumlah Pajak Hotel dan Restoran yang harus dibayar adalah Rp 120.000,00

 
ayat (4) :


Bon penjualan (Bill) selain harus mencantumkan catatan dan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, bon penjualan (bill) juga harus mempunyai nomor urut dan seri, nama dan alamat usaha.


ayat (5) :


Cukup Jelas.


Pasal 35


ayat (1) :


Yang dimaksud dengan legilasi disini antara lain perporasi atau stempel.


ayat (2) :


Cukup Jelas.


ayat (3) :


Contoh :
Restoran " A " telah menerima pembayaran dengan menggunakan bon penjualan (bill) yang tidak dilegalisasi sebesar Rp 1.000.000,00 maka terhadp Wajib Pajak tersebut ditagih Pajak Hotel dan Restoran berupa :

  - Pokok pajak = 10% X Rp 1.000.000,00 = Rp 100.000,00.
  - Sanksi kenaikan = 2% x Rp 1.000.000,00 = Rp 20.000,00
  - Jumlah Pajak Hotel dan Restoran yang harus dibayar adalah Rp 120.000,00

 
Pasal 36


ayat (1) dan (2) :


Cukup Jelas.


ayat (3)


huruf a :


Cukup Jelas.


huruf b :


Termasuk memberikan kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan kas (kas opname).


huruf c dan d :


Cukup Jelas.


ayat (4) :


Bagi Wajib Pajak yang diperiksa tetapi tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur pada ayat ini, maka Kapala Dinas Pendapatan Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan besarnya pajak terutang secara jabatan.


ayat (5) :


Cukup Jelas.


Pasal 37


Pejabat yang ditunjuk dalah Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendapatan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditetapkan oleh Gubernur KepalaDaerah.


Pasal 38 s.d 44


Cukup Jelas.




LEMBARAN DAERAH NOMOR 29 TAHUN 1998