Peraturan Pemerintah Nomor : 36 TAHUN 1983

Kategori : PPh

Pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1983

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

 

bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b dan huruf d, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (3), Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 35 Undang-undang tentang Pajak Penghasilan perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah;

 

Mengingat :

 

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
  3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1983 tentang Pendaftaran, Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Penyampaian Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan Pengajuan Keberatan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 52);

 

 

MEMUTUSKAN :

 

Menetapkan :

 

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984.

 

 

BAB I
DANA CADANGAN KHUSUS DAN FAKTOR PENYESUAIAN

 

Pasal 1


(1) Untuk menghitung penghasilan netto pada usaha bank dan asuransi diperbolehkan dikurangi sebagai biaya, penyisihan untuk keperluan pembentukan dan pemupukan dana cadangan khusus.
(2) Dana cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari:
a. dana cadangan penghapusan piutang ragu-ragu untuk jenis usaha bank;memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
b. dana cadangan premi untuk jenis usaha asuransi jiwa;
c. dana cadangan premi dan cadangan kerugian untuk jenis usaha kerugian.
(3) Besarnya dana cadangan khusus serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan pembentukan dan pemupukan dana cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.


Pasal 2


(1) Dasar penghitungan pajak bagi :
a. penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan dan telah dimiliki sebelum tanggal 1 Januari 1984, adalah selisih antara harga penjualan dengan nilai peroleh harta pada tanggal 1 Januari 1984;
b. penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan yang dimiliki setelah tanggal 31 Desember 1983, adalah selisih antara harga penjualan atau nilai pengalihan pada saat terjadinya transaksi dengan harga atau nilai perolehan harta tersebut.
(2) Nilai perolehan harta pada tanggal 1 Januari 1984 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan harga atau nilai perolehan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b harus terlebih dahulu dikalikan dengan suatu faktor penyesuaian yang besarnya akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


BAB II
TARIF EFEKTIF RATA-RATA

 

Pasal 3


(1) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan atau penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus, dikenakan Pajak Penghasilan dengan cara menerapkan tarif efektif rata-rata.
(2) Tarif efektif rata-rata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dengan cara menerapkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas suatu jumlah penghasilan yang terdiri dari penghasilan teratur ditambah dengan penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus yang dibagi dengan banyaknya tahun pajak yang berkenaan.
(3) Untuk Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud ayat (2) dikurangi terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena pajak.
(4) Tarif efektif rata-rata yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dibulatkan ke bawah apabila angka di belakang koma 5 atau kurang, dan dibulatkan ke atas apabila angka dibelakang koma lebih dari 5.
(5) Penghasilan teratur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah penghasilan yang pada umumnya secara berkala diterima atau diperoleh dalam setiap masa atau tahun pajak.
(6) Untuk uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus, banyaknya tahun pajak yang berkenaan dihitung sebanyak 10 (sepuluh) tahun.


BAB III
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN MELALUI PIHAK KETIGA

 

Pasal 4


(1) Pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhutang pada saat pembayaran atau saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari modal dan jasa-jasa oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 terhutang pada saat pembayaran atau pada saat terhutangnya penghasilan yang bersangkutan.


Pasal 5

 

Hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan pegawai atau karyawan harian dan mingguan serta atas penghasilan berupa honorarium yang tidak termasuk pembayaran yang teratur, dan pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 6


(1) Dividen dari saham yang diperdagangkan melalui Pasar Modal dan dividen dari sertifikat yang jumlahnya tidak melebihi suatu jumlah tertentu, tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
(2) Batas jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebesar Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk setiap tahun atau Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk setiap 6 (enam) bulan.
(3) Besarnya batas jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.


BAB IV
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

 

Pasal 7


(1) dasar penghitungan Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, yang selanjutnya disingkat PPh Pasal 25, dalam hal terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan adalah Pajak Penghasilan yang dihitung atas dasar penghasilan netto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan tersebut.
(2) Dasar penghitungan PPh Pasal 25 setelah tahun pelaksanaan kompensasi kerugian terakhir, adalah Pajak Penghasilan yang dihitung atas dasar penghasilan netto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih beasr, maka kompensasi kerugian tidak dihitungkan.


Pasal 8

 

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi :

  1. jenis usaha bank dan lembaga keuangan lainnya serta badan-badan lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, adalah jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan kena pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir yang dijadikan 1 (satu) tahun, dibagi 12 (dua belas);
  2. badan usaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, adalah jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan kena pajak berdasarkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB) yang telah selesai disusun pada awal tahun pajak dikurangi kredit pajak sebelumnya, dibagi 12 (dua belas).

