Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 855/KMK.01/1993

Kategori : PPh, PPN

Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (Epte)


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 855/KMK.01/1993

TENTANG

ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE)

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


bahwa dalam rangka pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas Dan Kemudahan Pabean, Perpajakan dan Tata Niaga Impor Bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993, dan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Ke, Dari Dan Antar Kawasan Berikat Dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) perlu menetapkan ketentuan tentang EPTE;


Mengingat :

 

  1. Indische Tariefwet (Stbl. 1873 Nomor 35) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
  2. Rechten Ordonnantie (Stbl. 1931 Nomor 471) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
  4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
  5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pajak Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
  6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
  7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1993 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3537);
  9. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993;
  10. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1993 tentang Fasilitas Dan Kemudahan Pabean, Perpajakan Dan Tata Niaga Impor Bagi Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 1993;
  11. Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Ke, Dari dan Antar Kawasan Berikat dan EPTE;
  12. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7/KMK.05/1990 tentang Bentuk Dan Isi Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 250/KMK.01/1993;
  13. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1318/KMK.01/1990 tentang TataLaksana Pabean Di Bidang Impor;
  14. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 737/KMK.00/1993 tentang Tata Laksana Pabean Di Bidang Impor;
  15. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 738/KMK.00/1993 tentang Tatal Laksana Pabean Di Bidang Ekspor;
  16. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1012/KMK.00/1991 tentang Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB);



MEMUTUSKAN :


Menetapkan :


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE)



Pasal 1


Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut EPTE adalah suatu tempat atau bangunan dari suatu perusahaan industri dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, perpajakan dan tata niaga impor, yang di peruntukan bagi pengolahan barang dan/atau bahan yang berasal dari luar daerah pabean Indonesia, kawasan Berikat, EPTE lainnya, atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.



Pasal 2


(1)

Atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah dalam EPTE tidak dipungut Bea Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Cukai, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dan diberikan penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM).

(2)

Atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi dalam EPTE tidak dipungut BM, BMT, PPh Pasal 22 dan diberikan penangguhan PPN dan PPn BM.

(3)

Pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari daerah pabean Indonesia lainnya ke EPTE, PPN dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(4)

Pengiriman barang hasil pengolahan EPTE ke EPTE lainnya atau ke kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut, PPN dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(5)

Pengeluaran barang dan/atau bahan dari EPTE ke perusahaan industri di daerah pabean Indonesia dalam rangka subkontrak, PPN dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(6)

Penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) subkontraktor di daerah pabean Indonesia lainnya kepada PKP EPTE, PPN dan PPn BM yang terutang tidak dipungut.

(7)

Mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipergunakan dalam kegiatan produksi di EPTE dapat diganti dengan ketentuan bahwa mesin dan/atau peralatan pabrik yang diganti tersebut :

  1. di reekspor; dan/atau
  2. dipindahtangankan ke Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (PPDKB) atau EPTE lain; dan/atau
  3. dikeluarkan ke daerah pabean Indonesia lainnya dengan membayar BM, BMT, PPh Pasal 22, PPn dan PPn BM sepanjang telah memenuhi ketentuan umum yang berlaku di bidang impor; dan/atau
  4. dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.



Pasal 3


Penetapan suatu tempat atau bangunan sebagai EPTE dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan menerbitkan izin EPTE.



Pasal 4


(1)

Perusahaan industri yang berlokasi di dalam dan di luar Kawasan Industri yang sudah berdiri dan beroperasi sebelum ditetapkannya Keputusan ini, dapat ditetapkan sebagai EPTE.

(2)

Perusahaan industri yang berada di Daerah Tingkat II yang sudah ada Kawasan Industri, yang berdiri dan beroperasi setelah ditetapkannya Keputusan ini, dapat ditetapkan sebagai EPTE apabila berlokasi di Kawasan Industri.

(3)

 Perusahaan industri yang berada di Daerah Tingkat II yang belum ada Kawasan Industri, yang berdiri dan beroperasi setelah ditetapkannya Keputusan ini, dapat ditetapkan sebagai EPTE apabila berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri.

