Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 04/PJ/2020

Kategori : KUP

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 04/PJ/2020

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN ADMINISTRASI NOMOR POKOK WAJIB
PAJAK, SERTIFIKAT ELEKTRONIK, DAN PENGUKUHAN
PENGUSAHA KENA PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pelaporan usaha dan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta perubahan data dan pemindahan Wajib Pajak telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2018;
  2. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak perlu dilakukan penggantian atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2018;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 61 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1516);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1746);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN ADMINISTRASI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SERTIFIKAT ELEKTRONIK, DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB, adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  5. Administrasi NPWP adalah tata laksana yang meliputi pendaftaran Wajib Pajak, perubahan data Wajib Pajak, pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar, penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif, dan penghapusan NPWP.
  6. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  7. Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
  8. Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, adalah Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  9. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint Operation), serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
  10. Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
  11. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disingkat KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  12. Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, yang selanjutnya disingkat KP2KP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala KPP Pratama.
  13. Kerja Sama Operasi (Joint Operation) adalah pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur bahwa para pihak yang disebut operator bersama memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan dan/atau memperoleh barang dan/atau jasa atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation).
  14. NPWP Cabang adalah NPWP yang diberikan bagi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari tempat tinggal/tempat kedudukan Wajib Pajak atau yang diberikan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat menggunakan NPWP Pusat.
  15. NPWP Pusat adalah NPWP yang diberikan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang menunjukkan pusat kegiatan usaha dengan 3 (tiga) digit terakhir berupa “000”.
  16. Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat PBB, adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.
  17. Nomor Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NOP, adalah nomor identitas Objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
  18. Kartu NPWP adalah identitas perpajakan yang memuat informasi NPWP dan identitas lainnya yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
  19. Kartu Tanda Penduduk, yang selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  20. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  21. Instansi Pemerintah Pusat adalah satuan kerja pada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, termasuk Badan Layanan Umum, selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
  22. Instansi Pemerintah Daerah adalah satuan kerja perangkat daerah provinsi dan satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota, termasuk Badan Layanan Umum Daerah, selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
  23. Instansi Pemerintah Desa adalah unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
  24. Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah, termasuk pada Badan Layanan Umum dan Badan Layanan Umum Daerah.
  25. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
  26. Nomor Induk Kependudukan, yang selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
  27. Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat PKP, adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya.
  28. Aplikasi yang Tersedia untuk Administrasi NPWP dan/atau PKP, yang selanjutnya disebut Aplikasi Registrasi, adalah sarana pendaftaran Wajib Pajak dan/atau pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, perubahan data Wajib Pajak dan/atau PKP, pemindahan Wajib Pajak, penghapusan NPWP, pencabutan pengukuhan PKP, dan layanan lainnya terkait NPWP dan PKP melalui internet yang terhubung langsung secara daring (online) dengan Direktorat Jenderal Pajak.
  29. Bukti Penerimaan Elektronik, yang selanjutnya disingkat BPE, adalah bukti yang diterbitkan dan diberikan secara elektronik kepada Wajib Pajak untuk menyatakan bahwa permohonan dari Wajib Pajak yang terkait dengan NPWP dan PKP telah diterima secara lengkap.
  30. Surat Keterangan Terdaftar, yang selanjutnya disingkat SKT, adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPP atau KP2KP sebagai pemberitahuan bahwa Wajib Pajak telah terdaftar pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak yang berisi identitas Wajib Pajak.
  31. Electronic Filling Identification Number, yang selanjutnya disingkat EFIN, adalah nomor identitas yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang melakukan transaksi elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak.
  32. Bukti Penerimaan Surat, yang selanjutnya disingkat BPS, adalah bukti yang diterbitkan oleh KPP atau KP2KP atas permohonan dari Wajib Pajak yang disampaikan secara langsung, melalui pos atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, terkait dengan NPWP dan PKP yang telah diterima secara lengkap.
  33. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  34. KPP Lama adalah KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau dikukuhkan sebagai PKP sebelum Wajib Pajak dilakukan pemindahan tempat terdaftar di KPP Baru.
  35. KPP Baru adalah KPP yang menerima pemindahan Wajib Pajak dan/atau PKP dari KPP Lama.
  36. KP2KP Baru adalah KP2KP dari KPP Baru.
  37. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Lama, yang selanjutnya disebut Kanwil Lama, adalah Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan KPP Lama.
  38. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Baru, yang selanjutnya disebut Kanwil Baru, adalah Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan KPP Baru.
  39. Pencabutan Pengukuhan PKP adalah tindakan mencabut Pengukuhan PKP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
  40. Wajib Pajak Non-Efektif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan Penghapusan NPWP.
  41. Penghasilan Tidak Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat PTKP, adalah pengurang penghasilan yang diberikan dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak.
  42. Surat Pemberitahuan, yang selanjutnya disingkat SPT, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  43. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  44. Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
  45. Surat Ketetapan Pajak, yang selanjutnya disingkat SKP, adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, termasuk Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, dan Surat Pemberitahuan.
  46. Surat Tagihan Pajak, yang selanjutnya disingkat STP, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda, termasuk Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  47. Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disebut Penelitian PBB, adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban PBB berdasarkan keterangan lain yang diperoleh dan/atau dimiliki Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
  48. Administrasi Sertifikat Elektronik adalah tata laksana yang meliputi pemberian Sertifikat Elektronik, tata cara permintaan Sertifikat Elektronik, dan tata kelola Sertifikat Elektronik.
  49. Sertifikat Elektronik (digital certificate) adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
  50. Layanan Perpajakan Secara Elektronik adalah layanan melalui sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktur Jenderal Pajak atau disediakan oleh pihak lain yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan transaksi elektronik dengan Direktur Jenderal Pajak.
  51. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  52. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  53. Tempat Tertentu di Luar Kantor adalah tempat pelaksanaan sebagian tugas pelayanan perpajakan berupa penyuluhan, pelayanan, dan konsultasi perpajakan bagi masyarakat atau Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang dilaksanakan di luar KPP atau KP2KP, meliputi Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dan Layanan Pajak di Luar Kantor.
  54. Administrasi Pengukuhan PKP adalah tata laksana yang meliputi pengukuhan PKP, Layanan Perpajakan Secara Elektronik untuk PKP, pencabutan pengukuhan PKP, dan pembatalan pencabutan pengukuhan PKP.
  55. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
  56. Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (co-working space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh pengelola Kantor Virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).


BAB II
ADMINISTRASI NPWP

Bagian Kesatu
Pendaftaran Wajib Pajak

Paragraf 1
Tempat Pendaftaran Wajib Pajak

Pasal 2


(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. Wajib Pajak orang pribadi;
  2. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
  3. Wajib Pajak Badan; dan
  4. Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi.
(4)

Tempat tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:

a. tempat tinggal tetap orang pribadi beserta keluarganya;
b. tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan, dalam hal orang pribadi tersebut:
  1. mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a di 2 (dua) tempat atau lebih; atau
  2. tidak mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a;
atau
c. tempat orang pribadi lebih lama tinggal dalam kurun waktu 1 (satu) tahun kalender terakhir, dalam hal tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak dapat ditentukan.
(5) Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan.
(6) Tempat tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:
  1. tempat tinggal tetap Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan beserta keluarganya sebelum meningggal dunia; atau
  2. tempat pusat kepentingan ekonomi harta warisan berada, dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut:
    1. mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a di 2 (dua) tempat atau lebih; atau
    2. tidak mempunyai tempat tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(7) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Badan.
(8) Tempat kedudukan Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, yakni:
  1. tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berada sebagaimana tercantum dalam:
    1. akta atau dokumen pendirian dan perubahannya;
    2. surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
    3. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan;
    4. surat keterangan tempat kegiatan usaha; atau
    5. perjanjian kerja sama bagi bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
  2. tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berada menurut keadaan yang sebenarnya, dalam hal tempat kantor pimpinan serta pusat administrasi dan keuangan berbeda dengan yang tercantum dalam:
    1. akta atau dokumen pendirian dan perubahannya;
    2. surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
    3. dokumen izin usaha dan/atau kegiatan;
    4. surat keterangan tempat kegiatan usaha; atau
    5. perjanjian kerja sama bagi bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
  3. tempat kantor pimpinan berada, dalam hal tempat kantor pimpinan terpisah dari tempat pusat administrasi dan keuangan serta tempat menjalankan kegiatan usaha; atau
  4. tempat menjalankan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak Badan yang bergerak di sektor usaha tertentu yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(9) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Instansi Pemerintah menurut keadaan yang sebenarnya.
(10) Tempat kedudukan Instansi Pemerintah menurut keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditentukan sebagai berikut:
  1. tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat berada, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
  2. tempat kantor kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah berada, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
  3. tempat kantor kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa berada, untuk Instansi Pemerintah Desa.


Pasal 3


(1) Selain kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Wajib Pajak juga wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan untuk memperoleh NPWP Cabang.
(2) Tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa lokasi usaha, kantor cabang perusahaan, kantor perwakilan, gudang, unit pemasaran, atau tempat kegiatan usaha sejenis, yang digunakan untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, atau manajemen.
(3) Wajib Pajak yang memiliki 2 (dua) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berada pada wilayah kerja KPP yang sama, namun tempat kegiatan usaha tersebut berada pada wilayah kerja KPP yang berbeda dengan tempat tinggal atau tempat kedudukannya, dapat memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk didaftarkan dan diberikan 1 (satu) NPWP Cabang.
(4) Kewajiban mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha untuk memperoleh NPWP Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
  1. Instansi Pemerintah;
  2. Wajib Pajak selain Instansi Pemerintah yang memiliki tempat kegiatan usaha dan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak berada pada wilayah kerja KPP yang sama; atau
  3. Wajib Pajak yang memiliki tempat kegiatan usaha jasa pelaksana konstruksi yang tempat pelaksanaan kegiatan usaha jasa tersebut:
    1. berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP; dan
    2. merupakan 1 (satu) kesatuan pelaksanaan kegiatan usaha jasa yang didasarkan pada kontrak atau perjanjian.
(5) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan NPWP Pusat.


Pasal 4


(1) Termasuk tempat kegiatan usaha yang diberikan NPWP Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu:
  1. objek pajak PBB Sektor Perkebunan;
  2. objek pajak PBB Sektor Perhutanan;
  3. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
  4. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;
  5. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara; dan
  6. objek pajak PBB Sektor Lainnya.
(2) NPWP Cabang bagi tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara jabatan oleh Kepala KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan, yaitu:
  1. KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak:
    1. objek pajak PBB Sektor Perkebunan;
    2. objek pajak PBB Sektor Perhutanan;
    3. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore;
    4. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore;
    5. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Onshore;
    6. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore;
    7. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi yang berada di bawah Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore;
    8. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Onshore;
    9. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Onshore;
    10. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore; dan/atau
    11. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi yang berada di bawah Permukaan Bumi Offshore yang terintegrasi dengan Permukaan Bumi Onshore;
  2. KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak atas objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap atau pembudidayaan ikan;
  3. KPP Minyak dan Gas Bumi untuk:
    1. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Permukaan Bumi Offshore;
    2. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk tubuh bumi;
    3. objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan; dan/atau
    4. objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap atau pembudidayaan ikan, dalam hal Wajib Pajak tidak terdaftar pada KPP Pratama;
  4. KPP Pratama yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk:
    1. objek pajak PBB Sektor Perkebunan, dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten atau kota;
    2. objek pajak PBB Sektor Perhutanan, dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten atau kota;
    3. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore, dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten atau kota, atau wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
    4. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Onshore, dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten atau kota, atau wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
    5. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Onshore, dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kerja KPP Pratama dalam satu kabupaten atau kota, atau wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
    6. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk Permukaan Bumi Offshore;
    7. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Offshore;
    8. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk Permukaan Bumi Offshore; dan/atau
    9. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi di bawah Permukaan Bumi Offshore.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang memiliki objek pajak PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan:
  1. diberikan 1 (satu) NPWP Cabang, dalam hal Wajib Pajak memiliki 2 (dua) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berada pada wilayah kerja KPP yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); atau
  2. tidak diberikan NPWP Cabang, dalam hal Wajib Pajak selain Instansi Pemerintah yang memiliki tempat kegiatan usaha dan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak berada pada wilayah kerja KPP yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b.
(4) Dalam hal tidak terdapat kewajiban perpajakan selain PBB yang terutang di tempat kegiatan usaha, NPWP Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan sebagai sarana administrasi dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban PBB.