 

 

Pasal 9


(1) Penghasilan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) yang dijadikan dasar penghitungan PPh Pasal 25 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, atau penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus adalah penghasilan teratur berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.
(2) PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kredit pajak untuk Pajak Penghasilan yang terhutang dari tahun pajak yang bersangkutan.


Pasal 10

 

Apabila dasar penghitungan PPh Pasal 25 mengandung penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), maka penghasilan tersebut dikurangkan terlebih dahulu.

 

 

Pasal 11


(1) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak baru yang wajib menyelenggarakan pembukuan, adalah jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif menurut Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan netto berdasarkan pembukuannya yang dijadikan 1 (satu) tahun dibagi 12 (dua belas).
(2) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi Wajib Pajak baru dengan peredaran atau penerimaan bruto yang berjumlah kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, adalah jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif 15 (lima belas persen) atas persentase penghasilan netto berdasarkan Norma Penghitungan dikalikan peredaran atau penerimaan bruto dibagi 12 (dua belas).


BAB V

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 12


(1) Wajib Pajak yang dapat menunjukan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terhutang pada akhir tahun pajak kurang dari 3/4 dari Pajak Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dapat mengajukan permintaan pengurangan besarnya angsuran kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Dalam pengajuan permintaan pengurangan angsuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib Pajak harus menyebutkan jumlah pajak dan angsuran pajak yang menurut penghitungannya seharusnya terhutang.
(3) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal penerimaan surat permintaan pengurangan angsuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, maka permintaan pengurangan tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan angsuran sesuai dengan penghitungannya.


Pasal 13

 

Penyusutan dan amortisasi dimulai pada tahun pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutan dan amortisasi dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut, dan untuk harta dalam usaha leasing penyusutan dimulai pada tahun harta yang bersangkutan dileasingkan.

 

 

Pasal 14

 

Pengeluaran yang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 15

 

Pihak-pihak yang berkewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 antara lain yayasan, badan usaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, badan Pemerintah Republik Indonesia, badan perwakilan negara asing, badan perwakilan organisai internasional, dan badan atau organisasi lain dengan sifat dan dalam bentuk apapun.

 

 

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 16


(1) Dasar penghitungan Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk tahun 1984 dan selanjutnya sampai dengan diketahuinya Pajak Penghasilan yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 :
a. bagi Wajib Pajak badan, adalah jumlah Pajak Perseroan menurut Surat Ketetapan Pajak Pajak Perseroan terakhir dikurangi pemotongan dan pemungutan pajak untuk tahun yang bersangkutan;
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan, adalah jumlah Pajak Pendapatan menurut Surat Ketetapan Pajak Pajak Pendapatan terakhir dikurangi pemotongan dan pemungutan pajak untuk tahun yang bersangkutan.
(2) Pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak ketiga yang diperbolehkan dikurangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya pemungutan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah.


Pasal 17

 

Pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya oleh perusahaan penambangan minyak dan gas bumi serta perusahaan penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, diperbolehkan dikurangkan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau memperoleh merupakan penghasilan.

 

 

Pasal 18

 

Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi sehubungan dengan Kontrak Bantuan Teknik (Technical Assistance Contract), Kontrak Risiko Pinjaman (Loan Risk Contract), Kontrak Usaha Bersama (Joint Venture Contract) dan kontrak-kontrak lainnya yang serupa, yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dipersamakan dengan penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan Kontrak Bagi Hasil sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

 

 

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 19

 

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 20

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd

 

SOEHARTO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI /SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

 

ttd

 

SUDHARMONO, S.H.