(4)

Suatu tempat atau bangunan dari suatu Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat ditetapkan sebagai EPTE apabila merupakan tempat atau bangunan dengan pengamanan tertentu untuk menjamin keamanan dan keselamatan barang-barang yang berada dalam EPTE serta untuk memudahkan pengawasan oleh petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.



Pasal 5


Perusahaan Industri yang tempat atau bangunannya dapat diberikan izin EPTE adalah perusahaan :

  1. Dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);
  2. Dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA);
  3. Dalam rangka penanaman modal asing yang modal saham seluruhnya dimiliki oleh peserta asing;
  4. Non PMA/PMDN.



Pasal 6


(1) 

Permohonan izin EPTE diajukan oleh Perusahaan Industri kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai dengan menggunakan formulir EPTE-1 sebagaimana contoh dalam lampiran 1 dengan melampirkan :

  1. Foto copy Surat Persetujuan Prinsip (SPP/Surat Persetujuan Penanaman Modal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Persetujuan Prinsip/Ijin Usaha Industri dari Menteri teknis terkait;
  2. Foto copy Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang;
  3. Foto copy penetapan sebagai PKP serta foto copy SPT Tahunan PPh Tahun terakhir bagi perusahaan yang sudah wajib;
  4. Peta lokasi/tempat yang akan dijadikan EPTE;
  5. Peta letak gudang penimbunan dan tempat pengolahan;
  6. Rencana penggunaan barang dan/atau bahan dan hasil olahannya;
  7. Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) 

Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g dibuat berdasarkan permohonan yang bersangkutan kepada Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat.

(3)

Pembuatan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus sudah selesai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap oleh Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat.

(4)

Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya melakukan penelitian terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen.

(5)

Dalam hal permohonan telah lengkap dan benar, Direktur Jenderal Bea dan Cukai meneruskan permohonan kepada Menteri Keuangan.

(6)

Persetujuan atau penolakan izin EPTE dengan menggunakan formulir EPTE-2 (untuk persetujuan) sebagaimana contoh dalam lampiran II atau EPTE-3 (untuk penolakan) sebagaimana contoh dalam lampiran III diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar dan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).

(7)

Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dilampaui, Menteri Keuangan belum memberikan Keputusan, permohonan izin EPTE dianggap disetujui.



Pasal 7


Perusahaan Industri yang telah mendapatkan izin EPTE (Perusahaan EPTE) wajib melaksanakan ketentuan sebagai berikut :

  1. Menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Prinsip Akuntansi Indonesia;
  2. Mengatur tempat/bangunan bagi barang dan/atau bahan sesuai dengan tujuan pemasukannya;
  3. Menyimpan, mengatur dan menatausahakan barang dan/atau bahan yang ada di dalam EPTE secara tertib, baik mengenai pemasukannya, pengolahannya maupun mengenai pengeluarannya dari dalam EPTE;
  4. Menyampaikan laporan setiap 3 (tiga) bulan kepada Pejabat Hanggar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Pejabat Hanggar) di EPTE mengenai :

    1)

    Persediaan bahan baku dan/atau bahan penolong dengan menggunakan Formulir EPTE-4A sebagaimana contoh dalam lampiran IV-A;

    2)

    Persediaan bahan baku dan/atau bahan penolong dalam proses dengan menggunakan Formulir EPTE-4B sebagaimana contoh dalam lampiran IV-B;

    3)

    Persediaan barang jadi dengan menggunakan Formulir EPTE-4C sebagaimana contoh dalam lampiran IV-C.

  5. Menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya, buku-buku dan catatan-catatan serta dokumen yang ditetapkan berdasarkan Keputusan ini sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.



Pasal 8


Atas barang impor yang ditujukan untuk dimasukkan ke EPTE tidak dilakukan pemeriksaan pra pengapalan.



Pasal 9


(1)

Atas barang impor yang akan dimasukkan ke EPTE tidak dilakukan pemeriksaan pabean, kecuali atas instruksi Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Nota Intelijen karena adanya kecurigaan akan atau telah terjadi pelanggaran.