Pasal 5


(1) Dalam hal:
  1. tempat tinggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) atau ayat (5);
  2. tempat kedudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) atau ayat (9); atau
  3. tempat kegiatan usaha dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
tidak dapat ditentukan, Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan KPP tertentu sebagai tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Penentuan tempat pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
  1. Kepala Kanwil DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak, dalam hal tempat tinggal orang pribadi, tempat kedudukan Badan, atau tempat kegiatan usaha dilakukan berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja KPP dalam 1 (satu) wilayah kerja Kanwil DJP; atau
  2. Direktur Jenderal Pajak, dalam hal tempat tinggal orang pribadi, tempat kedudukan Badan, atau tempat kegiatan usaha dilakukan berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja Kanwil DJP.


Paragraf 2
Fungsi NPWP


Pasal 6


(1) NPWP merupakan nomor identitas yang digunakan Wajib Pajak dalam administrasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan.
(2) Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain berupa administrasi:
  1. pembayaran Pajak Penghasilan bagi orang pribadi atau Badan;
  2. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan;
  3. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai;
  4. pembayaran PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya; dan/atau
  5. penyetoran Bea Meterai,
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:
  1. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;
  2. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau
  3. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Instansi Pemerintah, meliputi:
  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai terutang atas pembayaran yang bersumber dari APBN, APBD, atau APB Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai; dan/atau
  2. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal kantor atau satuan kerja kementerian negara, lembaga, pemerintah daerah, atau desa melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.


Paragraf 3
Pendaftaran NPWP Bagi Wanita Kawin
dan Anak yang Belum Dewasa

Pasal 7


(1) Terhadap wanita kawin yang telah memiliki NPWP, namun menghendaki pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabung dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami, atas NPWP wanita kawin tersebut dilakukan penghapusan NPWP.
(2) Dalam hal di kemudian hari suami dari wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang belum terbagi, wanita kawin beserta anak yang belum dewasa menggunakan NPWP suami yang meninggalkan warisan sampai dengan warisan telah terbagi, kecuali wanita kawin tersebut memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(3) Termasuk dalam pengertian memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yakni wanita tersebut menikah setelah suaminya meninggal.
(4) Dalam hal warisan telah terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wanita dimaksud harus mendaftarkan dirinya pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wanita dimaksud untuk memperoleh NPWP sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Dalam hal di kemudian hari wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
  2. melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis;
  3. memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau
  4. bercerai,
terhadap wanita dimaksud harus mendaftarkan dirinya kembali pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wanita dimaksud untuk memperoleh NPWP.


Pasal 8


(1) Wanita kawin yang menghendaki pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan digabung dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami tidak dapat mendaftarkan dirinya untuk memperoleh NPWP atas nama dirinya sendiri.
(2) Anak yang belum dewasa yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, tidak dapat mendaftarkan dirinya untuk memperoleh NPWP atas nama dirinya sendiri.
(3) Dalam hal wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan anak yang belum dewasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan NPWP, penggunaan NPWP diatur sebagai berikut:
  1. wanita kawin menggunakan NPWP suaminya; atau
  2. anak yang belum dewasa menggunakan NPWP orang tuanya,
berdasarkan prinsip 1 (satu) kesatuan ekonomi dalam keluarga sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(4) Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan anak yang belum dewasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan permintaan pencetakan Kartu NPWP dengan menggunakan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mencantumkan nama dirinya sendiri.


Paragraf 4
Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak


Pasal 9


(1) Pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Wajib Pajak orang pribadi dilampiri dengan dokumen persyaratan sebagai berikut:
a. untuk Wajib Pajak orang pribadi baik yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas maupun yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, berupa:
1. bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP; atau
2. bagi Warga Negara Asing, yaitu:
a) fotokopi paspor; dan
b) fotokopi Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
b. untuk Wajib Pajak orang pribadi wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim, berupa fotokopi KTP;
c. untuk Wajib Pajak wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta atau memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya, berupa:
  1. fotokopi KTP;
  2. fotokopi Kartu NPWP suami, dalam hal suami merupakan Warga Negara Indonesia, atau fotokopi paspor, dalam hal suami merupakan subjek pajak luar negeri;
  3. fotokopi kartu keluarga, akta perkawinan, atau dokumen sejenisnya; dan
  4. fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami;
d. untuk Wajib Pajak orang pribadi yang belum memenuhi persyaratan subjektif atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, selain:
  1. wanita kawin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b dan huruf c serta Pasal 8 ayat (1); atau
  2. anak yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),
namun berkeinginan mendaftarkan dirinya untuk memperoleh NPWP, berupa fotokopi KTP;
e. untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu atau orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas selain di tempat tinggalnya, berupa fotokopi Kartu NPWP orang pribadi.
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dilampiri dengan dokumen persyaratan sebagai berikut:
  1. fotokopi akta kematian, surat keterangan kematian, atau dokumen lain yang dipersamakan dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggal dunia;
  2. dokumen yang menunjukkan kedudukan sebagai wakil Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, sebagai berikut:
    1. fotokopi Kartu NPWP salah satu ahli waris, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh salah satu ahli waris;
    2. fotokopi akta wasiat, surat wasiat, atau dokumen lain yang dipersamakan, dan fotokopi Kartu NPWP pelaksana wasiat, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh pelaksana wasiat; atau
    3. fotokopi dokumen penunjukan pihak yang mengurus harta peninggalan dan fotokopi Kartu NPWP pihak yang mengurus harta peninggalan, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh pihak yang mengurus harta peninggalan.
(4) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Wajib Pajak Badan dilampiri dengan dokumen persyaratan sebagai berikut:
a. untuk Wajib Pajak Badan baik yang berorientasi pada profit (profit oriented) maupun yang tidak berorientasi pada profit (non profit oriented), yaitu:
1. fotokopi dokumen pendirian badan usaha, berupa:
a) akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri; atau
b) surat keterangan penunjukan dari kantor pusat, bagi bentuk usaha tetap atau kantor perwakilan perusahaan asing;
2. dokumen yang menunjukkan identitas diri seluruh pengurus Badan, meliputi:
a) bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi Kartu NPWP; dan
b) bagi Warga Negara Asing, yaitu:
1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu NPWP, dalam hal Warga Negara Asing telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;
b. untuk Wajib Pajak Badan berbentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), berupa:
1. fotokopi perjanjian kerjasama atau akta pendirian sebagai bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
2. fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki NPWP;
3. dokumen yang menunjukkan identitas diri pengurus bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) dan salah satu pengurus dari masing-masing perusahaan anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:
a) bagi  Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi Kartu NPWP; atau
b) bagi Warga Negara Asing, yaitu:
1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu NPWP, dalam hal Warga Negara Asing telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;
c. untuk cabang Wajib Pajak Badan, berupa:
1. fotokopi Kartu NPWP pusat;
2. dokumen yang menunjukkan identitas diri pimpinan cabang atau penanggung jawab cabang, meliputi:
a) bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi Kartu NPWP; atau
b) bagi Warga Negara Asing, yaitu:
1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu NPWP, dalam hal Warga Negara Asing telah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(5) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Instansi Pemerintah dilampiri dengan dokumen persyaratan sebagai berikut:
  1. fotokopi dokumen penunjukan sebagai:
    1. kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
    2. kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
    3. kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa;
  2. fotokopi dokumen identitas diri orang pribadi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada huruf a, yaitu Kartu NPWP;
  3. fotokopi dokumen penunjukan Bendahara Pengeluaran, Bendahara Penerimaan, dan/atau Kepala Urusan Keuangan Desa; dan
  4. fotokopi dokumen identitas diri orang pribadi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada huruf c, yaitu Kartu NPWP.
(6) Dalam hal NIK yang tercantum pada KTP telah tervalidasi dengan basis data kependudukan, permohonan pendaftaran Wajib Pajak tidak perlu dilampiri fotokopi KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
   

Pasal 10


(1) Permohonan pendaftaran Wajib Pajak secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menyampaikan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak; dan
  2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen yang disyaratkan,
dalam Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Pendaftaran Wajib Pajak yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah disampaikan, diberikan BPE.
(4) Berdasarkan permohonan yang telah diberikan BPE sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditindaklanjuti sebagai berikut:
  1. NPWP diterbitkan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah BPE diterbitkan; dan
  2. NPWP tersebut disampaikan ke alamat surel (email) yang dicantumkan pada saat mendaftar.
(5) Atas NPWP yang telah diterbitkan, Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen persyaratan yang diunggah (upload) sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. Kepala KPP menerbitkan Kartu NPWP, SKT, dan EFIN paling lama 1 (satu) hari kerja setelah penerbitan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal dokumen persyaratan yang diunggah (upload) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Wajib Pajak belum terdaftar sebelumnya;
  2. Kepala KPP meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak dan menyampaikan Surat Permintaan Klarifikasi/Pemenuhan Kelengkapan Dokumen, dalam hal dokumen persyaratan yang diunggah (upload) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; atau
  3. Kepala KPP melakukan penghapusan secara jabatan atas NPWP yang diterbitkan terakhir dan menyampaikan Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Wajib Pajak, dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar.
(7) Klarifikasi kelengkapan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kepala KPP meminta klarifikasi kelengkapan dokumen persyaratan kepada Wajib Pajak:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat;
b. Wajib Pajak wajib menyampaikan klarifikasi kelengkapan dokumen persyaratan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 15 (lima belas) hari kalender setelah menerima permintaan klarifikasi;
c. Kepala KPP:
  1. menerbitkan Kartu NPWP, SKT, dan EFIN paling lama 1 (satu) hari kerja setelah menerima klarifikasi Wajib Pajak, dalam hal Wajib Pajak memberikan klarifikasi kelengkapan dokumen persyaratan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; atau
  2. menetapkan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Non-Efektif dan menerbitkan Kartu NPWP, SKT, dan EFIN serta Surat Pemberitahuan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal Wajib Pajak tidak memberikan klarifikasi atau memberikan klarifikasi tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(8) Kepala KPP mengirimkan dokumen berupa Kartu NPWP, SKT, EFIN, dan/atau Surat Pemberitahuan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif kepada Wajib Pajak:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Pasal 11


(1) Permohonan pendaftaran secara tertulis dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran Wajib Pajak; dan
  2. melampirkan dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Permohonan pendaftaran disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3) Kepala KPP atau KP2KP:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan memberikan BPS kepada Wajib Pajak; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pengembalian Permohonan, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(4) Berdasarkan permohonan yang telah diberikan BPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Kepala KPP atau KP2KP menerbitkan Kartu NPWP, SKT, dan EFIN paling lama 1 (satu) hari kerja setelah BPS diterbitkan.
(5) Penyampaian Kartu NPWP, SKT, dan EFIN kepada Wajib Pajak dilakukan:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Pasal 12


(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Kepala KPP dapat memberikan NPWP secara jabatan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi, dan menyampaikan Kartu NPWP, SKT, dan EFIN kepada Wajib Pajak.
(2) Tanggal terdaftar yang tercantum dalam Kartu NPWP dan SKT yang diterbitkan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni sesuai dengan tanggal penerbitan Kartu NPWP dan SKT.