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 53

 

 

 

 

 

PENJELASAN

ATAS

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983

 

TENTANG

 

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984

 

 

UMUM

 

Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 disusun dalam struktur yang sederhana. Kesederhanaan ini meliputi pengaturan, jenis pajak, tarif, dan cara pengenaannya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Wajib Pajak dapat dengan mudah memenuhi kewajiban perpajakannya dan juga mempermudah pengawasannya. Dalam beberapa hal diperlukan ketentuan dan pengaturan lebih lanjut. Ketentuan dan pengaturan lebih lanjut itu diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sedangkan kebijaksanaan pelaksanaannya akan diatur oleh Menteri Keuangan dan teknis pelaksanaannya akan diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

 

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Ayat (1)

Pada hakekatnya pembentukan dan pemupukan dana cadangan tidak diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan bruto. Khusus untuk jenis usaha bank, jenis usaha asuransi jiwa dan asuransi kerugian, pembentukan dan pemupukan dana cadangan ini merupakan suatu keharusan guna menjaga kelangsungan hidup perusahaan dan yang secara ekonomis memang diperlukan untuk menutup beban atau kerugian yang pasti terjadi. Untuk jenis usaha ini pembentukan dan pemupukan dana cadangan dengan batas -batas tertentu diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai biaya perusahaan.


Ayat (2)

Cukup Jelas.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Pasal 2

Yang dimaksud dengan harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan menurut ketentuan ini adalah harta yang tidak dipakai dalam kegiatan usaha. Misalnya PT. A yang berusaha dalam bidang kegiatan industri rokok memiliki harta berupa rumah peristirahatan. Menurut ketentuan ini, rumah peristirahatan milik PT.A tersebut termasuk dalam pengertian harta yang tidak dipergunakan dalam perusahaan.


Ayat (1)


huruf a


Ketentuan ini dimaksudkan untuk tidak menerapkan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebelum berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan penilaian harga atas harta yang bersangkutan pada tanggal 1 Januari 1984.
Penilaian harga atas harta tersebut dalam ketentuan ini disebut nilai perolehan harta.


Contoh :


Wajib Pajak A tahun 1980 membeli sebidang tanah seharga Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Dalam tahun 1988 tanah tersebut dijual dengan harga Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pertama-tama perlu ditentukan beberapa nilai perolehan harta (berupa tanah) tersebut pada tanggal 1 januari 1984.


huruf b


Cukup jelas.


Ayat (2)


Dibawah ini diberikan contoh sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak A tahun 1980 membeli sebidang tanah seharga Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Dalam tahun 1988 tanah tersebut dijual dengan harga Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pertama-tama perlu ditentukan nilai perolehan tanah tersebut pada tanggal 1 januari 1984, misalnya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Apabila faktor penyesuaian untuk tahun 1988 terhadap tahun 1984 adalah a, maka penghasilan dari penjualan tanah tersebut sebesar Rp. 50.000.000,- - ( Rp. 20.000.000,- x a).
  2. Wajib Pajak B membeli sebidang tanah pada tahun 1985 seharga Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Dalam tahun 1989 tanah tersebut dijual dengan harga Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Apabila faktor penyesuaian untuk tahun 1989 terhadap tahun 1985 adalah b, maka penghasilan dari penjualan tanah tersebut sebesar Rp. 60.000.000,- - (Rp. 30.000.000,- x b)


Pasal 3


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4)


Untuk memperoleh tarif efektif rata-rata dan penerapannya dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang diberikan contoh sebagai berikut : Wajib Pajak A kawin dengan tanggungan 3 (tiga) anak, mengontrakkan rumahnya untuk jangka 5 (lima) tahun (1984 s/d 1988) dengan harga kontrak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang diterima dalam bulan Mei 1984.

 

Penghasilan teratur A dalam tahun 1984 diketahui sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dalam tahun 1984 :


Penghasilan kontrak rumah rata-rata setahun :

  1/5 X Rp. 100.000.000,- = Rp. 20.000.000,-
  Penghasilan teratur tahun 1984 = Rp. 10.000.000,-
      ______________
  Jumlah = Rp. 30.000.000,-
  PTKP = Rp. 2.880.000,-
      ______________
  Penghasilan Kena Pajak = Rp. 27.120.000,-

Tarif :

  15 X Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
  25 X Rp. 17.120.000,- = Rp. 4.280.000,-
      ______________
  Jumlah Pajak Penghasilan = Rp. 5.780.000,-

Tarif efektif rata-rata :

  5,78  
  ----------- X 100 = 21,3
  27,12  
  (dibulatkan ke bawah) = 21  

Penghitungan Pajak Penghasilan menjadi sebagai berikut :
21 X (Rp. 10.000.000,- + Rp. 100.000.000,-) = Rp. 23.100.000,-


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Mengingat jangka waktu penerimaan uang pensiun sulit diketahui dan untuk memudahkan penghitungan Pajak Penghasilan terhadap uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus, penghasilan tersebut dihitung sebagai penghasilan 10 (sepuluh) tahun.