(2)

Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

  1. Jumlah barang;
  2. Jenis barang;
  3. Tipe barang



Pasal 10


(1)

Pemindahan barang dari pelabuhan bongkar ke EPTE menggunakan Formulir EPTE-6 sebagaimana dalam contoh lampiran V.

(2)

Formulir EPTE-5 diisi secara lengkap dan benar oleh Pengusaha EPTE dalam rangkap 4 (empat), diketahui oleh Pejabat Hanggar di EPTE, untuk selanjutnya diajukan kepada Pejabat Hanggar di pelabuhan bongkar, dengan dilengkapi Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB) dan Invoice.

(3)

Pejabat Hanggar di pelabuhan bongkar berdasarkan Formulir EPTE-5 mencocokkan nomor peti kemas/kemasan.

(4)

Dalam hal hasil pencocokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sesuai, Pejabat hanggar dipelabuhan Bongkar Menerakan segel pada peti kemas/kemasan dan mencatat nomor/jenis segel serta memberikan persetujuan pengeluaran barang pada Formulir EPTE-5, dan mendistribusikannya untuk :

  1. Dokumen Pelindung Pengangkutan;
  2. Pejabat Hanggar di pelabuhan bongkar;
  3. Pengusaha EPTE;
  4. Pejabat Hanggar di EPTE.

(5)

Dalam hal hasil pencocokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak sesuai, Pejabat Hanggar di pelabuhan bongkar mengembalikan Formulir EPTE-5 kepada Pengusaha EPTE untuk dibetulkan.



Pasal 11


(1) 

Berdasarkan Formulir EPTE-5 yang telah diberikan persetujuan pengeluaran barang oleh Pejabat Hanggar di pelabuhan bongkar, Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pencocokan dan penelitian keutuhan segel serta keadaan peti kemas/kemasan sebelum barang dimasukkan ke EPTE.

(2) 

Dalam hal hasil pencocokan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE pada Formulir EPTE-5.

(3)

Dalam hal hasil pencocokan dan penelitian terdapat ketidaksesuaian, dilakukan penyelidikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Pasal 12


Dalam hal terhadap barang yang akan dimasukkan ke EPTE dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), hasil pemeriksaan dituangkan dalam Formulir EPTE-6 sebagaimana contoh dalam Lampiran VI, dalam rangkap 2 (dua) masing-masing untuk :

  1. Pejabat Hanggar di EPTE;
  2. Pengusaha EPTE.



Pasal 13


(1)

Pemasukkan barang dan/atau bahan dari daerah pabean Indonesia lainnya ke EPTE, menggunakan Formulir EPTE-7 sebagaimana contoh dalam Lampiran VII.

(2) 

Formulir EPTE-7 diisi secara lengkap dan benar oleh pengusaha EPTE dalam rangkap 2 (dua), untuk selanjutnya diajukan kepada Pejabat Hanggar di EPTE.

(3) 

Pejabat Hanggar di EPTE berdasarkan Formulir EPTE-7 memberikan persetujuan masuk pada Formulir EPTE-7 dan mendistribusikannya untuk :

  1. Pejabat Hanggar di EPTE
  2. Pengusaha EPTE.



Pasal 14


Pengeluaran barang dan/atau bahan dari EPTE dilakukan dengan tujuan :

  1. Ekspor; dan/atau
  2. Reekspor; dan/atau
  3. EPTE Lainnya dan/atau
  4. Kawasan Berikat; dan /atau
  5. Daerah pabean Indonesia lainnya.



Pasal 15


(1)

Ekspor barang hasil pengolahan di EPTE dilaksanakan dengan menggunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dilampiri Formulir EPTE-8 sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII dalam rangkap 4 (empat), masing-masing untuk :

  1. Dokumen Pelindung Pengangkutan;
  2. Pejabat Hanggar di EPTE;
  3. Pejabat Hanggar di pelabuhan muat;
  4. Pengusaha EPTE.