Bagian Kedua
Perubahan Data Wajib Pajak

Pasal 13


(1) Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak dalam hal:
  1. data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan
  2. perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar,
berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
(2) Termasuk dalam perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni:
  1. untuk Wajib Pajak orang pribadi:
    1. perubahan identitas Wajib Pajak;
    2. perubahan alamat tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dalam wilayah kerja KPP yang sama;
    3. perubahan sumber penghasilan Wajib Pajak;
    4. perubahan Wajib Pajak menjadi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi; atau
    5. terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
  2. untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi:
    1. perubahan wakil Wajib Pajak;
    2. perubahan alamat tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dalam wilayah kerja KPP yang sama;
    3. perubahan sumber penghasilan Wajib Pajak; atau
    4. terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
  3. untuk Wajib Pajak Badan:
    1. perubahan identitas Wajib Pajak yang tidak mengubah bentuk badan hukum;
    2. perubahan alamat tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dalam wilayah kerja KPP yang sama;
    3. perubahan jenis kegiatan usaha Wajib Pajak;
    4. perubahan struktur permodalan atau kepemilikan Wajib Pajak Badan yang tidak mengubah bentuk badan hukum;
    5. terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
    6. terdapat perbedaan antara data terkait kategori dan/atau bentuk badan pada basis data perpajakan, dengan kategori dan/atau bentuk badan usaha Wajib Pajak yang sebenarnya dan yang seharusnya tercatat dalam basis data perpajakan dari sejak terdaftar sesuai dengan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak;
  4. untuk Instansi Pemerintah:
    1. perubahan identitas Instansi Pemerintah;
    2. perubahan alamat tempat kedudukan Instansi Pemerintah yang masih dalam wilayah kerja KPP yang sama;
    3. perubahan Kepala Instansi Pemerintah dan/atau pejabat Bendahara Pengeluaran atau Bendahara Penerimaan;
    4. terdapat kesalahan tulis data Instansi Pemerintah pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
    5. terdapat perbedaan antara data terkait kategori dan/atau bentuk Instansi Pemerintah pada basis data perpajakan, dengan kategori dan/atau bentuk Instansi Pemerintah yang sebenarnya dan yang seharusnya tercatat dalam basis data perpajakan dari sejak terdaftar sesuai dengan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
(3) Permohonan perubahan data dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen pendukung yang menunjukkan adanya perubahan tersebut.
(4) Termasuk dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yakni Dokumen Elektronik yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak.
(5) Permohonan perubahan data secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berupa:
  1. Aplikasi Registrasi;
  2. contact center, dan/atau
  3. saluran tertentu lainnya.
(6) Dalam hal perubahan data terkait perubahan Wajib Pajak orang pribadi menjadi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 4, dokumen pendukung yang harus dilampirkan meliputi:
a. fotokopi akta kematian, surat keterangan kematian, atau dokumen sejenis;
b. dokumen yang menunjukkan kedudukan sebagai wakil Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, sebagai berikut:
1. fotokopi Kartu NPWP salah satu ahli waris, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh salah satu ahli waris;
2. fotokopi akta atau surat wasiat atau dokumen lain yang dipersamakan, dan fotokopi Kartu NPWP pelaksana wasiat, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh pelaksana wasiat; atau
3. fotokopi dokumen penunjukan pihak yang mengurus harta peninggalan, dan fotokopi Kartu NPWP pihak yang mengurus harta peninggalan, dalam hal warisan yang belum terbagi diwakili oleh pihak yang mengurus harta peninggalan;
dan
c. surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP, dalam hal permohonan perubahan data dilaksanakan oleh seorang kuasa.
(7) Kepala KPP dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak secara jabatan, dalam hal terdapat data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak, dan memberitahukan perubahan tersebut kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Perubahan Data.
(8) Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak dan/atau PKP secara jabatan, dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya, dan memberitahukan perubahan tersebut kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Perubahan Data.
    

Pasal 14


(1) Permohonan perubahan data Wajib Pajak secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) melalui:
a. Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak, dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menyampaikan Formulir Perubahan Data Wajib Pajak; dan
  2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung;
atau
b. contact center dan/atau saluran tertentu lainnya, dilakukan dengan memanfaatkan layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Perubahan Data Wajib Pajak yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Dalam rangka proses pengajuan permohonan perubahan data Wajib Pajak melalui contact center dan/atau saluran tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus memenuhi proses validasi identitas untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak sendiri yang mengajukan permohonan dimaksud.
(4) Permohonan perubahan data Wajib Pajak secara elektronik melalui contact center dan/atau saluran tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan telah diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal Wajib Pajak telah menyatakan afirmasi atau pernyataan secara sungguh-sungguh atas permohonan perubahan data tersebut melalui layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. kepada Wajib Pajak diberikan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  2. permohonan dianggap tidak diajukan dan:
    1. Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada Wajib Pajak melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak untuk permohonan yang disampaikan melalui Aplikasi Registrasi, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
    2. pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak tidak memproses lebih lanjut permohonan Wajib Pajak untuk permohonan yang disampaikan melalui contact center atau saluran tertentu lainnya, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
 

Pasal 15


(1) Permohonan perubahan data Wajib Pajak secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Perubahan Data Wajib Pajak; dan
  2. melampirkan dokumen pendukung.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak disampaikan:
a. secara langsung ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau KP2KP; atau
b. melalui:
  1. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan menyampaikan BPS kepada Wajib Pajak; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa permohonan tidak dapat diproses dengan menyampaikan Surat Pengembalian Permohonan, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(4) Dalam hal permohonan perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada KP2KP, Kepala KP2KP meneruskan permohonan tersebut ke KPP pada hari kerja yang sama dengan saat permohonan diterima.


Pasal 16


(1) Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan perubahan data Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah BPE diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) huruf a atau BPS disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a, dan memberitahukan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Perubahan Data.
(2) Dalam hal perubahan data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan perubahan informasi dalam Kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP, Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP.
(3) Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Perubahan Data dan/atau Kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Wajib Pajak:
  1. melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
  

Bagian Ketiga
Pemindahan Tempat Wajib Pajak Terdaftar

Pasal 17


(1) Kepala KPP dapat melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar, dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak pindah ke wilayah kerja KPP lain, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
(2) Pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dengan NPWP Pusat.
(3) Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen pendukung.
(4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dokumen yang menunjukkan bahwa tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak pindah ke wilayah kerja KPP lain.
(5) Wajib Pajak cabang yang tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain tidak dapat mengajukan permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), namun harus:
  1. mengajukan permohonan penghapusan NPWP Cabang ke KPP Lama; dan
  2. mengajukan permohonan pendaftaran Wajib Pajak cabang baru ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha baru.
(6) Pendaftaran Wajib Pajak cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan tanpa menunggu penghapusan NPWP Cabang.


Pasal 18


(1) Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menyampaikan Formulir Pemindahan Wajib Pajak; dan
  2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung,
pada Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Pemindahan Wajib Pajak yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. kepada Wajib Pajak diberikan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  2. permohonan dianggap tidak diajukan dan Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada Wajib Pajak melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 19


(1) Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Pemindahan Wajib Pajak; dan
  2. melampirkan dokumen pendukung.
(2) Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan:
a. secara langsung ke KPP Lama, KPP Baru, atau KP2KP Baru; atau
b. melalui:
  1. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP Lama atau KPP Baru.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP Lama, KPP Baru, atau KP2KP Baru:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan menyampaikan BPS kepada Wajib Pajak; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa permohonan tidak dapat diproses dengan menyampaikan Surat Pengembalian Permohonan, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(4) Dalam hal permohonan diterima oleh KPP Baru atau KP2KP Baru, Kepala KPP Baru atau KP2KP Baru meneruskan permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar ke KPP Lama pada hari kerja yang sama dengan saat permohonan diterima di KPP Baru atau KP2KP Baru.


Pasal 20


(1) Berdasarkan permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar yang telah diberikan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a, Kepala KPP Lama melakukan penelitian bahwa tempat tinggal atau tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya tidak berada lagi di wilayah kerja KPP Lama.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP Lama memberikan keputusan berupa:
  1. mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat Pindah; atau
  2. menolak permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Tidak Dapat Dipindah. 
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah:
  1. penerbitan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a; atau
  2. penerbitan BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terlampaui dan Kepala KPP Lama tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala KPP Lama harus menerbitkan Surat Pindah paling lama 1 (satu) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui.
(5) Kepala KPP Lama menyampaikan Surat Pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a kepada Wajib Pajak dan ditembuskan ke KPP Baru:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Pasal 21


(1) Kepala KPP Lama dapat melakukan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara jabatan dengan menerbitkan Surat Pindah berdasarkan penelitian KPP Lama atau KPP Baru bahwa tempat tinggal atau tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya tidak berada lagi di wilayah kerja KPP Lama.
(2) Kepala KPP Lama menyampaikan Surat Pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak serta ditembuskan ke KPP Baru:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Pasal 22


(1) Berdasarkan tembusan Surat Pindah dari KPP Lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) dan Pasal 21 ayat (2), Kepala KPP Baru:
  1. menerbitkan Kartu NPWP, paling lama 1 (satu) hari kerja setelah Surat Pindah diterima KPP Baru; dan/atau
  2. melakukan penelitian lapangan dalam rangka menguji kebenaran tempat kegiatan usaha, dalam hal Wajib Pajak tersebut telah berstatus PKP dan memiliki akun PKP aktif, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Surat Pindah diterima oleh KPP Baru.
(2) Kepala KPP Baru mengirimkan Kartu NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Wajib Pajak:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(3) Atas pemindahan Wajib Pajak yang juga berstatus sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tidak dilakukan pencabutan pengukuhan PKP di KPP Lama.
(4) Tanggal pengukuhan PKP di KPP Baru sesuai dengan tanggal pengukuhan PKP di KPP Lama.
(5) Dalam hal berdasarkan penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diketahui bahwa tempat kegiatan usaha tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Kepala KPP Baru melakukan Pencabutan Pengukuhan PKP.