Pasal 4

Cukup jelas.


Pasal 5

Cukup jelas.


Pasal 6

Ayat (1)


Ketentuan ini dimaksudkan agar supaya terhadap pemegang sertifikat dan/atau pemegang saham dari saham yang dijual melalui Pasar Modal yang pada umumnya menerima atau memperoleh penghasilan berupa dividen yang dalam setahunnya tidak melampaui jumlah tertentu tidak perlu dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Jika terhadap pemegang sertifikat dan/atau pemegang saham tersebut dikenakan pemotongan pajak, hal ini akan menjadi beban mereka karena harus mengurus pengembaliannya. Pembebasan dari pemotongan atas dividen tersebut tidak berarti bahwa dividen itu dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, yaitu apabila dividen tersebut bersama dengan penghasilan lain jumlahnya melampaui penghasilan tidak kena pajak.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Menteri Keuangan diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian batas jumlah yang dibebaskan dari pemotongan pajak, sesuai dengan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.


Pasal 7


Jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan didasarkan atas pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir, kecuali apabila pajak yang ditetapkan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.


Dalam hal terdapat sisa kerugian yang belum dikompensasikan, jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, dapat diberikan penjelasan berikut :


Contoh :
Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak badan menunjukkan keterangan sebagai berikut : 

1985 : 

Wajib Pajak menderita kerugian                                                   : Rp. 250.000.000,- 
Setelah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, kerugian adalah : Rp. 200.000.000,-

Kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan netto dalam 5 tahun terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita (mulai tahun 1986).
Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1986 : Nihil

 

1986 :

  Penghasilan netto Wajib Pajak : Rp. 50.000.000,-
  Kompensasi kerugian untuk tahun 1986 : Rp. 200.000.000,-
      _______________
  Sisa kerugian yang belum dikompensasikan : Rp. 150.000.000,-
  Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1987 : Nihil

1987 :

  Penghasilan netto Wajib Pajak : Rp. 80.000.000,-
  Kompensasi kerugian untuk tahun 1987 : Rp. 150.000.000,-
      _______________
  Sisa kerugian yang belum dikompensasikan : Rp. 70.000.000,-

Angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1988 didasarkan atas Pajak Penghasilan yang dihitung dari penghasilan netto berdasarkan Surat Pemberitahuan tahunan 1987 dikurangi sisa kerugian untuk tahun 1988 = (Rp. 80.000.000,- - Rp. 70.000.000,-) = Rp. 10.000.000,-.


Angsuran Pajak Penghasilan setiap bulan adalah Pajak Penghasilan yang dihitung atas Rp. 10.000.000,- dibagi 12 (dua belas).

1988 :

  Penghasilan netto Wajib Pajak : Rp. 100.000.000,-
  Sisa kerugian yang belum dikompensasikan : Rp. 70.000.000,-
      _______________
  Penghasilan netto 1988 : Rp. 30.000.000,-

Penghitungan angsuran Pajak Penghasilan tahun berjalan 1989 adalah sebagai berikut : Penghasilan netto tahun 1988 = Rp. 100.000.000,- (tidak ada lagi sisa kerugian yang belum dikompensasikan).

 

Penghasilan kena pajak tahun 1988 = Rp. 100.000.000,-
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun 1988 :

  15 X Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
  25 X Rp. 40.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
  35 X Rp. 50.000.000,- = Rp. 17.500.000,-
      _____________
      Rp. 29.000.000,-

Misalnya :

  Pajak Penghasilan yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah yang dibayar tahun 1988 Rp. 4.000.000,-
  Pajak Penghasilan yang di potong oleh pihak lain yang dibayar tahun 1988 Rp. 1.000.000
    _____________
    Rp. 5.000.000,-
    _____________
    Rp. 24.000.000,-

Angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan tahun 1989 = 1/12 X Rp. 24.000.000,- = Rp. 2.000.000,-.


Pasal 8


Huruf a


Untuk jenis bank dan lembaga keuangan lainnya serta jenis usaha lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, laporan keuangan triwulan yang secara berkala dibuat, menunjukkan penghasilan yang lebih mendekati penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam triwulan yang bersangkutan, oleh karena itu dipakai sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25.

 

Khusus untuk jenis usaha bank dan lembaga keuangan lainnya, kewajiban memasukkan laporan keuangan triwulan tidak memerlukan penunjukan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak.