(2) 

Atas barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan pabean kecuali atas instruksi Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Nota Intelijen karena adanya kecurigaan akan atau telah terjadinya pelanggaran.

(3) 

Dalam hal terhadap barang ekspor dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hasil pemeriksaan dituangkan dalam Formulir EPTE-6.

(4) 

Pejabat Hanggar di EPTE melakukan peneraan segel terhadap peti kemas/kemasan barang, dan mencatat nomor/jenis segel pada Formulir EPTE-8 serta memberikan persetujuan muat pada PEB.

(5)

Berdasarkan Formulir EPTE-8 sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pejabat Hanggar di pelabuhan muat melakukan pencocokan dan penelitian keutuhan segel serta keadaan peti kemas/kemasan.

(6)

Dalam hal hasil pencocokan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) sesuai, petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan pengawasan pemuatan barang ke alat angkut.

(7)

Dalam hal hasil pencocokan dan penelitian terdapat ketidak sesuai, dilakukan penyelidikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Pasal 16


(1)

Reekspor barang asal impor yang tidak diolah di EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-8 tanpa menggunakan PEB.

(2)

Reekspor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 15.



Pasal 17


(1) 

Pengeluaran barang dari EPTE ke EPTE lainnya dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-9 sebagaimana contoh dalam Lampiran IX dalam rangkap 5 (lima), masing-masing untuk :

  1. Dokumen Pelindung Pengangkutan;
  2. Pejabat Hanggar di EPTE tujuan;
  3. Pejabat Hanggar di EPTE asal;
  4. Pengusaha EPTE tujuan;
  5. Pengusaha EPTE asal.

(2)

Pengeluaran barang dari EPTE ke Kawasan Berikat dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-10 sebagaimana contoh dalam Lampiran X dalam rangkap 5 (lima), masing-masing untuk :

  1. Dokumen Pelindung Pengangkutan;
  2. Pejabat Hanggar di Kawasan Berikat tujuan;
  3. Pejabat Hanggar di EPTE asal;
  4. PPDKB tujuan;
  5. Pengusaha EPTE.

(3)

Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat :

  1. Barang tersebut untuk diolah lebih lanjut atau untuk pengemas hasil produksi;
  2. b. Pengiriman tersebut merupakan realisasi dari transaksi yang dilakukan berdasarkan kontrak.

(4)

Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dilakukan pemeriksaan pabean kecuali atas instruksi Menteri Keuangan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Nota Intelijen karena adanya kecurigaan akan atau telah terjadinya pelanggaran.



Pasal 18


(1)

Pengusaha EPTE dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahannya kepada perusahaan industri yang berada di dalam daerah pabean Indonesia lainnya, kecuali pekerjaan perakitan, pengetesan, sortasi, dan pengepakkan.

(2)

Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh jenis produk dan harus diselesaikan selama-lamanya 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya barang dan/atau bahan dari EPTE.

(3) 

Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan melalui kontrak yang sekurang-kurangnya memuat jangka waktu, jumlah barang dan/atau bahan yang diterima dari pengusaha EPTE, dan jumlah hasil pekerjaan yang dikembalikan kepada Pengusaha EPTE dengan jaminan yang diserahkan kepada Bendaharawan Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE, berupa :

  1. Jaminan Bank;atau
  2. Surety Bond atau Customs Bond yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang disetujui Menteri Keuangan; atau
  3. Surat Sanggup Bayar (SSB) yang diendorse oleh Bank yang disetujui oleh Menteri Keuangan.

(4)

Penyerahan barang dan/atau bahan dari Pengusaha EPTE kepada perusahaan industri pelaksana subkontrak sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11A sebagaimana contoh dalam Lampiran XI-A dalam rangkap 2 (dua).

(5)

Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11A yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk selanjutnya berdasarkan Formulir EPTE-11A Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan terhadap barang dan/atau bahan yang akan diserahkan kepada pelaksana subkontrak.

(6)

Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan persetujuan pengeluaran pada Formulir EPTE-11A, dan mendistribusikan untuk :

  1. Pejabat Hanggar di EPTE;
  2. Pengusaha EPTE.

(7)

Penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP subkontraktor kepada Pengusaha EPTE dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-11B dalam rangkap 2 (dua).