Pasal 23


Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar, namun terdapat pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang masih dalam proses penyelesaian di KPP Lama, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan oleh KPP Lama, yang pemeriksaannya dimulai sebelum tanggal terdaftar di KPP Baru:
  1. KPP Lama menyelesaikan Pemeriksaan sampai dengan penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan dan Nota Penghitungan; dan
  2. KPP Baru menerbitkan SKP berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan dan Nota Penghitungan dari KPP Lama;
b. Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan oleh Kanwil Lama atau Direktorat Penegakan Hukum, yang pemeriksaan bukti permulaannya dimulai sebelum tanggal terdaftar di KPP Baru, Kanwil Lama atau Direktorat Penegakan Hukum tetap menyelesaikan pemeriksaan bukti permulaan tersebut;
c. Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, yang proses penyidikannya dimulai sebelum tanggal terdaftar di KPP Baru:
  1. Kanwil Lama atau Direktorat Penegakan Hukum tetap menyelesaikan penyidikan; atau
  2. apabila Wajib Pajak sedang dalam proses penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A atau Pasal 44B Undang-Undang KUP, Kanwil Lama atau Direktorat Penegakan Hukum tetap menyelesaikan penghentian penyidikan;
d. Wajib Pajak yang memiliki utang pajak pada tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, KPP Baru melakukan tindakan penagihan;
e. Wajib Pajak yang sedang mengajukan permohonan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP dan pada saat tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, KPP Lama atau Kanwil Lama belum menerbitkan keputusan:
  1. KPP Lama atau Kanwil Lama membuat laporan penelitian dan konsep surat keputusan; dan
  2. KPP Baru atau Kanwil Baru menerbitkan surat keputusan pembetulan, sesuai kewenangannya;
f. Wajib Pajak yang sedang mengajukan permohonan keberatan dan pada saat tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, Kanwil Lama belum menerbitkan keputusan:
  1. Kanwil Lama membuat laporan penelitian dan konsep keputusan keberatan; dan
  2. Kanwil Baru menerbitkan keputusan keberatan;
g. Wajib Pajak yang sedang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP dan pada saat tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, Kanwil Lama belum menerbitkan keputusan:
  1. Kanwil Lama membuat laporan penelitian dan konsep keputusan; dan
  2. Kanwil Baru menerbitkan keputusan;
h. KPP Lama belum melaksanakan:
  1. surat keputusan berdasarkan Pasal 16, Pasal 26, dan/atau Pasal 36 Undang-Undang KUP;
  2. Putusan Pengadilan Pajak atas Banding atau Gugatan yang diterima KPP Lama; atau
  3. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang diterima KPP Lama,
sampai dengan saat tanggal terdaftar di KPP Baru, KPP Baru melaksanakan surat keputusan dimaksud;
i. Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dan pada saat tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, KPP Lama belum menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak:
  1. KPP Lama membuat Laporan Hasil Penelitian dan Nota Penghitungan; dan
  2. KPP Baru menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak;
j. Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dan pada saat tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, KPP Lama belum menerbitkan keputusan:
1. KPP Lama membuat Laporan Hasil Penelitian dan/atau Nota Penghitungan; dan
2. KPP Baru menerbitkan:
a) surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa tidak terdapat pengembalian kelebihan pembayaran pajak; atau
b) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
k. Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang KUP dan pada saat tanggal terdaftar pada KPP Baru, KPP Lama belum menerbitkan ketetapan pajak:
1. untuk permohonan pengembalian yang jatuh temponya paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal terdaftar di KPP Baru:
a) KPP Lama melakukan Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP sampai dengan penyusunan Laporan Hasil Penelitian; dan
b) KPP Baru menerbitkan Nota Penghitungan dan ketetapan pajak;
atau
2. untuk permohonan pengembalian yang saat jatuh temponya lebih dari 6 (enam) bulan setelah tanggal terdaftar di KPP Baru, dan:
a) KPP Lama belum mulai melakukan Pemeriksaan, KPP Baru melakukan Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP; atau
b) KPP Lama sudah mulai melakukan Pemeriksaan, KPP Lama melanjutkan Pemeriksaan sampai dengan penyusunan Laporan Hasil Penelitian dan Nota Penghitungan, serta KPP Baru menerbitkan ketetapan pajak;
l. Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar oleh KPP Lama dan KPP Lama belum menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak pada saat tanggal mulai terdaftar di KPP Baru, KPP Baru menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
m. Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan pemberian imbalan bunga dan KPP Lama belum menerbitkan Surat Keputusan Pembayaran Imbalan Bunga pada saat tanggal terdaftar di KPP Baru, KPP Baru menerbitkan Surat Keputusan Perhitungan Pemberian Imbalan Bunga;
n. Wajib Pajak yang telah mengajukan permohonan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m dan KPP Lama atau Kanwil Lama belum menerbitkan keputusan pada saat tanggal terdaftar di KPP Baru karena belum jatuh tempo:
  1. KPP Lama atau Kanwil Lama menyelesaikan laporan penelitian dan konsep keputusan; dan
  2. KPP Baru atau Kanwil Baru menerbitkan keputusan.
 

Bagian Keempat
Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif

Pasal 24


(1) Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak Non-Efektif, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
(2) Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif dilakukan atas Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang secara nyata tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah PTKP;
  3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada huruf b yang memiliki NPWP untuk digunakan sebagai syarat administratif antara lain guna memperoleh pekerjaan atau membuka rekening keuangan;
  4. Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang telah dibuktikan menjadi subjek pajak luar negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan tidak bermaksud meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
  5. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan belum diterbitkan keputusan;
  6. Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dan/atau tidak ada transaksi pembayaran pajak baik melalui pembayaran sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain, selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
  7. Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kelengkapan dokumen pendaftaran NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7);
  8. Wajib Pajak yang tidak diketahui alamatnya berdasarkan penelitian lapangan;
  9. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP Cabang secara jabatan dalam rangka penerbitan SKPKB Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri;
  10. Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak namun belum dilakukan penghapusan NPWP; atau
  11. Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf j yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dilakukan penghapusan NPWP.
(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif diajukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan Surat Pernyataan Wajib Pajak Non-Efektif dan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Termasuk Surat Pernyataan Wajib Pajak Non-Efektif dan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yakni Dokumen Elektronik dan afirmasi atau pernyataan secara sungguh-sungguh atas permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif yang disampaikan melalui layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui saluran tertentu yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, berupa:
  1. Aplikasi Registrasi;
  2. contact center, dan/atau
  3. saluran tertentu lainnya.
(6) Wajib Pajak dengan NPWP Pusat tidak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal masih memiliki NPWP Cabang yang berstatus aktif.


Pasal 25


(1)

Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) melalui:

a. Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak, dilakukan dengan:
1. mengisi dan menyampaikan Formulir Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif; dan
2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) lampiran permohonan dan dokumen pendukung; 
atau
b. contact center dan/atau saluran tertentu lainnya, dilakukan dengan memanfaatkan layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Dalam rangka proses pengajuan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif melalui contact center dan/atau saluran tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus memenuhi proses validasi identitas untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak sendiri yang mengajukan permohonan dimaksud.
(4) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif secara elektronik melalui contact center dan/atau saluran tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan telah diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal Wajib Pajak telah menyatakan afirmasi atau pernyataan secara sungguh-sungguh atas permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif yang disampaikan melalui layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. kepada Wajib Pajak diberikan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  2. permohonan dianggap tidak diajukan dan:
    1. Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada Wajib Pajak melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak untuk permohonan yang disampaikan melalui Aplikasi Registrasi, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
    2. pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak tidak memproses lebih lanjut permohonan Wajib Pajak untuk permohonan yang disampaikan melalui contact center atau saluran tertentu lainnya, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).


Pasal 26


(1) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dilakukan Wajib Pajak dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif; dan
  2. melampirkan Surat Pernyataan Wajib Pajak Non-Efektif dan dokumen pendukung.
(2) Permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
a. secara langsung ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau KP2KP; atau
b. melalui:
  1. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP atau KP2KP:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan memberikan BPS kepada Wajib Pajak; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pengembalian Permohonan, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(4) Dalam hal permohonan diterima pada KP2KP, Kepala KP2KP meneruskan permohonan tersebut ke KPP pada hari kerja yang sama dengan saat permohonan diterima.


Pasal 27


(1) Berdasarkan permohonan penetapan Wajib Pajak Non-Efektif yang telah diberikan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) huruf a atau atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a, Kepala KPP dan pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap kesesuaian permohonan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan berupa:
  1. menerima permohonan dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
  2. menolak permohonan dengan menerbitkan Surat Penolakan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak:
  1. menerbitkan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5) huruf a; atau
  2. menerbitkan dan memberikan BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a.
(4) Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Wajib Pajak:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Pasal 28


(1) Kepala KPP secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak Non-Efektif dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Kepala KPP menyampaikan Surat Pemberitahuan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Bagian Kelima
Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif

Pasal 29


(1) Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal Wajib Pajak tersebut tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
(2) Permohonan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(3) Termasuk dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yakni Dokumen Elektronik yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kriteria Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(4) Permohonan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui saluran tertentu yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, berupa:
  1. Aplikasi Registrasi;
  2. contact center; dan/atau
  3. saluran tertentu lainnya.
(5) Tanggal pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif terhitung sejak tanggal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.


Pasal 30


(1) Permohonan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dilakukan melalui:
a. Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak, dengan:
  1. mengisi dan menyampaikan Formulir Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif; dan
  2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung;
atau
b. contact center dan/atau saluran tertentu lainnya, dengan memanfaatkan layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Dalam rangka proses pengajuan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif melalui contact center dan/atau saluran tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus memenuhi proses validasi identitas untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak sendiri yang mengajukan permohonan dimaksud.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan telah diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal Wajib Pajak telah menyatakan afirmasi atau pernyataan secara sungguh-sungguh atas permohonan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif yang disampaikan melalui layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. kepada Wajib Pajak diberikan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  2. permohonan dianggap tidak diajukan dan:
    1. Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada Wajib Pajak melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak untuk permohonan yang disampaikan melalui Aplikasi Registrasi, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
    2. pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak tidak memproses lebih lanjut permohonan Wajib Pajak untuk permohonan yang disampaikan melalui contact center atau saluran tertentu lainnya, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).


Pasal 31


(1) Permohonan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif; dan
  2. melampirkan dokumen pendukung.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
a. secara langsung ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau KP2KP; atau
b. melalui:
  1. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP atau KP2KP:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan memberikan BPS kepada Wajib Pajak; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. mengembalikan permohonan kepada Wajib Pajak secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pengembalian Permohonan, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(4) Dalam hal permohonan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif diterima pada KP2KP, Kepala KP2KP meneruskan permohonan ke KPP pada hari kerja yang sama dengan saat permohonan diterima.


Pasal 32


(1) Kepala KPP dapat melakukan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif secara jabatan dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal terdapat data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan;
  2. Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak;
  3. Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
  4. Wajib Pajak diketahui atau ditemukan alamatnya; atau
  5. Wajib Pajak melakukan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya.