Contoh :

Laporan keuangan triwulan Bank A untuk bulan April s/d Juni 1984 menunjukkan penghasilan netto Rp. 60.000.000,-

Laporan keuangan ini menjadi dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan sesudahnya sampai dibuatnya laporan keuangan triwulanan berikutnya.

Jumlah angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar untuk bulan-bulan tersebut dihitung sebagai berikut :

  Penghasilan netto triwulan disetahunkan : 4 X Rp. 60.000.000,- = Rp. 240.000.000,-
  Pajak Penghasilan terutang menurut Pasal 17 Undang-undang pajak Penghasilan 1984 :    
  15 X Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
  25 X Rp. 40.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
  35 X Rp. 190.000.000,- = Rp. 66.500.000,-
      ______________
      Rp. 78.000.000,-

Angsuran Pajak Penghasilan untuk bulan-bulan Juli dan seterusnya (sampai adanya laporan keuangan triwulan yang baru) 1/12 X Rp. 78.000.000,- = Rp. 6.500.000,-.


Huruf b


Dengan pertimbangan bahwa Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB) perusahaan yang disusun setiap saat awal tahun oleh badan usaha milik negara dan daerah yang telah disahkan oleh Menteri yang bersangkutan dapat menunjukkan penghasilan yang lebih mendekati penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan, oleh karena itu lebih sesuai dipakai sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25.


Contoh :
Suatu badan usaha milik negara pada awal tahun 1985 telah selesai menyusun RAPB perusahaan untuk tahun 1985 dengan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terhutang sebesar Rp. 1.800.000.000,-. Kredit Pajak tahun sebelumnya sebesar Rp. 600.000.000,-.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan dalam tahun 1985 adalah 1/12 x (Rp. 1.800.000.000,- - Rp. 600.000.000,- = Rp. 100.000.000,-.


Pasal 9


Ayat (1)


Untuk menghitung besarnya PPh Pasal 25 diberikan contoh sebagai berikut :
Wajib Pajak A kawin dengan tanggungan 3 (tiga) anak, mengontrakkan rumahnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun (1984 s/d 1988) dengan harga kontrak Rp. 100.000.000,- yang diterima dalam bulan Mei 1984.


Penghasilan teratur A dalam tahun 1983 diketahui sebesar Rp. 10.000.000,-.
Penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari kontrak rumah pada saat diterima atau diperoleh tahun 1984 :
Penghasilan kontrak rumah rata-rata setahun :
1/5 X Rp. 100.000.000,- = Rp. 20.000.000,-
Penghasilan teratur tahun 1983 = Rp. 10.000.000,-


berdasarkan Surat Pemberitahuan tahunan (tahun sebelumnya)
Jumlah = Rp. 30.000.000,-
PTKP = Rp. 28.800.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp. 27.120.000,-


Tarif :

  15 X Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
  25 X Rp. 17.120.000,- = Rp. 4.280.000,-
  Jumlah Pajak Penghasilan = Rp. 5.780.000,-

Tarif efektif rata-rata :

  5,78  
  ---------- X 100 = 21,3
  27,12  

(dibulatkan ke bawah) = 21

Pajak Penghasilan atas seluruh kontrak rumah yang terhutang dalam tahun 1984 yang harus dilunasi dalam tahun berjalan = 21 X Rp. 100.000.000,- = Rp. 21.000.000,-.


Ayat (2)


Dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, pelunasan pajak PPh Pasal 25 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta atau penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus, dikurangkan sebagai kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan.


Pasal 10


Untuk menghitung dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta atau penghasilan beberapa tahun yang diterima atau diperoleh sekaligus, dikurangkan terlebih dahulu dari penghasilan netto.


Contoh :
Misalnya Wajib Pajak kawin dengan tanggungan 2 (dua) orang anak.
Penghasilan netto tahun 1984 Rp. 12.000.000,-


Dalam jumlah Rp. 12.000.000,- tersebut termasuk penghasilan dari penjualan rumah sebesar Rp. 5.000.000,-

  Penghasilan teratur : Rp. 7.000.000,-
  Penghasilan tidak kena pajak : Rp. 2.400.000,-
      ______________
      Rp. 4.600.000,-

Penghasilan Kena Pajak Pajak penghasilan yang terhutang

  15 X Rp. 4.600.000,- Rp. 690.000,-
  Kredit-kredit pajak Rp. 210.000,-
    ______________
    Rp. 480.000,-

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan adalah sebesar Rp. 480.000,- ---------------- x 100 = Rp. 40.000,- 12


Pasal 11


Yang dimaksud dengan Wajib Pajak baru dalam Pasal ini adalah Wajib Pajak yang baru terdaftar yang pada waktu penghitungan PPh Pasal 25 harus dilakukan belum berkewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan tahunan dan belum pernah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak terhadap Wajib Pajak tersebut.