(8)

Pengusaha EPTE mengajukan Formulir EPTE-11B yang telah diisi secara lengkap dan benar kepada Pejabat Hanggar di EPTE, untuk selanjutnya berdasarkan Formulir EPTE-11B Pejabat Hanggar di EPTE melakukan pemeriksaan terhadap barang yang akan dimasukkan kembali kedalam EPTE.

(9)

Dalam hal hasil pemeriksaan kedapatan sesuai, Pejabat Hanggar di EPTE memberikan persetujuan masuk pada Formulir EPTE-11B, dan mendistribusikannya untuk :

  1. Pejabat Hanggar di EPTE;
  2. Pengusaha EPTE.



Pasal 19


(1) 

Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke dalam daerah pabean Indonesia lainnya dengan tujuan reparasi dilakukan dengan menggunakan Formulir EPTE-12 sebagaimana contoh dalam Lampiran XII dalam rangkap 2 (dua), masing-masing untuk :

  1. Pejabat Hanggar di EPTE;
  2. Pengusaha EPTE.

(2)

Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), BM, BMT, PPh Pasal 22 serta PPN dan PPn BM ditangguhkan dengan menyerahkan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) kepada Bendaharawan Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE.

(3)

Reparasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di ijinkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak mesin dan/atau peralatan pabrik dikeluarkan dari EPTE.

(4) 

Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari EPTE ke dalam daerah pabean Indonesia lainnya dan pemasukkannya kembali ke EPTE, dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(5)

Pengeluaran mesin dan peralatan pabrik dari EPTE ke luar negeri dengan tujuan reparasi dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku



Pasal 20


(1)

Pengeluaran barang yang telah diolah di EPTE ke dalam daerah pabean Indonesia lainnya, hanya dapat dilakukan setelah ada realisasi ekspor.

(2)

Barang yang akan dikeluarkan ke dalam daerah pabean Indonesia lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebanyak-banyaknya berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dari realisasi ekspor.

(3)

Pengaturan jumlah pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku terhadap pengiriman barang yang telah diolah di EPTE ke EPTE lainnya dan/atau Kawasan Berikat.

(4)

Atas barang asal impor yang telah diolah di EPTE yang akan dikeluarkan ke dalam daerah pabean Indonesia lainnya dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(5)

Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan dengan menggunakan dokumen pabean sesuai dengan tata laksana pabean di bidang impor yang berlaku.

(6) 

Atas barang asal daerah pabean Indonesia lainnya yang diolah di EPTE dapat dikeluarkan ke daerah pabean Indonesia lainnya setelah diperiksa oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemasukkannya ke daerah pabean Indonesia lainnya tanpa Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) dengan menggunakan Formulir EPTE-13 sebagaimana contoh dalam Lampiran XIII dalam rangkap 2 (dua), masing-masing untuk :

  1. Pejabat Hanggar di EPTE;
  2. Pengusaha EPTE.

(7)

Atas barang yang diolah di EPTE dari bahan asal impor dan dari daerah pabean Indonesia lainnya, dapat dikeluarkan ke daerah pabean Indonesia lainnya setelah diperiksa oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemasukkannya ke daerah pabean Indonesia lainnya dilakukan dengan menggunakan PIUD.

(8) 

Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan BM, BMT, Cukai, PPh Pasal 22 serta PPN dan PPn BM.

(9)

Dasar perhitungan pungutan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) adalah sebagai berikut :

  1. BM dan BMT berdasarkan tarif barang jadi dan harga bahan baku asal impor;
  2. Cukai berdasarkan ketentuan yang berlaku;
  3. PPh pasal 22, PPN dan PPn BM berdasarkan harga jual barang yang bersangkutan.

(10)

Atas barang dan/atau bahan asal daerah pabean Indonesia lainnya yang dikeluarkan lagi dari EPTE ke daerah pabean Indonesia lainnya karena salah kirim diperiksa oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemasukkannya ke daerah pabean Indonesia lainnya dengan menggunakan Formulir EPTE-13.