Pasal 33


(1) Berdasarkan permohonan pengaktifan kembali Wajib Pajak Non-Efektif yang telah diberikan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (5) huruf a atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf a, Kepala KPP dan pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap kesesuaian permohonan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan berupa:
  1. menerima permohonan dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
  2. menolak permohonan dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak:
  1. menerbitkan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (5) huruf a; atau
  2. menerbitkan dan memberikan BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf a.
(4) Kepala KPP atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Wajib Pajak:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Bagian Keenam
Penghapusan NPWP

Pasal 34


(1) Kepala KPP dapat melakukan penghapusan NPWP atas Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, berdasarkan permohonan atau secara jabatan.
(2) Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain dalam hal:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik, dan pegawai yang telah diberikan NPWP dan penghasilan netonya tidak melebihi PTKP;
d. wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya;
e. wanita kawin yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya;
f. anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, yang telah memiliki NPWP;
g. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi;
h. Wajib Pajak cabang yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi atau ditutup, atau tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain;
i. Wajib Pajak Badan dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;
j. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
k. Instansi Pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang dilikuidasi karena mengalami kondisi sebagai berikut:
  1. tidak lagi beroperasi sebagai Instansi Pemerintah;
  2. pembubaran Instansi Pemerintah yang disebabkan karena penggabungan Instansi Pemerintah;
  3. tidak mendapat alokasi anggaran pada tahun anggaran berikutnya; atau
  4. tidak lagi beroperasi yang diakibatkan oleh sebab lain;
l. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP Cabang; dan/atau
m. Wajib Pajak yang memiliki NPWP Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang secara nyata tidak lagi:
  1. mempunyai suatu hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi; dan/atau
  2. memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,
berkenaan dengan objek pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(3) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, wakil, atau kuasa Wajib Pajak.
(4) Termasuk pihak yang dapat mengajukan permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
  1. bagi Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, yaitu keluarga sedarah atau semenda;
  2. bagi Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, yaitu seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP;
  3. bagi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g, yaitu salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, pihak yang mengurus harta peninggalan, atau kuasa dari wakil Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi; atau
  4. bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, yaitu penanggung jawab proses likuidasi Instansi Pemerintah.
(5) Dalam hal Wajib Pajak memiliki NPWP Cabang, permohonan penghapusan NPWP Pusat juga merupakan permohonan penghapusan bagi seluruh NPWP Cabang.
(6) Permohonan penghapusan NPWP dapat diajukan bersamaan atau setelah pengajuan permohonan pencabutan PKP.
(7) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen pendukung yang menunjukkan keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(8) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (7), yaitu:
a. untuk Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, berupa:
  1. surat keterangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi yang berwenang; dan
  2. surat pernyataan dari wakil Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak meninggalkan warisan;
b. untuk Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, berupa dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
c. untuk Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik, dan pegawai yang telah diberikan NPWP dan penghasilan netonya tidak melebihi PTKP, berupa dokumen yang menyatakan penghasilan netonya tidak melebihi PTKP;
d. untuk wanita kawin yang memiliki NPWP terpisah dari suaminya, berupa:
1. fotokopi buku nikah atau dokumen sejenis; dan
2. surat pernyataan dari wanita kawin tersebut bahwa:
a) tidak membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
b) tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suami;
e. untuk anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, namun telah memiliki NPWP, berupa kartu keluarga;
f. untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi, berupa surat pernyataan dari wakil Wajib Pajak yang menyatakan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris;
g. untuk Wajib Pajak cabang yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi atau ditutup, atau tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain, berupa surat pernyataan di atas meterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak pusat yang menyatakan bahwa Wajib Pajak cabang tidak melakukan kegiatan usaha lagi atau ditutup, atau tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain;
h. untuk Wajib Pajak Badan yang dilikuidasi atau dibubarkan, berupa fotokopi akta pembubaran Badan atau dokumen sejenis yang telah disahkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. untuk Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia, berupa fotokopi dokumen penghentian kegiatan usaha tersebut;
j. untuk Instansi Pemerintah yang dilikuidasi, berupa laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan likuidasi entitas akuntansi dan akuntansi pelaporan pada kementerian negara/lembaga; atau
k. untuk Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu NPWP, berupa:
  1. surat pernyataan bahwa Wajib Pajak memiliki lebih dari satu NPWP; dan
  2. fotokopi seluruh Kartu NPWP yang dimiliki.
     

Pasal 35


(1) Permohonan penghapusan NPWP secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (7) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menyampaikan Formulir Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung,
pada Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. kepada Wajib Pajak diberikan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  2. permohonan dianggap tidak diajukan dan Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada Wajib Pajak melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 36


(1) Permohonan penghapusan NPWP secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (7) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  2. melampirkan dokumen pendukung.
(2) Permohonan penghapusan NPWP secara tertulis dapat disampaikan:
a. secara langsung ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau KP2KP; atau
b. melalui:
  1. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP atau KP2KP:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan menyampaikan BPS kepada Wajib Pajak; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. mengembalikan permohonan secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pengembalian Permohonan, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima di KP2KP, Kepala KP2KP meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a kepada Kepala KPP pada hari kerja yang sama dengan saat permohonan diterima.


Pasal 37


(1) Berdasarkan permohonaan penghapusan NPWP yang telah diberikan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf a, Kepala KPP melakukan Pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif Wajib Pajak.
(2) Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif, penghapusan NPWP dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
a. tidak mempunyai utang pajak, atau mempunyai utang pajak namun:
1. utang pajak yang penagihannya telah daluwarsa; dan/atau
2. utang pajak yang dimiliki oleh:
a) Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; atau
b) Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
  1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. pemeriksaan bukti permulaan;
  3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama (mutual agreement procedure);
d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement);
e. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan, berupa:
  1. keberatan;
  2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
  3. pengurangan atau pembatalan SKP;
  4. pengurangan atau pembatalan STP;
  5. pembatalan hasil Pemeriksaan, verifikasi, atau Penelitian PBB;
  6. gugatan;
  7. banding; dan/atau
  8. peninjauan kembali;
dan
f. seluruh NPWP Cabang telah dihapus, dalam hal penghapusan NPWP dilakukan terhadap NPWP Pusat.
(3) Dalam hal penghapusan NPWP dilakukan terkait dengan wanita kawin yang memilih pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabung dengan suaminya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf e, maka:
  1. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f tidak dipertimbangkan; dan
  2. pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya menggunakan NPWP suami.
(4) Terhadap penghapusan NPWP yang dilakukan karena penggabungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf i, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf  f tidak dipertimbangkan;
  2. pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan atas masing-masing entitas usaha sampai dengan saat dilakukan penggabungan, menggunakan NPWP Wajib Pajak hasil penggabungan usaha; dan
  3. pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan setelah dilakukan penggabungan usaha, menggunakan NPWP Wajib Pajak hasil penggabungan.
(5) Berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP memberikan keputusan berupa:
  1. menerima permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam hal Wajib Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); atau
  2. menolak permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat Penolakan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Kepala KPP menerbitkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama:
  1. 6 (enam) bulan setelah penerbitan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf a, dalam hal permohonan diajukan oleh Wajib Pajak orang pribadi, Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, atau Instansi Pemerintah; atau
  2. 12 (dua belas) bulan setelah penerbitan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf a, dalam hal permohonan diajukan oleh Wajib Pajak Badan.
(7) Apabila Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu penerbitan keputusan berakhir.
(8) Kepala KPP menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Wajib Pajak:
  1. secara elektronik melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak;
  2. secara langsung;
  3. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dan/atau
  4. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(9)  Wajib Pajak yang telah menerima Surat Penolakan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dapat mengajukan kembali permohonan penghapusan NPWP dan permohonan tersebut merupakan permohonan baru.
(10) Kepala KPP dapat melakukan penghapusan NPWP bersamaan atau setelah pencabutan PKP.
      

Pasal 38


(1) Kepala KPP dapat melakukan penghapusan NPWP atas Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan secara jabatan, berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, dan menyampaikan Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Wajib Pajak.
(2) Penghapusan NPWP secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan, Kepala KPP juga dapat melakukan penghapusan NPWP secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik, dan pegawai yang telah diberikan NPWP dan penghasilan netonya tidak melebihi PTKP;
d. wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya;
e. wanita kawin yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya;
f. anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, yang telah memiliki NPWP;
g. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi;
h. Wajib Pajak Badan kantor perwakilan perusahaan asing yang tidak mempunyai kewajiban Pajak Penghasilan Badan yang telah menghentikan kegiatan usahanya;
i. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
j. Wajib Pajak Badan tertentu selain perseroan terbatas yang secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha dan tidak mempunyai kewajiban Pajak Penghasilan;
k. Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang dilikuidasi karena mengalami kondisi:
  1. tidak lagi beroperasi sebagai Instansi Pemerintah;
  2. pembubaran Instansi Pemerintah yang disebabkan karena penggabungan Instansi Pemerintah;
  3. tidak mendapat alokasi anggaran pada tahun anggaran berikutnya; atau
  4. tidak lagi beroperasi yang diakibatkan oleh sebab lain;
atau
l. Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP Cabang.


Pasal 39


(1) Kepala KPP dapat membatalkan Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) huruf a dengan menerbitkan Surat Pembatalan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam hal terdapat data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak masih memenuhi persyaratan subjektif dan objektif pada saat diterbitkannya Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Kepala KPP dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak hapus menjadi Wajib Pajak aktif sementara agar Wajib Pajak dapat melaksanakan hak atau memenuhi kewajiban perpajakan setelah NPWP dihapus.


BAB III
ADMINISTRASI SERTIFIKAT ELEKTRONIK

Bagian Kesatu
Pemberian Sertifikat Elektronik

Pasal 40


(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat memberikan Sertifikat Elektronik kepada Wajib Pajak untuk memperoleh Layanan Perpajakan Secara Elektronik.
(2) Layanan Perpajakan Secara Elektronik dapat berupa:
  1. permintaan nomor seri Faktur Pajak;
  2. pembuatan Faktur Pajak berbentuk elektronik (e-faktur);
  3. pembuatan bukti pemotongan atau pemungutan berbentuk elektronik, pembuatan dan pelaporan SPT Masa Pajak Penghasilan (e-bupot);
  4. pengajuan surat keberatan secara elektronik;
  5. pengajuan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT oleh Wajib Pajak secara elektronik;
  6. pengajuan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak secara elektronik; dan/atau
  7. Layanan Perpajakan Secara Elektronik lainnya yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Permohonan, permintaan, pengajuan, dan Dokumen Elektronik yang disampaikan melalui Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam hal Tanda Tangan Elektronik yang dipergunakan oleh Wajib Pajak dapat diverifikasi dan diautentikasi oleh sistem Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Setiap Wajib Pajak yang telah diberikan Sertifikat Elektronik dapat menggunakan Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b.
(5) Wajib Pajak yang telah diberikan Sertifikat Elektronik dapat menggunakan Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, sepanjang Wajib Pajak:
  1. telah dikukuhkan sebagai PKP; dan
  2. memiliki akun PKP yang telah diaktivasi.


Bagian Kedua
Tata Cara Permintaan Sertifikat Elektronik

Pasal 41


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik secara:
  1. elektronik atau tertulis ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi; atau
  2. elektronik atau tertulis ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak Badan dan Instansi Pemerintah.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
  1. KPP atau KP2KP selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  2. Tempat Tertentu di Luar Kantor; dan/atau
  3. tempat lainnya atau pihak lain,
yang dapat menerima permintaan atau memberikan Sertifikat Elektronik, melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permintaan Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diajukan:
  1. bersamaan dengan permohonan pendaftaran NPWP; atau
  2. secara terpisah setelah Wajib Pajak memperoleh NPWP.


