Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 03/PJ.101/1996

Kategori : Lainnya

Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)


29 Maret 1996


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 03/PJ.101/1996

TENTANG

PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 sehubungan dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :

  1. P3B antara Indonesia dengan negara-negara treaty partner yang telah berlaku secara efektif sampai dengan saat ini adalah sebanyak 32 (tiga puluh dua) P3B dengan perincian sebagaimana terlampir. Dalam P3B tersebut diatur ketentuan-ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif yang lebih rendah atau pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap beberapa jenis penghasilan yang dibayar atau terutang oleh pihak yang membayar penghasilan yang berkedudukan di Indonesia kepada Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara treaty partner tersebut.

  2. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh Pasal 26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sebagai berikut :

    1. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili kepada pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan foto copy Surat Keterangan Domisili tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar penghasilan terdaftar.

    2. Asli Surat Keterangan Domisili tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayar penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan foto copy yang telah dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi foto copy tersebut wajib memegang aslinya.

    3. Surat Keterangan Domisili tidak diperlukan bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan yang secara tegas disebut dalam P3B yang bersangkutan. Bagi Bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan tersebut langsung diterapkan ketentuan-ketentuan sesuai dengan P3B yang bersangkutan.
      Dalam hal terdapat bank atau lembaga keuangan yang tidak disebutkan secara tegas dalam P3B, tetapi berdasarkan persetujuan Competent Authority Indonesia dan negara treaty partner yang bersangkutan disetujui sebagai badan yang penghasilannya dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26, maka bank atau lembaga keuangan tersebut diperlakukan sama dengan bank atau lembaga keuangan yang secara tegas disebutkan dalam P3B, yaitu tidak diperlukan Surat Keterangan Domisili.

  3. Surat Keterangan Domisili

    1. Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sahdi negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pajak tempat Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent Authority.

    2. Bentuk Surat Keterangan Domisili adalah sesuai dengan kelaziman di negara tempat Wajib Pajak luar negeri berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan benar berkedudukan di negara tersebut sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda-tangan pejabat yang menerbitkan Surat Keterangan Domisili tersebut.

    3. Surat Keterangan Domisili berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk Wajib Pajak bank. Bagi Wajib Pajak bank, Surat Keterangan Domisili tersebut berlaku selama bank tersebut tetap mempunyai alamat yang sama dengan alamat yang tercantum dalam Surat Keterangan Domisili.

  4. Dalam penerapan P3B yang telah berlaku, perlu diperhatikan pula ketentuan-ketentuan yang menyangkut beberapa hal sebagai berikut:

    1. Jasa yang dilakukan di luar Indonesia oleh penduduk negara treaty partner.

      1)

      Berdasarkan P3B yang telah berlaku, pada umumnya imbalan atas jasa yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri merupakan laba usaha sehingga pengenaan pajaknya hanya dapat dilakukan di Indonesia apabila Wajib Pajak luar negeri tersebut melakukan jasa di Indonesia melalui suatu BUT di Indonesia.
      Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam P3B dengan Jerman,Luxembourg, Swiss dan Pakistan, khususnya yang berhubungan dengan pemberian jasa teknik, manajemen dan konsultasi yang dilakukan di Indonesia,dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 meskipun pemberi jasa tidak mempunyai BUT di Indonesia. Besarnya PPh Pasal 26 tersebut adalah dengan Jerman sebesar 7,5%, dengan Luxembourg sebesar 10%, dengan Swiss sebesar 5%,dan dengan Pakistan sebesar 15%.

      2)

      Penentuan adanya BUT di Indonesia ditentukan berdasarkan jangka waktu (time test) yang berlaku di masing-masing P3B.

      -

      Dalam hal persyaratan jangka waktu untuk adanya BUT di Indonesia dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut dikenakan pajak di Indonesia dan dipotong PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

      -

      Dalam hal jangka waktu mengenai adanya BUT tidak dipenuhi maka atas imbalan jasa tersebut tidak dapat dikenakan Pajak di Indonesia,kecuali yang dibayar atau terutang kepada penduduk Jerman, Luxembourg, Swiss dan Pakistan. Hak pemajakannya dilakukan oleh negara treaty partner tempat kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.

      3)

      Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam P3B, atas jasa yang dilakukan di luar negeri oleh penduduk negara treaty partner, Indonesia tidak dapat mengenakan PPh atas imbalan jasa tersebut.

    2. Pembayaran premi asuransi ke luar negeri.
      Atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di Selandia Baru, Australia, Malaysia dan Arab Saudi, serta di negara-negara yang belum mempunyai P3B dengan Indonesia, dipotong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994.
      Atas pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya tidak dipotong PPh Pasal 26.

    3. Dividen yang dibayar atau terutang ke luar negeri melalui Custodian.

      1)

      Berdasarkan asli Surat Keterangan Domisili sebagaimana dimaksud dalam butir 3yang ditunjukkan Custodian dan foto copy diserahkan kepada emiten, atas dividen yang dibayar atau terutang oleh emiten dipotong PPh Pasal 26 sesuai dengan tarif menurut P3B yang berlaku.

      2)

      Atas dividen yang dibayar atau terutang kepada Wajib Pajak luar negeri penduduk negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia, dipotong PPh Pasal 26dengan tarif 20% dari jumlah bruto.

  5. Penegasan dalam butir 2 dan 3 Surat Edaran ini agar dilaksanakan terhitung mulai tanggal 1 April 1996. Terhitung mulai tanggal pelaksanaan Surat Edaran ini maka Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.35/1993 tanggal 11 Maret 1993 dan Nomor: SE-22/PJ.35/1993 tanggal 31 Agustus 1993, dinyatakan tidak berlaku.

  6. Untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi yang dibayar atau terutang ke luar negeri, penegasan dalam butir 2 dan 3 Surat Edaran ini diberlakukan terhitung mulai tanggal 5 Desember 1995.

  7. Untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen yang dibayar atau terutang ke luar negeri melalui Custodian, penegasan dalam butir 4.c. Surat Edaran ini diberlakukan terhitung mulai tanggal 1 Maret 1996.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

FUAD BAWAZIER