Pasal 21


Atas barang dan/atau bahan yang berada dalam EPTE yang rusak atau busuk, Pengusaha EPTE wajib :

  1. mere-ekspor; dan/atau
  2. memusnahkan di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.



Pasal 22


(1)

Barang sisa dan/atau potongan dari EPTE dapat :

  1. dikeluarkan ke dalam daerah Pabean Indonesia lainnya dengan melunasi BM, BMT, Cukai, PPh pasal 22 serta PPN dan PPn BM, sepanjang telah memenuhi ketentuan umum yang berlaku dibidang impor; dan/atau
  2. dimusnahkan di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(2)

Pengeluaran barang sisa dan/atau potongan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan dengan menggunakan dokumen pabean.



Pasal 23


Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan kemudian (post audit) atas pembukuan, catatan dan dokumen Pengusaha EPTE yang berkaitan dengan pemasukkan dan pengeluaran barang ke dan dari EPTE, serta pencacahan terhadap persediaan setiap 6 (enam) bulan.



Pasal 24


(1)

Apabila hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 terdapat ketidak cocokkan dalam jumlah dan atau jenis barang, maka atas selisih kurang dari jumlah barang dan atau bahan yang seharusnya ada, dinyatakan terutang BM, BMT, Cukai, PPh Pasal 22 serta PPN dan PPn BM.

(2) 

Dalam hal diketemukan adanya selisih lebih maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

(3)

Dalam hal terjadi ketidakcocokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengusaha EPTE bertanggung jawab atas pelunasan BM, BMT, Cukai, PPh Pasal 22 serta PPN dan PPn BM disertai sanksi berupa denda sebesar seratus persen dari pungutan negara yang terutang.



Pasal 25


Pengusaha EPTE wajib menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya, buku-buku dan catatan-catatan serta dokumen yang ditetapkan berdasarkan Keputusan ini sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.



Pasal 26


(1)

Ijin EPTE dicabut apabila :
a. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
b. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya izin EPTE sama sekali tidak melakukan kegiatan usaha industri untuk tujuan ekspor.
c. Izin usaha industri sudah tidak berlaku lagi.
d. Atas permohonan Pengusaha EPTE yang bersangkutan.

(2)

Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan.



Pasal 27


Dalam hal izin EPTE dicabut, Kepala Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi EPTE segera mengadakan pencacahan atas barang-barang yang masih tersisa pada EPTE yang bersangkutan, dan Pengusaha EPTE dapat :

  1. Terhadap barang hasil olahan :

    (1)

    memindahkan/menyerahkan ke EPTE lain atau Kawasan Berikat; dan atau

    (2)

    mengekspor; dan atau

    (3)

    memusnahkannya dengan persetujuan dan pengawasan Kepala Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat; dan/atau

    (4)

    memasukkan ke daerah pabean Indonesia lainnya sepanjang memenuhi ketentuan umum di bidang impor dan ketentuan tata niaga impor dengan melunasi BM, BMT, Cukai, PPh Pasal 22, PPN, dan PPn BM.

  2. Terhadap barang modal, bahan baku, mesin dan peralatan pabrik :

    (1)

    memindahkan/menyerahkan ke EPTE lain atau Kawasan Berikat; dan/atau

    (2)

    mereekspor; dan/atau

    (3)

    memusnahkannya dengan persetujuan dan pengawasan Kepala Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat; dan/atau

    (4)

    memasukkan ke daerah pabean Indonesia lainnya sepanjang memenuhi ketentuan umum di bidang impor dan ketentuan tata niaga impor dengan melunasi BM, BMT, Cukai, PPh Pasal 22 , PPN dan PPn BM.



Pasal 28


Dalam hal diperlukan pengaturan teknis lebih lanjut atas Keputusan ini, pengaturannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktur Jenderal Pajak, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.



Pasal 29


Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.01/1993dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 30


Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan.  Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Oktober 1993
MENTERI KEUANGAN

ttd

MAR'IE MUHAMMAD