Pasal 42


(1) Permintaan Sertifikat Elektronik secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak mengisi Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik dan mempersiapkan passphrase; dan
  2. Wajib Pajak melakukan kegiatan untuk verifikasi dan autentikasi identitas.
(2) Dalam hal saluran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a dapat mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik secara tertulis, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permintaan Sertifikat Elektronik dilakukan oleh:
  1. orang pribadi yang bersangkutan, bagi Wajib Pajak orang pribadi, kecuali kondisi tertentu dapat diwakili oleh pihak lain; atau
  2. wakil Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, bagi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
b. permintaan Sertifikat Elektronik diajukan ke:
  1. KPP atau KP2KP, tempat Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak orang pribadi; atau
  2. KPP atau KP2KP, tempat Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia terdaftar, bagi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
c. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik;
d. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a:
1. menunjukkan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen identitas diri berupa:
a) KTP, bagi Warga Negara Indonesia; atau
b) paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), dalam hal Wajib Pajak merupakan Warga Negara Asing;
c) Kartu NPWP atau SKT; dan
2. menyerahkan asli surat penunjukan dari Wajib Pajak orang pribadi dengan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1;
e. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a melakukan kegiatan untuk verifikasi dan autentikasi identitas.
(3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1, adalah sebagai berikut:
  1. orang pribadi bersangkutan sedang dalam perawatan di rumah sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan rawat inap dari pihak penyedia fasilitas pelayanan kesehatan;
  2. orang pribadi bersangkutan sedang menjalani masa hukuman pidana atau menjalani penyanderaan sebagai penanggung pajak berdasarkan ketentuan undang-undang mengenai penagihan pajak dengan surat paksa, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan; atau
  3. kondisi tertentu lainnya yang bersifat mendesak dan di luar kekuasaan, antara lain terdapat wabah penyakit, bencana alam, atau kerusuhan massa, sehingga orang pribadi bersangkutan tidak dapat mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik secara langsung ke KPP atau KP2KP, berdasarkan pertimbangan Kepala KPP atau KP2KP.
(4) Dalam hal saluran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, permintaan Sertifikat Elektronik secara tertulis oleh Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permintaan Sertifikat Elektronik diajukan dengan mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik oleh:
1. salah satu pengurus yang ditunjuk untuk mewakili Badan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, untuk Wajib Pajak Badan dengan status pusat; atau
2. pimpinan cabang Wajib Pajak Badan atau pengurus cabang lainnya, untuk Wajib Pajak Badan dengan status cabang;
b. pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a menunjukkan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen berupa:
1. dokumen identitas diri salah satu pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi:
a) bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP dan fotokopi Kartu NPWP;
b) bagi Warga Negara Asing, yaitu:
1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu NPWP, dalam hal telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;
2. dokumen pendirian badan usaha, meliputi:
a) akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, bagi Wajib Pajak Badan selain bentuk usaha tetap; atau
b) surat keterangan penunjukan dari kantor pusat, bagi bentuk usaha tetap;
dan
3. SPT Tahunan Pajak Penghasilan seluruh anggota Kerja Sama Operasi (Joint Operation) untuk tahun pajak terakhir yang jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat pengajuan permintaan Sertifikat Elektronik, bagi Wajib Pajak Badan bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
dan
c. pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a melakukan kegiatan untuk verifikasi dan autentikasi identitas.
(5) Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yaitu:
  1. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP;
  2. orang yang namanya tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak terakhir yang jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat pengajuan permintaan Sertifikat Elektronik, kecuali untuk cabang; dan/atau
  3. dalam hal pengurus namanya tidak tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan atau akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, pengurus harus menyerahkan fotokopi surat pengangkatan pengurus yang bersangkutan atau surat keterangan dari pengurus atau pimpinan yang tercantum dalam akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya dari Wajib Pajak Badan yang menjelaskan kedudukan yang bersangkutan sebagai orang yang mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan.
(6) Dalam hal saluran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, permintaan Sertifikat Elektronik secara tertulis oleh Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. permintaan Sertifikat Elektronik diajukan dengan mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik oleh:
  1. kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
  2. kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
  3. kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa;
b. pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a menunjukkan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen berupa:
1. penunjukan sebagai:
a) kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
b) kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
c) kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa;
2. dokumen identitas diri orang pribadi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 1; dan
3. fotokopi NPWP orang pribadi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 1;
dan
c. pejabat melakukan kegiatan untuk verifikasi dan autentikasi identitas.


Pasal 43


(1) Berdasarkan permintaan Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Kepala KPP atau KP2KP melakukan:
  1. penelitian administrasi atas kelengkapan data Wajib Pajak; dan
  2. pengujian verifikasi serta autentikasi atas Wajib Pajak.
(2) Berdasarkan penelitian dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP:
  1. memberikan Sertifikat Elektronik dan menerbitkan Bukti Penerbitan Sertifikat Elektronik kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima lengkap serta dilakukan pengujian verifikasi dan autentikasi, dalam hal permohonan Wajib Pajak lengkap dan sesuai; atau
  2. mengembalikan permintaan Wajib Pajak, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak lengkap dan/atau tidak sesuai.


Bagian Ketiga
Tata Kelola Sertifikat Elektronik

Pasal 44


(1) Masa berlaku Sertifikat Elektronik yaitu 2 (dua) tahun sejak tanggal Sertifikat Elektronik diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik baru ke Direktorat Jenderal Pajak dengan alasan sebagai berikut:
  1. masa berlaku Sertifikat Elektronik akan/telah berakhir;
  2. terjadi penyalahgunaan Sertifikat Elektronik;
  3. terdapat potensi terjadinya penyalahgunaan Sertifikat Elektronik;
  4. passphrase Sertifikat Elektronik tidak diketahui atau lupa; atau
  5. sebab lain sehingga Wajib Pajak harus meminta Sertifikat Elektronik baru.
(3) Permintaan Sertifikat Elektronik baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik yang dilampiri dengan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
(4) Masa berlaku Sertifikat Elektronik yang telah diterbitkan Sertifikat Elektronik baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan berakhir saat Sertifikat Elektronik baru diterbitkan.
(5) Dalam hal terhadap Wajib Pajak dilakukan penghapusan NPWP baik berdasarkan permohonan atau secara jabatan, masa berlaku Sertifikat Elektronik Wajib Pajak berakhir bersamaan dengan dilakukannya penghapusan NPWP.


BAB IV
ADMINISTRASI PENGUKUHAN PKP

Bagian Kesatu
Pengukuhan PKP

Pasal 45


(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-Undang PPN, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
(2) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP.
(3) Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-Undang PPN dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
(4) Pengusaha melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. untuk Pengusaha orang pribadi:
  1. bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP;
  2. bagi Warga Negara Asing, yaitu fotokopi paspor, atau fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
b. untuk Pengusaha Warisan Belum Terbagi berupa dokumen yang menunjukkan kedudukan sebagai wakil Pengusaha Warisan Belum Terbagi, sebagai berikut:
  1. fotokopi Kartu NPWP salah satu ahli waris, dalam hal diwakili oleh salah satu ahli waris;
  2. fotokopi akta wasiat, surat wasiat, atau dokumen lain yang dipersamakan dan fotokopi Kartu NPWP pelaksana wasiat, dalam hal diwakili oleh pelaksana wasiat; atau
  3. fotokopi dokumen penunjukan pihak yang mengurus harta peninggalan dan fotokopi Kartu NPWP pihak yang mengurus harta peninggalan, dalam hal diwakili oleh pihak yang mengurus harta peninggalan;
c. untuk Pengusaha Badan dengan status pusat:
1. fotokopi dokumen pendirian badan usaha, berupa:
a) akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, bagi Badan dalam negeri; atau
b) surat keterangan penunjukan dari kantor pusat, bagi bentuk usaha tetap;
dan
2. dokumen identitas diri seluruh pengurus, meliputi:
a) bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP dan fotokopi Kartu NPWP;
b) bagi Warga Negara Asing, yaitu:
1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu NPWP, dalam hal telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;
d. untuk Pengusaha Badan dengan status cabang:
1. surat keterangan sebagai cabang bagi Badan atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap; dan
2. dokumen identitas diri pimpinan cabang atau bentuk usaha tetap, meliputi:
a) bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP dan fotokopi Kartu NPWP;
b) bagi Warga Negara Asing, yaitu:
1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu NPWP, dalam hal telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;
e. untuk Pengusaha Badan dengan bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation):
1. fotokopi perjanjian kerja sama atau akta pendirian sebagai bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
2. fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki NPWP; dan
3. dokumen identitas diri pengurus yang ditunjuk sebagai wakil bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) dan salah satu pengurus dari masing-masing perusahaan anggota bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:
a) bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP dan Kartu NPWP;
b) bagi Warga Negara Asing, yaitu:
1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu NPWP, dalam hal telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;
f. untuk Instansi Pemerintah:
1. fotokopi dokumen penunjukan sebagai:
a) kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
b) kepala Instansi Pemerintah Daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
c) kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa;
2. fotokopi dokumen penunjukan Bendahara Penerimaan dan/atau Kepala Urusan Keuangan Desa;
3. fotokopi dokumen identitas diri orang pribadi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2; dan
4. fotokopi NPWP orang pribadi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2.
(6) Dalam hal Pengusaha menggunakan Kantor Virtual sebagai tempat kegiatan usaha atau tempat kedudukan, selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pengusaha juga harus melampirkan fotokopi:
  1. kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis yang masih berlaku antara penyedia jasa Kantor Virtual dan Pengusaha; dan
  2. dokumen yang menunjukkan adanya pemberian izin, keterangan usaha, atau keterangan kegiatan dari pejabat atau instansi yang berwenang, yaitu Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), atau dokumen sejenis lainnya.
(7) Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c merupakan orang yang:
  1. nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP;
  2. namanya tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak terakhir yang jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat pengajuan permohonan pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali untuk cabang dan Kerja Sama Operasi (Joint Operation); dan/atau
  3. dalam hal pengurus namanya tidak tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan, pengurus harus menyerahkan fotokopi surat pengangkatan pengurus yang bersangkutan atau surat keterangan dari pimpinan yang berwenang dari Wajib Pajak Badan yang menjelaskan kedudukan yang bersangkutan sebagai orang yang mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan.
(8) Pengukuhan PKP berdasarkan permohonan Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat diberikan sepanjang Pengusaha memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk Pengusaha orang pribadi atau Warisan Belum Terbagi:
    1. telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
    2. tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang Pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
  2. untuk Pengusaha Badan dengan status pusat:
    1. telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;
    2. tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; dan
    3. seluruh pengurus atau penanggung jawab Pengusaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2;
  3. untuk Pengusaha Badan dengan status cabang:
    1. Pengusaha Badan dengan status pusat telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;
    2. tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak; dan
    3. pimpinan cabang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2;
  4. untuk Pengusaha Badan dengan bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation):
    1. seluruh anggota  Kerja Sama Operasi (Joint Operation) telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;
    2. seluruh anggota Kerja Sama Operasi (Joint Operation) tidak mempunyai utang pajak, kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; dan
    3. seluruh pengurus atau penanggung jawab Kerja Sama Operasi (Joint Operation) memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2;
  5. untuk Instansi Pemerintah, tidak mempunyai utang pajak kecuali utang pajak yang telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
 
    

Pasal 46


(1) Permohonan pengukuhan PKP secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menyampaikan Formulir Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
  2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen yang disyaratkan,
pada Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. kepada Wajib Pajak diterbitkan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  2. permohonan dianggap tidak diajukan dan Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada Pengusaha melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 47


(1) Permohonan pengukuhan PKP secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) dilakukan oleh Pengusaha dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
  2. melampirkan dokumen yang disyaratkan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Pengusaha.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP atau KP2KP:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan memberikan BPS kepada Pengusaha; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. mengembalikan permohonan kepada Pengusaha secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada Pengusaha dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Ketidaklengkapan Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.