Pasal 12


Ayat (1)


Ketentuan ini dibuat dengan tujuan :

  1. untuk tidak memberatkan Wajib Pajak melunasi Pajak Penghasilan yang jumlahnya jauh melampuai jumlah yang seharusnya terhutang;
  2. untuk meringankan beban administrasi, karena dapat menimbulkan pengembalian pajak yang lebih dibayar.

Contoh :

Seorang Wajib Pajak sesuai dengan dasar penghitungan angsuran pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri dalam tahun berjalan harus membayar sebesar Rp. 1.000.000,- tiap bulan = (12.000.000,- setahun).


Pada bulan Mei terjadi peristiwa yang menyebabkan jumlah pajak yang diperkirakan terhutang oleh Wajib Pajak dalam tahun yang bersangkutan akan menjadi sebesar Rp. 8.400.000,- ( Rp. 8.400.000,- = 70 dari Rp. 12.000.000,-).


Karena jumlah pajak yang diperkirakan terhutang kurang dari 75 dari Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutan, Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak agar besarnya angsuran Pajak Penghasilan ditinjau kembali. Jika bukti-bukti yang diajukan dapat diterima, dasar penghitungan angsuran pajak Penghasilan untuk bulan-bulan berikutnya terhitung sejak surat keputusan yang berkenaan dengan permohonan yang bersangkutan diterbitkan adalah

Rp. 8.400.000,- atau = Rp. 8.400.000,-/12 = Rp. 700.000,- per bulan.


Ayat (2)


Cukup jelas


Ayat (3)


Cukup jelas


Pasal 13


Penyusutan dan amortisasi atas harta perusahaan pada umumnya dimulai pada tahun pengeluaran. Namun untuk harta perusahaan yang memerlukan jangka waktu beberapa tahun untuk penyelesaiannya, penyusutan dan amortisasi dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta yang bersangkutan.

Misalnya untuk membangun sebuah pabrik, diperlukan jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pengeluaran sehubungan dengan pembangunan pabrik tersebut selama 3 tahun, mulai disusutkan dan diamortisasi pada tahun selesainya pembangunan pabrik tersebut. Bagi harta dalam usaha leasing, penyusutan dimulai pada tahun harta tersebut di leasingkan, misalnya penyusutan dimulai pada tahun 1988.


Pasal 14


Bagi Wajib Pajak yang memerima atau memperoleh penghasilan sebagai karyawan atau pensiunan, perlu dipertimbangkan biaya yang dikeluarkan atau terhutang untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.

Jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karyawan atau pensiunan akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


Pasal 15


Yayasan, badan uasaha milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, badan Pemerintah Republik Indonesia, badan perwakilan negara asing, badan perwakilan organisasi internasional dan badan atau organisasi lain dengan sifat dan dalam bentuk apapun, sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 kewajibannya meliputi juga pemotongan pajak atas pembayaran honorarium atau remunerasi lain kepada tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli atas jasa yang dilakukan di Indonesia.


Pasal 16


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Pasal 17


Menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya oleh Wajib Pajak, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, tidak diperbolehkan dikurangkan sebagai biaya.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) undang-undang Pajak Penghasilan 1984 bagi Wajib Pajak perusahaan penambangan minyak dan gas bumi serta penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 pengenaan pajaknya masih mengikuti mekanisme sistim lama yakni ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti 1970, sehingga pembayaran seperti tersebut di atas diperbolehkan untuk dikurangkan sebagai biaya.

Sebagai konsekwensi dari pembayaran dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dapat dibebankan sebagai biaya, bagi pegawai atau karyawan yang menerimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan.

Dengan demikian walaupun mekanismenya menggunakan sistem lama, tetapi penghitungan pajak atas penghasilan pegawai atau karyawan digunakan tarif berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, termasuk penghasilan Tidak Kena Pajak, yang lebih rendah dari tarif berdasarkan Ordonansi pajak Pendapatan 1944.


Pasal 18


Cukup jelas.


Pasal 19


Cukup jelas.


Pasal 20


Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3265