Pasal 48


(1) Terhadap permohonan pengukuhan PKP yang telah diberikan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) huruf a atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) huruf a, Kepala KPP atau KP2KP melakukan penelitian administrasi atas:
  1. pemenuhan kelengkapan dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) dan/atau ayat (6); dan/atau
  2. pemenuhan ketentuan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8).
(2) Berdasarkan penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP memberikan keputusan berupa:
  1. menerima permohonan dengan menerbitkan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal permohonan memenuhi kelengkapan persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) dan/atau ayat (6), dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8); atau
  2. menolak permohonan dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) dan/atau ayat (6), dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8),
paling lama 1 (satu) hari kerja setelah BPE atau BPS diterbitkan.
(3) Apabila Kepala KPP atau KP2KP tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan Pengusaha dianggap dikabulkan dan Kepala KPP atau KP2KP harus menerbitkan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah tanggal setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.
(4) Tanggal pengukuhan yang tercantum dalam Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu sesuai dengan tanggal seharusnya diterbitkan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 49


(1) Kepala KPP dapat mengukuhkan PKP secara jabatan, dalam hal Pengusaha tidak melaksanakan kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1).
(2) Pengukuhan PKP secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.
(3) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP atau KP2KP menerbitkan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak terhadap PKP yang dikukuhkan secara jabatan.
(4) Tanggal pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu sesuai dengan tanggal penerbitan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
 

Bagian Kedua
Layanan Perpajakan Secara Elektronik untuk PKP

Pasal 50


(1) PKP yang telah memiliki Sertifikat Elektronik dapat menggunakan Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a dan huruf b, sepanjang memiliki akun PKP yang telah diaktivasi.
(2) Untuk dapat memiliki akun PKP yang diaktivasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PKP harus menyampaikan permintaan aktivasi akun PKP.
(3) Pengusaha mengajukan permintaan aktivasi akun PKP dengan mengisi Formulir Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak:
a. pada Aplikasi Registrasi; atau
b. secara tertulis dan menyampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Pengusaha.
(4) Permintaan aktivasi akun PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan:
  1. bersamaan dengan permohonan pengukuhan PKP;
  2. paling lama 3 (tiga) bulan setelah dikukuhkan sebagai PKP, bagi PKP yang pengukuhannya berdasarkan permohonan; atau
  3. setelah dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan.
(5) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
  1. kepada PKP diberikan BPE; atau
  2. Kepala KPP atau KP2KP menerbitkan BPS kepada PKP,
dalam hal Formulir Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak telah diisi dengan lengkap.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan data Wajib Pajak pada saat permintaan aktivasi akun PKP dengan data pada saat dikukuhkan sebagai PKP, PKP harus menyampaikan permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sebelum menyampaikan permintaan aktivasi akun PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
 

Pasal 51


(1) Terhadap permintaan aktivasi akun PKP yang telah diterbitkan BPE atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (5), Kepala KPP atau KP2KP melakukan penelitian lapangan untuk menguji kesesuaian informasi yang tercantum dalam:
  1. Formulir Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak; dan
  2. dokumen yang disyaratkan pada saat permohonan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) dan ayat (6),
dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Berdasarkan penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atau KP2KP memberikan keputusan berupa:
  1. mengaktifkan akun PKP, dalam hal terdapat kesesuaian informasi berdasarkan hasil penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  2. mencabut pengukuhan PKP, dalam hal tidak terdapat kesesuaian informasi berdasarkan hasil penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah:
  1. tanggal pengukuhan PKP, dalam hal permintaan aktivasi akun PKP disampaikan bersamaan dengan permohonan pengukuhan PKP; atau
  2. tanggal permintaan aktivasi akun PKP diterima yang tercantum dalam BPE atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (5), dalam hal permintaan aktivasi akun PKP disampaikan tidak bersamaan dengan permohonan pengukuhan PKP atau dikukuhkan PKP secara jabatan.
(4) Dalam hal Kepala KPP atau KP2KP memberikan keputusan berupa mengaktifkan akun PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Kepala KPP atau KP2KP meminta PKP untuk datang ke KPP atau KP2KP pada waktu yang ditentukan guna melakukan aktivasi akun PKP.
(5) Aktivasi akun PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilakukan langsung oleh PKP, pengurus, pimpinan cabang, pejabat Instansi Pemerintah, atau wakil Warisan Belum Terbagi yang tercantum dalam Formulir Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak.
(6) Aktivasi akun PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk PKP orang pribadi:
1. menunjukkan asli kartu identitas diri berupa:
a) KTP dan kartu keluarga, bagi Warga Negara Indonesia; atau
b) paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing;
dan
2. menunjukkan BPS atau tanda terima pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat permintaan aktivasi akun PKP;
b. bagi PKP Warisan Belum Terbagi:
1. menunjukkan asli kartu identitas diri wakil berupa:
a) KTP dan kartu keluarga, bagi Warga Negara Indonesia; atau
b) paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing;
2. menunjukkan BPS atau tanda terima pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat permintaan aktivasi akun PKP; dan
3. menunjukkan dokumen pewarisan, ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus bagi PKP berbentuk Warisan Belum Terbagi;
c. bagi PKP Badan dan bentuk usaha tetap:
1. menunjukkan asli kartu identitas pengurus berupa:
a) KTP dan kartu keluarga, bagi Warga Negara Indonesia; atau
b) paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing;
2. menunjukkan BPS atau tanda terima pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat permintaan aktivasi akun PKP; dan
3. menunjukkan asli:
a) surat pengangkatan sebagai pengurus, bagi PKP Badan;
b) surat penunjukan sebagai pimpinan cabang, bagi PKP Badan dengan status cabang; atau
c) surat keterangan penunjukan dari kantor pusat, bagi bentuk usaha tetap;
d. bagi PKP Kerja Sama Operasi (Joint Operation):
1. menunjukkan asli kartu identitas pengurus berupa:
a) KTP dan kartu keluarga, bagi Warga Negara Indonesia; atau
b) paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing;
2. menunjukkan BPS atau tanda terima pelaporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya dan jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat permintaan aktivasi akun PKP; dan
3. menunjukkan asli akta atau dokumen pendirian Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
e. bagi PKP Instansi Pemerintah:
1. menunjukkan asli kartu identitas wakil Instansi Pemerintah; dan
2. menunjukkan asli surat penunjukan sebagai:
a) kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, atau Bendahara Penerimaan, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
b) kepala Instansi Pemerintah Daerah, pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, atau Bendahara Penerimaan, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
c) kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
(7) Aktivasi akun PKP pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak dilakukan sepanjang:
  1. berdasarkan penelitian lapangan diberikan keputusan berupa mengaktifkan akun PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
  2. dilakukan langsung oleh PKP, pengurus, pimpinan cabang, pejabat Instansi Pemerintah, atau wakil Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (5); dan
  3. menunjukkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Terhadap keputusan berupa pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b:
  1. dalam hal penelitian lapangan dilakukan oleh Petugas KPP, Kepala KPP menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau
  2. dalam hal penelitian lapangan dilakukan oleh Petugas KP2KP:
    1. Kepala KP2KP mengusulkan pencabutan pengukuhan PKP kepada Kepala KPP dengan mengirimkan hasil penelitian lapangan; dan
    2. Kepala KPP menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Kepala KPP menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak terhadap PKP yang pengukuhannya dilakukan berdasarkan permohonan, namun tidak menyampaikan permintaan aktivasi akun PKP paling lama 3 (tiga) bulan setelah dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4) huruf b.


Pasal 52


(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan sementara akun PKP terhadap PKP dengan kriteria sebagai berikut:
  1. PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak berturut-turut;
  2. PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 6 (enam) Masa Pajak dalam periode 12 (dua belas) bulan;
  3. PKP menyampaikan dokumen yang disyaratkan dalam permohonan pengukuhan PKP, namun tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan/atau dokumen dipalsukan; atau
  4. PKP yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP.
(2) Terhadap PKP yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, Kepala KPP memberikan teguran secara elektronik atau tertulis kepada PKP untuk menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dimaksud, sebelum dilakukan penonaktifan sementara akun PKP.
(3) Direktur Jenderal Pajak menonaktifkan sementara akun PKP pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal PKP:
  1. tidak menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai setelah diberikan teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
  2. memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dengan menyampaikan pemberitahuan secara elektronik dan mengirimkan Surat Penonaktifan Sementara Akun Pengusaha Kena Pajak secara tertulis kepada PKP.
(4) PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP tidak dapat menerbitkan Faktur Pajak sejak tanggal pemberitahuan penonaktifan sementara akun PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menyampaikan klarifikasi secara tertulis berupa Surat Klarifikasi Penonaktifan Sementara Akun Pengusaha Kena Pajak, bahwa PKP tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Kepala KPP paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal disampaikannya pemberitahuan penonaktifan sementara akun PKP.
(6) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP yang timbul karena PKP telah melaporkan SPT Masa PPN yang menjadi dasar penonaktifan sementara akun PKP, wajib dilunasi oleh PKP sebelum pengaktifan kembali akun PKP.
(7) Klarifikasi secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditandatangani dan disampaikan langsung ke KPP oleh:
  1. PKP yang bersangkutan, bagi PKP orang pribadi;
  2. wakil Warisan Belum Terbagi, bagi PKP Warisan Belum Terbagi;
  3. salah satu pengurus, bagi PKP Badan, bentuk usaha tetap, atau Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
  4. pimpinan cabang, bagi PKP Badan dengan status cabang; atau
  5. kepala Instansi Pemerintah, kuasa pengguna anggaran, pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan, kepala desa, atau perangkat desa, bagi PKP Instansi Pemerintah.
(8) Kepala KPP menerbitkan BPS kepada PKP atas penyampaian klarifikasi secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(9) Terhadap PKP yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan penonaktifan sementara akun PKP berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai perlakuan terhadap penerbitan dan/atau penggunaan Faktur Pajak tidak sah oleh Wajib Pajak.

     

Pasal 53


(1) Berdasarkan klarifikasi penonaktifan sementara akun PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5), Kepala KPP melakukan penelitian atas kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a dan b, dilakukan untuk memastikan bahwa PKP telah melakukan:
  1. penyampaian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi kriteria penonaktifan sementara, termasuk pembayaran pajak, dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar; dan
  2. pelunasan atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP, dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan penyampaian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi kriteria penonaktifan sementara.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, dilakukan untuk memastikan bahwa dokumen yang disyaratkan dalam permohonan pengukuhan PKP sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan/atau dokumen tidak dipalsukan.
(4) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Kepala KPP memberikan keputusan berupa:
  1. menerima klarifikasi PKP dengan melakukan pengaktifan kembali akun PKP dan menyampaikan Surat Pengaktifan Kembali Akun Pengusaha Kena Pajak kepada PKP secara elektronik atau tertulis, dalam hal PKP tidak lagi memenuhi kriteria penonaktifan sementara akun PKP; atau
  2. menolak klarifikasi PKP dengan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal PKP memenuhi kriteria penonaktifan sementara akun PKP,
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (8).
(5) Dalam hal PKP tidak menyampaikan klarifikasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5), Kepala KPP menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
   

Bagian Ketiga
Pencabutan Pengukuhan PKP

Pasal 54


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP terhadap Pengusaha yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagai PKP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai, berdasarkan permohonan PKP atau secara jabatan.
(2) PKP dapat menyampaikan permohonan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke KPP atau KP2KP tempat PKP diadministrasikan.
(3) Permohonan pencabutan pengukuhan PKP dibuat secara elektronik atau tertulis, dilampiri dengan dokumen pendukung yang menunjukkan ketentuan sebagai PKP tidak lagi dipenuhi.
(4) Dalam hal PKP orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, permohonan pencabutan pengukuhan PKP diajukan oleh keluarga sedarah atau semenda.


Pasal 55


(1) Permohonan pencabutan pengukuhan PKP secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dilakukan dengan:
  1. mengisi Formulir Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak pada Aplikasi Registrasi; dan
  2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung,
pada Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Formulir Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik dan mempunyai kekuatan hukum.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. kepada PKP diberikan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  2. permohonan dianggap tidak diajukan dan Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada PKP melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 56


(1) Permohonan pencabutan pengukuhan PKP secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dilakukan dengan:
  1. mengisi dan menandatangani Formulir Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
  2. melampirkan dokumen pendukung.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
a. secara langsung ke KPP atau KP2KP tempat PKP diadministrasikan; atau
b. melalui:
  1. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat,
ke KPP tempat PKP diadministrasikan.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP atau KP2KP:
  1. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan dan memberikan BPS kepada PKP; atau
  2. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1.  mengembalikan permohonan secara langsung, untuk permohonan yang disampaikan secara langsung; atau
    2. mengembalikan permohonan dan memberitahukan secara tertulis kepada PKP dengan menyampaikan Surat Pengembalian Permohonan, untuk permohonan yang disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti penerimaan surat.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima di KP2KP, Kepala KP2KP meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a kepada Kepala KPP pada hari kerja yang sama dengan saat permohonan diterima.


Pasal 57


(1) Berdasarkan permohonan pencabutan pengukuhan PKP yang telah diberikan BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a atau BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf a, Kepala KPP melakukan Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara Pemeriksaan.
(2) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP memberikan keputusan berupa:
  1. menerima permohonan pencabutan pengukuhan PKP dengan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha tidak lagi memenuhi ketentuan sebagai PKP; atau
  2. menolak permohonan pencabutan pengukuhan PKP dengan menerbitan Surat Penolakan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha masih memenuhi ketentuan sebagai PKP.
(3) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal BPE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a atau tanggal BPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf a.
(4) Apabila Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan PKP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu penerbitan keputusan berakhir.
(5) Tanggal pencabutan pengukuhan yang tercantum dalam Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yakni sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 58


(1) Kepala KPP melakukan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan:
  1. hasil Pemeriksaan; atau
  2. hasil penelitian administrasi.
(2) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan, Kepala KPP juga dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap:
  1. PKP dengan status Wajib Pajak Non Efektif;
  2. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan di tempat lain;
  3. PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  4. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka tindak lanjut pemindahan alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lainnya tidak sesuai dengan informasi yang tercantum dalam dokumen yang disyaratkan pada permohonan saat pemindahan dengan keadaan yang sebenarnya;
  5. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan tidak menyampaikan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5);
  6. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan menyampaikan klarifikasi, namun ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) huruf b;
  7. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka aktivasi akun PKP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b;
  8. PKP yang tidak menyampaikan permintaan aktivasi akun PKP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (8);
  9. PKP orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; dan/atau
  10. PKP bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usaha di Indonesia.
(3) Pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.


Pasal 59


(1) Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP terhadap PKP yang tidak lagi memenuhi ketentuan, persyaratan, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai PKP.
(2) Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi.
(3) Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan penelitian administrasi juga dilakukan terhadap PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan NPWP serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan PKP.
(4) Pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak, yang dipelakukan sebagai Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.


Bagian Keempat
Pembatalan Pencabutan Pengukuhan PKP

Pasal 60


(1) Berdasarkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (4), PKP dapat menyampaikan klarifikasi secara tertulis terhadap pencabutan pengukuhan PKP dengan menyampaikan Surat Klarifikasi Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ke KPP tempat PKP diadministrasikan paling lama 1 (satu) bulan sejak Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dikirim.
(2) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani dan disampaikan langsung oleh:
  1. Pengusaha yang bersangkutan, bagi PKP orang pribadi;
  2. wakil Warisan Belum Terbagi, bagi PKP Warisan Belum Terbagi;
  3. salah satu pengurus, bagi PKP Badan, bentuk usaha tetap, atau Kerja Sama Operasi (Joint Operation);
  4. pimpinan cabang, bagi PKP Badan dengan status cabang; atau
  5. kepala Instansi Pemerintah, kuasa pengguna anggaran, pejabat yang melaksanakan fungi tata usaha keuangan, kepala desa, atau perangkat desa, bagi PKP merupakan Instansi Pemerintah.
(3) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan dokumen pendukung yang menyatakan bahwa PKP masih memenuhi ketentuan sebagai PKP.
(4) Berdasarkan klarifikasi yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP menerbitkan dan memberikan BPS kepada PKP.
(5) Berdasarkan klarifikasi yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala KPP melakukan penelitian administrasi atas pemenuhan ketentuan sebagai PKP.
(6) Berdasarkan hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala KPP memberikan keputusan berupa:
  1. dalam hal PKP tidak memenuhi kriteria pencabutan pengukuhan PKP, menerima klarifikasi PKP dengan:
    1. menerbitkan Surat Pembatalan    Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
    2. melakukan pengaktifan kembali akun PKP;
  2. dalam hal PKP memenuhi kriteria pencabutan pengukuhan PKP, menolak klarifikasi PKP dengan menyampaikan Pemberitahuan Penolakan Klarifikasi Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara elektronik atau tertulis,
paling lama 1 (satu) bulan setelah penyampaian klarifikasi PKP diterima.
(7) Terhadap PKP yang dilakukan pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan Pasal 58 ayat (2) huruf e dan huruf f, Kepala KPP menerima klarifikasi apabila berdasarkan hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PKP telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3).
(8) Dengan diterbitkannya Surat Pembatalan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a:
  1. Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak berlaku; dan
  2. Pengusaha tetap sebagai PKP.
(9) Selain pembatalan pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan klarifikasi Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembatalan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki Direktorat Jenderal Pajak yang menunjukkan bahwa Pengusaha masih memenuhi ketentuan sebagai PKP.


BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 61


(1) Dalam hal dokumen yang disyaratkan untuk:
  1. pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
  2. permintaan Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; dan/atau
  3. pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45,
telah dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk data elektronik pada basis data Direktorat Jenderal Pajak, fotokopi dokumen tersebut tidak perlu dilampirkan oleh Wajib Pajak atau Pengusaha.
(2) Data elektronik pada basis data Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Direktorat Jenderal Pajak dari instansi yang berwenang, antara lain instansi yang terkait dengan kependudukan, keimigrasian, administrasi hukum umum, dan ketenagakerjaan.


Pasal 62


Pendaftaran Wajib Pajak melalui saluran tertentu selain Aplikasi Registrasi pada laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan sesuai peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pendaftaran Wajib Pajak melalui saluran tertentu.


Pasal 63


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan kembali atas Kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP karena hilang, rusak, atau alasan lain dengan menyampaikan Formulir Permintaan Kembali pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan kembali atas Kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP orang pribadi dapat diajukan di seluruh KPP atau KP2KP.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan:
  1. secara elektronik;
  2. secara langsung; atau
  3. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat,
serta harus dilengkapi dokumen yang sama dengan yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) dan/atau ayat (6).
(4) Berdasarkan permintaan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPP atau KP2KP memberikan kembali Kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP kepada Wajib Pajak atau PKP.
(5) Dalam hal diperlukan, Kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP juga dapat diberikan kepada Wajib Pajak atau PKP dalam bentuk Dokumen Elektronik.


Pasal 64


(1) Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP dan telah memiliki Sertifikat Elektronik, dapat menggunakan Sertifikat Elektronik untuk memperoleh Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2).
(2) Wajib Pajak yang telah memiliki Sertifikat Elektronik, yang kemudian dikukuhkan sebagai PKP, tidak perlu mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik dalam rangka memperoleh Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a dan huruf b, tetapi harus melakukan aktivasi akun PKP.
(3) Dalam hal terhadap PKP dilakukan penonaktifan sementara akun PKP atau pencabutan pengukuhan PKP, Sertifikat Elektronik tidak dapat dipergunakan untuk memperoleh Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a dan huruf b.


Pasal 65


(1) Wajib Pajak yang harus memiliki Sertifikat Elektronik untuk memperoleh Layanan Perpajakan Secara Elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Pajak tersendiri.
(2) Wajib Pajak yang harus memiliki Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) termasuk Wajib Pajak yang menggunakan jasa Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan.


Pasal 66


(1) Dokumen berupa:
  1. Formulir Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribad;
  2. Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. Surat Keterangan Terdaftar;
  4. Surat Permintaan Klarifikasi/Pemenuhan Kelengkapan Dokumen;
  5. Formulir Perubahan Data Wajib Pajak;
  6. Surat Pemberitahuan Perubahan Data;
  7. Formulir Pemindahan Wajib Pajak;
  8. Surat Pindah;
  9. Surat Pemberitahuan Tidak Dapat Dipindah;
  10. Formulir Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif;
  11. Surat Pernyataan Wajib Pajak Non-Efektif;
  12. Formulir Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif;
  13. Surat Pemberitahuan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, Surat Penolakan Penetapan Wajib Pajak Non-Efektif, Surat Pemberitahuan Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non-Efektif, atau Surat Penolakan Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non- Efektif;
  14. Formulir Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  15. Surat Keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  16. Surat Penolakan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  17. Surat Pembatalan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  18. Surat Pengembalian Permohonan; dan
  19. Formulir Permintaan Kembali,
dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Dokumen berupa:
  1. Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik; dan
  2. Bukti Penerbitan Sertifikat Elektronik,
dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Dokumen berupa:
  1. Formulir Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  2. Surat Pemberitahuan Ketidaklengkapan Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  3. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  4. Surat Penolakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  5. Formulir Permintaan Aktivasi Akun Pengusaha Kena Pajak;
  6. Surat Penonaktifan Sementara Akun Pengusaha Kena Pajak;
  7. Surat Klarifikasi Penonaktifan Sementara Akun Pengusaha Kena Pajak;
  8. Surat Pengaktifan Kembali Akun Pengusaha Kena Pajak;
  9. Formulir Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  10. Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  11. Surat Penolakan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  12. Surat  Klarifikasi Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  13. Surat  Pembatalan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
  14. Pemberitahuan Penolakan Klarifikasi Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 67


(1) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP dan/atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(3) Direktur Jenderal  Pajak dapat menerbitkan SKP dan/atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan NPWP atau pencabutan pengukuhan PKP, apabila setelah penghapusan NPWP atau pencabutan pengukuhan PKP, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(4) Berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP dan/atau STP dalam hal terdapat kewajiban Pajak Pertambahan Nilai yang belum dipenuhi meskipun Pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP.
(5) Terhadap Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP dalam rangka penerbitan SKP dan/atau STP dimaksud.
(6) Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP dimaksudkan untuk kepentingan administrasi perpajakan serta tidak menghilangkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak dan/atau PKP yang bersangkutan.


Pasal 68


Dalam hal terjadi keadaan yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya prosedur Administrasi NPWP, Administrasi Sertifikat Elektronik, dan/atau Administrasi Pengukuhan PKP, berupa:
  1. kebakaran;
  2. bencana alam;
  3. kerusuhan;
  4. gangguan pada jaringan, termasuk gangguan pada server atau pemadaman listrik; dan/atau
  5. keadaan luar biasa lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,
Administrasi NPWP, Administrasi Sertifikat Elektronik, dan/atau Administrasi Pengukuhan PKP tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal tersendiri.


BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69


Terhadap permohonan pengukuhan PKP yang diajukan sebelum Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku dan belum diselesaikan, proses penyelesaian permohonan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 70


Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan PKP, Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan PKP, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan:
    1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak; dan
    2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak;
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2015 tentang Penetapan Tempat Tinggal Orang Pribadi dan Tempat Kedudukan Badan;
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Badan Secara Elektronik Melalui Notaris;
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemberian dan Pencabutan Sertifikat Elektronik; dan
  5. Pasal 8 ayat (5) huruf a, ayat (7) dan ayat (11) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 71


Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2020
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

SURYO UTOMO